"La historia me obselvera"

UNIVERSITAS NUSANTARA merupakan kota mandiri terintergrasi yang memadukan model bangunannya hibridasi antara local wisdom, modern, futuristik dan imajinatif yang menyediakan kampus, jejak kuliner, rumah sehat, sport centre, mall, musium, akademi riset, hall musik, bengkel industri senjata; komputer; elektrik, perpustakaan presiden, laboratorium rempah, emas dan uranium (nuklir).

Kurikulum unggulannya: atlantik studies, kenusantaraan, keindonesiaan, ideologi pancasila, konstitusi, postkolonial, mental studies, triasekonomika, psikohermeneutika, sejarah aktif, jejak rempah, vulcanology, teori konflik dan mediasi, neoliberalisme, orrientalisme-oksidentalisme, dan peradaban herbal.

Inilah rumah persemaian kepemimpinan dan gugus kejeniusan, kreator bagi pemanggul narasi atlantik perealisasi janji proklamasi.

Kampus ini dikelola secara koperasi sehingga milik semua yang terlibat mengelola dan yang ada di dalamnya.

Dasarnya pancasila: lima nilai dan empat metoda. Bangunannya lima menara. 

FAKULTAS-FAKULTAS PILIHAN# 5 Fakultas. 5 Nilai Kejuangan Peradaban.

Tugas kita dalam berbangsa dan bernegara (berperadaban) sesungguhnya sangat berat sekali. Yaitu memecahkan kehidupan yang VUCA: Volatile (bergejolak), Uncertain (tidak pasti), Complex (ruwet), dan Ambigue (tidak jelas). Inilah sesungguhnya problema ekonomi politik negara postkolonial dan gambaran situasi di dunia mutakhir. Adakah proposal jalan keluarnya?

Ada. Di kehidupan Universitas Nusantara, riset dan desain pendidikan diarahkan untuk mencetak manusia dan generasi tangguh yang mengerti solusi dan praktik negara dan warga berdaulat, berkeadilan dan bersejahtera bersama. Dan, bagi kita di Universitas Nusantara, VUCA itu tantangan yang pasti terpecahkan. Sebab, kami mengembangkan lima fakultas dan lima nilai kejuangan yang terus dikembangkan.

Pertama: FAKULTAS KESEHATAN DAN KEJENIUSAN#

Ini jenis fakultas terdalam dan sangat seksi saat manusia Atlantik-Lemuria menghidupi Nusantara. Dengan takdir Bahari dan Dirgantara, agensi atlantik ini dicetak sehat dan bermental konstitusional. Mereka berkewajiban agar pengetahuan dan kejeniusannya diasah untuk memiliki kemampuan menyintesakan pengalaman dan sejarah peradaban; diasah punya kemampuan memperbaiki diri dalam belajar; punya kemampuan menemukan solusi terlokus; punya kemampuan menyelesaikan tugas-tugas sulit dengan memperhatikan aspek psikologis, intelektualis, spiritualis dan kemampuan berpikir abstrak yang merealitas.

Studi-studi tentang kesehatan dan kejeniusan yang berkembang pesat di era modern ini merupakan puncak dari saha jutaan manusia, baik yang dikenal maupun tidak, sejak ribuan tahun silam. Begitu pentingnya studi-studi ini hingga selalu diwariskan dari generasi ke genarasi dan bangsa ke bangsa. Cikal bakal ilmu kesehatan dan kejeniusan sudah ada sejak dahulu kala. Sejumlah peradaban kuno, seperti Mesir, Yunani, Roma, Persia, India, serta Cina sudah mulai mengembangkan dasar-dasarnya dengan cara sederhana. Kitalah yang akan mempelajari kembali dan mengembangkannya.

Di fakultas ini dikembangkan tradisi dari kejeniusan futurologis atau "weruh sakdurunge winarah" dan penglihatan pada jangkauan masa lalu, masa kini plus masa depan. Jenis ilmu pengetahuan ini akan digeluti, diternak dan dikembangkan secara komprehensif dan maksimal guna membimbing kehidupan manusia Pancasila dan menciptakan peradaban baru yang berkeadaban-berkemanusiaan-berkeadilan-berkesejahteraan. Inilah fakultas yang membedakan Universitas Nusantara dengan kampus lainnya. Fakultas ini menjadi unggulan dan ultima bagi berdirinya manusia atlantik, insan Pancasila dan agensi nusantara di masa depan.

Kedua: FAKULTAS SENI DAN SPIRITUALITAS#

Fakultas ini bertumpu pada seni dunia. Tentu seni yang memiliki daya cipta-karsa-kreasi dan karya. Dan, tentu bertumpu pada musik. Sebab, musik adalah energi tanpa batas yang melibatkan melodi, vokal, ritme, suara serta tempo yang dapat menjadi nyawa kedua manusia karena mampu menjadikan seseorang termotivasi, tersemangati, mempunyai ambisi, lebih tenang, lebih konsentrasi bahkan mampu mengurangi penderitaan batin. Seni ini menjadi konsep yang dapat diterapkan pada seluruh manusia.

Seni merupakan aspek yang menyatu dan universal bagi semua manusia. Setiap orang memiliki dimensi seni yang mengintegrasi, memotivasi, menggerakkan, dan mempengaruhi seluruh aspek hidup manusia. Spirit sejatinya adalah spirit pada kemanusiaan sehingga tugas pokoknya adalah memanusiakan manusia. Spirit yang menghasilkan kehidupan spiritual (sesuatu yang mendasar, penting, dan mampu menggerakkan serta memimpin yang benar-pener). Tentu saja, definisi spiritual setiap individu dipengaruhi oleh budaya, perkembangan, pengalaman hidup, kepercayaan dan ide-ide tentang kehidupan. Spiritualitas juga memberikan suatu perasaan yang berhubungan dengan intrapersonal (hubungan dengan diri sendiri), antar personal (hubungan dengan lingkungan) dan transpersonal (hubungan dengan kekuatan tertinggi). Tentu saja, dengan fakultas ini agar kami tak kering batin dalam mewarnai Indonesia. Fakultas ini menjadi keniscayaan bagi hadirnya manusia dan universitas nusantara di Indonesia.

Ketiga: FAKULTAS EKOPOL DAN KONSTITUSI#

Ini jenis fakultas yang akan memproduksi literasi ekonomi politik konstitusi (constitutional political economics) ataupun konstitusi ekonomi yang akan merumuskan lima masalah penting:

  1. Soal gagasan. Yaitu apa alasan dan bagaimana itu dikonstitusikan;
  2. Soal kausalitas. Yaitu apa sebab dan akibat dari munculnya gagasan tersebut; 
  3. Soal konsekwensi. Yaitu apa antisipasi plus solusi dari berbagai persoalan yang muncul; 
  4. Soal keidealan. Yaitu apa lembaga yang perlu untuk mencapai keadilan dan kemerataan; 
  5. Soal perencanaan. Yaitu lembaga konstitusional mana yang terhebat untuk merencanakan dan mengeksekusi setiap ada kendala di warga negara. 
Di negara mana pun, konstitusi ekonomi merupakan perangkat peraturan tertinggi yang menjadi dasar setiap kebijakan ekonomi. Sebab, konstitusi ekonomi mengatur sejak soal penguasaan dan kepemilikan kekayaan sumber daya alam, hak milik perorangan, hingga peran negara dan perusahaan negara (BUMN) dalam kegiatan usaha yang berujung pada “kemakmuran-kesejahteraan bersama.” 

Tentu, selain menjadi konstitusi politik, Pancasila dan UUD 1945 merupakan konstitusi ekonomi. Dus, ia merupakan rujukan utama dalam setiap kegiatan kenegaraan, kemasyarakatan, serta kegiatan usaha. Semua kebijakan ekonomi Indonesia yang dituangkan dalam bentuk undang-undang tidak boleh bertentangan dengan UUD 1945.

Dalam sejarahnya, ide konstitusi ekonomi mudah diterima di negara-negara yang menganut sistem hukum civil law di negara-negara Eropa Kontinental. Hal ini karena tradisi civil law cenderung membuat pengaturan yang bersifat tertulis, termasuk di bidang perekonomian. Fakultas ini menjadi keharusan bagi kokohnya manusia atlantik, insan Pancasila dan agensi nusantara di Universitas Nusantara.

