Natal ini mestinya adalah membebaskan bangsa dari dekapan pemimpin culun. Maka, maulid adalah memerdekakan negara dari tipu-tipu sembilan naga. Dan, yang mampu menikmati natal serta maulid subtantif adalah mereka yang berada di jalur kewarasan publik.

Selebihnya adalah mereka yang ilusif dan romantis. Saling fatwa dan berucap selamat tetapi nasib orang miskin masuk jurang krisis.

Dengan kewarasan publik, kita akan tahu problem publik. Kita tahu bagaimana menemukan solusinya. Lalu, apa problem publik terbesar dan solusinya?

Aku tahu. Bahwa problemnya adalah soal warisan kejahatan. Yaitu warisan terburuk yang kita punyai.

Warisan gigantik penjajahan adalah mental dan nalar kolonial. Inti nalar kolonial ada lima yaitu fasis, feodalis, fundamentalis, liberalis dan birokratis.

Dengan lima nalar itu, Indonesia menjadi: 

  1. Pemasok bahan baku
  2. Pemasok babu
  3. Pengimpor barang jadi
  4. Pengimpor ahli
  5. Produsen broker. 

Memahami hal itu, para pendiri republik berusaha merubahnya dengan sekuat tenaga. Yaitu dengan menggelorakan revolusi nalar.

Apakah itu? Yaitu gerakan berbasis gagasan dari mental konstitusional. Bernalar membuat kita mampu menempatkan dunia sebagai metoda dan bahan sehingga memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginannya.

Dengan gerakan ini maka lahirlah nalar indonesia: memberontak, hibrida, interdependen, multikultural dan adaptif. Jika diperas, nalar Indonesia itu adalah nalar pancasila. 

Revolusi nalar dengan demikian adalah jihad merealisasikan pancasila di manapun dan kapanpun serta oleh siapa saja dan dengan segala daya upaya.

Inilah gerakan besar sehingga melahirkan mental, rasa dan tindakan dahsyat demi tergapainya mimpi berbangsa-bernegara.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi nalar adalah menjadi manusia cerdas, jenius dan berintegritas. Ia harus bekerja keras, bekerja cerdas dan mentradisikan gotong royong.

Revolusi ini harus menjadi gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.

Kini, setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda.

Bukan hanya mengangkat senjata, menikam mati penjajah, tapi membangun jiwa bangsa: jiwa semua penduduknya.

Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Karena membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa.

Ya, dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa dengan nalar merdeka dan berdaulat.

Nalar yang crank; menyempal dari arus utama; mampu memaknai segala peristiwa dengan subtansinya adalah kurikulumnya.

Karenanya, ketika kini natal dan maulid menjadi rerasan dan festival tanpa perlawanan, ia mereaktualisasikan.

Saat natal dan maulud jatuh menjadi kegiatan harian tanpa dentuman, ia merehermenitika. Sebab ia tahu, itu dua peristiwa big bang. Yang membentuk karakter-karakter dan mental pilihan dan unggulan.

Dus, mari kita maknai ulang. Bahwa natal dan muludan adalah "kelahiran kesadaran trias revolusi: mental-nalar-konstitusional yang diarahkan ke elite."

Tanpa itu, natal dan maulid atau muludan hanya sekedar seremoni makan nasi bungkusnya NU dan Muhammadiyah: beratus tahun tak berdentum!

Hanya debat teks dan perulangan jahiliyah antar kiyai kuno dan ustadz televisi. Memuakkan dan menjijikkan. 

Ayok kita natalan. Ayok kita muludan, ayok kita revolusi. Kita tikam mati sembilan naga dan kompradornya yang jadi penghuni istana-dpr-kehakiman-kepolisian yang korupsi dan dungu tiap hari.

***

Sastrawan muda Yulistini Sridem (2016) menulis puisi sangat menyentuh, "Negaraku bertambah buas/dalam senyap saling melibas/terkadang membuatku sulit bernapas."

Mengapa negara makin buas? Karena dihuni elite yang sangat rakus. Di tindakan elite yang rakus, semua mau dimiliki dan diendus.

Di negara yang rakus, publik menjadi prifat; umum menjadi khusus; gotong-royong menjadi gotong-nyolong.

Prifatisasi kekuasaan adalah ciri khas negara postkolonial. Negara yang terlepas dari mulut buaya tetapi masuk ke mulut harimau. Respublika menjadi resprifata. Personalisasi via pesona. Itulah potret negara postkolonial yang menyetubuhi demokrasi liberal. Hasilnya hanya dua anak biologisnya: krisis dan ketimpangan (crisis and social discrepancy).

Krisis adalah metoda kapitalis mengakumulasi kapitalnya. Ketimpangan adalah cara kapitalis mempertahankan kapitalnya.

Beberapa riset menunjukkan bahwa 9 dari 10 negara postkolonial yang mengimani demokrasi liberal, kolap ekonominya karena krisis tak berkesudahan. 8 dari 10 negara postkolonial yang menyetubuhi demokrasi liberal, banjir kaum miskin tak berpreseden dan tumbuh langka konglomerat.

Di sini, nalar publik, mati. Kewenangan negara, defisit. Kewarasan pejabat, punah. Kemerdekaan bangsa, pupus. Warganya paria.


Banjir asap, telenovela MKD, drama papah minta jatah dll jelas menunjukkan bahwa pemerintah (presiden) tidak lagi memiliki kewenangan yang kuat untuk mengeksekusi setiap kebijakan publik yang bersendi kewarasan publik.

Kewenangan eksekusi ini sudah ditentukan oleh kekuatan korporasi yang membiyayai presiden sebelum dan sesudah berkuasa via pemilu.

Intervensi korporasi dalam kebijakan publik dengan pasti telah menempatkan posisi presiden (sebagai kepala negara) pada keadaan lunglai, loyo dan impoten. 

Kuasa korporasi dalam menjajah-menjarah kewenangan negara telah jauh mengantarkan kehidupan warganegara limbo dan hanya bisa menonton, mengkonsumsi atau paling banter memaki.

Perilaku ini sengaja diciptakan untuk mempertahankan hegemoni dan dominasi korporasi agar tetap berdiri dengan gagah dalam penguasaan SDA&SDM. Bahkan untuk menghapus perdebatan-perdebatan subtansi kewarasan warganegara menuntut haknya, kuasa korporat hanya taburkan 0.5% buat media agar beritakan lendir 24 jam non stop.

Nalar publik akhirnya mati berkali-kali. Kematian itu menyebabkan kelumpuhan demokrasi. Dalam demokrasi yang lumpuh, cinta (suci) tak lagi tumbuh penuh seluruh. Negara jadi musuh kewarasan dan bangsa jadi mesin pembunuh kecerdasan.

Cinta, negara dan bangsa makin teralienasi karena menjadi budaknya para budak kuasa kapital semata.

Di resprifata, jiwa dan karakter yang berkembang adalah karakter kolonial; mental begundal; kurikulum penjajahan. Padahal, karakter adalah lukisan sang jiwa; ia adalah cetakan dasar kepribadian seseorang/sekelompok orang, yang terkait dengan kualitas-kualitas moral,  ketegaran serta kekhasan potensi dan kapasitasnya, sebagai hasil dari suatu proses pembudayaan dan pelaziman (habitus). 

Ilmuwan besar Yudi Latif (2016) menulis, "sedemikian pentingnya nilai karakter bagi eksitensi seseorang/sekelompok orang, sehingga dalam peribahasa Inggris dikatakan, “When wealth is lost, nothing is lost; when healt is lost, something is lost; when character is lost, everything is lost.”

Apapun yang dimiliki seseorang, kepintaran, keturunan, keelokan, kekuasaan menjadi tak bernilai jika seseorang tak bisa lagi dipercaya dan tak memiliki keteguhan sebagai ekspresi dari keburukan karakter.

Karakter bukan saja menentukan eksistensi dan kemajuan seseorang, melaikan juga eksistensi dan kemajuan sekelompok orang, seperti sebuah bangsa.

