Kawan-kawan yang bijak. Kini kita harus jujur betapa sulit mengandalkan elite. Betapa tidak berdayanya ummat. Betapa lemahnya angkatan perang (TNI/POLRI). Betapa lumpuhnya negara. Kampus-kampus sekarat. Pesantren-pesantren mati. Sumber-sumber kepemimpinan kita binasa. Semua tak berdaya.

Alih-alih mereka menjadi dewa penolong atau ratu adil yang ditunggu, mereka kini sudah bersekutu dengan para penjajah yang dulu diusir para pahlawan. Lahirlah oligarki, kleptokrasi, kartel yang predatorik. Kini terhampar luas di depan kita kepalsuan yang luar biyasa: negara palsu, ijasah palsu, uang palsu, makanan palsu, vaksin palsu, janji palsu, dll.

Apa yang harus kita kerjakan? Tinggalkan ritual. Campakkan kemarahan. Tradisikan persatuan. Organisasikan diri dalam gotong-royong. Rebut kekuasaan. Dengan cara apapun dan di manapun. Tetapi manfaatkan kekuasaan itu nanti untuk melakukan kerja raksasa. Agar dahsyat, inilah 10 program utamanya: 

  1. Rekayasa pangan organik; 
  2. Rekayasa genetika; 
  3. Rekayasa atom; 
  4. Rekayasa herbal; 
  5. Rekayasa stemm cell;
  6. Rekayasa energi terbarukan; 
  7. Rekayasa komputer kuantum; 
  8. Rekayasa koloni planet dan tata surya; 
  9. Rekayasa singularitas dan keabadian; 
  10. Rekayasa tekhnologi laut dan udara.

Kesepuluh kuasa atas tekhnologi itu harus kita kerjakan karena perang kecerdasan di masa depan itu akan membuat kita kalah. Dan, jika kalah maka kita hanya akan memastikan stabilitas penjajahan 1000 tahun ke depan.

KESADARAN PROGRAM KUASA PERTAMA ADALAH REKAYASA PANGAN ORGANIK SEBAGAI SENJATA PERANG.

Kita harus sadar bahwa perang pangan itu sudah dan akan terus terjadi. Perang pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang diatur kondisi dan situasi pangannya.

Negara yang memiliki strategi kebijakan pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan menguasai dunia.

Ingat. Di komunitas Asean saja, kurang lebih ada 570 juta jiwa setiap harinya membutuhkan pangan. Dan, dari 10 negara-negara itu, Indonesia adalah negara berjumlah perut terbanyak (42,43%) untuk dipenuhi kebutuhan pangannya. Disusul Filipina (15,41%), Vietnam (14,65%), dan Thailand (11,48%). Bukankah ini potensi yang sangat besar dari sisi bisnis dan ancaman perang?

Perang pangan dimulai dengan perampasan tanah (massive land grabbing) dan hak paten bibit lalu diakhiri dengan praktek impor-ekspor. Yaitu model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara miskin oleh perusahaan multinasional. The Economist dalam laporannya tahun 2009 mencatat bahwa total sekitar 37-49 juta hektar yang telah dirampok sejak tahun 2006.

Jumlah itu akan terus bertambah di tahun berikutnya karena pangan bersambung dengan energi dan kepastian hidup di masa depan. Demikian pula hak paten adalah cara memastikan negara miskin sebagai budak yang tak punya hak milik. Mereka hanya jadi alat produksi; mesin penghasil. Lalu, kreasi kebijakan ekspor bahan mentah dan impor barang jadi, memastikan arsitektur penjahahan dan perang pangan. Negara miskin jadi konsumen; penikmat yang wagu plus paria.

Karena itu, salah satu cara menggenggam masa depan adalah menguasai hal-ikhwal pangan. Menguasai tekhnologi pangan. Dan, pangan organiklah jawabannya. Pangan organik adalah pangan alami. Ia terbukti mengurangi polusi (udara, air dan tanah), menghemat air, mengurangi erosi, meningkatkan kesuburan tanah, dan hemat energi. Ia anti peptisida dan kimia sehingga lebih baik bagi ekosistem (petani dan konsumen) yang berada di sekitarnya.

Tanpa kuasa pangan yang meraksasa, kita adalah mutan koloni lama yang dipermak dalam kedunguan baru. Bulan dan tahun ini mestinya jadi pondasi kesadaran kita bersama: hidup mulia atau miskin masuk neraka.

***

 

Jika ukuran kecerdasan dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan dan ukuran orang bijak dilihat dari pertanyaan yang diajukan maka kita tak punya presiden cerdas dan bijak. Sebab jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan presiden dalam semua problem negara hanya jawaban dan pertanyaan orang lugu plus bego. Tak punya pengetahuan masa lalu, tak menguasai problem hari ini, tak mengerti tantangan masa depan. Sungguh takdir yang membosankan bin memilukan.

Aksara dan Bintang yang baik. Kalian subjek semesta. Anak-anak ayah yang luar biasa. Mari belajar memahami bahwa tak semua keinginan bisa terpenuhi. Itu adalah obat terbaik untuk mencegah kecewa dan sakit hati karena kita tahu diri. Tahu bahwa hidup cuma sementara. Sombong dan kikir bukan human zaman now.

Kalian tahu? Dunia makin lucu dan aneh. Indonesia makin tidak tak terpahami. Gaduh tapi miskin ide dan gagasan. Lugu tapi punya kekuasaan. Berkuasa tapi meniru dalam utang dan gadai. Ada tetapi tak menggenapi: pergi tak mengurangi. Banyak manusia gagal paham.

Marah. Nangis. Sedu-sedan. Soal nasib republik yang memburuk. Seiring laraku. Setara sakitku kehilangan kalian. Mengadu. Teriak guling-guling, memukul tembok. Mengguyur kepala dengan seratus bodrex. Merintih sendiri. Sebab tak ada siapa-siapa.

Tuhan ditelan oleh deru kotamu. Hantu mencret. Hutan terbakar. Sungai tercemar merkuri. Karena tahu kini kalian sulit kembali. Dicengkeram VOC baru. Para begundal bersorban minus iman, defisit taqwa. Berjilbab tapi murtad.

Untuk VOC baru, begini hipotesisnya. Tak ada kemiskinan dalam kecantikan. Tak ada kecantikan dalam kemiskinan. Jika wajahmu buruk rupa dan ingin cantik, jangan miskin. Sebab orang miskin dilarang cantik. Sebaliknya, orang cantik dilarang miskin. Sebab kalau miskin akan memburuk. Jadi, kalau buruk rupa bukan jilbab solusinya. Apalagi jilbab mahal merek Crocodile.

Desa kalian sepi hadirkan bayang. Kota kalian gelap hadirkan wajah abadi. Sisa umurku ijinkanlah ayahmu untuk selalu pulang lagi. Bercengkrama dan berdoa bersama. Terutama saat hati mulai sepi tanpa terobati. Diterjang pengkhianat kawan sendiri. Ditipu pejabat murid sendiri. Disiksa tuhan tiada henti.

Kini, setiap kuterantuk pintumu, air mata banjir. Sebab, kalian diamkan rindu dengan jantung berdegap. Lalu, kudengar gemericik kehampaan mengaliri perasaan kalian; seperti tanda kematian; tak ada hentinya.

Kangen ini dari tuhan. Tapi tak tahu di stasiun apa bisa diletakkan. Sebab, semua elite kini mirip silit. Sedang, maju sendiri tak laku-laku.

Nanti, aku mau menikmati musik live di batavia kaffe malam ini sendirian. Apa kegiatan kalian? Ayok kita makar dan persiapan revolusi plus kudeta hati. Aku tunggu yah/GBU.

***

TANPA disadari, kita kini memproduksi para psikopat di ajang politik dan ekonomi. Ini rangkaian tak terelakan dari persetubuhan haram fundamentalisme pasar dan fasisme agama plus feodalisme ekonometrika.

Jejak langkah neoliberalisme yang tak dihapus pak presiden dan rumah rahim neofundamentalisme yang tak didelet pak presiden plus bumi neotribalisme yang tak diaborsi pak presiden berakibat chaos yang tak berkesudahan. Tak percaya? Cek semua media di sekitar kita: cetak, web, elektronik dll.

Makna psikopat secara umum adalah sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat, karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang sekitarnya.

Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar penuh atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati. Sedang pengidapnya disebut orang gila tanpa gangguan mental.

Menurut penelitian kami, pasca diberlakukannya demokrasi liberal, sekitar 10% dari total penduduk indonesia mengidap psikopati sosial. Pengidap ini sulit dideteksi karena 95% lebih bebas berkeliaran daripada mendekam di rumah sakit jiwa. Terlebih pengidapnya sukar disembuhkan.