Keempat: FAKULTAS PERADABAN DAN FALSAFAH#

Fakultas ini akan memastikan mahasiswanya memahami bahwa Pancasila adalah sumber peradaban dan dasar negara kita. Ia juga petunjuk kita dalam berbangsa- bernegara sehingga kedudukannya bagi warganegara adalah sebagai budaya kewargaan. Dus, bagi Indonesia menjadi extra ecclesiam nulla pancasila. Mengapa pancasila menjadi budaya warga? Karena sebelum disahkan menjadi dasar negara, nilai-nilai tersebut telah ada dalam kehidupan bangsa Indonesia. Nilai-nilai itu berupa nilai adat istiadat, suku, kebudayaan dan nilai agama. Para pendiri negara kemudian mengangkat nilai-nilai tersebut dan merumuskannya secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur malalui sidang BPUPKI, Panitia Sembilan, dan sidang PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) menjadi lima yang satu dan satu yang lima dalam kehidupan kita semua.

Pancasila merupakan puncak kebudayaan bangsa Indonesia yang sangat bernilai. Sesuatu dikatakan bernilai apabila berguna (nilai guna), berharga (nilai kebenaran), indah (nilai estetis), baik (nilai moral), dan religius (nilai agama).

Nilai-nilai pancasila sebagai budaya bangsa Indonesia adalah berketuhanan. Dalam sila ini terdapat nilai rohani yang mengatur hubungan negara dan agama, hubungan manusia dengan Tuhan, alam raya serta nilai hak asasi manusia.

Kedua, berkemanusiaan. Dalam sila ini terkandung nilai cinta kasih, nilai kesopanan, membela kebenaran, kecerdasan dan menghormati orang lain.

Ketiga, berpersatuan. Dalam sila ini terkandung nilai yang menjunjung tinggi tradisi perjuangan dan kerelaan untuk berkorban serta menjaga kehormatan bangsa dan negara. Persatuan adalah alat sekaligus cita-cita kita berbangsa.

Keempat, berkerakyatan. Dalam sila ini terkandung nilai agar manusia Indonesia menjunjung tinggi tanggung jawab terhadap keluarga, masyarakat, bangsa dan negara. Juga tanggung jawab terhadap Tuhan dengan cara menegakkan kebenaran, keadilan, kehidupan yang bebas, adil, dan sejahtera. 

Kelima, berkeadilan. Dalam sila ini terkandung nilai keadilan yang berlaku dalam masyarakat di segala bidang kehidupan baik jasmani maupun rohani. Nilai-nilai dalam sila ini meliputi keselarasan, keseimbangan antara hak dan kewajiban, serta nilai kedermawanan terhadap sesama. Kelima nilai itu berlaku statis yang terjilid dengan empat program dinamis: melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan dan mentertibkan. Fakultas ini menjadi istimewa bagi kehadiran Universitas Nusantara di masa kini dan mendatang.

Kelima: FAKULTAS KEDOKTERAN HERBAL DAN REMPAH#

Fakultas ini lahir dari kesadaran atlantik dan nusantara yang terjajah. Terjajah via jalur laut dan aksiologinya perampokan besar-besaran pada empat hal: rempah, herbal, emas dan modal nuklir. Lahir karena pertanyaan, mengapa keempat pengetahuan ini tak menjadi inti kurikulum kita di sekolah, baik formal, informal maupun nonformal. Pantas jika kekayaan itu belum menjadi milik kita. Sebaliknya terus menjadi kekayaan penjajah penjarah yang tidak tak terhentikan.

Maka, merevitalisasinya bukan hanya penting di saat genting tetapi juga merupakan revolusi yang kelima. Tentu agar transformasi negara-bangsa pancasila mengemuka. Tanpa merevitalisasinya dalam kehidupan kenegaraan, kita sesungguhnya tak layak disebut manusia. Apalagi menyebut diri sebagai negara merdeka.

Rempah adalah tumbuhan beraroma yang digunakan untuk menjeniuskan manusia. Para penikmatnya menggunakan sebagai pengawet dan bumbu dalam masakan. Dalam semua rempah terdapat saripati kehidupan yang membuat penikmatnya merasakan kehidupan adiluhung. Karenanya, rempah-rempah digunakan untuk pengobatan, kesembuhan, rilaksasi, status sosial dan kesehatan. Rempah-rempah biasanya dibedakan dengan tanaman lain yang digunakan untuk tujuan yang mirip, seperti tanaman obat, sayuran beraroma dan buah kering. Karena fungsinya, ia merupakan barang dagangan paling berharga pada zaman prakolonial. Rempah-rempah adalah alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku. VOC dan Belanda menjajah Indonesia. Spanyol menjajah Pilipina, dll.

Lebih dalam dari rempah adalah herbal. Ia adalah tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan. Dengan kata lain, semua jenis tanaman yang mengandung bahan atau zat aktif yang berguna untuk pengobatan bisa digolongkan sebagai herbal.

Dus, herbal disebut juga sebagai tanaman dewa obat, sehingga dalam perkembangannya dimasukkan sebagai salah satu bentuk pengobatan alternatif yang tak punya efek samping. Rempah dan herbal merupakan kekayaan abadi yang kita punyai. Dari keduanya, potensi kekayaan yang dapat kita peroleh adalah 500 Triliun per tahun. Fakultas ini menjadi penyempurna atas kehadiran Universitas Nusantara di masa genting dan penting.

Kontak Person: Yudhie Haryono: 08118207622.
***

Peradaban djawa itu dicetak oleh dua hal: keberlimpahan alam raya dan keramah-tamahan penghuninya. Tetapi, akibat bencana, paregreg dan penjajahan, semua tinggal sisa.

Kini, sungai hilang kedalamannya; pasar hilang suaranya; pandita hilang malunya; mantera hilang saktinya. Begitulah ujaran jawa yang sangat berharga.

Maka, mendialogkan jawa adalah mendialogkan hilangnya. Mewarisi cerita dan epos besar yang tinggal tulang belulang tak bernyawa. Djawa. Ini adalah tanah tua. Merujuk pada namanya: dawa yang bermakna panjang.

Dipimpin pertama kali oleh raja Saka (soko) yang bermakna penyangga utama. Tentu ini peradaban sempurna karena mampu menciptakan tanggalan sendiri, angka sendiri, aksara sendiri, agama sendiri, tata nilai sendiri dan kepribadian sendiri.

Raja Saka adalah maharaja yang cerdas dan jenius. Sebab, raja inilah yang menciptakan penanggalan, huruf, aksara, filsafat dan adat-istiadat jawa. Hurufnya penuh makna dan lambang bahkan metafora. Hana caraka (ada dua utusan), data sawala (mereka saling berselisih), padha jayanya (mereka sama-sama berjaya--dalam perkelahian), maga bathanga (mereka sama-sama jadi mayat).

Salah satu warisan pitutur agungnya adalah: Lamun siro sekti, ojo mateni. Lamun siro banter, ojo ndhisiki. Lamun siro pinter, ojo minteri.

Di masa purba (atlantis), pulau ini merupakan bagian dari gugusan kepulauan Sunda Besar dan paparan Sunda, yang pada masa sebelum es mencair merupakan ujung tenggara benua Asia. Sisa-sisa fosil homo erectus, yang populer dijuluki "Si Manusia Jawa" ditemukan di sepanjang daerah tepian Sungai Bengawan Solo. Peninggalan tersebut berasal dari masa 6 ribu tahun yang lampau.

Umur pulau jawa diperkirakan 2 juta tahun. Situs Sangiran adalah situs prasejarah yang penting di Jawa. Beberapa struktur megalitik telah ditemukan, misalnya menhir, dolmen, meja batu dan piramida berundak.

Punden berundak dan menhir ditemukan di situs megalitik di Paguyangan, Cisolok, dan Gunung Padang, Jawa Barat. Situs megalitik Cipari juga ditemukan di Jawa Barat menunjukkan struktur monolit, teras batu dan sarkofagus.

Punden berundak ini dianggap sebagai strukstur asli Nusantara dan merupakan rancangan dasar bangunan candi pada zaman Nusantara setelah penduduk lokal melakukan hibridasi peradaban. Pada abad ke-4 SM hingga abad ke-1 atau ke-5 M, kebudayaan Buni yaitu kebudayaan tembikar tanah liat berkembang di pesisir utara Jawa Barat. Kebudayaan protosejarah ini merupakan pendahulu kerajaan-kerajaan setelahnya.