Ibarat individu, pada hakekatnya setiap bangsa memiliki karakternya tersendiri yang tumbuh dari pengalaman bersama. Pengertian “bangsa” (nation) yang terkenal dari Otto Bauer, menyatakan bahwa, “Bangsa adalah satu persamaan, satu persatuan karakter, watak, yang persatuan karakter atau watak ini tumbuh, lahir, terjadi karena persatuan pengalaman.”

Tentang pentingnya karakter bagi suatu bangsa, Bung Karno sering mengajukan pertanyaan yang ia pinjam dari sejarawan Inggris, H.G. Wells, “Apa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa?” Lantas ia jawab sendiri, bahwa yang menentukan besar kecilnya suatu bangsa bukanlah seberapa luas wilayahnya dan sebera banyak penduduknya, melainkan tergantung pada kekuatan tekad, sebagai pancaran karakternya. 

Bagi bangsa Indonesia, karakter kebangsaan itu berjejak pada nilai-nilai Pancasila yang menjadi dasar, isi hidup dan arah hidup bagi perkembangan bangsa. 

Tantangannya adalah bagaimana mencetak nilai-nilai ideal Pancasila itu menjadi karakter kebangsaan, melalui pendalaman pemahaman, peneguhan keyakinan, dan kesungguhan komitmen untuk mengamalkanya dalam segala lapis dan bidang kehidupan kenegaraan dan kebangsaan.

***

APA arsitektur dan taksonomi ekonomi kita jika melihat data berikut ini? Berdasarkan data Badan Pemeriksa keuangan (BPK) dominasi asing di sektor migas 70%. Sektor batu bara, bauksit, nikel dan timah 75%. Sektor tembaga dan emas sebesar 85%.

Sektor perminyakan, penghasil minyak utama didominasi oleh asing. Diantaranya, Chevron 44%, Total E&P 10%, Conoco Phillip 8%, Medco 6%, CNOOC 5%, Petrochina 3%, BP 2%, Vico Indonesia 2%, Kodeco Energy 1% dan lainnya 3%. Sedangkan Pertamina dan mitra yang dianggap mencerminkan penguasaan nasional hanya menguasai 16%.

Dari total 225 blok migas yang dikelola Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) non-Pertamina, 120 blok dioperasikan perusahaan asing, 28 blok dioperasikan perusahaan nasional serta 77 blok dioperasikan perusahaan patungan asing dan nasional.

Apa jawabannya? Secara teoritis, kita sedang mengalami "kutukan sumber daya alam" (paradoks keberlimpahan) atau resource curse. Apa itu? Adalah tesis soal negara dan daerah yang kaya akan sumber daya alam (sumber daya non-terbarukan seperti mineral dan bahan bakar) akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Wujud kesejahteraannya lebih buruk ketimbang negara-negara yang sumber daya alamnya langka.

KOK BISA?

Fenomena ini diduga memiliki beberapa alasan, salah satunya penurunan tingkat persaingan di sektor-sektor ekonomi lain (akibat apresiasi nilai tukar asli setelah pendapatan SDA mulai memengaruhi ekonomi); volatilitas pendapatan SDA akibat menghadapi perubahan pasar komoditas global; salah pengelolaan SDA oleh pemerintah, atau institusi yang lemah, tidak efektif, tidak stabil, atau korup (kemungkinan karena sifat arus pendapatan aktual atau terantisipasi dari aktivitas ekstraktif yang mudah sekali dialihkan).

Pemikiran bahwa SDA lebih bisa digolongkan sebagai kutukan alih-alih anugerah ekonomi mulai muncul pada tahun 1980-an. Tesis kutukan sumber daya, pertama dipakai Richard Auty tahun 1993 untuk menjelaskan bagaimana negara-negara yang SDA-nya berlimpah tidak mampu memanfaatkan kekayaan tersebut untuk mendorong ekonomi mereka dan bagaimana mereka mengalami pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat daripada negara-negara yang SDA-nya sedikit.

Beberapa penelitian, termasuk oleh Jeffrey Sachs dan Andrew Warner (1995), telah memperlihatkan hubungan antara keberlimpahan sumber daya alam dengan lambatnya pertumbuhan ekonomi.

Ketidaksinambungan antara kekayaan SDA dan pertumbuhan ekonomi dapat dilihat di negara-negara penghasil minyak bumi. Sejak 1965 sampai 1998, di negara-negara industri OPEC, pertumbuhan produk nasional bruto per kapita rata-rata 1.3%, sedangkan di negara-negara maju, pertumbuhan per kapitanya rata-rata 2.2%.

Sejumlah ekonom waras juga berpendapat bahwa arus finansial dari pinjaman asing (FDI) dapat menciptakan dampak yang mirip kutukan sumber daya. Apalagi jika dikelola dengan KKN; bentuknya barang dan orang.

So, hati-hati dengan SDA yang melimpah, utang yang membuncah dan rezim yang mimpi basah, anti program nasionalisasi, anti program ngemplang utang luar negeri, plus anti projek reindustrialisasi.

***

Ratusan galon air mata natal tumpah tak sudah-sudah. Saat kegelapan kisah purnama tak sudi berlalu. Pada indonesia. Juga padamu. Yang tahu bahwa cintaku tak pernah berlalu. Tak pernah jengah; tak lelah walau kau usir aku dari sawah hidupmu.

Malam natal ini cintaku tetap diam. Cintamu makin tak ada. Kristus bagimu hanya omong kosong yang sembilu. Pedih perih sekolam buih. Maka terus sendirian aku tanpa cintamu, tapa rindumu. Padahal kau tahu tak pernah ada cinta yang lain. Tak sempat hadir hati yang lain. Yang mekar walau semalam purnama. Kerana cinta dan hatiku terbuka hanya untukmu.

Duhai cinta, kamu yang bisu. Kamu yang enggan menawar rasa. Kamu yang buta. Yang tak berbandrol jiwa. Gelombang marahmu terlalu berlebih-lebihan. Sepertinya tukang dan hobi. Atau bisamu saja. Sampai berderit-derit bunyi jantungku; perih bibir dan asma napasku bila kukenang pikiranmu.

Kamu yang tuli. Biar jauh jarak pandang kita, sejauh kutub utara dari selatan. Namun hati dan jiwaku tetep. Ya tetap. Selalu merasa di sisimu; di antara bisu tuli dan butamu.

Menunggu balasan rindu darimu seperti menunggu matiku: rindu dan gemetar ingin lekas dan getas. Menunggu baca puisi denganmu seperti menunggu Jibril mengantar wahyu: menantang dan terbang.

Menunggu belanja dengan dollarmu seperti membaca doa Maryam, "Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari aku dimatikan dan pada hari aku dibangkitkan kembali."

Kini engkau memilih menjadi sufi daripada pergi. Engkau memilih menyepi daripada ngapusi. Engkau memilih salafi daripada gila tak tahu diri. Engkau memilih sunyi daripada berkelahi.

Kemarin engkau manusia luarbiyasa. Merubah dendam menjadi waktu ibadah. Menundukkan nafsu menjadi doa. Membuang rindu diganti menangkap syorga.

Besok engkau yang tak punya kasih, kagum dan horni. Engkaulah si Rabiah-al Adawiyah. Manusia suci yang hanya ingin mabuk di syorga dan orgasme bercinta dengan tuhannya.

Maka, sujudku kehilangan sajadah. Saat kutahu, dunia itu jendela dan pintu. Jalan lapang menuju keentahan setelah engkau tiada datang. Juga metoda ke seribu gurun, ke semilyar gunung. Tapi tetap engkau tak kutemukan. Engkau lenyap persis lenyapnya moral bernegara. Dicabut malaikat maut saat bisu dan dingin meninju. Ditidurkan di rumah-rumah hantu.

Lalu, aku yang kehilangan, merasa lungkrah larah. Menjerit tanpa tujuan. Sedang engkau tak jua kehilangan. Tak terbesit kerinduan. Tak ada pelukan. Kini dan kemarin juga esok, kau menari dan menggosok gigil gigi yang takkan berhenti di mana pun jua. Bersama kaum rakus dan gila di nusantara.

Fakta. Samudra mencipta keluasan. Hujan mencipta pelangi. Sendiri mencipta puisi. Kehilangan mencipta putus asa. Perjalanan mencipta roman. Lalu, apa warisanku? Tanyaku bertalu-talu. Itulah aku yang tak mampu. Untuk sekedar menjawab dan membuat skema.