Kalian mau tahu ciri psikopat? Ia selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri, menyalahkan orang lain tanpa data dan berbahagia di atas derita sesama.

Para pengidap psikopat (ekopol) hanya merasakan senang dan bahagia atas kemenangannya sesaat tetapi akan merasakan sampah kalau kalah walau tak menyerah. Mereka tak mungkin bicara mengatasi problema warga negara. Sebab, mereka jadi elite yang silite.

Di tangan elite psikopat, pemerintahnya tidak mampu mengontrol dan menguasai seluruh SDAnya; pemerintahnya sangat lemah dan tidak efektif; tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang memadai; gotong-nyolong; korupsi dan kriminalitas yang meluas; banjir TKI/W; konflik antar lembaga negara; dan penurunan kesejahteraan ekonomi yang tajam.

***

AKSARA bertanya apa itu kerinduan kepada bunda yang sudah tiada? Dari pulau Swarnadwipa kuketik jawaban singkat. Rindu itu bagai danau Ranau. Berpupuh keindahan alam yang tersembunyi di pegunungan Bukit Barisan, di Sumatera jauh di sini. 3 jam lebih perjalanan.

Bunda (Evie) adalah air danau yang bersih dan berlimpah. Tempat kita berwudu; tempat mengadu. Kau tahu Aksara? Dengan latar belakang gunung Seminung yang cantik, danau Ranu menciptakan pemandangan alam nan elok sekali, asri sepanjang hari.

Dalam catatan geografi, danau ini danau terbesar kedua di Sumatera, setelah danau Toba. Dengan luas 125 kilometer persegi, perairan danau ini membentang menyatukan dua provinsi. Sepertiga bagian masuk wilayah Lampung Barat. Dua pertiga bagian masuk wilayah Ogan Komering Ulu Selatan.

Luas bukan? Danau Ranau dikelilingi oleh sawah-sawah dan kebun kopi yang subur. Untuk bermain di tepi danau, kita bisa masuk melewati kompleks Villa Pusri. Di sini, kita bisa duduk-duduk di dermaga sambil memandangi gunung Seminung yang indah. Gunung ini akan mengingatkanmu dengan Bintang, Nayu dan Syailendta, dua adikmu yang jelita dan satu adikmu yang gagah perkasa.

Tiap tahun, danau Ranau menjadi saksi kisah dan legenda masyarakat sekitarnya soal legenda Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Mereka berdua adalah dua jawara yang amat disegani oleh lawan-lawannya. Membaca kisah ini mengingatkanku pada Astika Wahyuaji, mamah baru kalian yang baik hati.

Dalam sejarahnya, gunung Seminung  merupakan gunung berapi yang sudah lama mati. Dengan bentuk kerucut dan ketinggian 1.880 meter, gunung ini mempercantik keindahan danau Ranau. Lerengnya yang subur dimanfaatkan penduduk Lampung dan Komering untuk menanam kopi, lada, sayuran, dan palawija. Inilah mula rempah yang melahirkan jalur rempah Sumatra.

Kini, ayahmu sudah tua. Sebentar lagi mati. Mohon maaf jika tak sempat menggendong kalian di sini. Satu angan yang tertunda karena badai krisis melanda.

Dari sini kuketik surat cinta buat kalian. Semesta menjaga kalian yang seperti nyanyian dalam hatiku. Seperti panas bumi. Yang memanggil terus rinduku pada kalian.

Ya. Kalian seperti udara yang kuhela dalam-dalam. Kalian selalu ada dan tersenyum samar.

Seribu tahun lalu dan sejuta tahun datang, hanya diri kalian yang bisa membuatku tenang. Siyap mati menjelang. Tanpa kalian, aku gedebok bosok. Aku hilang dan sepi plus merintih. Sedih tak sudah-sudah.

***

Kutulis surat ini karena kami menghormati kalian dan tidak tahu lagi harus mengadu ke mana.

Ekonomi di sekitarku ambruk. Begitupula ekonomiku. Kami kerja keras, tapi itu tak cukup. Beberapa kawan dosen gagal bayar kartu kridit sebab pemasukan di luar gaji, nol. Beberapa kawan main golf menghentikan hobi karena bisnisnya lesu. Beberapa kawan main badminton juga berhenti karena gaji kerja tak cukup lagi untuk salurkan keriuhan. Jauh sebelum mereka, beberapa penulis berubah jadi gojek karena honor tulisan tak lagi datang. Di samping itu, buku-buku makin tak laku. Media membayar gratis para nara sumber.

Yang paling parah, ada janda tua dari perwira tinggi di angkatan udara zaman Bung Karno dimatikan PLN rumahnya karena tak bayar listrik sudah setahun.

Rerata teman-temanku sudah lima tahun makan tabungan (mantab) sebagai cara bertahan hidup yang makin mahal. Daya bayar mereka mati. Daya beli hanya turun drastis. Daya tahan (hidup) masih lumayan walau sangat sengsara.

Kalian tahu mengapa kami makin mati daya bayarnya? Sebab semua naik. Apa ada yang tak naik harga sejak Pak Jokowi berkuasa? Apa ada negara setelah pelantikan beliau sebagai presiden? Rasanya kami hanya melihat penjual dan pengutang saja di depan mata. Berdasi dan blusukan ke sana ke mari, tapi tak berdampak ekonomi sama sekali.

Jadi, kalau ada yang bilang ekonomi kita baik-baik saja, pasti dia orang gila. Ia pasti tambah gila jika hidup untuk tahun-tahun berikutnya. Tetapi calon-calon penggantinya juga sama saja. Lalu, apa yang kami akan lakukan?

Binun tiada tara. Loyo kaki. Sesak napas tiada henti.

Terlihat beratus-ratus tanda bahwa ekonomi negeri akan memburuk, sangat buruk. Dan, kami masih bingung lalu berdoa saja. Ya. Hanya bisa berdoa dalam cemas dan getas.

***

Tibalah pada suatu masa genting. Antara kota Lamongan dan Semarang. Tertulis di rural kota, "jalan Muhammad menuju sorga ada empat: teks, iman, ilmu dan amal. Sedang jalan Budha menuju sorga ada delapan: pandangan, niat, bicara, perilaku, penghidupan, usaha, ingatan, pikiran yang benar.

Jalan Kristus menuju sorga ada lima: tuhan yang menubuh, tubuh yang menuhan, gratia, sallus, propheta. Sedangkan jalan Nusantara menuju sorga ada empat: merdeka, mandiri, modern, martabatif."

Kau pasti tahu, mencari dan macari perempuan itu enigma. Tak semudah menggoreng mendoan. Tak tahunya itu di halaman. Seperlemparan batu bata saat kita main petak umpet. Jauh tak terengkuh; dekat tak melekat.

Setelah mempersuntingnya, harapku kalian tak menjadi Indonesia: dikutuk limpahan sumber daya alam (resource curse). Begitulah yang terjadi. Kekayaan alam yang kita miliki bukannya menjadi berkah (blessing) bangsa ini tapi justeru menjadi kutukan yang tiada pernah berhenti, sampai negeri ini berubah menjadi kawasan hidup para drakula.

So, rizal adikku. Tidak mungkin kita bisa percaya pada mereka yang berideologi neoliberal menjadi bagian dari komunitas kemanusiaan karena mereka anti kemanusiaan.

Mereka hidup dengan ontologi homo homini lupus, dari epistemologi survival of the fittes, dari aksiolologi oligarki-kartel-kleptokrasi-predatoris yang bahagia di atas penderitaan sesama dan berduka di saat sesama bahagia.

Tapi, pasukan neoliberalis selalu berjejaring kuat laksana kuda sembrani. Mengelilingi kekuasaan dan menyetubuhi keserakahan sambil mengkader agensi-agensi tercerdas yang kebingungan karena ketiadaan simbol moral di zamannya.

Neoliberalisme hidup dalam kecongkakan dan rasis sehingga menolak pemerataan sambil memupuk pertumbuhan. Menciptakan krisis ekonomi-finansial sambil membiyayai budak-budak amoral jadi pilihan publik.

Lahirlah ironi-ironi. Berjamurlah drama gnosida bangsa dan merajalela perampokan yang dilindungi serdadu plus kejahatan yang dikurikulumkan sebagai agama baru. Mafia migas, mafia alutista, mafia kontrak karya, mafia jual-beli budak, mafia narkoba, mafia perjudian dan prostitusi, mafia pajak, mafia undang-undang anti konstitusi adalah produk-produk ekopol terbaik dari madzab neoliberal di Indonesia.

Akibatnya, puisi bangsa ini cuma tiga:

  1. Struktur ekopol masih sangat begundal;
  2. Struktur tata negara anti konstitusional;
  3. Struktur mental masih kolonial.