Jawa sangat maju filsafatnya. Dalam budayanya banyak diketahui pepatah dan petuah yang memberikan kearifan dalam upaya kita bisa mencapai “paran dumadi“ demi ”manunggaling kawulo Gusti. " Sebagai contoh:

  1. “Urip iku Urup.” Hidup itu seharusnya menyala, menerangi, yang berarti hidup itu hendaknya memberi manfaat kepada orang lain di sekitar kita. 
  2. “Hamemayu Hayuning Bawono, Ambrasta Dur Hangkoro." Hidup harus mengusahakan keselamatan, kebaikan dan kesejahteraan serta memberantas sifat angkara murka, serakah, iri hati, dan kikir serta aniaya. 
  3. “Datan serik lamun ketaman, datan susah lamun kelangan." Hidup jangan mudah tertekan terkena tekanan batin (distressed) manakala musibah menimpa, jangan sedih manakala kehilangan. 
  4. “Ojo ketungkul marang kalungguhan, kadonyan lan kemareman." Hidup jangan terpaku atau terkungkung dengan kedudukan, kekayaan materi dan kepuasan duniawi. 
  5. “Ojo keminter mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka." Hidup jangan merasa paling pandai agar tidak salah paran, jangan suka berbuat curang agar tidak celaka. 
  6. “Ojo milik barang kang melok, ojo mangro mundak kendho." Hidup janga tergiur oleh hal-hal yang tampak mewah, cantik, indah, dan jangan berfikir gamang atau plin-plan agar tidak kendor niat dan semangat kerja. 
  7. “Alang-alang dudu lalin aling, marganing kautaman." Persoalan kehidupan bukan penghambat jalan menuju kesempurnaan. 
  8. “Sopo weruh ing panuju sasat sugih pager wesi." Dalam kehidupan, siapa punya cita-cita luhur jalannya seakan tertuntun. 
  9. “Ngeli namung ora keli." Hidup itu harus menyesuaikan diri dengan jaman, namun tidak hanyut oleh arus kemajuan jaman semata. Ini erat kaitannya dengan pepatah “jamane jaman edan, sing ora edan ora keduman. Namung sing paling becik tetep wong waras.” Budaya Jawa mengajarkan kita agar tetap mempunyai pola pemikiran “kang eneng, ening, awas, lan eling." 
  10. “Becik ketithik, ala ketoro." Pada kehidupan, kebaikan akan pasti tercatat sedangkan keburukan pasti akan terbuka. Ini membimbing agar kita selalu berbuat baik dan menjauhi yang bersifat aniaya. 
HEBAT BUKAN FILSAFATNYA? Theoantroeco centris jika disimpulkan. Keselarasan tuhan-manusia-alam raya yang seimbang. Singkatnya, Jawa sangat subur dan bercurah hujan tinggi memungkinkan berkembangnya budidaya padi dan semua buah-buahan. Pulau ini terkaya SDA, terpadat, terindah, tereksotis dan sangat mempesona. Jutaan manusia (jahat dan baik) datang untuk menjajah dan pariwisata. Di jawa ini pula ditemukan Pancasila: puncak hibridasi nilai-nilai dunia yang kini dikhianati para pemimpinnya.
***

Kita akan mulai dengan pertanyaan penting. Apakah gunanya ideologi bila hanya akan membuat negara dan warganya menjadi asing, bingung dan bengong di tengah kenyataan problemnya?

Pertanyaan ini penting sebab, secara leksikon, ideologi adalah kumpulan kulminatif gagasan, ide-ide dasar, keyakinan serta kepercayaan yang bersifat sistematis dengan arah dan tujuan yang hendak dicapai dalam kehidupan nasional suatu bangsa dan negara.

Karena itu, ideologi pancasila pastinya berdaulat karena punya lima hal: 1)Tumbuh subur di hati dan ucapan rakyat (belum di tindakan dan ilmu pengetahuan); 2)Ia mencakup nilai-nilai positif, edukatif, luas dan adaptif; 3)Menghibridasi berbagai ideologi-ideologi besar dunia; 4)Berhasrat mengatur ekonomi yang menyangkut hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Pemerintah sehingga tidak mengorbankan rakyat; 5)Bersifat anti penjajahan sepanjang hayat, sehingga pro kemerdekaan, perikemanusiaan, perikeadilan dan gotong-royong.

Dengan lima kelebihan ini, ideologi pancasila bertugas untuk mengembalikan kehidupan bernegara sebagai bagian strategis dari strategi kebudayaan nasional menuju terbangunnya peradaban Indonesia Raya dengan tata nilainya yang sesuai dengan cita-cita proklamasi kemerdekaan, revolusi, hibridasi dan amanah pembukaan UUD 1945.

Menjadi Indonesia via ideologi pancasila dan amanah pembukaan UUD 1945, pada dasarnya, adalah membangun peradaban berkemanusian yang berkelas dunia.

Agar ideologi ini berdaulat, Sudharnoto menulis lagunya: Garuda pancasila/Akulah pendukungmu/Patriot proklamasi/Sedia berkorban untukmu/Pancasila dasar negara/Rakyat adil makmur sentosa/Pribadi bangsaku/Ayo maju maju. Ideologi inilah yang akan memastikan gemuruh peradaban Indonesia Raya. Apanya yang raya? Posisinya yang inspiratif.

Sebagai sebuah gagasan, negara pancasila adalah republik yang anti feodalisme (siapa ortumu); anti fasisme (apa ijasahmu); anti fundamentalisme (apa agamamu); anti kapitalisme (berapa dolarmu); anti suara dominan (mayorokrasi); anti suara kecil (minorokrasi). Maka, ia menjadi dasar negara, yang berkehendak untuk memastikan keadilan dan kesentosaan. Tanpa realisasi keadilan, pancasila tak berdaulat. Tanpa praktik kesentosaan, pancasila hanya jargon semata. Dus, kedaulatan ideologi dan ideologi yang berdaulat itu kunci mula bagi tegakknya bangsa dan negara plus warganya.

Dengan id yang berdaulat, ia akan menjadi strategi dan taktik sekaligus sehingga menjadi jalan menuju kemenangan-kegemilangan. Sebab, taktik tanpa strategi atau strategi tanpa taktik hanyalah kebisingan menuju kekalahan. Karenanya yang diperlukan kini, adalah watak agensi intelektualisme-spiritualisme-sosialisme-kapitalsosial yang mujtahid, mujadid, revolusioneris dan asketis. Semua harus menyatu menjadi kesadaran genetik setiap warganegara. Tanpa itu, semuanya absurd: tidak akan ada keadilan sosial, tidak ada kesetaraan sosial, tidak ada kemerdekaan warga dan negara, bahkan kita tidak lebih dari perampok yang kapitalistik dan menjadi sumber ancaman publik plus mengkhianati cita-cita proklamasi plus pendiri republik.

Singkatnya, di zaman global, id (plus logos) negara-bangsa kita perlu taktik terbaru dalam hubungan internasionalnya agar tak memproduksi kekalahan-kegelapan yang menternak budak bodoh dan dimiskinkan kolonial yang memetamorfosa dalam wujud oligarki.
***


Pada akhirnya, kita harus membangun. Tetapi bukan sembarang membangun. Melainkan pembangunan yang bertugas menaikkan kapasitas kemanusiaan dan kebangsaan kita menjadi juara dan jawara. Pembangunan yang seimbang antara teo-antro-eco centris (periketuhanan, perikemanusiaan dan perilingkungan).

Kesadaran pembangunan yang berdaulat ini penting sebab makin hari kulihat dan kuperhatikan manusia Indonesia suka saling menganiaya, mencuri, merampok dan saling membunuh demi kekayaan yang dianggap abadi. Padahal Tuhan sudah bergurau dengan berfirman: "Sesungguhnya penjajah itu (asing dan aseng) adalah musuh utama bagimu, maka jadikanlah ia sebagai musuh(mu) selalu. Bukan sesamamu (QS. Al Fathir, 35:6)."

Oleh sebab itu, tinggalkan permusuhan dengan sesama manusia indonesia dan jadikan penjajah (asing dan aseng) sebagai satu-satunya musuh. Musuh yang membuat kalian hidup dalam 6K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, konflik dan ketimpangan.

Dus, pembangunan mental, nalar dan nasionalisme (trimatra) kita mestinya diorientasikan ke sana. Membangun secara berdaulat menjadi metoda pembunuhan terhadap penjajah asing dan aseng yang hasilkan 6K seperti di atas.

Dengan kedaulatan pembangunan yang bertumpu pada model, modul dan modal (3M) partisipatif-gotong royong maka, kita tidak akan memproduksi para psikopat di ajang ipoleksosbudhankam. Tentu ini rangkaian perlawanan atas menjamurnya agensi psikoptat hasil dari persetubuhan haram fundamentalisme pasar dan fasisme agama plus feodalisme ekonometrika.

Para psikopat ini meneruskan jejak langkah neoliberalisme yang tak dihapus pak presiden dan rumah rahim neofundamentalisme yang tak didelet pak presiden plus bumi neotribalisme yang tak diaborsi pak presiden.

Jejak dan tapak psikopat yang berakibat chaos yang tak berkesudahan. Tak percaya? Cek semua media di sekitar kita: cetak, web, elektronik dll.

Makna psikopat secara umum adalah sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat, karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang di sekitarnya.

Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar penuh atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati. Sedang pengidapnya disebut orang gila tanpa gangguan mental.