Kini aku berdiri pucat. Menunggu mati. Pilu tak paham pada kejam si dungu. Terkutuk untuk mengembarai musim kemarau. Seperti gagak rimang tak berkeris. Bagaikan asap hitam kelu. Yang mencari langit biru dan lebih dingin selalu. Membatu. Membiru. Asu.

***

Satu pertanyaan penting: Siapakah dia? Sengaja lari di saat kita terjatuh habis. Sengaja lupa di saat kita di bawah kalah. Sengaja amnesia di saat kita tak punya apa-apa. Sengaja diam di saat kita menderita. Sengaja tak ada di saat kita sedang butuh-butuhnya. Sengaja mencatat dirinya saja sebagai pelaku sejarah satu-satunya.

Dia mantan. Mantan mertua yang jahat luwarbiyasa.

Kuketik ini di tengah sakit tenggorokan yang tak terlukiskan sebalnya. Saat dokter belum mampu mengobatinya.

Anak-anakku, kalian adalah buah hatiku. Bintang di langit, Aksara kemenangan adalah sepasang luas cakrawala pelampau gugus nusantara. Keduanya tunas-tunas jenius pakubumi.

Aku menjadi ayah kalian, biar terasa berat dan mandi keringat, tetaplah kejutan. Mirip mukjizat yang didapat dengan luar biyasa walau tanpa istri yang telah berpulang mendahului saat Bintang tertawa ketika bayinya. Maka, aku rawat dengan kasih berlimpah. Aku besarkan dengan harapan-harapan. Aku gendong dengan cinta dan cita-cita. Aku sekolahkan dengan keringat kesepian. Aku temani kalian dengan terkadang putus asa.

Berulang kali kalian sakit. Tentu kubawa ke rumah sakit. Berulang kali kalian menangis. Tentu kuhibur semampunya. Berulang kali kalian pipis dan berak di celana. Tentu saja membuat kutertawa. Aku menikmatinya. Kadang susu habis. Kadang mata terpejam saat kalian ribut meminta jajan. Tak jarang kekurangan melanda. Sering kita menangis bertiga karena susahnya. Kangen bunda kalian yang tiada tara.

Anak-anakku. Kini kita masuk zaman edan. Tanahnya jadi medan kurusetra. Manusianya makin serakah. Penjahatnya berlimpah ruah. Di sekitar tumbuh jumbuh. Berwajah munafik.

Di pemerintahan semuanya bicara kabinet kerja. Tetapi tidak bekerja seperti team Barcelona. Kebanyakan hanya demagog pemuja pasar belaka. Atau cuma intelektual tukang yang kerjanya membela yang bayar. Kadang-kadang sebagai broker pencari komisi. Semuanya piaraan oligarkis dan kartelis.

Kini di negara kita penuh organ kleptokrasi. Kerjanya ngutil sana-sini. Agamanya KKN saja. Jadi, hidup kalian akan lebih berat. Lebih sadis. Karenanya jangan mudah percaya. Kepada siapa saja. Sebab sekeliling kita banjir munafik yang tak bisa dihitung lagi dengan angka-angka.

Saat kalian tak boleh hidup bersamaku, bersama ayah kalian, bersama keluargaku yang baru, aku ingat puisi Kahlil Gibran. Seorang sastrawan besar yang kupunya semua karyanya. Yang juga disuka bunda kalian yang kini di syorga.

Ia mengetik tulisan yang sangat menyentuh. Kelak jika kalian dewasa, coba baca dengan lantang dan resapi. "Anak-anakmu bukanlah anak-anakmu. Mereka adalah anak-anak kehidupan yang rindu akan dirinya sendiri. Mereka terlahir melalui engkau tapi bukan darimu. Meskipun mereka ada bersamamu tapi mereka bukan milikmu.

Pada mereka engkau dapat memberikan cintamu, tapi bukan pikiranmu. Karena mereka memiliki pikiran mereka sendiri. Engkau bisa merumahkan tubuh-tubuh tapi bukan jiwa mereka. Karena jiwa-jiwa itu tinggal di rumah hari esok, yang tak pernah dapat engkau kunjungi meskipun dalam mimpi.

Engkau bisa menjadi seperti mereka, tapi jangan coba menjadikan mereka sepertimu. Karena hidup tidak berjalan mundur dan tidak pula berada di masa lalu. Engkau adalah busur-busur tempat anak-anakmu menjadi anak-anak panah yang hidup diluncurkan. Sang pemanah telah membidik arah keabadian. Mereka meregangkanmu dengan kekuatannya sehingga anak-anak panah itu dapat meluncur dengan cepat dan jauh. Jadikanlah tarikan tangan sang pemanah itu sebagai kegembiraan. Sebab ketika ia mencintai anak-anak panah yang terbang, maka ia juga mencintai busur yang telah diluncurkannya dengan sepenuh kekuatan."

Aksara dan Bintang. Mengingat kalian kini sambil menunggu mati. Sebab beduk maghrib terasa ilusi. Berulang-ulang tanpa revolusi nurani. Aku ayah kalian kangen sekangen kangennya. Selamanya cinta sepenuh jiwa. Di manapun kalian berada. Tinjulah dunia. Tunjukkan bahwa hidup kalian penuh warna.

***

Setelah adzan. Undangan kegalauan karena merasa para pendengarnya tuli. Kebijakan yang tak bijaksana. Saat pelipur lara tandas terterjang doa. Aku persembahkan hidupku untukmu. Siang malam kuberwirid namamu. Telah kurelakan hatiku padamu. Telah kuserahkan semua dompetku padamu. Namun kau masih bisu diam seribu bahasa. Sekali berucap hanya kemarahan saja. Ngedumel bak orang gila: harta, jabatan dan sempak-sempak palsu.

Setelah sujud terakhir hati kecilku bicara. Aku kalah dan menyerah. All, baru kusadari cintaku bertepuk sebelah kaki. Alle, kau buat remuk seluruh jiwaku. Alleania, kau hancurkan peradabanku sepenuhnya.

DAN, KAU BAHAGIA SEBAHAGIA-BAHAGIANYA! Tentu sambil bangga. Luwarbiyasa. Jika masalah membuatmu menangis, maka ingatlah kekasihmu untuk membuat hatimu tersenyum kembali. Tapi kekasihmu rupanya uang dan kursi. Bukan lelaki setia dan berprestasi.

Padahal, dalam pancasila dikatakan, pacarilah laki-laki yang baik akhlaknya. Kalau dia buruk akhlaknya maka kamu harus berhati-hati dengan murkanya. Karena murka laki-laki yang baik tau bagaimana cara memperlakukan kekasihnya dengan baik. Pilihlah dengan baik, karena di tangan nakhoda yang baik, ia tau ke mana kapal besar kehidupan akan dituju. Tapi kau memilih dompet, bukan akhlak dan moral.

Maka, sepertinya hatimu telah punah. Pecah terbawa banjir deras musim ini. Tak peduli lagi dengan sapa dan kasihku. Kau cantik. Sangat cantik. Paling cantik. Tapi akhlakmu busuk. Moralmu ambruk. Tak peduli laku perjuangan.

Kekasihku yang baik wajah tak baik hati. Yang kupuja sejak pertama menolak puisi-puisiku. Taukah engkau bahwa aku sering merasa telah dikutuk alam raya menjadi salah satu intelektual paling sengsara di republik ini.

Otakku yang beku, sakitku yang tak ada obatnya, karirku yang turun, bukuku yang tak laku, pidatoku yang ditinggalkan pendengar, keluargaku yang tak mendukung, permusuhan elit yang tak berhenti, menjadi murid yang jahil dan perasaan putus asa yabg langgeng tak berkesudahan, adalah potretku.

Padahal engkau bidadari, yang entah di mana dan entah sedang apa. Mungkin sayapnya patah. Mungkin kakinya lelah. Mungkin hatinya gundah. Tetapi dengan rindunya dari persembunyian alam lain, pernah mengirim puisi untukku. Aku membacanya. Aku menderita. Aku putus asa. Aku tak tahu harus bagaimana. 