Rizal, kau tahu tafsir puisi itu? Menurut Gus Dur, dulu ada kapal berisi penumpang berbagai bangsa karam. Ada tiga orang yang selamat, masing-masing dari Prancis, Amerika dan Indonesia.

Mereka terapung-apung di tengah laut dengan hanya mengandalkan sekeping papan. Tiba-tiba muncul jin yang baik hati. Dia bersimpati pada nasib ketiga bangsa manusia itu, dan menawarkan jasa. “Kalian boleh minta apa saja, akan kupenuhi,” kata sang Jin. 

Yang pertama ditanya adalah orang Prancis…. “Saya ini petugas lembaga sosial di Paris,” katanya. “Banyak orang yang memerlukan tenaga saya. Jadi tolonglah dikembalikan ke negeri saya.” Dalam sekejap, orang itu lenyap, kembali ke negerinya. 

“Kamu, orang Amerika, apa permintaanmu?” “Saya ini pejabat pemerintah. Banyak tugas saya yang terlantar karena kecelakaan ini. Tolonglah saya dikembalikan ke Washington.”

”Oke,” kata Jin, sambil menjentikkan jarinya orang Amerika lenyap seketika, kembali ke negerinya. 

“Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.” ”Duh, pak Jin, sepi banget di sini,” keluh orang Indonesia. “Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.” 

Zutt, orang Prancis dan pria Amerika itu muncul lagi. Apakah ketiganya menikah lalu sarapan puisi seperti kalian? Aku tak tahu.

***

Kata ibuku, "kebenaran akan memberimu kekuatan melebihi apapun. Idealisme akan memberimu vitamin perlawanan melebihi kekuasaan." Ini yang membuatku bertahan. Meniti idealisme.

Terus, dan sering ibuku berfirman, "salatmu itu memperjuangkan keadilan orang-orang tertindas. Zakatmu itu membela kaum miskin dari jahatnya para perampok. Masjidmu itu berdiri bersama kaum cacat di seluruh Indonesia."

Jadi bukan salat lima waktu, bukan zakat fitrah 2.5 kg, bukan masjid mentereng di sekitar perumahan kumuh.

Maka, kata ibuku, "hanya syaithan yang membuat kita serakah. Hanya malaikat yang membuat kita beribadah. Manusia berisi keduanya. Jika hanya salah satu, ia memilih mengabsenkan akalnya. Semoga kalian anak-anakku tak menjadi syaithan yang berkecambah di Indonesia." Itulah seni menyemangati dari ketikan ibuku buat semua anak-anaknya.

Tentu, sejak masa anak-anak dan saat mengenang masa remaja, nasihat itu diazankan. Berulang dan berulang. Tanpa refleksi itu, kita tak mengenal tua. Apalagi bijaksana. Sebab, kita adalah setan-setan berwajah jenaka. Jarang menjadi malaikat tak berdosa.

Betapa revolusioner ide-ide agama dan nasehat ibuku! Mungkin karena ibuku tahu bahwa di Indonesia, orang-orang tolol, nggedubrus agama. Orang cerdas, bicara ekonomi. Orang jenius, bicara revolusi.

Mungkin juga karena literasinya mengatakan bahwa, semua agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam)  itu berawal dari gerakan protes terhadap kondisi masyarakat dan pemerintahannya yang gak bener.  Itulah sebabnya para Nabi senantiasa dimusuhi para penguasa saat itu. Karena itu mestinya intelektual itu warosatul anbiya, pewaris para Nabi, maka mestinya juga progresif. Itu harapan ibuku melihat anak-anaknya yang sarjana.

Sayangnya, lingkungan kami (anak-anaknya) buruk rupa. Lingkungan yang asosial walau ada pancasila. Kini puncak posisi lingkungan kita menghidupi zaman edan, kalabendu dan penyembah keburukan semesta. Buktinya berceceran di mana-mana.

Kita tahu. Tingginya angka anti konstitusi (tentu juga rabun sejarah) berkorelasi positif terhadap tingginya ketersesatan jalan ekonomi-politik nasional. Tingginya ketersesatan jalan ekonomi-politik ini berkorelasi positif terhadap tingginya pengangguran di Indonesia.

Tingginya angka pengangguran ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka kemiskinan. Dan, tingginya angka kemiskinan berkorelasi positif terhadap tingginya kekayaan elite oligarki. Serta, tingginya kekayaan elite oligark ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dan, kita belum tahu ujungnya. Juga belum tahu bagaimana mengakhirinya. Padahal, waktu tak berhenti. Sebab, jika berhenti akan memenggal kita: mati.

***

Pagi ini, kutak pesan kopi. Senin. Saat tepat puasa. Dari segalanya kecuali revolusi. Ya. Revolusi. Sebab jokowi makin hari makin sedeng: mencintai keblingeran dan mengimani kesemrawutan. Semua hanya kepalsuan: meniru ide karno hanya untuk menipu warga negara. Dan, dari solo segala kepalsuan ini dimulai.

Tapi mau bagaimana lagi? Beberapa gelintir elite terlalu mencintai kedudukannya sampai tidak tahu fungsinya untuk memanusiakan manusia. Kedudukan dan jabatan tanpa keluhuran adalah potret elite hari ini dan kemarin, tentunya. Hari ini lugu, kemarin dungu.

Pagi ini. Kusampaikan buatmu senyum terindah dalam sisa hidupku. Sambil merekonstruksi kembali gairah 98. Sambil kujalin kembali sisa pasukan waras. Sambil merindukan nalar cerdas. Soal-soal kejeniusan bernegara, kuceritakan si Hugo: sastrawan besar yang tak sempat engkau geluti. Sebab, membaca karyanya seperti menjumpai kasihmu: menggetarkan dan menghanyutkan.

Kawanku, Andi Firmansyah (2014) mengetik dengan baik soal Hugo. Kubagi buatmu sebagai cerpen pengantar kerja; teman untuk memahami langkah-langkahku; tambahan pengetahuan soal sastra dan jalan hidup.

Nama kerennya Victor Hugo (1802-1885). Ia dilahirkan di Besancon, Prancis, 26 Februari 1802, meninggal 22 Mei 1885. Nama lengkapnya Victor Marie Comte Hugo, putra seorang jendral yang cukup terkemuka di zaman Napoleon.

Ayahnya pernah menjadi gubernur di Spanyol dan Italia. Sejak usia lima belas tahun ia telah menulis puisi dan tahun 1817 mendapat pujian dalam sayembara yang diadakan Akademia Prancis dan tahun 1819 memperoleh hadiah sastra dari Academia des Jeux Floraux de Toulouse. Hugo menduduki tempat terhormat dalam sastra Prancis karena karyanya mendominasi hampir seluruh abad 19.

Ia merupakan pemuka aliran roamantik, baik dalam puisi maupun dlm prosa. Tahun 1822 terbit kumpulan puisinya Odes et Ballades yang berhasil menarik simpati publik. Tahun 1823 terbit novel pertamanya Han d’Islande meruakan buku hadiah perkawinannya dengan Adele Foucher (1822).

Di rumah pasangan inilah tempat pertemuan kaum romantikus Prancis. Drama yang pertama berupa epos Cromwel (1827) dan dramanya yang kesohor adalah Hernani (1830), Les Roi s”Amuse (1832), Marie Tudor (1833) dan Ruy Blus (1838).

Selama tujuh belas tahun sejak penerbitan pertama, ia telah menerbitkan sejumlah kumpulan esai, tiga novel dan lima kumpulan puisi. Masing-masing kumpulan puisinya adalah Les Orientalis (1828), Feuilles d’ Automne (1831), Les Voix Interiues (1828), dan Les Rayons et Les Ombers (1840).

Sementara dua romannya yang sangat terkenal dan tentunya sangat memikat hati adalah Notre Dome de Paris (1831) dan Les Mirables (1862). Melewati masa panjang dalam sejarah Prancis, Victor Hugo mengalami dan mengikuti kegiatan pemerintahan hingga saat rezim yang berkuasa jatuh dan ia ikut terusir.

Pengalaman itu memperkaya wawasannya dalam kegiatan sastra. Sehingga masa pengasingannya ke luar negeri merupakan bagian dari kegiatannya belajar dan menulis hingga kembalinya ke Prancis setelah runtuhnya Kekaisaran Kedua (1870) dan berdirinya Republik Ketiga, di mana ia ikut ambil bagian dalam lembaga legislatif.

Dua dekade terakhir kematian orang-orang tercintanya membuat ia tercambuk untuk menulis lebih banyak karya lagi. Ketika meninggal dunia, peti jenazahnya diarak dalam suatu prosesi nasional yang agung dari Arch de Triomphe ke Pantheon.