Menurut penelitian kami, pasca diberlakukannya demokrasi liberal, sekitar 10% dari total penduduk Indonesia mengidap psikopati sosial. Pengidap ini sulit dideteksi karena 95% lebih bebas berkeliaran daripada mendekam di rumah sakit jiwa. Terlebih pengidapnya sukar disembuhkan.

Kalian mau tahu ciri psikopat? Ia selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri, menyalahkan orang lain tanpa data dan berbahagia di atas derita sesama.

Para pengidap psikopat (ekopol) hanya merasakan senang dan bahagia atas kemenangannya sesaat tetapi akan merasakan sampah kalau kalah walau tak menyerah. Mereka tak mungkin bicara mengatasi problema warga negara. Sebab, mereka jadi elite yang silit karena hobi menambah masalah. Sebab, masalah itu sumber uang bagi mereka.

Di tangan elite psikopat, kemartabatan bangsa defisit, pemerintahnya tidak mampu mengontrol dan menguasai seluruh SDAnya; pemerintahnya sangat lemah dan tidak efektif; tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang memadai; gotong-nyolong; korupsi dan kriminalitas yang meluas; banjir TKI/W; konflik antar lembaga negara; dan penurunan kesejahteraan ekonomi yang tajam.

Hanya dengan pembangunan berdaulat: jiwanya, pikirannya, badannya dan tanah-air-udaranya, bangsa ini kembali tegak melayani kejeniusan dan kemartabatan kita semua.

***


Mengapa iptek kita seperti berhenti? Padahal berbagai warisan tekhnologi kita begitu tinggi. Tekhnologi pembuatan rumah bersama seperti candi dan klenteng serta tekhnologi pembuatan senjata perang via metalurgi begitu dasyat.

Candi, pasti punya tekhnologi tinggi. Baik arsiteknya maupun seni penciptaannya. Bangunan sangat megah tanpa paku, tanpa lem dan tanpa semen menjadi bukti kecanggihan tekhnologinya. Begitu juga kelenteng-kelenteng yang tersebar di berbagai daerah. Seni dan polanya luarbiasa.

Nah, jalur metalurgi juga demikian. Ia adalah teknologi logam, yakni penerapan sains dalam produksi logam dan rekayasa komponen-komponen logam untuk digunakan pada produk-produk yang ditujukan bagi konsumen dan industri-industri manukfaktur.

Produksi logam meliputi kegiatan mengolah bijih untuk mengekstrasi kandungan logamnya, dan kegiatan memadu logam, kadang-kadang dengan unsur-unsur nonlogam, untuk menghasilkan berbagai perkakas kehidupan.

Dengan beberapa bukti di atas maka kita merupakan negara berpotensi sangat besar di bidang pengetahuan, ilmu dan tekhnologi. Sayangnya, pengembangan teknologi kini terasa lambat. Pemerintah kurang memberikan perhatian terhadap pengembangan teknologi. Akhirnya lebih banyak teknologi dari luar negeri yang masuk ke Indonesia.

Untuk menjadi negara maju, Indonesia perlu memperhatikan aspek pengembangan teknologi. Pengembangan teknologi, khususnya teknologi tinggi seharusnya menjadi prioritas utama setelah pendidikan dasar.

Bahkan dengan menguasai teknologi, bidang lainnya juga dapat merasakan dampak positifnya. Pengembangan teknologi merupakan tulang punggung pembangunan ekonomi, menjadi kekuatan utama dalam persaingan global dan sarana mencapai kemakmuran bangsa.

Singkatnya, penemuan ilmu pengetahuan yang pas bagi kita serta pemanfaatan teknologi saat ini merupakan dasar untuk mengembangkan kehidupan berbangsa dan bernegara.

Karena itu, kemajuan suatu negara didasarkan atas seberapa jauh ilmu pengetahuan dan teknologi yang dikuasai oleh negara tersebut. Hal ini sangat beralasan karena ilmu pengetahuan dan teknologi merupakan dasar dari setiap aspek kehidupan manusia; modal menaklukan dunia; cermin kedaulatan negara. Tak ada kedaulatan negara tanpa daulat iptek.

Tak ada daulat iptek tanpa daulat cita-cita besar. Dengan cita-cita besar, kita memastikan kedaulatan iptek yang manusiawi, pancasilais dan menzaman.

Tetapi, kita harus ingat bahwa jauh sebelum barat dengan teknologi modern yang fantastis seperti sekarang, peradaban kita juga lebih tinggi, bahkan dalam beberapa hal, tak terjangkau logika di abad ini.

Sayangnya, kita terlalu berorientasi ke ‘barat’ dan melupakan ‘timur.' Tentu, timur yang dimaksud adalah peradaban penuh ‘mukjizat’ tempat ‘ruh’ kita sendiri ditiupkan.

Inilah jejak kedaulatan iptek kita. Tapak iptek yang ada, janganlah dianggap sebagai mitos yang tak sejalan dengan logika ilmiah, prinsip-prinsip dasar sains-teknologi modern. Sebaliknya harus diletakkan sebagai ontologi dan inspirasi.


***

Semua berujung pada adab. Tanpa adab, manusia hanya hewan yang tak memanusiakan manusia. Inilah kata dasar dari peradaban. Tetapi, secara leksikon, peradaban adalah kumpulan identitas terluas dari seluruh hasil budi daya manusia. Dus, ia mencakup seluruh aspek kehidupan manusia, baik fisik maupun non-fisik. 

Identifikasinya dapat melalui unsur-unsur obyektif umum, seperti bahasa, sejarah, agama, kebiasaan, institusi, maupun melalui identifikasi diri yang subjektif. Istilah "peradaban" dalam bahasa Inggris disebut civilization. Dalam bahasa Belanda disebut bescahaving dan dalam bahasa Jerman disebut die zivilsation. Dus, jika kita ingin meringkasnya, peradaban dapat dikatakan juga sebagai akumulasi dari cipta, karsa, karya dan kuasa manusia untuk memanusiakan sesama. Karena itu, ia lebih luas dari diskursus kemakmuran yang bersifat komunitarian. 

Sebagai cita-cita publik, peradaban harus punya praktik keadilan, persamaan, pemerataan, kebahagiaan, kesejahteraan dan kemakmuran yang dikurikulumkan plus disebarkan. Menurut sejarahnya, wajah terbaik dari peradaban ada empat hal: 

  1. Moral: berupa nilai-nilai masyarakat dalam hubungannya dengan kesusilaan.
  2. Norma: yaitu aturan, ukuran, atau pedoman yang dipergunakan dalam menentukan sesuatu sebagai benar atau salah, baik atau buruk. 
  3. Etika: yaitu produk moral tentang apa yang baik dan buruk dan menjadi pegangan dalam mempengaruhi tingkah laku manusia. Bisa juga diartikan sebagai etiket, sopan santun. 4)Estetika: yaitu kebiasaan yang mencakup keindahan, kesatuan, keselarasan, dan kesetimbangan, keadilan sosial. 
Bagaimana ia hadir dan dihadirkan? Bagaimana ia dipromosikan dan terkadang menjadi alat pertahanan diri dan peperangan? Kuliah berikutnya akan menjawab beberapa soal tersebut.


***

Tentu, ini diskursus terpelik sepanjang republik. Bahkan jauh sebelum kemerdekaan tiba. Entah mengapa, kita tak sudah-sudah berkonsensus untuk bertempur kembali beratus kali. Indonesia, secara tiba-tiba sering terjerembab di persimpangan jalan yang melahirkan kembali ketegangan dua kiblat moralitas publik: kebangsaan dan keagamaan. Situasi itu terungkap secara gamblang dalam istilah dan semboyan yang dipakai dalam debat publik. Singkatnya, negeri ini terlalu lugu dan serius jatuh dalam pelukan fundamentalisme: agama dan pasar. Ya. Agama kini bagai monster yang mengerikan. Para pemuka yang garang mendapat tempat longgar di media. Bukan solusi bernegara yang tumpah dari mulut dan fatwanya, tapi luapan kemarahan tak sudah-sudah. Seringkali, karena tak kunjung mendapati keadilan hukum dan ekonomi, kita memilih kembali untuk memeluk fundamentalisme agama. 

Hukum dan ekonomi yang memihak kaum tertentu, golongan kaya dan para penguasa itulah akar-akar kekerasan berbaju agama. Agama menjadi pelarian, tempat meminta kedaulatan, bungker identitas yang nyaman walau dangkal. Agama menjadi baju, romansa dan alat perlawanan walau sempit dan nir ilmuwan. Padahal, sejarah kebangsaan dan keagamaan kita tak sesempit itu. Sebab, sejak sebelum Indonesia merdeka, masyarakat telah mewarisi beragam tradisi yang erat kaitannya dengan keberagamaan, kebangsaan, kemanusiaan dan keindonesiaan. Baik teks maupun konteks. 