"Bila kutitipkan dukaku pada langit, pastilah langit memanggil mendung/Bila kutitipkan resahku pada angin, pastilah angin menyeru badai/Bila kutitipkan geramku pada laut, pastilah laut menggiring gelombang/Bila kutitipkan dendamku pada gunung, pastilah gunung meluapkan api/Tapi kan kusimpan sendiri mendung dukaku dalam langit dadaku/Kusimpan sendiri badai resahku dalam angin desahku/Kusimpan sendiri gelombang geramku dalam laut pahamku/Kusimpan sendiri."

Ini mirip puisi Chairil Anwar yang berjudul "Pemberitahuan": Bukan maksudku mau berbagi nasib/Nasib adalah kesunyian masing-masing/Kupilih kau dari yang banyak, tapi 
sebentar kita sudah dalam sepi lagi terjaring. 

Aku pernah ingin benar padamu/Di malam råaya, menjadi kanak-kanak kembali.

Kita berpeluk cium tidak jemu/Rasa tak sanggup kau kulepaskan/Ayok satukan hidupmu dengan hidupku/Aku memang harus lama bersamamu/Ini juga kutulis di kapal, di laut tak bernama!

Kekasih. Tentu saja. Sangat jelaslah bahwa membaca jiwamu, menyayangi ragamu, mencintai hakikatmu, menciumi dan mempuisikan seluruh tubuhmu itu membawa keberkahan sehingga waktu yang aku miliki bisa lebih bermakna dan berbahagia.

Engkau mukjizatku. Jika saja sekarang aku boleh menyetubuhimu, kukerjakan sepenuh jiwa ragaku. Aku sudah, sedang dan akan membuatmu orgasme andaipun engkau sudah jadi istriku dan ibu anak-anakku. Sebab, tiap hari bersamamu adalah hari pengantin baru.

Kasih. Samudra mencipta keluasan. Hujan mencipta pelangi. Sendiri mencipta puisi. Kehilangan mencipta putus asa. Perjalanan mencipta roman. Lalu, apa warisanku? Tanyaku bertalu-talu. Itulah aku yang tak mampu.

Terakhir. Engkau perlu tahu, jangan mencintaiku di waktu luangmu, tapi luangkanlah waktumu untuk mencintaiku. Sebab engkaulah quranku, bidadariku, hidup dan matiku. Kini. Dan, seterusnya. Amitabha. Aamiin.

***

Di republik ini sudah dan akan terus datang kepada kita, di mana orang tidak lagi mempedulikan dari mana ia mendapatkan harta kekayaan dan pangkat (jalan halal atau jalan haram): mencuri jadi tradisi, menipu jadi kebanggaan, berkhianat jadi profesi dan berkuasa dengan culas. Kini yang sakral habis oleh ketamakan dalam segala hal. Dari tamak, oleh rakus dan untuk kesesatan sudah menjadi keseharian kita semua.

Kalian tahu mengapa ulama, ekonom, ilmuwan dan mahasiswa/i kini tak dianggap mengerikan oleh negara? Tidak dikagumi ummatnya? Tidak mencerahkan zamannya?

Karena mereka terlalu sederhana tesisnya. Tanpa dentuman. Tanpa hal-hal yang menggetarkan. Bukan kerja raksasa.

Yang mereka omongkan hanya pinggiran, buih dan kulitnya saja. Yang mereka perdebatkan hanya ritual. Yang mereka bela hanya fotamorgana. Yang mereka tulis hanya selebritas. Yang mereka gunjingkan hanya nafsu dunia: ketundukan pada yang profan (harta, tahta, wanita). 

Seandainya profesi ataupun pilihan hidup mereka hanya mengajarkan ahlak tanpa jihad; pengetahuan tanpa tindakan; epistemologi tanpa aksiologi; gagasan tanpa realisasi maka para penguasa (struktur dan modal--oligark dan kleptokrat) tidak akan pernah memusuhi dan gentar terhadap mereka.

Sebaliknya mereka akan dipelihara: dibayar setinggi langit, diberi fasilitas dunia, digerayangi alat-alat kelaminnya.

Padahal, ide dan misi besar mereka harusnya memuliakan sesama yang dianggap paling hina, yang ditindas, yang diperkosa, yang dipariakan, yang dibelenggu.

Mereka seharusnya menghancurkan dominasi kekuasaan kaum kolonial dan neoliberal (lokal dan internasional) yang selama ini berbahagia di atas penderitaan kaum tertindas.

Mereka harusnya menikam mati koloni atas kaum miskin oleh begundal, kriminal dan sundal. Itulah tugas suci sesungguhnya.

Singkatnya, dua tugas sucinya: melenyapkan penjajahan dan merubah warisan arsitektur kolonial.

Masih layakkah kalian menyandang predikat ulama, romo, bikku, ekonom, ilmuwan dan mahasiswa? Tidak sama sekali. Sebab pikiran, omongan dan tindakan kalian menjijikan sekali. Bersekutu dan tersogok terus oleh para penjahat biadab.

***

Bagaimana potret ekopol 2019 yang hampir kita lewati? Jawabku singkat, "mereproduksi mantera." Kita tahu, mantera di zaman purba begitu sakti, tetapi di zaman modern hanya kumpulan kode buntut yang makin tak berarti.

Pada mulanya, pemerintah memproduksi mantera untuk menegaskan posisinya. Selanjutnya terserah pemirsa. Sebab yang ada adalah bermilyar telenovela. 

Apa posisinya? Seperti sang Muhammad yang pergi ke gua untuk menerima perintah "baca dan jajah," pemerintah pimpinan presiden hari ini ziarah ke kampus-kampus untuk menjalani pesan pasar: realisasikan lima tugas suci.

Pertama, memerangkap segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darahnya. Kedua, memundurkan kesejahteraan umum. Ketiga, membodohkan kehidupan bangsa. Keempat, tak ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Kelima, memastikan swastanisasi negara.

Inilah negara pasar swalayan bagi si kaya. Tempat bertelur para mafia. Arena begal para begundal. Mereka hebat-hebat sebab rakyat makin melarat. Buah revolusi mental yang kami buat. Panen nawa cita yang kami ketik.

Maka ketika banyak orang "yakin" pada rezim hari ini, sesungguhnya itu "harapan." Ya, sekedar harapan agar ada gairah untuk kita bergerak dari kekurangberuntungan. Terlebih berharap tak memerlukan alasan untuk iman dan kecewa.

Kini kita ketagihan makna. Sebab yang riil hanya presiden bertampang pribumi bermental kompeni. Apa yang kompeni itu? Politiknya stabil untuk mencuri. Bukankah semua kepala lembaga negara yang dipenjara adalah bukti.

Ekonominya stabil untuk tumbuh lima prosen tanpa kwalitas berarti. Pendapatan per kapita kita pada posisi USD3600. Kalah jauh dari Singapura USD52900 dan Malaysia USD9300.

Tentu dengan mantera "kami pancasila maka kami ada," terdapat kepuasan publik yang lumayan. Tingkat kepuasan itu berasal dari membangun jalan umum sebanyak 72%, perbaikan layanan kesehatan terjangkau 65%, pembangunan sarana transportasi umum 60% dan pembangunan jalan tol luar Jawa 56%.

Menyediakan lapangan pekerjaan 42%, menumpas ketimpangan 35%, memastikan keadilan sosial 30%, mengurangi konflik 26%, menghancurkan kemiskinan 12%, merealisasikan janji kampanye 7%.

Bagaimana proyeksinya? Bagi kaum miskin, iman pada demokrasi liberal adalah jalan menuju kebangkrutan. Terlebih, mereka tak punya sejarah-tak punya kenangan: tepatnya tak membutuhkan.

Indonesia menjadi syorga bagi aparat pengkhianat; penjaganya ruwet-mbulet dan dosanyapun tak boleh terbagi. Lalu, semua lupa hukum postkolonial yang menyebut bahwa: 1)Jika elite tidak kapabel, pemilih balik ke tribus (SARA); 2)Jika negara tidak hadir, warga negara balik ke ratu adil, dukun dan eskatologis.

So, isu ini (SARA&RATU ADIL) akan selalu muncul di negara postkolonial karena elitenya bloon dan negaranya absen.