Kau tahu? Karya-karya Hugo banyak memberi pengaruh kepada sastra dunia, menjadi bahan polemik dan sumber inspirasi. Ia merupakan salah seorang sastrawan agung dan kenamaan abad kesembilan belas dan secara khusus memberi landasan yang kuat dan kokoh dalam aliran romantic. Ia menulis dalam sejumlah genre sastra yg luar biyasa. Bagiku, ia inspirasi yang kadang muncul namanya dalam parfum dan rumah-rumah mode.

Kapan kita berkunjung ke makamnya, kucium pipimu di samping pusaranya nanti. Tentu setelah mengganti rezim lugu ini dengan pasukan muda perealisasi pancasila.

***

Buat teman-teman yang merasa membela islam.

Beberapa kawan jurnalis bertanya padaku soal (wacana) revolusi akhlak yang sedang berlangsung. Kujawab, kemarahan tanpa gagasan seperti kemarahan istri yang lama tak ditiduri. Pendek, tak bernalar dan tentu tak mengakar. Ia akan habis begitu suami menyetubuhinya.

SELESAI

Hari kemarin dan hari-hari esok, kemarahan itu akan bernas dan kuat jika diisi dengan argumen yang dahsyat. Yaitu kesadaran berbangsa dan bernegara yang konstitusional demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan (oleh semua, untuk semua, dari semua). Di mana road mapnya cukup panca kerja:

  1. Rekonstitusi,
  2. Nasionalisasi aset strategis,
  3. Rekapitalisasi bumn,
  4. Transformasi shadow economic,
  5. Pro pemerataan.

Kapan-kapan kujabarkan lebih rinci makna dari tiap kerja yang lima. Sabarlah sayang.

Jika gagal mensosialisasikan yang lima dan tentu akan gagal merealisasikan maka pasti kutemukan engkau dalam ceria dan sendu. Ceria dengan karirmu. Sendu dengan kasihmu. Engkau tegar. Engkau perkasa. Tetapi, kasihmu padaku saat kuluka: mati dalam sunyi dan sepi. Luka dengan sejuta kecewa. Perih karena takdir yang tak terpermanai. JalanNya yang hempaskan tubuhku remukkan dada. Tak ada nyawa. Tak ada asa. Tak ada cinta. Tak ada rindu. Tak ada kangen. Tak ada apa-apa. Namum lembut belaimu balutkan luka; lembut senyummu sembuhkan pilu; lembut kasihmu tumbuhkan nyawa.

Engkau gandeng tanganku saat kumuak; saat tak ada iman pada dunia. Saat semuak-muaknya pada takdir yang bisul dan gigil. Muak dengan sesatnya agama dan pertemanan. Sebab mereka membuatku muntah lepaskan amarah; sumpah serapah. Namum hangat senyummu redakan luka; agak reda. Dari memar ke sedikit percaya. Jika saja engkau tahu. Aku adalah rapuh si dungu.

Akankah engkau tetap menyayangiku seperti sayangnya mentari pada makhluk bumi? Bersinar sepanjang semesta mengada. Tak peduli kalian siapa.

Tetapi jika kalian mampu memproduksi agenda itu maka pasti kubertanya: Engkaukah itu? Bidadari yang mengirim lagu. Bunga peradaban yang wangi vaginanya seperti syorga. Yang kini menimpakanku ber ton-ton kekangenan tanpa kenal waktu. Yang dengan berjejuta lembar bayangmu merebut tiap hempasan nafasku. Yang tegas keras mengikat tiap persendian tulangku. Yang kadang lirih bersyahadat rindu di kupingku. Taukah engkau? Dengan merindukanmu, Aku menemukanmu; mendapatkan separuh jiwaku; melengkapi separo nafasku; yang kemarin mati kini terlahir kembali.

Engkaukah itu? Yang tak mengagumiku; yang tak terlalu mengenalku; yang mungkin mencintaiku tanpa tahu;  yang kuharap melengkapi semua asaku; memabukanku; membuatku gila, segila-gilanya. Sebab engkau bermain di atas taman hatiku; selalu berdendang di ujung rinduku.

Engkaukah itu? Yang kadang hilang karena diterjang mesra sang bayu.

Engkaukah itu? Bunga sejarah di kolam renang dan lautan kasih. Pualam yang memeluk penuh aroma terapi dan yang perlahan menaklukanku. Setakluk-takluknya. Sujudku kini selalu menyebut namamu.

Revolusiku. Aku merindukanmu. Aku jatuh hati denganmu.

Tahukah engkau. Kemarin. Ya kemarin. Dunia sepi. Hidup sunyi. Ketika itu engkau bernyanyi sehingga gembira kembali. Maka berkali-kali dan kembali aku merindukanmu. Sangat-sangat rindu. Kini. Ya kini. Aku bercumbu dengan setumpuk rindu yang membelenggu. Sampai nanti aku melamarmu. Dengan sebongkah hati yang kuat untuk mengetik peradaban. Kabarkan pada alam. Agar sunyi dan sepi tak hadir kembali. Maka kukecup putingmu di setiap mataku membuka. Kuucapkan mari bekerjasama dalam suka dan duka. Mari rebut kembali kemerdekaan kelima. Republik berdaulat. Republik ummat.

Maukah kalian mensosialisasikan road map revolusi kita? Semoga.

***

Dunia tak seramah dan semudah dalam buku.

ASTI bertanya padaku soal itu. Kujawab, ia disebut trias revolusi: mental, nalar dan konstitusional. Kulminasi dari menanam, memanen dan menabung. Ini harus dikerjakan bersama secara simultan, berkelanjutan dan tertradisikan.

Sebab, sebagai negara postkolonial yang telah milyaran hari dirampok, kita mewarisi tiga hal: 

  1. Mental kolonial: inlander, instan dan mendendam. 
  2. Nalar kolonial: fasis, feodalis dan fundamentalis. 
  3. Konstitusi kolonial: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris.

Ketiga warisan itu menciptakan 5K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, ketimpangan. Kerananya kita membutuhkan solusi, jalan, obat dan subjek. Itu hanya dapat dikerjakan oleh manusia pancasila berideologi pancasila. Menciptakan Indonesia Raya, Nusantara dan peradaban Atlantik.

Apa musuhnya? Adalah ide dan praktek fundamentalisme. Di negeri-negeri liberal, musuhnya fundamentalisme agama. Di negeri-negeri postkolonial, musuhnya fundamentalisme pasar.

Di indonesia, dua fundamentalisme itu bersetubuh. Persetubuhan dua fundamentalisme ini melahirkan teror yang membuat perdamaian hilang digantikan kebencian, kejahiliyahan dan peperangan.

Fundamentalisme agama menciptakan identitas baru yang bineris:  "aku" versus "kamu" atau "kita" versus "mereka." Fundamentalisme agama berkeyakinan bahwa agamanya (tuhannya) di atas segalanya: segala-galanya.

Fundamentalisme pasar menciptakan identitas baru yang brutal-dominatif: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa pasar di atas segalanya: segala-galanya.

Globalisasi percaya bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi. Pada praktiknya, paham ini menjelma menjadi neoliberalisasi di mana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang mendikte mayoritas orang dan negara lain.

Pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan alat untuk memerdekakan orang, menjelma menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai kue politik dan ekonomi bagi dirinya saja.

Dua fundamentalisme ini melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru, memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran teror dan chaos.

Kita marah atas tumbuh dan berkembangnya dua fundamentalisme tersebut, tetapi itu tidak cukup. Kita harus jenius.

Saat Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, kita harus melakukan pekerjaan jauh lebih besar dari sekadar marah dan pasrah. Kita harus menikam mati tepat di jantungnya, dua jenis fundamentalisme yang sedang menguat sebagai kanker peradaban.

***


Kepadamu Yang Sedang Bekerja

Berani hidup, tak takut mati. Takut hidup, mati saja. Takut mati, hiduplah berarti. Hidup cuma sekali, hiduplah dengan jati diri. Demikianlah nasihat guru-guruku saat remaja.

Kini, kita semua sedang "kembali" menjalani hidup. Setelah semilyar detik mati. Mari kini kita kembali bermimpi tentang apa yang ingin kita impikan: pergi ke tempat-tempat yang kita ingin pergi; menulis tentang apa-apa yang benar dan jujur; mengkritik tentang kehancuran mental dan moral di semua lini.

Dan, jadilah seperti yang kita inginkan karena kita hanya memiliki satu kehidupan dan sedikit kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kita kerjakan.