Karenanya, nilai-nilai kebangsaan, kemanusian, keindonesiaan dan kemodernan tidak perlu dipertentangkan dengan nilai-nilai keagamaan. Karena nilai-nilai agama subtantif yang berupa persatuan, keadilan, kemakmuran dan perdamaian itu selaras dengan nilai kebangsaan dan keindonesiaan. 

Dalam sejarahnya, kita bisa contoh pada aksiologi Bung Hatta yang menyatakan 100% Islam sekaligus 100% Indonesia. Begitu juga dengan Soegijapranata yang mengatakan 100% Katolik sekaligus 100% Indonesia. 

Kini kita perlu solusi. Kita perlu menjawab pertanyaan, "Bagaimana agar kontestasi keagamaan dan kebangsaan tidak sirkular?" Pertama tentu saja menajamkan gagasan negara pancasila menjadi negara progresif. Negara yang memastikan hadirnya keadilan untuk semua, kemakmuran milik semua, kesentosaan ada di genggaman tangan dan kedaulatan diri dan negara hadir jelas di sepanjang kehidupan. Kedua, memastikan Pancasila sebagai norma dasar tidak hanya bermakna substansial-material, tetapi juga prosedural-formal. Secara substansial-material, berbagai hukum yang ada di Indonesia, baik yang tertulis maupun tidak tertulis, harus mengacu ke Pancasila sebagai rujukan tertingginya. Oleh sebab itu, setiap norma hukum harus memuat dan mempertimbangkan nilai-nilai kasih sayang, saling menghormati, dan toleran (wujud sila pertama), berperikemanusiaan (sila kedua), menjaga persatuan dan persatuan (sila ketiga), musyawarah mufakat (sila keempat), serta solidaritas sosial yang berkeadilan (sila kelima). 

Nilai-nilai yang terkandung pada Pancasila harus terus menjadi landasan etis atau pedoman perilaku baik dalam masyarakat di ruang-ruang publik. Sebab, nilai-nilai tersebut terkait dengan rencana aksi untuk membentuk sistem etika di bidang politik, ekonomi, sosial-budaya, hankam, iptek dan modernitas. Inilah dua jawaban bagi hadirnya kedaulatan agama dalam arti sesungguhnya. Ia dipeluk dan diimani dalam kerangka memastikan kemanusiaan semesta dan kemakmuran alam raya. Ia berdaulat untuk bergotong-royong lintas sara dan lintas umur plus lintas negara serta lintas zaman.


***

Apa yang tidak kita warisi dari kolonialisme? Rasanya tak ada. Sebab warisannya super lengkap. Agama (sumber nilai) kita, praktis agama kolonial. Sekolahan (sumber pengetahuan) kita, praktis sekolah kolonial. Tentara (sumber agensi pertahanan) kita, praktis tentara kolonial. Birokrasi (sumber manajemen) kita, praktis birokrasi kolonial. Istana dan kota (sumber kuasa dan seni) kita, praktis istana dan kota kolonial. Inlanderitas dan ambtenaar (sumber mental dan karakter) kita, praktis inlanderitas kolonial. 

APA YANG BUKAN KOLONIAL, KAWAN? Bahkan cara makan, bercinta, berdemokrasi, berekonomi dan berpakaian kitapun warisan kolonial. Apa lagi yang belum disebutkan? 

Dalam konteks mental, kami melakukan riset yang hasilnya mengejutkan. Selama setahun, kami coba mewawancarai tiga profesi (pns, sopir plus mahasiswa/i) dan masing-masing profesi diwakili oleh 200 responden. Pertanyaan dan wawancara seputar mental dan tabiat warganegara Indonesia. Saat ditanya apa sifat, sikap dan tabiat yang paling dikenal dari warga hari ini? Mereka menjawab: menipu, melupa dan menyogok. Ketika ditanya bagaimana sikap mereka terhadap tiga mental itu? Mereka menjawab: memaklumi, memaafkan dan membiarkan. Lalu, saat ditanya apa respon mereka terhadap orang yang bermental sebaliknya? Mereka menjawab bahwa orang-orang tersebut: naif, culun dan sok suci. Saat disodorkan pertanyaan apakah mereka butuh manusia yang sidik, amanah, tablig dan fatanah? Mereka menjawab: sudah tak ada, tak butuh dan terserah. Terakhir ketika ditanyakan bagaimana cara membuat masyarakat kembali berpegang teguh pada idealisme? Mereka menjawab: tidak mungkin, dengan uang dan tunggu takdir. Singkatnya, mereka yang diwawancara menyimpulkan bahwa kini adalah era kebolak-balik. Yang salah jadi benar dan sebaliknya. Yang idealis jadi oportunis dan sebaliknya. Yang berjuang, kalah dan sebaliknya. 

Kini, kerakyatan dan keindonesiaan (demokrasi politik dan ekonomi) boleh dipimpin oleh para penipu; boleh diisi oleh orang lugu; boleh dikerjakan oleh para pelupa; boleh dikembangkan oleh para penyogok. Merekalah kini yang menjadikan Indonesia ajang avonturisme kepentingan perseorangan dan keluarga. Merekalah kini yang sedang mengenyangkan perutnya sendiri. Mereka melupakan konsensus kepemimpinan oleh hikmah (kearifan yang mencerahkan, memartabatkan dan membebaskan). Mereka mencampakkan mental kebijaksanaan (kepantasan, kenalaran, keadilan dan pertanggungjawaban). Mereka menghancurkan karakter permusyawaratan dan perwakilan (keseriusan, keterwakilan, keterpilihan dan keseluruhan). 

Dengan hancurnya mental dan karakter hikmah-kebijaksanaan, maka seluruh arsitektur mental demokrasi ekopol Pancasila kini, kita makin menjauh dari cita-cita berbangsa dan bernegara Indonesia. Inilah arsitektur mental kolonial yang sedang dijalankan kita semua. Tentu saja tidak sesuai dengan kondisi sosial-budaya dan falsafah bangsa kita. Akibatnya kita paria dan panen ketidakadilan di mana-mana. Jumbuh penderitaan rakyat yang tak tahu kapan selesainya. 

Kini saatnya mengumpulkan sepuluh senjata, seratus peluru. Satu senjata dan sepuluh peluru digunakan untuk membunuh musuh asing-aseng. Yang sembilan senjata dan sembilanpuluh peluru kita gunakan untuk membunuh pengkhianat lokal. Yaitu mereka yang mentradisikan mental kolonial di segala tempat dan waktu. Jika masih kurang, mari kita rakit nuklir saja. 
 ***

Takdir zaman ini adalah tragedi profanisasi atau desakralisasi. Banyak tokoh besar Indonesia mengalami, pinjam istilah Ben Anderson dalam, “Exit Soeharto: Obituary For a Mediocre Tyrant” on New Left Review edisi 50 (Maret-April 2008), “historical erasure” alias penghapusan sejarah.

Banyak sosok-sosok besar di zaman interupsi mengalami "penghapusan” dalam narasi sejarah akibat penulisan peradaban rezim disrupsi. Legenda ditiadakan; jasa dilupakan; warisan pengetahuan dialpakan; citra subtansi pahlawan diselewengkan.

Di Universitas Nusantara dilakukan sebaliknya. Sebab kejuangan hari ini ada, karena tokoh dan jasa mereka. Nama dan pikiran; tindakan dan warisan akan dipelajari dan dikembangkan. Secara terus dan konsisten. Agar kita tak buta sejarah; tak rabun konstitusi; tak khianat pada asal-usul; sehingga gagah memecahkan masa depan.

Kami ingin ilmu mereka, dedikasimu dan jasa mereka berkembang senapas dengan peradaban baru yang makin civilian di mana para pewarisnya menjadi tulang punggung kemanusiaan.

Kepada kalian yang terlibat dalam proyek ini, betapa aku bangga dan bersyukur. Semoga alam raya restu. Semoga Tuhan memberi jalan. Dan, semoga semua jadi warisan keren buat generasi berikutnya. Aamiin. GBU ALL.

Sejarah indonesia adalah sejarah kerakusan, penjajahan dan kemiskinan. Ilmu indonesia adalah ilmu jejadian, penyesatan dan pengaburan. Ekonomi indonesia adalah ekonomi penistaan, ilusi dan sok ilmiah.

Warga indonesia adalah warga budak, kesusahan dan kepahitan. Elite indonesia adalah elite kebajinganan, kerakusan dan kekufuran. Agama indonesia adalah agama fundamentalisme, kepasrahan dan eskatologisme.