Tapi, tenang saja. Kita sudah punya resep manjur terukur: 1)Pastikan utang negara menggunung; 2)Pastikan APBN defisit; 3)Pastikan obral SDA dan BUMN; 4)Pastikan penilaian positif dari lembaga-lembaga internasional; 5)Pastikan mereproduksi mantera.

Itulah pancasilanya rezim-rezim pasca reformasi. Cerdas. Keren. Perang 17 tahun yang telah mereka menangkan. Bahkan tanpa perlawanan.

***

"Orangnya Soedirman," begitulah takdir mula yang membuatnya dapat bintang dalam jajaran tentara kita. Pikirannya kuat, tindakannya jitu dan pilihan hidupnya teguh pada nurani.

Namanya kini terpampang jadi nama jalan protokol di Ibu Kota. Itu karena jasa dan perjuangannya yang riil.

Mengingatnya seperti terbentur pada lembaran kisah anak desa yang luar biasa. Kini, jika kita membaca pelan kisahnya, maka Indonesia butuh kejeniusan yang berdentum keras agar tercipta alat baru demi terhapusnya kolonialisme di semesta ini.

Sebab, kemarin iptek dan agama yang pernah ada sudah tak berfungsi. Keduanya hanya peternak begundal: teroris, feodalis dan fundamentalis serakah. Para pemuja keduanya menjadi setumpuk keanehan: bahagia saat sesamanya sengsara dan sedih saat lainnya bahagia.

Agama dan iptek yang memproduk manusia berwajah pribumi bermental kompeni. Bajingan-bajingan bangsa berselubung keserakahan syaitan. Maka, tumbuh 10 konglomerasi kuasai 75,3% total kekayaan kaum miskin. Kiita adalah negara ke-3 tertimpang di dunia setelah Rusia dan Thailand.

Tumbuh satu konglomerasi dan saat yang sama tumbuh dua juta kaum miskin. Jika pajak kita lebih mahal dari upeti zaman kompeni, apa artinya merdeka?

Dus, bagi Gatot, "tak perlu jadi ksatria tentara dan presiden jika tak punya tangan untuk meringankan kaum miskin, membebaskan kaum bodoh, memerdekakan kaum terjajah."

Maka kini mari teriak. Wahai kaum miskin, berdoalah. Mohon pada Tuhan agar dikirim sang pembebas, bukan sang penindas!

Itulah bahasa nurani. Tanpa nurani, kemerdekaan kita tanpa tanggungjawab, kata Gatot suatu kali. Tanpa nurani, para elite politik menipu korbannya dengan modus yang sama, yakni utang, gadai dan obral murah kekayaan negara. Elite budak kolonial yang bermental jongos duduk manis di istana.

Kini kita memang surplus akademisi, tapi minus nurani. Itulah mengapa banyak akademisi (sarjana, master, doktor dan profesor) korupsi.

Kawan-kawanku, kata Gatot saat ngobrol dengan mereka di saat senja. Memilih menjadi pejuang dan tentara adalah memilih nurani dan nalari. So, kerjakan apa yang mampu dikerjakan sesuai kemampuan dan kapasitas. Jangan terlalu tinggi ide tapi tak mampu dikerjakan. Kerjakan apa yang mampu dikerjakan. Segerakan!

Biarlah ide itu beredar. Kalau memang layak, pasti ada yang akan kerjakan dan lanjutkan. Tidak harus kita yang merealisasikan.

Jangan berpretensi ide dari kita, lalu kita yang harus selesaikan. Tidak. Karena kita ada batasan, baik energi, biaya, usia dll. Ide yang baik seperti wewangian dari bunga. Kadang orang lupa wangi dari bunga apa. Seperti mawar tak pernah peduli apakah namanya akan diingat atau disebut orang.

Seperti daun yang menerima takdirnya jatuh ke bumi tanpa protes mengapa tidak jadi buah. Ia hanya dianggap sampah tetapi orang lupa ia bisa jadi pupuk bagi banyak kehidupan selainnya. Itulah nurani. Pada nurani yang Gatot wariskan, bangsa kita justru hampir lupa ingatan.


***

Jika kharisma nasionalis sudah habis, TNI sudah menjadi anjing penjaga konglomerat, islam sudah jadi arabisme, pulisi sudah jadi begundal, biku, kyai dan romo sudah jadi penjual fatwa, mahasiswa pada mati muda, kepada siapa kita berharap? Kepada siapa kepemimpinan publik kita pasrahkan?

Sepertinya kok kita tak bisa lagi berharap! Pada mereka di tahun 2020 dan tahun-tahun berikutnya.

Padahal, Indonesia kita, mungkin salah satu peradaban gigantik dan purba di muka bumi yang menyebut dirinya dengan nusantara: lautan yang ditaburi pulau-pulau membentuk zamrud katulistiwa.

Ialah ibu dari mula peradaban besar dunia. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya. Peradaban yang harusnya mudah mendapat pimpinan jenius demi masa depannya. Tapi kok, tak telihat tanda-tanda!

Repotnya, Aku di dalam. Aku terlibat. Aku melihat. Makin hari yang terjadi adalah Republik Paket. Cara bernegara jangka pendek. Hasil kongkow di KFC. Tapi bisanya itu. Mau bagaimana lagi? Masak diajak membuat roadmap 1000 tahun indonesia bermartabat?

Inilah pasar swalayan bagi si kaya. Tempat bertelur para mafia. Arena begal para begundal. Hebat-hebat sebab rakyat makin melarat. Buah revolusi mental yang kami buat. Panen nawa cita yang kami ketik. Jagad dewa bathara. Ada apa dengan indonesiaku?

Ada laku sesat. Mengkhianati janji bersama pancasila. Saat Pancasila sebagai fondasi intelektual dan perekat sosial yang menyatukan berbagai partikel (SARA) maka ia akan berfungsi sebagai kesetiaan dasar yang lebih menggerakkan perasaan, terasa lebih hangat dalam jiwa, menjadi keyakinan bersama untuk terus melawan penjajah-penjajah baru.

Saat nasionalisme dan kebangsaan mulai tak hadir dalam kurikulum sekulah kita, maka tak akan ada lagi agensi pembangunan yang dapat mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa-bernegara Indonesia!

Di lain waktu. Saat kerumunan elite bangsa ini berlomba-lomba menjadi begundal kolonial maka sesungguhnya penyebab Indonesia belum makmur-bermartabat adalah soal mental bernegara. Mental yang mantul.

Para begundal itu memiliki mental penerabas, mental pemalas, mental korup, mental mumpung, mental fundamentalis dan mental kolutif.

Mental tersebut jelas sangat menghambat kemajuan peradaban kita. Padahal kemajuan suatu bangsa lebih banyak ditentukan oleh mental daripada kompetensi bahkan sumber daya alam.

Dus, mental kita harus direvolusi. Dan, revolusinya dengan mental yang revolusioner. Inilah mental kaya yang menghancurkan mental kere. Mental kere ini merupakan gaya hidup yang hanya mau menerima tetapi tidak mau memberi, bahkan tidak mau bersyukur atas apa yang telah diperoleh; tidak mau memberi kesempatan kepada orang lain; tidak mau tobat.

Karenanya, mental revolusioner ini harus ditanamkan sejak kecil melalui pembiasaan dan keteladanan; dipastikan lewat kurikulum; disegerakan di semua jenjang sekulah.


***

Ke Purwokerto. Meringis dan menangis. Mengutuki takdir. Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia.

Ke Semarang. Baca buku dan riset. Sesak napas. Maka, Peradaban, peraduan dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah arsitekturnya. Lalu, mati. Ditendang harga diri.

Ke Jakarta. Makin terang kini. Tetapi tetap sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi.

Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama; di setiap sekulah dan zaman; di altar-altar kebiadaban yang tak semenjana.

Ke Depok. Berkeluarga. Bahagia. Mati dan tumbuh. Dalam. Bercabang. Anak pinak. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya.

Ke Carolina. Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan.

Ke Makkah. Ketemu hal lucu. Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. 

Di Indonesia. Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi.

Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil paduka yang mulia.