Bermimpi hidup bersama keadilan; pergi bersama kesejahteraan; menjadi diri sendiri bersama kemerdekaan, kemandirian, kemodernan dan kemartabatan (5K); bercinta dengan kekasih idaman; bersenda-gurau dengan keluarga harmonis adalah soal subtansi berindonesia kini.

Tetapi, kawan-kawanku semua, "apapun kualitas makanan dan sekolah kalian, dengan berbagai retorika dan argumentasi teoritik, pada akhirnya yang diperlukan kini, adalah watak intelektualisme yang mujtahid, mujadid, revolusioneris dan asketis. Semua harus menyatu menjadi kesadaran genetik setiap warganegara. Tanpa itu semuanya absurd: tidak ada keadilan sosial, tidak ada kesetaraan sosial, tidak ada kemerdekaan individual dan negara, bahkan kita tidak lebih dari perampok yang kapitalistik dan menjadi sumber ancaman publik plus mengkhianati konstitusi."

Kalian yang bijak bestari. Betapa kalian berdiskusi diakhiri berdoa menutup mata khusuk sekali. Saat terbangun membuka mata, semua SDA dan SDM sudah dicuri. Jadilah kita generasi miskin. Lalu KKN saat berkuasa. Ah kita kok jd begini lugu, naif dan blusukan saja? Kok tak ada dentuman besar dan tak ada pahlawan? Engkau di mana. Kalian sedang apa.

Karenanya, mari menghisab (menghitung) diri sendiri, sebelum diri kita semua dihisab kelak. Menghitung hal-hal yang mungkin sering lupa dan alpa: seperti peringatan orang bijak di masa purba, "ingat masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Ingat masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ingat masa kayamu sebelum datang masa miskinmu. Ingat masa lapangmu sebelum datang masa sempitmu. Ingat masa hidupmu sebelum datang masa matimu."

Mari menyanyi. Lagunya Raisa. Berjudul jatuh hati. Agar tak pengap dan jijik lihat gigi jokowi. "Ada ruang hatiku yang kau temukan/Sempat aku lupakan kini kau sentuh/Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati/Kuterpikat pada tuturmu/Aku tersihir jiwamu/Terkagum pada pandangmu/Caramu melihat dunia/Kuharap kau tahu bahwa kuterinspirasi hatimu/Kutak harus memilikimu/Tapi bolehkah ku selalu di dekatmu/

Ada ruang hatiku kini kau sentuh/Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati/Katanya cinta memang banyak bentuknya/Yang kutahu pasti sungguh aku jatuh hati/"

Aku bahagia menyanyikannya. Itulah cinta dan hidup yang seharusnya dijalani. Berbahagia, bercinta dan saling bercerita dengan riang gembira. Terimakasih atas waktu dan cinta yang menyegarkan hidup dan kehidupan.

Dengan berlinang air mata kini kuminta padamu, jadilah pengingatku wahai bidadariku. Alarm saat aku lupa dan tua. Sebab tugas terbaik kekasih adalah saling menjaga, mengkritik dan melindungi.

***

1 Tahun lalu: Nalar hatiku adalah kematian.

10 Tahun lalu: Masa depanku adalah kejumudan. 100 Tahun lalu: Hidupku adalah pembrontakan. 1000 Tahun lalu: Bintangku kesepian dan kesendirian.

Semua yang ada di kita cuma titipan Tuhan. Kita lahir telanjang. Mati sendiri berkain kafan. Apa yang dibanggakan dari titipan? Apa yang ditakuti dari kemiskinan?

Aku pernah miskin. Aku pernah kaya. Biasa saja. Tak ada yang membuatku takut, malu, bangga apalagi jumawa.

Tetapi kekasihku, dosa itu manis. Hukumannya yang pahit. Karena itulah para pejabat kita suka berbuat dosa sambil mengelak dari hukumannya. Tentu saja karena mereka tahu tak ada hakim kebal sogokan; tak ada polisi benci gratifikasi; tak ada pengacara anti suap. Semua lembaga dan agensi hukum kita adalah kakek-neneknya kejahatan purba.

Sambil menangis karena rindu, kubertanya, "adakah sejarah yang lebih getir dari manusia yang ditipu saudaranya dan dipaksa bayar pajak mahal oleh negaranya serta dirampok semua usaha oleh teman-temannya plus dikhianati oleh kekasihnya?"

Mestinya tsunami kemarin menjadi berkah yang menguatkan mental, menabahkan jiwa, menjujurkan sikap, menguletkan tindakan, memastikan rendah hati dan memosisikan diri siap menghadapi takdir yang lebih dahsyat. Bukan sebaliknya.

Membuatmu minder dan menipu diri; takut selain pada Tuhan; hidup dalam kejahiliyahan. Agama apa yang kau peluk sebenarnya? Bencana apa yang meluluhlantakkan iman dan nalarmu sebenarnya? Jangan-jangan kau diperkosa ramai-ramai oleh sundelgrowong, tetangga, pemabuk dan kyai sekaligus?

Di hari sedihku (karena engkau melupakanku), tak ada doa yang kupanjatkan selain memohon pada Tuhan dan semesta agar menguatkanmu, memeluk dan merawatmu dalam setiap kondisi, menjagamu untuk idealis di jalan-Nya, mengangkat derajatmu lebih tinggi di sisi-Nya.

Selamat bekerja, jiwaku; kasihku; cintaku. Selamat bergabung di club dunia yang berusaha bergotong royong menaklukan rintangan dan tantangan kehidupan.

Kini kita lihat adanya hanya perang di medsos (pencitraan); Politik tanpa keputusan; Melanjutkan teater besar di republik akibat (pidato basa-basi); Bersahutan dalam fitnah. Empat perilaku politik itulah yang berulang di republik. Perilaku ananiyah dan menjijikan. Sebab tak ada hasil subtantif yang dihasilkan buat warga negara.

Dalam pendekatan teori kekuasaan politik, aksiologi di atas disebut "berkuasa tanpa kekuasaan dan kekuasaan tanpa pengetahuan." Ini tentu kesalahan kita semua: pemilih pemimpin dungu dan pemimpin lucu yang culun. Keduanya mutualisma dan resiprokal.

Kekuasaan sesungguhnya merupakan kewenangan yang dimiliki seseorang karena suatu hal (politik, ekonomi, moral, warisan dll). Kekuasaan juga kemampuan seseorang untuk memengaruhi tingkah laku orang lain sesuai dengan keinginan dari pelaku; memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi.

Tetapi, kekuasaan tanpa putusan yang memihak publik, kaum lemah dan tertindas sesungguhnya bukan kekuasaan dalam arti sesungguhnya. Pseudo-kuasa. Wayang. Petugas. Objek. Budak.

Itulah yang kini tinggal di istana hasil demokrasi liberal yang gigantik dan guyon yang luarbiyasa. Maka, kalau kalian mau bernegoisasi dengan penguasa, cek dulu siapa penguasa sesungguhnya.

Kalian tahu? Di negara ini, Tuhan disembah saat Ia sedang menjauhi (kekeringan sebagai misal) dan diingkari saat Ia sedang mendekati (multikulturalis sebagai misal). Apakah ini karena jalan-Nya sulit dipahami atau karena manusianya bengal?

Padahal. Manusia adalah Tuhan yang menyejarah. Tuhan adalah manusia yang mengabadi. Tuhan dan Manusia adalah sejarah dan keabadian.

Tetapi kini, saat semua kalah, tugas kaum neoliberalis hari ini adalah meyakinkan dan memastikan agar Indonesia fokus di sektor konsumsi. Jadi konsumen belaka. Bukan mandiri di sektor produksi, sektor modal (investasi), sektor transportasi, apalagi sektor finansial.

Tugas kaum konstitusionalis adalah sebaliknya. Tuan Jokowi, anda paham? Pasti tidak.

***

Untuk kejahatan penjarahan, perampokan dan penyopetan oleh elite (ekopol) yang mengakibatkan kerugian BUMN sampai puluhan-ratusan triliun, pasti melibatkan beberapa institusi, agensi dan otoritas yang punya kewenangan yang berbeda dan luwarbiyasa besar.

Hanya bangunan komplotan besar dengan kekuasaan yang besar yang bisa mengoperasionalkan kejahatan besar elite dan berada di ruang-ruang istana.

Karena itu, saat kementerian BUMN menegaskan bahwa pengembalian dana gagal bayar nasabah Jiwasraya bakal dicicil mulai awal Maret 2020, maka sejak awal sudah terbaca bahwa ujung-ujungnya kerugian dari perampokan keuangan BUMN akibat dari perbuatan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, akan dibebankan ke negara atau jadi kerugian negara. Diambilkan dari uang rakyat dan pajak kita-kita juga di APBN.