Tanpa dentuman raksasa, takdir manusia Indonesia mati di lumbung demokrasi liberal: modal bacot dan dollar. Irama lagunya tipu sana kentit sini.

Ya. Ini jenis indonesia lama. Paket lengkap jahiliyah. Frustasi tiada henti. Jahiliyah purba. Yang akan berganti baru jika kita yang berkuasa. Kuasa karena crank dan menyempal. Yang memuja intelektualisme, spiritualusme, muktikulturalisme dan humanisme berbasis mutualisme dan resiprokal antara theo-antro-ecocentrisme.

Karenanya, dalam skema postulat mentalitas purba dan kolonial, manusia Indonesia ada empat model:

1) Bermental raja, berperilaku raja. Orang ini besar dan merubah zaman. Sejuta satu. Membanggakan sekitar. Jenis ini paling langka di Indonesia. Tan, Karno, Hatta, Dirman, Pram dan Madjid adalah bbrp contohnya.

2) Bermental raja, berperilaku jelata. Mirip indonesia: kaya SDA tapi miskin kuasa. Antara posisi dan kenyataan tak seirama. Memalukan sekitarnya. Syahrir, Harto, Malik dan Durahman adlh bbrp contohnya.

3) Bermental jelata, berperilaku raja. Boros dan tidak tahu diri. Hidup dalam alam ilusi. Membingungkan sekitarnya. Beye, Mega, Joko dan Jeka adalh bbrp contohnya.

4) Bermental jelata, berperilaku jelata. Jujur dan apa adanya. Sekehendak takdir dan seirama global. Sekrup peradaban. Ini yg paling banyak. Para pedagang kaki lima adalah contoh kongkritnya.

Dari golongan yang pertama lahirlah Indonesia Raya. Apa yang raya? Sebagai sebuah gagasan, indonesia adl republik yang anti feodalisme (siapa ortumu); anti fasisme (apa ijasahmu); anti fundamentalisme (apa agamamu); anti kapitalisme (berapa dolarmu); anti suara dominan (mayorokrasi); anti suara tunggal (minorokrasi).

Sebab itu, yang ditanyakan adalah "apa gagasanmu dan apa prestasimu." Krn itu, indonesia lahir sebagai karnal (menyimpang dari keumuman) yang hibrida; terbuka, toleran, genuin, moralis, bersih dan nalar publik.

Sayangnya kini kita banjir neoliberalisme; idenya berapa duitmu dan mana hasil rampokanmu. Indonesia jadi sangat menjijikan buatku dan bagi generasi yg mencintai Pancasila. Muntah-muntah kita dibuatnya. Banjir lendir dan sinetron basi di mana-mana.

Maka, bagi kaum idealis, negeri ini tempat untuk "bisa" memahami (saja). Bagi kaum pengkhianat, negeri ini tempat untuk "banyak" mencuri. Bagi para aktifis, negeri ini tempat untuk "tahu" onani. Bagi para pahlawan, negeri ini tempat "berperang yang never ending stories."

Kini, "jika indonesia adalah menara Pancasila, Soekarnolah yang membuat pondasinya. Pramoedyalah yang membangun temboknya. Dan, akulah yang akan memastikan terpasang atapnya agar tugas presiden berikutnya tinggal membawa kejayaan-kemakmuran-keadilan di dunia."

Berperang-perang dahulu, singkirkan begundal kemudian. Menikam mati neolib dahulu, untuk membangun kesejahteraan yang tak gaib. Rawe-rawe rantas, malang-malang tuntas. Semua pengkhianat harus lenyap, agar pahlawan-pahlawan baru segera tunas.

Kalian mau bersamaku atau bersama para begundal lokal yang berbahagia di atas derita sesama? Kalian bersamaku atau mau putus asa? Kalian memaknai Indonesia sebagai apa? Ayok tentukan sikapmu.

***

Dengan sangat dingin dan yakin, kita bisa menyebut tahun-tahun terakhir dan ke depan sebagai persetubuhan akut zaman kalatida dan kalasuba. Dan, ini hanya perulangan saja. Bukan laku kiyamat besar yang mengakhiri peradaban manusia.

Persetubuhan ini didorong oleh tata hukum, tata kenegaraan dan tata pembangunan yang cacat moral karena defisit akal sehat sambil mengkhianati konstitusi serta menafikan sejarah agung nusantara.

Kalatida adalah zaman ketika akal sehat diremehkan, perbedaan benar dan salah, baik dan buruk, adil dan zalim, tidak diindahkan oleh semua orang, terutama elite pemerintahan.

Kalabendu adalah zaman stabilitas pemerkosaan, penindasan dan penggusuran pribumi sehingga tercipta ketidakadilan dan kemiskinan akut di mana-mana.

Keduanya menjadi istilah yang menggambarkan situasi sosial masyarakat yang tidak menentu, penuh ketidak pastian dan diliputi kecemasan akan gelapnya masa depan (madesu).

Menghadapi kalatida dan kalabendu ini, refleksi perlu kita hadirkan; proyeksi perlu kita pastikan. Agar keadaan sosial menjadi kedaulatan sosial. Yaitu daulat sosial karena ketaatan, kepatuhan dan keteraturan sehingga kita terus memproduksi kebenaran via ilmu; kebaikan via mental; keindahan via seni dan kerakusan gotong-royong tolong menolong.

Inilah subtansi kedaulatan sosial karena moral, mental dan kebangsaannya memproduksi sembilan kurikulum aksi jenius:

(1) Apabila beriman, ia idealis;
(2) Apabila berjuang, ia selesaikan;
(3) Apabila dipercaya, ia tidak berkhianat;
(4) Apabila berbicara, ia tidak berdusta;
(5) Apabila berjanji, ia tidak ingkar
(6) Apabila bermusuhan, ia tidak menelikung;
(7) Apabila sukses, ia tidak takabur;
(8) Apabila gagal, ia tidak mengeluh;
(9) Apabila berkuasa, ia bergotong-royong.

Tentu setiap kedaulatan sosial itu luar biasa. Karena itu dalam sejarah yang sangat panjang, para pejuangnya tidak hanya bicara hidup; bicara kematian; bicara agama; bicara ideologi; bicara tuhan dan melakukan ibadah ritual keagamaan semata.

Tetapi, para pejuang selalu bicara keadilan dan kesejahteraan via revolusi struktur ekonomi-politik. Ya. Revolusi sistemik ekonomi-politik yang gigantik. Tanpa revolusi dan tindakan-tindakan raksasa, zaman kita akan jatuh menjadi bisnis dan menternak mafia saja.

Kini, yang paling genting bagi zaman edan adalah proyeksi besar, “jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, karena akan menjadi mentalmu. Jagalah mentalmu, karena akan menjadi nasibmu.”

Dus, keadaan sosial tanpa kedaulatan adalah anti mental dan anti nalar yang tekhnik dan ekonometrik. Selebihnya, kedaulatan sosial tanpa tindakan raksasa adalah praktik aristokrasi bermulut demokrasi. Satu kondisi riil partai-partai di negara ini di mana semua milik pribadi, keluarga dan selangkangan saja.

Akibatnya, kemakmuran bersama itu bukan tujuan. Keadilan sosial bukan cita-cita. Dan, kedaulatan sosial bukan konsensus bersama. Tentu, kita tak ingin hidup seperti itu.

***


Kita mulai dengan hipotesa para pendiri Indonesia, bahwa "tanpa kedaulatan ekonomi, tidak ada gunanya kemerdekaan." Apa maksud dari hipotesa tersebut dan bagaimana merealisasikan kedaulatan ekonomi? Mari kira runut pelan-pelan.

5 tahun terakhir, kondisi ekonomi kita secara riil makin buruk. Daya bayar sangat rendah. Sayangnya, kebijakan ekonomi yang diambil salah arah. Kebijakan yang diambil jauh dari kepentingan rakyat banyak: bahkan sangat tidak profesional. Dan, para pengambil kebijakan itu tak berganti: orang dan metodanya masih sama. Wajar kalau hasilnya biasa saja. Memburukpun mereka tak mau tau. Sebab citra dunia telah disematinya.

Jadi, bagaimana merdeka dan berdaulat? Tentu dengan cara revolusi dan berproduksi. Dus, kita tidak bisa berbicara soal kedaulatan ekonomi bila kita tidak memproduksi barang-barang yang kita konsumsi.

Itu artinya, negara jasa yang berujung menjadi negara konsumen menyalahi makna kemerdekaan dan kedaulatan. Itu artinya, saat barang-barang yang kita konsumsi terus menerus didatangkan dari luar negeri (impor), berarti kita telah mengkhianati cita-cita para pendiri Indonesia: berdaulat secara politik, berdikari dalam ekonomi, berkepribadian dalam kebudayaan.