***

Yang tersisa dari Islam kini tinggal arabisme. Cirinya tiga: 

  1. Memastikan orang lain di neraka. 
  2. Merasa cukup membaca satu buku (alquran) bisa menjawab semua hal-ikhwal.
  3. Berkeluh kesah soal-soal asesoris (sampul) bukan isi (subtansi): jilbab, cungkringisme dan jenggotisme.

Ini menjengkelkan karena temuan Philip K Hitti (1886-1978) adalah sebaliknya: "islam adalah perdaban gigantik yang punya tiga warisan: lahir, jihad dan syahid."

Sesungguhnya daya tarik dari Arab adalah kemunculan agama Islam. Gema Islam sebagai suatu agama, bukan hanya merubah pandangan ekopolsusbudhankam bangsa Arab, namun pengaruhnya begitu meluas ke berbagai aspek kehidupan.

Arab, khususnya yang biasa disebut Jazirah Arab sebelum datangnya Islam adalah daerah yang sangat jauh dari unsur-unsur peradaban lain. Hal ini terjadi karena bangsa Arab dianggap tidak potensial dari segi ekonomi, dan aksesnya sangatlah sulit plus berbahaya.

Semua berubah secara drastis manakala Islam berkembang pesat, sehingga menjadi pondasi yang kuat dalam membangun peradaban baru. Bahkan pada masa dinasti Umayah, Islam menjadi kekuatan dahsyat di dunia yg menimbulkan Pax Islamica dengan penaklukan hingga Spanyol.

Kejayaan ini terus bertahan hingga terjadinya perang Salib. Lalu kejayaan Islam lambat laun terus menurun, hancur dan bersisa abunya. Yang ini terlihat hanya ontanisme dan ribut antar mereka saja.

Kini islam tinggal romantisme dan mitos. Padanya yang dulu punya Tuhan, moral dan jihad, kini tinggal tangis, keluh dan debunya. 

Tak ada lagi teladan. Yang ada hanya kemarahan. Tak ada lagi pengetahuan. Yang ada hanya kejahiliyahan. Tak ada lagi inovasi apalagi penaklukan. Yang ada ribut sendiri dan mati sebelum mati.

Maka, belajar islam modern adalah belajar teks (tulisan kehebatan masa lalu). Sedang membaca islam purba adalah mendengarkan kisah dan mitos yang melegenda.

Teks dan mitos tentang jalan keselamatan: ummat unggulan: ummat teladan.

Sungguhpun begitu, sejarah peradaban islam menyimpan dan mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme plus melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan ummatnya.

Pertanyaannya, sejauh mana kita bisa memanfaatkan teks dan mitos itu bagi tugas-tugas kemanusisan? Ini menjadi penting karena peradaban islam membawa cacat bawaan kesempurnaan: bibliolateri. Yaitu paham bahwa alquran sudah menjawab seluruh persoalan.

Padahal, para ilmuwan saja yang membaca ribuan buku masih merasa belum bisa menundukan alam raya.

Singkatnya, Islam mengembangkan sejenis penyakit "kutukan kesempurnaan." Hasilnya nir-inovasi dan tuna-industri.

Tesis di atas kini menjadi bukti terbalik. Jika di abad pertengahan dunia berhutang pada islam karena karakteristiknya yang mengajak kritis dan rakus membaca, kini terbalik: islam berhutang pada modernisme: nalar dan multikultural. 

Maka kini, tugas kaum muslim adalah beyond arabisme. Kerja raksasa untuk menelaah hubungan teks dan peradaban muslim serta solusi terbaik bagi tumbuh dan berkembangnya islam yang menzaman.

Tanpa kerja raksasa itu, islam tinggal arabisme: sesuatu yang dulu ditikam mati oleh Muhammad karena fasis-feodalis-fundamentalis-rasis dan jahilis. Persis artis-artis di televisi yang digelari ustad pencari rating dan selebritis.

***

Jika kepentingan pribadi adalah hal utama; kepentingan keluarga adalah segalanya; kepentingan rakyat tak perlu ada, sebenarnya apa cita rasa kita dalam bernegara?

Pertanyaan ini penting karena kita belum tahu siapa elite kita dan dari mana mereka berasal. Sebab, jika mereka warganegara Indonesia, kenapa saat berkuasa tak melindungi segenap tumpah darah; kurang menyejahterakan rakyatnya; tak serius mencerdaskan semua; dan tak memastikan kemartabatan negara di dunia.

Apa buktinya? Sampai kini kita tak punya undang-undang modern dalam urusan pertahanan dan keamanan nasional serta belum punya badan/lembaga keamanan nasional.

Undang-undang keamanan nasional adalah aturan tertulis yang memastikan terjaminnya kedaulatan negara kita dari serangan semua penjuru: wilayah/teritorial, ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, agama, ideologi dan iptek, baik yang datang lewat perang militer maupun nir-militer.

Memang, kita sudah memiliki UU Pertahanan Negara, nomor 3/2002 yang di dalamnya merumuskan bela negara. Menurut undang-undang tersebut, bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara Indonesia yang dijiwai dengan kecintaan terhadap Indonesia yang utuh dan berdaulat, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk melindungi bangsa dan negara.

UU PN/3/2002 juga sudah punya turunan yaitu UU PSDN/2019 yang isinya lebih memperkuat sistem pertahanan Negara Republik Indonesia.  Isi utamanya didasarkan pada beberapa hal yang sangat strategis.

Pertama, pengaturan sumber daya nasional untuk pertahanan negara sebagai upaya penting dan strategis negara dalam menata keteraturan untuk keefektifan sebuah sistem pertahanan. Dalam hal ini karena ancaman terhadap eksistensi bangsa dan negara di abad sekarang sudah tidak mungkin lagi diletakkan hanya pada fungsi TNI dan Polri. Dus, postur pertahanan negara terdiri dari komponen utama, cadangan dan pendukung sudah diatur oleh UU ini.

Kedua, arah UU PSDN itu agar sistem pertahanan negara yang bersifat semesta dapat diaplikasikan, dan Pengelolaan Sumber Daya Nasional untuk Pertahanan Negara memiliki landasan legal formal. UU ini taat kepada prinsip supremasi sipil dalam bernegara, menghormati hak asasi manusia, dan pada pelaksanaan pengelolaannya dilakukan secara transparan dan akuntabel.

Ketiga, sasaran UU PSDN antara lain sebagai manifestasi dari konsep pertahanan rakyat semesta sebagai bagian dari grand strategi nasional dalam bidang pertahanan. Singkatnya membangun sistem pertahanan yang adaptif, visioner yang memiliki daya tangkal dan disiapkan secara dini, terarah, serta berkelanjutan oleh negara untuk menghadapi ancaman.

Keempat, materi muatan UU meliputi keikutsertaan warga negara dalam usaha bela negara, penataan komponen pendukung, pembentukan komponen cadangan, penguatan komponen utama, serta mobilisasi dan demobilisasi. Intinya ada sifat 'sukarela' dalam keikutsertaan warga negara menjadi Komponen Pendukung dan Komponen Cadangan. 

Tetapi berbagai UU di atas tak memastikan sebuah badan perang yang strategis. Padahal, badan/lembaga keamanan nasional adalah badan jenius pemenangan perang yang bertugas untuk mengumpulkan dan menganalisis invasi negara lain, serta melindungi semua milik kita.

Badan ini mengkoordinasi, mengarahkan, serta menjalankan aktivitas-aktivitas amat istimewa dengan mengumpulkan informasi intelijen dari luar negeri, terutama menggunakan IT super canggih.

Sesungguhnya, dari konstitusi, kita sudah punya sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata). Sayangnya, setelah reformasi menghasilkan Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI-POLRI dan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan POLRI, lahirlah UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia, semua terasa parsial dan tak menyatu.

Akhirnya, setelah lebih dari satu dekade paca reformasi, mulai terasa ada kesulitan dalam mengimplementasikan berbagai regulasi tersebut. Sampai tingkat tertentu implementasi regulasi itu macet karena ada simpul-simpul yang tidak bisa diurai dengan cepat demi terciptanya kedaulatan negara.

Untuk itu kita harus membangun suatu kerangka kerja (frame work) yang menghasilkan sistem terstruktur dan terintegrasi via filosofi kedaulatan dan kemartabatan plus kesentausaan hankam.