Cek saja sejak BLBI, Bank Century, e-KTP, Hambalang, proyek-proyek infrastruktur, Jiwasraya, ASABRI, dll. Modus bailoutnya saja yang sedikit bervariasi tapi ujungnya tetap sama yaitu beban negara: beban APBN.

Modusnya itu ada obligasi rekap, merger, akuisisi, holdings dll. Teknik ini selain untuk menghilangkan jejak juga buying time agar publik lupa.

Inilah negaramu. Siapapun yang menang dan berkuasa, Indonesia masih corruptions friendly country. Mau marhen, mau santri, mau maliter, mau nasionalis, mau komunis, mau liberalis pada intinya sama: berniat dan praktek nyolong. Terbukti berulang kali.

***

Walau sebentar, tapi menjengkelkan. Walau tak lama, tapi menghancurkan. Ada ruang hatiku yang kau temukan. Diberilah engkau kesempatan. Tak tahunya kian binasa dan mengecewakan.

Ada waktu hatiku yang kau pinjam. Sempat aku lupakan kini kau sentuh. Tanpa program. Hanya blusukan. Aku bukan jatuh cinta namun jatuh hati. Tepatnya tertipu. Oleh laku hidupmu yang lugu. Tanpa ide dan gagasan.

Kowi. Kuterpikat pada tuturmu. Kutahu kini kau durja kecurangan. Kutersihir jiwamu. Kutahu kini kau durja nepotis. Kuterkagum pada pandangmu. Kutahu kau durja dinasti. Kuterbengong caramu melihat dunia. Kutahu kau durja rente. Kuharap kau tahu bahwa kuterinspirasi hatimu. Kutahu kau durja kebegundalan. Kutak harus memilikimu. Kutahu engkau durja maling: dari angka pemilu sampai jiwasrayagate.

Tak ada yang abadi. Kau bisa membohongi semua makhluk bumi. Sampai mereka berujar bolehkah kami selalu di dekatmu. Tetapi. Untuk menikam mati dengan belati tepat di silitmu.

Kukira masih sama. Tahun 2015 kuberucap kau mengalami the power of the outcasts. Kekuasaan yang terbuang. Sia-sia. Kuasa untuk memeratakan kemakmuran dan kesentosaan. Maka, di gegap ketiadaan kewarasan, tak ditemukan jalan pulang dan tokoh merdeka plus agen kharismatik. Dalam seluruh diskursus kemandirian via revolusi mental dan nawa cita, kita tak menemukan daya cipta (apalagi dentuman besar) bagi kemartabatan ekonomi-politik. Tak ada nasionalisasi apalagi kemartabatan ekonomi.

Tuna kuasa. Sebab yang berkuasa itu sesungguhnya bukan yang sedang berkuasa. Itu artinya, struktur ekopol kita lebih memuja ketidakadilan hasil warisan rezim lama. Kebudayaannya masih oligarkis, kleptokratis, kartelis dan predatoris. Tak ada kekuasaan yang dapat telanjang terbaca kecuali remeh temeh. Semua sumir dan telenovela. Skrip dan sutradaranya masih "hantu blau."

Yang sangat merepotkan, struktur kekuasaan negara diisi oleh hampir benar, "mereka yang tidak mengerti kekuasaan" sehingga mereka sesungguhnya orang buangan: petugas yang culun dan lugu. Dibuang dari keumuman ke daerah para setan bertahta.

Maka yang dikerjakan kaum terbuang dalam kekuasaan hanyalah guyon dan tertawa. Karena tak biasa, dibuatlah temu lawak nusantara. Di istana. Wasuk raa!

Kini desain ekopolnya nyaris sempurna dalam ketidaksempurnaan. Bergelora dalam kedunguan. Disfungsi dan ejakulasi dini. Bergerak tanpa konsep besar walau tangan dan niat tak mencuri. Di tangan penguasa yang tidak berkuasa, rakyat jelata adalah santapan pertama. Korban mesin tanpa pikiran.

Semua tahu. Negara tanpa keadilan itu omong kosong; ibadah tanpa akhlaq itu pencitraan; pengetahuan tanpa toleransi itu mubadzir; kekuasaan tanpa pemerataan itu firaun dan ucapan tanpa tindakan itu widodo (tipu-menipu).

Kini, sudahlah. Lupakan harapan-harapan pada ratu adil. Jangan hiraukan ratu cakil. Jangan tertawakan petruk jadi raja. Siapkan diri kita pada krisis dan kepedihan di masa depan. Sehingga jikalau ada perbaikan, kita tak kaget. Kalaupun ada pemburukan, kita sudah mafhum belaka. Yang penting, aku masih setia bersama kalian: yang miskin, bodoh, cacat dan terpinggirkan.

***

Ayok marah. Ayok memaki. Sebab bertanya makin tak berarti. Kalian kelola Indonesia seperti perusahaan, kok anggota-anggotanya kebanyakan gak dapat untung?

Kalian kelola Indonesia seperti negara, kok rakyat kebanyakan gak makmur dan sejahtera? Di mana kegoblogan ini bermula dan bagaimana mengakhirinya adalah dua tanya yang makin mengemuka.

Di gerimis pagi, Karmela menyanyi. Gugah soal harga diri dan posisi. Mengingatkanku soal kalian yang bisu. Hidup pada akhirnya adalah nyanyi buta sang penguasa. Bukan soal kesalahpahaman semata.

Bila sudah tak mungkin/Hasrat cinta menyatu/Walau rasa itu masih ada/Bahkan telah jadi bagian dalam hidupku/Jangan coba tanyakan/Ketulusan cinta ini/Hanya engkaulah satu harapan/Dan juga satu tujuan dalam hidupku kasih/

Kini. Kalian. Para politisi sudah tidak jujur kepada warganegara. Para ustad (agamawan) sudah tidak jujur kepada diri sendiri. Padahal, jujur dalam politik dan agama itu tiang negara. Maka, kini negara ada tanpa tiang. Ia akan roboh lebih cepat dari sangka semua orang.

Biarlah cintaku melayang jauh (tiada ragu)/Akan kuceritakan pada dunia/Rasa cinta yang ada/kepada indonesia bukan pada elitnya.

Di tanah-tanah lapang, aku membayangkan membangun rumah untuk kekasihku. Agar anak-anak kita bisa tumbuh kembang dengan wajar dan ceria. Asti, kau pasti tahu dan mengerti. Asal jangan bisu tuli dan buta saja.

Jangan coba tanyakan ketulusan cinta ini/Hanya engkaulah satu harapan/Dan juga satu tujuan dalam hidupku/Kasih/Biar badai datang dan mengguncang hatiku/Percayalah kasih tiada kan terhapus cintaku/

Dalam konstitusi, pendidikan dan kesehatan itu hak dasar setiap warganegara. So, harus menjadi tanggungjawab negara. Tapi di republik ini dibuat rente. Elite kita ini meres uang rakyat, lalu dipakai bancakan atau kalau diinvestasikan pun bukan untuk memperbaiki kwalitas pendidikan dan kesehatan warganegara. Tapi dirampok rombongan.

Kalian ini siapa sebenarnya? Perampok kok culun!

Maka mengenang pilu soal cintamu padaku dan pada republik seperti mengenang nasib organisasi Persatuan Perjuangan di mana Tan Malaka dan Soedirman sebagai pelaku utamanya.

Hari itu, Sabtu/13/01/1946. Dengan tangan mengepal, Tan dan Dirman berkata keras, "revolusi Indonesia, mau tak mau harus mengambil tindakan politik, ekonomi dan sosial serentak dengan cara merebut dan membela kemerdekaan 100%. Bukan revolusi berjuasi seperti hari ini yang suka praktek mengemis dan diplomasi."

Memang, kemerdekaan 100% sering datang terlambat dan kita telat menyambutnya. Itulah mengapa, kaum borjuasi (asing-aseng-asong) menyalip di tikungan; menggunting dalam lipatan; membajak masakan siap saji.

Kita paham. Pemenang peradaban itu penguasa tekhnologi. Lah kalian sibuk ngoceh haram halal. Lah kalian nyolong sambil duduk di kursi kekuasaan. Lah kalian ngelonte sambil habisin dana rakyat. Kalian khianat pada Tan dan Soedirman!

Besok, di bulan Januari, 2021 kami akan bertemu dan mencari tahu, apakah kemerdekaan 100% itu lucu, bermutu atau buntu. Sebab, di penjara milenial, kita masih punya kekuatan buat bunuh diri dan sianida buat bunuh para pengkhianat negeri.

Bagaimanakah para Tanis dan jaringannya menikmati kemerdekaan semu ini? Seperti apa wajah kaum "kalah" di republik gado-gado ini? Mau ngapain kini mereka mengenang dan menghidupkan pikiran-pikiran Tan? Itulah tiga pertanyaan yang akan mengemuka di tiap bulan januari.