Sebenarnya, kita memiliki kemampuan untuk memproduksi barang-barang yang kita konsumsi seperti beras, kopi, gula, tepung dan jagung. Sayangnya, mentalitas pejabat kita yang menjadi rente dan brooker mengakibatkan kebutuhan basis yang ada, dikalahkan bahkan dibunuh via impor.

Itulah jalan anti kedaulatan. Jalan ekonom neolib yang merusak istana Indonesia. Mereka terlalu manja dan tidak punya temuan apalagi terobosan berbasis pancasila. Sehingga masih bermodal utang dan gadai yang sudah sangat merusak republik Indonesia.

Beberapa gelintir ekonom elite terlalu mencintai kedudukannya sampai tidak tahu fungsinya untuk memanusiakan manusia; membahagiakan sesama; mengadilkan kehidupan di dunia. Padahal, kedudukan dan jabatan tanpa keluhuran adalah warisan dan kurikulum yang haram diteruskan. Sepertinya mereka kini lugu, kemarin dungu.

Hari ini, mereka yang berekonomi bertaruh bahwa uang dan kapital adalah aset terbesar di seluruh dunia. Ia mengalahkan gelar, cinta, agama, kekuasaan dan pengaruh. Ia menjadi ciptaan manusia yang memperbudak penciptanya.

Saatnya, ilmu ekonomi harus diartikan sebagai pikiran terjauh, terobosan terkini, solusi bernegara, cara-cara terjenius menunaikan janji proklamasi dan merealisasikan konstitusi.

Terlebih, berekonomi pada akhirnya butuh orientasi yang jelas. Yaitu ekonomi yang berdaulat. Hanya itu yang bisa secara jelas mengungkapkan tujuan-tujuan kegiatannya, mencapainya, dan membuat rakyat bersemamgat dalam satu front.

Singkatnya, kita harus mulai dari kemerdekaan pikiran dan tindakan. Kedua, menerjemahkan pancasila dan konstitusi ekonomi. Ketiga, konsisten membela yang miskin, terpinggirkan, kalah, cacat dan kekurangan.

Ingat. Manusia merdeka diukur berdasarkan kemampuan berpikirnya. Kapasitas ini pula yang melahirkan konsep tentang kedaulatan, sebuah nikmat yang melekat dalam kehidupan. Kedaulatan ditandai dengan hak otonominya, bahkan disebut lebih besar dari nikmat hidup itu sendiri. Dulu, para pejuang kemerdekaan mengaktualisasikan pemahaman ini dalam pekikan perjuangan 'Merdeka atau Mati'.

Apalah arti hidup jika kedaulatan kita sebagai manusia terrenggut. Apa guna hidup berbangsa, jika tetap terjajah. Betapa besarnya arti kedaulatan, sampai-sampai kematian dianggap lebih bermakna. Hiduplah mulia atau mati syahid, yakni hidup dengan pengoptimalan berpikir jenius: mandiri, berdaulat, modern dan menzaman.

Dengan akal berdaulat, lahir ucapan berdaulat. Dengan ucapan berdaulat, lahir tulisan bermartabat. Dengan tulisan bermartabat, lahir tindakan dan aksi konstitusional, produktif dan menzaman untuk memanusiakan manusia. Merdeka.

***

Kedaulatan dan kebudayaan itu seperti pohon dengan akar. Jika akarnya kuat, pohon tak mudah tumbang. Tetapi, sesi terpenting dari daulat kebudayaan adalah potret lengkap soal budaya kota dan desa: refleksi dan proyeksinya.

Sebab, refleksinya adalah rekaman penanda dan petanda seperti patung-patung, rumah, bentuk dan fungsi bangunan, nama jalan, kuliner, baju, foto.

Ada juga potret aktivitas seremonial riwayat mereka seperti, nyanyian, lukisan, jenis tarian, fotografi, karya sastra, serta tradisi lisan.

Proyeksinya, kita berhadapan dengan desakralisasi (profanitas) di seluruh hal ikhwal berupa hancurnya sistem sosial warga negara, kecemasan, konflik sosial, kemiskinan dan ketimpangan. Kita juga terjangkiti warisan romantisisme bin purbakalaisme yang begitu kuat kurikulumnya di pelbagai tempat dan waktu.

Karena itu kita harus bahas sejarahnya dan tata kelola serta cara mengantisipasi kehancurannya. Roadmapnya: 1)Pendataan ulang, 2)Pemetaan, 3)Penguatan, 4)Peremajaan, 5)Pengembangan, 6)Pentradisian, 7)Pemoderenan: e-culture and e-comm.

Dengan demikian, kerja raksasa dalam budaya nasional ini adalah merekonstruksi perubahan dan dinamika tempat tinggal (kota dan desa) di Indonesia dari era prakolonial hingga postkolonial dengan sumber-sumber yang baru, jenius, semangat dan sikap "raya."

Tanpa pemetaan yang adekuat dan terintegrasi dalam manajemen informasi sistem (MIS), tanpa reliteralisasi, tanpa rekurikulumisasi, tanpa kehadiran kesadaran mix culture, maka kedaulatan budaya kita akan melemah, bahkan hancur.

Agar tak hancur, agar ia menjadi pondasi kebangsaan, ia harus diarusutamakan. Dus, pelestarian budaya Indonesia dan pengembangannya demi kedaulatan plus peradaban yang raya pastilah merupakan amanat yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945. Ia juga komitmen kita untuk menjadi bagian dari warga semesta.

Memastikan kedaulatan dalam budaya tentu saja tak mudah. Sebab, kita mewarisi tiga hal: 1)Mental kolonial: inlander, instan dan mendendam. 2)Nalar kolonial: fasis, feodalis dan fundamentalis. 3)Konstitusi kolonial: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris.

Ketiga warisan itu menciptakan 5K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, ketimpangan. Kerananya kita membutuhkan solusi, jalan, obat dan subjek. Itu hanya dapat dikerjakan oleh manusia pancasila berideologi pancasila. Menciptakan indonesia raya, nusantara dan peradaban atlantik.

Apa musuhnya? Adalah ide dan praktek fundamentalisme. Di negeri-negeri liberal, musuhnya fundamentalisme agama. Di negeri-negeri postkolonial, musuhnya fundamentalisme pasar.

Di indonesia, dua fundamentalisme itu (agama dan pasar) bersetubuh. Persetubuhan dua fundamentalisme ini melahirkan teror yang membuat perdamaian hilang digantikan kebencian, kejahiliyahan dan peperangan.

Fundamentalisme agama menciptakan identitas baru yang bineris:  "aku" versus "kamu" atau "kita" versus "mereka." Fundamentalisme agama berkeyakinan bahwa agamanya (tuhannya) di atas segalanya: segala-galanya.

Fundamentalisme pasar menciptakan identitas baru yang brutal-dominatif: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa pasar di atas segalanya: segala-galanya.

Globalisasi percaya bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi. Pada praktiknya, paham ini menjelma menjadi neoliberalisasi di mana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang mendikte mayoritas orang dan negara lain.

Pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan alat untuk memerdekakan orang, menjelma menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai kue politik dan ekonomi bagi dirinya saja.

Dua fundamentalisme ini melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru, memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran teror dan chaos.

Kita marah atas tumbuh dan berkembangnya dua fundamentalisme tersebut, tetapi itu tidak cukup. Kita harus jenius. Saat Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, kita harus melakukan pekerjaan jauh lebih besar dari sekadar marah dan pasrah.

Dus, kita harus menikam mati tepat di jantungnya, dua jenis fundamentalisme yang sedang menguat sebagai kanker peradaban.

***


Sambil bergurau, kita harus bertanya: jika kekuasaan adalah tujuan; kursi adalah imbalan; harta adalah cita-cita, sebenarnya kamu siapa?

Jika kepentingan pribadi adalah hal utama; kepentingan keluarga adalah segalanya; kepentingan rakyat tak perlu ada, sebenarnya kamu dari mana?

Pertanyaan ini penting karena kita belum tahu siapa elite kita dan dari mana mereka berasal. Sebab, jika mereka warganegara Indonesia, kenapa saat berkuasa tak melindungi segenap tumpah darah; kurang menyejahterakan rakyatnya; tak serius mencerdaskan semua; dan tak memastikan kemartabatan negara di dunia.

Apa buktinya? Sampai kini kita tak punya undang-undang modern dalam urusan pertahanan dan keamanan nasional serta belum punya badan/lembaga keamanan nasional.

Undang-undang keamanan nasional adalah aturan tertulis yang memastikan terjaminnya kedaulatan negara kita dari serangan semua penjuru: wilayah/teritorial, ekonomi, politik, sosial, budaya, keamanan, agama, ideologi dan iptek, baik yang datang lewat perang militer maupun nir-militer.