Kesadaran kedaulatan hankam harus menjadi aksiologi berbangsa dan bernegara. Kesadaran bahwa, kita sedang mengandung dalam diri masing-masing api kemerdekaan, banjir revolusi, pergerakan kewarasan, dan rakus iptek yang nanti melahirkan kemandirian, kemodernan dan kemartabatifan di semua lini.

Di sini, kami dari warga sipil yang aktif di Nusantara Centre mendesak pemerintah segera membuat UU KEAMANAN NASIONAL karena amanat konstitusi dan kebutuhan mendesak demi terciptanya keadilan, kemakmuran dan keamanan bersama.

***


Ini tak sepenuhnya tepat. Hanya hipotetik mencari tahu. Dari semua limbo yang menimpa. Kejahiliyahan dalam berbangsa dan bernegara yang berulang dan dalam. Mungkinkah kita mengalami ketidaksadaran kolektif? Menurut Carl Gustav Jung (2002), ketidaksadaran kolektif merupakan level terdalam dari psyche yang berisikan akumulasi dari pengalaman-pengamalan manusia yang diwariskan. Ketidaksadaran kolektif menjadi kumpulan ketidaksadaran personal yang diwariskan antar generasi.

Tentu saja. Ketidaksadaran memiliki kemungkinan-kemungkinan yang dipisahkan dari alam sadar, karena dengan dipisahkan itu ia mendapatkan semua materi yang bersifat subliminial yaitu semua hal yang sudah dilupakan, maupun kearifan dan pengalaman selama berabad yang tak terhitung jumlahnya tertanam dalam organ-organ arkhetipenya.

"Thinking is difficult, that's why most people judge" (Carl Gustav Jung 1875-1961,
a Swiss Psychiatrist). Tesis ini makin nyata di Indonesia. Panen hoax adalah buktinya. Lalu petruk berkata, "saya bicara tanpa berpikir dan saya putuskan tanpa membaca." Luarbiyasa!

Kusaksikan. Di istana kami setan-setan bergentayangan. Di rumah-rumah ibadah doa-doa hanya untuk menipu tuhan. Di wilayah publik agama sekadar menjadi hiasan. Elite berperilaku tak jauh dari kebejatan. Menumpuk kepintaran guna menenggelamkan kebenaran. Memariakan si miskin dan si bodoh. Bukan mengentaskan.

Inikah the undiscovered self? Diri yang munafik dan mementingkan perut sendiri. Tetapi mendapat kuasa dan kursi. Sehingga daya rusaknya setrilyun kali lipat dari peristiwa biasa. Jiwa yang mengkhianati nilai luhur yang tumbuh di sekitarnya.

Audentes fortuna juvat. Posisi didapat dari berani. Inilah potret elite kita kini. Mereka berani menipu, menyopet, mencuri, merampok dan membunuh warganegara demi posisi yang diincarnya.

Terus. Tak henti. 15 tahun terakhir. Lahirlah drama perbangkan, MNC, infrastruktur, sogok-menyogok dll yang tak ada ujung. Kuldesak. Istana, tentara, cina dan pengusaha jadi pemain utamanya. Sutradaranya dollar dan nafsu belaka. Berani membela yang bayar. Bukan berani membela yang benar.

Dan. Kita tak tahu kapan akan berakhir tradisi syaitan purba ini.

***

Hujan. Ritmis ini kumanfaatkan melengkapi ketikan sebelumnya. Tentang pikiran Jung. Psikolog besar yang berteori bahwa peradaban besar harus dimulai dari jiwa yang berjati diri.

Ya. Jati diri bangsa yang hilang adalah mula kerapuhan peradaban. Kekasih, ingatkah engkau dengan guru ghaib kita tuan Jung dan pokok-pokok pikirannya? Menurutmu, ialah psikolog terbesar yang sangat engkau kagumi. Maka, begitu fasih engkau ceritakan karya dan temuan-temuannya. Bahkan kita menabung untuk ziarah ke kuburnya suatu saat kelak.

Jung memperkenalkan konsep alam ketaksadaran kolektif. Isi dari alam ketaksadaran kolektif adalah apa yang dinamakan arketipe-arketipe. Arketipe-arketipe adalah bentuk-bentuk pembawaan lahir dari psike, pola dari kelakukan psikis yang selalu ada secara potensial sebagai kemungkinan, dan apabila diwujudkan, nampak sebagai gambaran spesifik.

Sebab dalam psike manusia tergabung sifat-sifat khas yang umum, yang ditentukan oleh species-speciesmanusia, ras, bangsa, keluarga, dan mental zaman dengan sifat-sifat khas, unik, dan personal. Sebab itu fungsi natural dari psike ini hanya dapat diperoleh dari hubungan timbal-balik dua alam ketaksadaran (personal dan kolektif) dan relasi mereka dengan alam kesadaran.

Kesadaran dan ketidaksadaran ini kemudian diekspresikan dalam rupa-rupa bentuk warisan kebudayaan seperti mitologi, legenda dan karya seni yang melintasi semua ras dan kultur di permukaan bumi ini.

Aku ingat, engkau menceritakan padaku soal penting tentang sikap dan fungsi psikologis yang saling berinteraksi dengan tiga prinsip, yaitu:

1. Oppose (saling bertentangan). Prinsip ini sering terjadi, karena kepribadian berisi berbagai kecenderungan konflik. Namun, Jung meyakini bahwa ketegangan akibat konflik itu merupakan esensi dari hidup. Tanpa konflik, maka dalam diri manusia tidak akan ada energi dan kepribadian. Contoh oposisi adalah: ego vs shadow, introversi vs ekstroversi, pikiran vs perasaan, dan penginderaan vs intuisi. 

2. Compensate (saling mendukung). Prinsip ini digunakan untuk menjaga agar seseorang tidak menjadi neurotik. Prinsip ini biasanya terjadi antara sadar dan tidak sadar. Misalnya, jika Rendra tidak berhasil mencapai nilai A pada matakuliah ini, maka akan muncul dalam mimpi (kondisi tidak sadar).

3. Synthesize (bergabung menjadi kesatuan). Prinsip ini meyakini bahwa kepribadian akan terus menyatukan pertentangan, untuk mencapai kepribadian yang seimbang dan integral. Namun, fungsi ini hanya sukses dicapai melalui fungsi transenden. 

Lalu, di akhir kuliahmu sambil menciumi daguku, engkau membuat penutup menarik. Menurutmu, interaksi antar struktur kepribadian membutuhkan energi psikis, yang didukung oleh energi fisik. Energi psikis itu tampak pada kekuatan semangat, kemauan, keinginan, proses mengamati, berpikir, memperhatikan dan pengalaman.

Inilah moment suci. Yang muncul sekejap. Dan, itulah energi cinta yang melahirkan generasi berikutnya lewat "apa yang membahagiakan." Kini, kita perlu membaca temuan-temuannya untuk mendiagnosa kebajinganan elite Indonesia yang makin gila.

***

Aku malam ini mimpi ketemu Prof Ben Anderson. Dia menanyakan projek bukuku yang bertema studi mental kolonial dan teori kemandirian.

Saat menjelaskan dengan semangat-semangatnya, aku terbangun karena suara berisik masjid yang kurang sopan pada lainnya. 

Tidak banyak yang kutahu soal Prof Ben karena hanya beberapa kali ketemu dan dialog.

Tapi semua karyanya kubaca dan kukoleksi. Suatu kali, aku memberinya bukuku yang berjudul Pos-Islam Liberal. Dia bilang, buku yang bagus dan akan lebih bagus jika risetnya dilanjutkan dengan tema post-kolonial Indonesia.

Lalu, dengan gaya berpikir antropologisnya, Prof Ben menjelaskan Indonesia sebagai konsepsi nasionalis atau bangsa yang berasal dari komunitas politis dan dibayangkan sebagai sesuatu yang bersifat terbatas secara inheren sekaligus berkedaulatan.

Indonesia adalah sesuatu yang dibayangkan oleh para pendiri republik walau dalam pikiran setiap orang yang menjadi anggotanya, hidup sebuah bayangan berbeda-beda tentang kebersamaan mereka yang diproklaimkan secara sengaja.