***

Di antara ikan dan kulkas, ada jerit dingin saat gol terjadi di piala dunia. Persis antara keinginan dan kebutuhan. Ya, antara itulah kita selalu menjadi fotamorgana. Walau begitu, aku kan menjadi malam-malam yang syahdu. Mengetik hal-hal muspro yang tak laku. Atau dikuliti setan-setan modern yang menipu. Hingga tak lagi menjadi mimpi-mimpimu. Sebab mimpimu kini hanya hal-hal palsu.

Inggris membantai negeri-negeri lain untuk menegakkan Britania Raya. Mirip dalam sepakbola kini ketika mereka menggilas enam gol lawan mainnya, Panama. Ya, gol-gol itu menjadi selimut di hatimu. Hati yang beku oleh ketakutan-ketakutan atas takdir miskin.

TAKDIR YANG MERUSAK NIAT BAIK#

Kurasakan, aku takkan menjadi gemerlap bintang. Tak menjadi mentari. Juga bulan. Aku hanya kuda tunggangan. Bukan kuda bintang; kuda terbang dan kuda kesayangan yang selalu menyinarimu sambil menghapus rasa rindumu, yang pilu pada masa lalu.

Masa lalu kita sebagai bangsa memang pahit. Lebih pahit dari empedu dan bratawali. Itu semua karena penjajahan Belanda dan negeri rakus lainnya. Namun kejahatan terbesar Belanda terhadap Indonesia adalah upaya pembodohan terhadap pribumi; bangsa asli yang ratusan tahun menjadi penghuninya.

Mereka melakukan pembodohan dalam sejarah, pendidikan dan mental. Itulah mengapa, penjajahan sejati dari mereka adalah bukan penjarahan kekayaan alam, namun penghancuran mental. Akibatnya, kita mewarisi "mental kolonial."

Aku menjumpaimu dalam mental kolonial yang akut. Menumpuk keinginan, lupa kebutuhan. Dalam seminggu, warasmu cuma sehari. Lalu, bagaimana negeri ini bisa kita perbaiki?

Setelah ia mati, Aku kini hanya sebutir takdir.

Meringkuk kedinginan. Menangis terus seperti seribu tahun lalu. Mengitari bumi tanpa bensin. Mogok di tiap KM garis katulistiwa. Tanpa tanda. Tanpa rencana.

Maka, mencintaimu seperti pungguk lugu. Cengeng dan dekil rupa. Selimutku tipis tersapu musim debu dan hujan. Tubuh rentaku terterjang maha duka. Rajut penghangatnya tercerai tanpa janji. Tanpa harapan.

Sebab semua mungkin tak akan pernah kembali. Kasih. Rinduku berkalang waktu. Masih mendekam dalam setiap detak jantung nafasku. Kini hanya sekedar sapa. Hanya sebatas tanya. Matipun tak kunjung tiba.

Tuhan memang maha jancuk. Maka, di setiap penat letih dan keterpurukan, kusebut dan kulafal namaNya. Aku berlari di tengah gurun gulita. Aku berjelajah keentahan. Mengais-ais oase kehangatan. Menggambar wajah cantik putri indonesia di angkasa.

Wajah tanpa nuzulul quran saat ramadan tetapi penuh surat kangen lagu dari Dewa-19.

Kutrima suratmu/Tlah kubaca dan aku mengerti/Betapa merindunya dirimu akan hadirnya diriku/Di dalam hari-harimu/Bersama lagi.

Kau tanyakan padaku/Kapan aku akan kembali lagi/Katamu kau tak kuasa/Melawan gejolak didalam dada/Yang membara menahan rasa Pertemuan kita nanti/Saat bersama dirimu.

Semua kata rindumu/Semakin membuatku tak berdaya/Menahan rasa ingin jumpa/Percayalah padaku akupun rindu kamu/Ku akan pulang/Melepas semua kerinduan/Yang terpendam.

Kau tuliskan padaku/Kata cinta/Yang manis dalam suratmu/Kau katakan padaku/Saat ini/Kuingin hangat pelukmu/Dan belai lembut kasihmu/Takkan kulupa slamanya/Saat kau ada di sisiku.

Jangan katakan cinta/Menambah beban rasa/Sudah simpan saja sedihmu itu/Ku akan datang/Jangan buang muka/Peluk saja.

Kini. Menulis nama kekasih di hutan dan ngarai-ngarai adalah hobi baru. Memeluk kepedihan di lembah-lembah senyap adalah pekerjaan tambahan. Bintang di tirai angkasa pun takkan cukup untuk menghangatkanku.

Juga, ganja sekarung takkan sanggup waraskan nalarku. Kini. Aku mencari bulan, namun raib. Menjaring mentari, namun punah. Kiyamat. Pergi. Jauh. Tinggalkanku. Dalam kesunyian dan tangis sisa sejarah yang entah. Cinta apa lagi yang bisa kudustakan? Saat engkau menemukan kekasih di sana. Saat engkau berbahagia melihat indonesia dijajah dan dijarah. Oleh teman sendiri yang serakah. Oleh mereka yang bungah.

***

Indonesia Raya adalah engkau. Kekasihku sekaligus mawarku. Putri dari segala penjuru. Kalau saja kita bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam nusantara itu, kita akan dapat mengabaikan duri-duri yang muncul.

Duri-durinya adalah para pengkhianat konstitusi dan warganegara. Dengan membunuh duri-duri itu, kita akan terpacu untuk membuat mawar merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Sangat indah dan sedap dinikmati mata hati.

Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Sebab, kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri kita tentang mawar-mawar itu dan mengabaikan dan menghilangkan duri-duri yang muncul di sekitarnya.

Indonesia. Engkau yang tak tahu berapa sisa umurnya. Yang tak tahu berapa hari, minggu, bulan dan tahun yang akan dihirupmu lagi dan lagi. Mestinya, untuk berjaga-jaga seandainya esok tak pernah datang dan hanya hari inilah yang kau punya, seperti dulu kau tak mengira banjir tsunami merenggut semua yang kau punya, inginkah kau mengatakan betapa kau sangat mencintaiku dan berharap kita takkan pernah saling lupa; saling pura-pura; saling hina dan saling menua.

Engkau tahu bahwa hari esok tak dijanjikan kepada siapapun, baik tua maupun muda, apalagi para manusia pilihan sepertiku. Dan, hari ini mungkin kesempatan terakhirmu untuk memeluk erat orang tersayangmu; yang membuatmu bermakna; yang membuat hadirmu di dunia ada manfaatnya.

Ini bisakah kau pahami dengan hatimu sebab esok dan nasib tak bisa dipastikan dengan ilmu pasti sekalipun walau ditanyakan ke semua guru kehidupan di gurun-gurun dan dibacakan semua kitab-kitab suci milik para agamawan kuno maupun baru di semua kolong jembatan.

Jika saja ini adalah detik terakhirmu di dunia, lalu apa yang akan kau lakukan, apa yang akan kau ketik, apa yang akan kau wasiatkan?

Ini pedih. Saat APBN habis dipakai buat beli nasi bungkus untuk vulusi dan ventara yang berjaga-jaga siaga satu tanpa revolusi. Tradisi yang harus direvolusi oleh kaum muda.

Tetapi, menunggu hadirnya kepemimpinan muda, mengingatkanku pada Raisa. Penyanyi baru yang menghentak dengan lagu "Kali Kedua." Cantik, lucu, seksi, bloon dan tanpa dosa. Kalian mau tahu lagunya? Ini syairnya:

Jika wanginmu saja bisa/Memindahkan duniaku/Maka cintamu pasti bisa/Mengubah jalan hidupku/Cukup sekali saja aku pernah merasa/Betapa menyiksa kehilanganmu/Kau tak terganti kau yang slalu kunanti/Takkan kulepas lagi/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Jika senyummu saja bisa/Mencuri detak jantungku/Maka pelukkan mu yang bisa/Menyapu seluruh hatiku/

Cukup sekali saja aku pernah merasa/Betapa menyiksa kehilanganmu/Kau tak terganti kau yang slalu kunanti/Takkan kulepas lagi/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Satukan hati, tanpa peduli/Kedua kali kita bersama lagi/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Sama Indahnya/Pegang tanganku bersama jatuh cinta/Kali kedua pada yang sama/Sama Indahnya/Kini, kaum muda melihat Jokowi-Ahok berkuasa mirip cerita di bawah ini. Sebuah cerita faktual di keseharian alam Indonesia:

#Seorang isteri kehilangan beberapa helai celana dalamnya yang mahal. Dengan ngotot ia menuduh dan mengintimidasi pembantu yang mencurinya. Memelas, menangis dan bersumpah, pembantunya menyatakan bahwa dia tidak mengambilnya. Namun si ibu tetap ngotot dan mendesak.

