YUDHIE HARYONO


Indonesia adalah negara besar, baik ukurannya maupun potensinya. Kini berpenduduk lebih dari 240 juta. Tetapi, problemnya begitu melimpah. So, harus lahir dan hadir pemimpin besar dengan kualitas terbaik dan "menyempal" untuk memimpin negara ini demi kebaikan dan keadaban bersama.

Menyempal itu crank. Dan, crank itu keren: ia enigma yang diburu; ilusi yang dimengerti dan jiwa yang dipelajari serta gagasan yang dipenjara.

Menyempal itu crank. Cirinya tiga:

  1. Anti libidinal atau tak menyembah lawan jenis;
  2. Anti kapital atau tak menyembah duit/harta;
  3. Anti status quo atau tak menyembah kemapanan dan masa lalu.

Ia jenius, progresif, solutif plus revolusioner. Tetapi kini, kita harus menyadari bahwa era lama soal perampokan emas (gold) akan berkembang ke perang herbal dan hasil lautan. Perang teritorial (glory) akan berkembang ke perang currency, asimetriks, proxy, medical dan IT.

Lalu, perang agama (gospel) akan meluas ke perang peradaban. Maka, mari bangun dari puasamu (badan) menjadi shiyammu (jiwa). Dari Abu Jahil menjadi Abdullah. Dari bilad al-fakir (negara fakir, terjajah) menjadi bilad al-fadil (negara unggul, berdaulat).

Aku ini lelaki kecil dalam arus besar fundamentalisme pasar. Aku ini lelaki miskin dalam kurun waktu fundamentalisme agama. Sering menggigil saat bertabrakan. Lalu merenung, mencari seberkas bayang keadilan. Untuk kulukis di cermin bukuku. Menapaki perlawanan kembali. Dan, sering temanku mengkhianati. Sesering elite kita mencuri.

Agar menjadi lelaki dewasa, aku terus bertanya, "apa senjata terkuat dari para pendiri republik?" Ternyata tiga: agasan, cita-cita, hasrat merdeka. Tiga serangkai nuklir itulah inti senjata mereka. Kini, ketiganya disulap oleh para penggantinya menjadi: pencitraan, blusukan dan kejahiliyahan. Tiga epistema yang menjadi agama baru Indonesia.

Bagaimana keluar dari takdir bisu nyanyi sunyi sang begundal istana? Kita akan mulai dari studi geneologi pemikiran Tan. Geneologi pikiran Tan Malaka yang muncul di Indonesia tidak bisa dilepas dari proses historis dan transformasi besar ekonomi-politik-sosial-budaya-agama pra-Indonesia guna mengkreasi filosofi dasar negara kita.

Artinya, ontologi Indonesia adalah hasrat merdeka. Epistemnya, pikiran yang hibrida (pancasila). Aksiologinya, revolusi, menyempal dan crank. Inilah arsitektur purba Indonesia yang membedakannya dari negeri-negeri lainnya.

So, menziarahi Tan adalah meneladani dendam positif yang ada di mana-mana: di jantungku di jantungmu, di jantung hari-hari rakyat jelata untuk menikam mati begundal internasional yang berzina dengan begundal lokal.

Semoga umurku tak panjang. Kini kutuliskan. Ketikan untuk anak-anakku. Rasanya perlu kutulis surat wasiat ini. Sebab umurku tinggal sejam dua jam. Tak akan lebih. Sebagai ayah kalian, maafkanlah.

Sebab kalian tahu, bundamu adalah penuntun hati. Bundamu adalah pengukir jiwa. Tak ada yang lain. Belum ada yang sehebat dirinya. Yang memberi kedamaian dan tak bisa kuungkapkan kepada kalian, anak-anakku.

Kutemukan sepercik keteduhan jiwa. Kudapatkan sebentuk kelembutan hati. Menyentuh sekujur tubuhku yang lemah. Aku tahu. Apa yang kalian rasakan. Aku tak tahu masa depanku tanpa bunda kalian.

Semoga. Masih ada satu dua trilyun kuhasilkan. Kini. Aku masih bisa melewatkan masa separuh putaran bumi. Jalanku tak panjang. Umurku tak jauh. Mungkin untuk bisa menuai waktu. Bersama diri kalian.

Kini kalian adalah pelumpuh cintaku. Kalian adalah pelipur tangisku. Yang memberi kekuatan tuk manapak. Merangkak. Lebih jauh. Lebih teduh. Harapanku. Gairahku. Tapi kini. Jalanku tak panjang. Umurku tak terang. Tak mungkin untuk bisa menewaskan masa. Tak mungkin bisa memperpanjang asa.

Salam sayang. Peluk rindu. Arupadatu. Seluruh waktu.

***

0 comments:

Post a Comment