Maka, meneliti dan menuliskannya sebagai usaha penilaian: "apakah mimpi itu telah tercapai menjadi penting."

Dan, kamu, kata Prof Ben, sangat mampu menuliskannya dari perspektif studi postkolonial. Wah... sempat tak mampu berkata-kata aku ini. Binun. Tertegun.

Draft buku mental kolonial telah kuserahkan setahun lalu. Juga kemarin sebelum meninggal, draft buku teori kemandirian kuserahkan padanya. Kami janjian akan membahasnya pelan-pelan sambil menikmati candi Prambanan di akhir Desember. Eh...

Takdir berkata lain. Indonesianis yang dahsyat dan profesor emeritus dari Universitas Cornell, Amerika Serikat itu meninggal di sebuah hotel di Batu, Malang, Sabtu malam, 12 Desember 2015. Belum sempat beliau memberi catatan kritis atas dua draf bukuku tapi kini sudah dimakan cacing nasib dan tubuhnya.

Pada akhirnya, kita memang sedang karnafal menuju kuburan. Untuk hilang dan dikenang entah sebagai apa. Selamat jalan Tuan Ben.

Setidaknya, di perpusku kini ada: Java in a Time of Revolution, Debating World Literature, Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia, Imagined Communities (Edisi 1983), The Spectre of Comparisons Under Three Flags: Anarchism and the Anti-Colonial Imagination. Semua ada versi bahasa Indonesianya.

Guruku. Atau kupanggil kawan biar dekat; Tak ada waktu yang lebih syahdu dari mula rintik air mata berganti gerimis sore saat turun dari puncak. Di jalan tol ini kita sesungguhnya pernah berucap janji. Soal-soal subtansi dan urat nadi masa depan.

Tapi kini tinggal kenangan. Bermilyar manusia datang dan pergi. Tapi hanya hati dan senyummu yang tak dipunahkan hasrat-hasrat kuasa.

Kawan; Sesungguhnya hidup manusia tidaklah bermula dari dalam kandungan ibunya dan tidak pernah berakhir di liang kuburnya. Hidup bermula ketika dua mata orang dewasa berkata-kata: kaulah sepotong sorga yang dikirimkan Tuhan untuk kita saling bekerjasama menikmati sedu-sedan takdirNya.

Kita tak berakhir karena mewariskan buku dan moral. Buku tak membunuh kehidupan. Sebaliknya: buku memanjangkan usia kehidupan.

Teman; Dan, janji adalah alfatihah. Percintaan adalah yasin. Sedang kerjasama adalah kitab suci.

Terjadilah awal dan akhir dari cakrawala yang penuh oleh rembulan dan bintang. Sejarah rembulan-bintang ini tidaklah ditinggalkan oleh jiwa yang mencintai, cinta yang berdasarkan gerak nurani. Karena bintang rembulan adalah dewa-dewi yang tak hadir kecuali atas pertunangan siang dan malam.

Malam ini hujan; Aku terbadaikan basah air matamu seperti sedihku atas semua kegagalan-kenistaan cita-citaku. Sebab itu tak ada yang lebih menyedihkan kecuali kita tahu bahwa kesedihan kita memproduk kesedihan-kesedihan sesama.

Sungguh, aku tidak tahu sejak kapan di negeri ini moral hanya dibicarakan dan diberitakan.

Kemudian orgasme. Tak lebih. Hukum hanya diomongkan dan dipergunjingkan. Lalu orgasme. KKN hanya dipelajari dan dilaksanaken. Lalu tidak diberantas dam diharamken. Apakah sejak merdeka atau setelah reformasi yang kami gerakkan? Entah. Yang pasti banyak yang salah.

Khusus kepada hantu, hutan dan tuhan. Ya. Setahuku kalian tuli, buta, bisu dan tetap tak peduli pada nasibku dan nasib kaum papa lainnya.

***

Daoed berkata lirih pada Joesoef di bawah beduk. Sambil menatap sendu dan rindu. Keduanya sepasang kekasih yang sudah sama-sama manula. Yang memutuskan tidak menikah dan tidak menikahi orang lain. Yang setia bercengkerama dan bertemu muka untuk membahas ekonometrika. Jenis ilmu baru yang telah menyesatkan Indonesia.

Keduanya hanya sepasang kekasih yang berfilsafat bahwa keabadian tak menyimpan apa-apa kecuali cinta. Karena cinta adalah keabadian itu sendiri.

Seperti hujan yang berhenti, atau siang yang berganti, maka tak ada kerinduan yang tak bisa dihapuskan oleh doa dan dukungan. Tak ada penyakit yang terus bersemayam oleh kesabaran dan keikhlasan.

Dalam kalut ujian dan cobaan alam raya, kita akan menuju titik kesetimbangan. Di mana dan kapan? Saat waktu memagut menuju usia tua dan senja. Cepat atau lambat. Sama-sama akan sampai. Seperti anak-anak panah meninggalkan busurnya menancap pada tujuannya.

Kita ini, kata Daoed, "gagal menjadi negara nasional yang martabatif karena lima hal penting." Kelimanya berkelindan dan saling menguatkan.

Pertama, mengkhianati konstitusi sehingga dari rasa bersama berubah menjadi diri sendiri. Hidup bersama menjadi hidup sendiri-sendiri.

Kedua, menetapkan ekonomi sebagai usaha menaikkan kekayaan diri bukan memeratakan kekayaan. To have more, mestinya to be more.

Ketiga, melupakan mental dan watak dasar terbentuknya negara Indonesia: bersatu untuk melenyapkan penjajah di muka bumi.

Keempat, berkhianatnya elite kepada rakyat atas janji perubahan hidup lebih layak. Elite setelah berkuasa menjadi pemain sirkus yang merubah harapan menjadi hiburan.

Kelima, elite melupakan geopolitik kita sebagai negara kepulauan. Mereka membuat negara daratan dan kapling tanpa menyadari akibatnya.

Tetapi Joesof, di atas segalanya kita kehilangan dan menghilangkan cinta pada sesama. Padahal, cinta adalah satu-satunya cara kita bersemesta; cara manusia menjaga kebebasan di dunia; cara kita membangkitkan semangat yang hukum-hukum kemanusiaan dan gejala-gejala alami pun tak bisa mengubah perjalanannya; cara kita berbagi dan bertahan. Seperti cintaku padamu.

Tetapi, kita sudah terjatuh dan tak bisa bangkit lagi. Kita semua tenggelam dalam lautan luka dalam. Kita tersesat dan tak tahu arah jalan pulang. Kita tanpa kompas pancasila hanya butiran debu.

Pretttt, jawab Joesoef. Yang benar menurutku adalah, "kita semua dikutuk merasa saling benar di kehidupan ini karena kita bangsa oligarkis pemuja demit." Tragis.

Baiklah, kata Daoed. Kini mari baca puisi. Nusantara; Kita eja nama itu dengan segenap nalarku, cinta dan jihad kita. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala pernama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati. Kita sebut nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya kini tak melambai. Sungainya kering kerontang. Cintanya kini tanpa pantai. Apa yang sedang kau hadirkan? Tanya kita.

Indonesia; Apa yang akan kau lakukan kini. Saat semua senyum tinggal keputusasaan. Setelah sayap-sayap kita terpatahkan olehmu. Setelah jiwa-raga kita terkhianati olehmu. Setelah air mata kita tergerus habis tak bersisa kecuali darah kesunyian. Saat arti sebuah perasaan yang terdalam dan harga diri sebuah pengorbanan tanpa batas menjadi sia-sia belaka. Dicampakkan sendirian. Apa yg sedang kau rasakan? Tanya kita.

Kekasih; kami tau kau kurang-ajar. Sebab lakumu batu. Niatmu tipu-tipu. Mentalmu kuntilanak hantu. Persis nusantara dan indonesia terhadap kami. Kini kami versus nusantara. Kini kami melawan indonesia. Dan, hanya bisa tersenyum masam. Sambil menghela nafas dalam-dalam. Sebelum semua tenggelam. Oleh pekat malam dan sejarah kelam. Apa yang sedang kau takdirkan? Tanya kita.

***