Merasa kepepet dan putus asa, dia berkata: "Bu tolong panggilkan Bapak ke sini!" Sang isteri makin murka: "Apa urusannya dengan Bapak?" Mendengar ribut-ribut dan tangis, sang suami muncul.

"Ada apa?" tanya suami. Dengan nekad sang pembantu berkata: "Ibu kehilangan celana dalam. Saya sudah bersumpah tidak tahu apa-apa, tapi Ibu terus mendesak. Tolong Bapak bersedia jadi saksi. Bapak kan tahu kalau saya tak pernah memakai celana dalam."#

Singkatnya, antara teks dan konteks terlalu ruwet. Tidak nyambung. Ini dikarenakan tiga hal: 1)Warisan kekuasaan lama yang hancur-hancuran; 2)Ketidakmampuan mereka fokus menyelesaikannya; 3)Berkecambahnya pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama.

Akibatnya, negara gagal menghadirkan kebutuhan dasar warga (pangan, papan, pakaian, pekerjaan, sekolahan, kesehatan). Kemiskinan meningkat, pengangguran membuncah, ketimpangan menajam, kekacauan mentradisi, hukum lumpuh, utang negara menggunung, shadow economic (lendir, narkoba, judi) makin menggila.

Saat yang sama, kaum kaya berpesta pora tiada henti. Pancasila dan nilai-nilai luhur (agama dan kebijakan lokal) terkhianati. Aleksis dan kawan-kawannya makin eksis. Stagnasi. Membusuk. Apa jalan keluarnya?

Solusinya sederhana. Munculkan pemain baru bermental baru (cerdas, bernas, mujahid pro kaum miskin, cacat, terpinggirkan) dan rezim hari ini cukup sudah. Apa solusi kalian? Aku tunggu.

***

Petarung takkan pernah berhenti untuk berusaha menang. Mestinya begitu. Tetapi, apakah besok dan seterusnya kita akan lihat petarung yang tangguh dan pejuang yang gigih? Sejarah akan memperlihatkannya!

Tetapi, beberapa kejadian telah membuktikan zaman besar ini hanya melahirkan pecundang; kelas pencari nasi bungkus; ramai festival; kerumunan dan bangga masuk koran plus tivi sambil selfie. Itu saja. Tak lebih.

Macet sebentar. Teriak sebentar. Bersorban sebentar. Marah sebentar. Dan, tentu saja itu bukan pasukan. Yup. Bukan pasukan lengkap yang sadar sejarah bahwa mereka lama sekali telah dijajah. Bukan pasukan yang menyiapkan road map canggih agar kita merdeka, mandiri, modern plus martabatif. Bukan revolusi. Yup. Bukan revolusi pancasila, tepatnya!

Jadi, karena belum revolusi dan baru cari sebungkus nasi, wakafku belum semua. Karena baru kerumunan dan lucu-lucuan, sumbanganku baru doa dan ketikan!

Mari lihat kerumunan tanpa gagasan. Selamat berunjuk rasa. Itu saja tokh niatnya?

Problem elite yang defisit mulia. Kemuliaan. Itulah mestinya cita-cita terakhir sebagai manusia. Martabat. Kemartabatan. Itulah cita-cita terakhir sebagai negara-bangsa. Tanpa kemuliaan dan kemartabatan, manusia dan negara tak ada artinya.

Karena itu, sebagai negara postkolonial, musuh utama kita sesungguhnya kemiskinan dan ketidakadilan. Itu warisan penjajah lama dan baru. Sedang yang kita tuju adalah kesejahteraan dan keadilan. Dengan masyarakat yang sejahtera dan berkeadilan, gagasan mulia dan martabatif menjadi mudah digenggam dan ditradisikan.

Tetapi, di situ pangkal problemanya. Muhammad Yunus, pendiri Gramen Bank dan peraih nobel perdamaian menulis subtansi masalah tersebut dengan sangat baik di bukunya.

Menurutnya, “dalam kenyataannya, mesin ekonomi dirancang begitu rupa, yaitu penghasilan orang lain dapat membuat segelintir orang menjadi lebih kaya setiap hari, sementara pada saat yang sama membuat sejumlah besar orang akan menjadi gembel.

Karenanya, jantung dari mesin ekonomi yaitu kegagalannya sebagai ilmu sosial. Sebagai contoh, perbankan dan kredit sesungguhnya hanya alat yang netral. Tetapi, orang miskin tetap miskin, sebab mereka tidak dapat mempertahankan hasil kerjanya di tengah ilmu kredit yang tidak netral lagi. Sebab, mereka bekerja untuk keuntungan orang yang mengontrol modal. Sedangkan orang miskin tidak memiliki kontrol terhadap modal."

Dus, kini tanpa elite yang jernih, kita makin jauh dari janji proklamasi. Dengan elite yang lugu, lucu, naif dan bervisi blusukan, cita-cita bernegara makin jauh digapai.

***

TENTU, ia dasar negara. Petunjuk kita dalam  berbangsa. Kedudukannya bagi warganegara adalah sebagai budaya kewargaan. Dus, bagi Indonesia menjadi extra ecclesiam nulla pancasila.

Mengapa pancasila menjadi budaya warga? Karena sebelum disahkan menjadi dasar negara, nilai-nilai tersebut telah ada dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu berupa nilai adat istiadat, suku, kebudayaan dan nilai agama.

Para pendiri negara kemudian mengangkat nilai-nilai tersebut dan merumuskannya secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur malalui sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, dan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi "lima yang satu dan satu yang lima" dalam kehidupan kita semua.

Pancasila merupakan puncak kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat bernilai. Sesuatu dikatakan bernilai apabila memiliki nilai guna (berguna), berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral), dan nilai religius (nilai agama).

Kita sadar bahwa kehidupan manusia dalam masyarakat baik sebagai pribadi maupun kelompok selalu berhubungan dengan nilai, moral dan norma. Nilai-nilai merupakan sesuatu yang berharga, yang berasal dari budi luhur manusia.

Dalam menghadapi alam sekitarnya, manusia membuat sesuatu dengan budi pekertinya. Sesuatu yang diciptakan manusia disebut kebudayaan.

Nilai-nilai pancasila sebagai budaya bangsa Indonesia adalah berketuhanan. Dalam sila ini terdapat nilai rohani yang mengatur hubungan negara dan agama, hubungan manusia dengan tuhan, alam raya serta nilai hak asasi manusia.

Kedua, berkemanusiaan. Dalam sila ini terkandung nilai cinta kasih, nilai kesopanan, membela kebenaran, kecerdasan dan menghormati orang lain.

Ketiga, berpersatuan. Dalam sila ini terkandung nilai yang menjunjung tinggi tradisi perjuangan dan kerelaan untuk berkorban serta menjaga kehormatan bangsa dan negara. Persatuan adalah alat sekaligus cita-cita kita berbangsa.

Keempat, berkerakyatan. Dalam sila ini terkandung nilai agar manusia Indonesia menjunjung tinggi tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Juga tanggung jawab terhadap Tuhan dengan cara menegakkan kebenaran, keadilan, kehidupan yang bebas, adil, dan sejahtera.

Kelima, berkeadilan. Dalam sila ini terkandung nilai keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan baik jasmani maupun rohani. Nilai-nilai dalam sila ini meliputi keselarasan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta nilai kedermawanan terhadap sesama.

Kelima nilai itu berlaku statis yang terjilid dengan empat program dinamis: melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan mentertibkan.

Dus, mestinya nilai-nilai pancasila sebagai budaya bangsa hidup dan berkembang dalam masyarakat Indonesia. Nilai-nilai tersebut menjadi sumber moral dan menciptakan kebudayaan di manapun dan kapanpun.

Selanjutnya, Pancasila menjadi sumber dari kebudayaan bangsa meliputi seni, adat istiadat, pemikiran, tata cara bergaul, ekonomi, sikap, dan sifat manusia Indonesia. Dengan landasan Pancasila maka kebudayaan yang tumbuh merupakan kebudayaan yang baik, rasional dan progresif. Ia juga landasan untuk menyaring kebudayaan asing yang merusak dan brutal.

Karenanya kini, kebudayaan itu sedang digempur warisan budaya kolonial: melupa, mendendam, myopic, inlander dan instan. Ia juga sedang digerus budaya neoliberalisme: oligarkis, predatoris, plutokratis dan kartelis.

Dus, agar tak kalah dalam perang kecerdasan ini, ia harus dituliskan ulang, dikurikulumkan, ditradisikan dan dipraktekkan serta diwariskan ke semua generasi secara pasti.

***