Memang, kita sudah memiliki UU Pertahanan Negara, nomor 3/2002 yang di dalamnya merumuskan bela negara. Menurut undang-undang tersebut, bela negara adalah sikap dan perilaku warga negara Indonesia yang dijiwai dengan kecintaan terhadap Indonesia yang utuh dan berdaulat, yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 untuk melindungi bangsa dan negara.

Sedangkan badan/lembaga keamanan nasional adalah badan jenius pemenangan perang yang bertugas untuk mengumpulkan dan menganalisis invasi negara lain, serta melindungi semua milik kita. Badan ini mengkoordinasi, mengarahkan, serta menjalankan aktivitas-aktivitas amat istimewa dengan mengumpulkan informasi intelijen dari luar negeri, terutama menggunakan IT super canggih.

Sesungguhnya, dari konstitusi, kita sudah punya sistem pertahanan keamanan rakyat semesta (Sishankamrata). Sayangnya, setelah reformasi menghasilkan Ketetapan MPR Nomor VI Tahun 2000 tentang pemisahan TNI-POLRI dan Ketetapan MPR Nomor VII Tahun 2000 tentang Peran TNI dan POLRI, lahirlah UU Nomor 3/2002 tentang Pertahanan Negara, UU Nomor 34/2004 tentang TNI dan UU Nomor 2/2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia.

Sayangnya, setelah lebih dari satu dekade paca reformasi, mulai terasa ada kesulitan dalam mengimplementasikan berbagai regulasi tersebut. Sampai tingkat tertentu implementasi regulasi itu macet karena ada simpul-simpul yang tidak bisa diurai dengan cepat demi terciptanya kedaulatan negara.

Untuk itu kita harus membangun suatu kerangka kerja (frame work) yang menghasilkan sistem terstruktur dan terintegrasi via filosofi kedaulatan hankam.

Kesadaran kedaulatan hankam harus menjadi aksiologi berbangsa dan bernegara. Kesadaran bahwa, kita sedang mengandung dalam diri masing-masing api kemerdekaan, banjir revolusi, pergerakan kewarasan, dan rakus iptek yang nanti melahirkan kemandirian, kemodernan dan kemartabatifan di semua lini.

Generasi setelah kita yang akan memetiknya. Merekalah yang akan menjadi diri dan bangsa ini dahsyat kembali karena menemukan dirinya setelah kuman neoliberalisme kita tusuk mati tepat di jantungnya. 

Mereka adalah generasi garuda yang hormat pada kebaikan masa lalu sambil terus memproduksi kedahsyatan-kedahsyatan jenuin bagi masa depannya.

Kita harus sadarkan meraka bahwa sesungguhnya kecerdasan-kekayaan-kesehatan itu ialah hak seluruh warganegara dan oleh sebab itu, maka konglomerasi dan oligarki di bumi nusantara-bumi manusia harus dilenyapkan karena tidak sesuai dengan pancasila dan cita-cita proklamasi.

Itulah generasi yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil, makmur dan berdoa karena jiwa patriotik yang dibawa mati dan tangguh sampai di depan Tuhannya.

Kini, kedaulatan hankam itu adalah kesadaran bahwa kita adalah Diponegoro dan Tjokro yang menanam benih agar lahir badai-badai baru penyapu ranjau kejahatan lokal dan kebiadaban internasional.


***







APA proposal kita dalam mengatasi super ketimpangan (tentu saja kemiskinan) saat negara dan warganya mengidap penyakit volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity?

Dalam catatan Bappenas, kesenjangan kita dapat dilihat dari gini ratio yang masih tinggi, yakni pada Maret 2017 sebesar 0,393. Tingginya ketimpangan itu disebabkan booming harga komoditas sejak 2006-2011. Lantaran itulah kuat asumsi, pertumbuhan ekonomi hanya dinikmati 10-20 persen kelompok dengan penghasilan teratas. Selebihnya, 40 persen warga negara kita terpapar kemiskinan akut.

Karenanya, tak perlu diramalkan secara genius, masa depan warga negara Indonesia adalah kemiskinan dan kesenjangan akut. Para ekonom kritis menyebut bahwa per September 2017, Indonesia menduduki peringkat ketiga terparah dalam hal konsentrasi kekayaan penduduknya setelah Rusia dan Thailand. Maka, ketimpangan kita luar biasa hebat. Nomor tiga di dunia. Sebanyak 10 persen orang terkaya negara ini menguasai 77 persen kekayaan nasional.

Inilah tragedi nasional sehingga kita sedang mengalami disarticulated politic-economic structure? Dan, tahukah kita solusinya? Tentu saja belum ada solusi progresif dan signifikan jika melihat kinerja ekonom di sekitar Istana (Bappenas-Kemenkeu-KSP-BI). Mereka masih menggunakan pola dan mental lama.

Karenanya kini, yang perlu dilakukan adalah memberikan kontribusi solusi. Kita bisa usulkan metode the social state dan the super progressive income tax (pajak pendapatan super progresif).

Jika kita mampu membuat dan merealisasikan the super progressive global tax on capital maka seharusnya bisa mengendalikan the globalized super patrimonial capitalism.

Pangkal soalnya adalah, kemauan elite, kegeniusan Presiden dan ketaatan konstitusi. Tiga kunci inilah yang akan hasilkan pemikir-pemimpin yang genius menyelesaikan problema-kejadian jahat hari ini dan antisipasi destruktivisme masa depan.

Tiga kunci ini penting, karena Bung Karno dan Bung Hatta mewanti-wanti agar kita tidak mudah menggadaikan masa depan anak-cucu. Agar kita tidak utang semaunya karena akan mengorbankan sumber ekonomi riil (present real resources) dan sumber ekonomi masa depan (future real resources). 

Praktis obral SDA (Freeport dan Blok Masela, misalnya) adalah modus bayar utang ekonomi riil dan ekonomi masa depan. Akibatnya, kita mewarisi net transfer yang memberatkan nasib warga negara dan merusak kemerdekaan dengan ketergantungan. Kini, neokolonialisme sudah mantap via tiga jalur: utang (mata uang), impor (makanan), dan infrastruktur (produk).

Untuk melawannya, kita praktikkan negara Pancasila yang realisasinya pada ketepatan peletakan nilai berdasar konteks dan nuansanya. 

Berpancasila itu bukan siapa kamu, siapa orangtuamu, apa warna kulitmu, apa agamamu. Pancasila itu bukan personalitas, bukan pula komunalitas. Pancasila itu hibridasi dan komitmen kepada rakyat, karena kita semua berasal dari rakyat, bukan yang berkuasa dan seenaknya memerintah mereka. 

Tentu saja berpancasila itu bukan apa jabatan atau profesimu, di mana alamatmu. Kalau kamu merampok rakyat, kalau kamu mengutil harta rakyat, berarti kamu bukan rakyat. Selebihnya, kamu adalah pengisap, penindas, pelintah, penjajah, kompeni, kolonialis, penjahat kemanusiaan, dajjal semesta. 

Singkatnya, berpancasila itu bersetia kepada rakyat (miskin, cacat, dan terpinggirkan) serta siap mati menegakkan konstitusi. 

***



Mari bertanya, "mengapa setelah berpuluh tahun kita berganti-ganti sistem politik, cita-cita proklamasi tak terengkuh? Dan, tugas-tugas merealisasikan konstitusi justru makin jauh?"

Yang terjadi justru kita tidak mampu membuat kehidupan politik hari ini membaik dari masa lalu dan saat bersamaan tak punya rencana dahsyat guna menghadapi masa depan.

Yang riil, kita tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu, juga tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa kini sehingga rencana masa depan hanyalah spekulasi, mimpi dan ilusi.

Yang berjalan kini adalah mengulang struktur dan arsitektur politik di zaman penjajahan. Tatanan kenegaraan dan tatanan hukum juga mencontoh tatanan penjajahan. Kalau ada sedikit tambahan, itu juga hasil mencontek dari bangsa lain. Bukan produk bangsa sendiri yang digali dari perut bumi nusantara.

Akibatnya, rakyat, politik, ekonomi dan hukum hadir tanpa kedaulatan; tanpa kemandirian; tanpa kelaziman bangsa yang merdeka. Yang berdaulat hanya oligarki dan elite perampok. Yang eksis hanya ilmuwan penyembah tahayul pembangunan dan proxy penjarah.

Politik kita masih menghasilkan peradaban yang dangkal; tata hidup pinggiran dan tata amoral yang stabil. Tentu saja, hidup berbangsa bernegara itu perlu politik. Tetapi tak sembarang politik.

Ia harus politik yang tidak menjarah kemerdekaan iman, kehidupan prifat dan akal sehat. Dus, politik yang mendaulatkan rakyat; mendaulatkan negara dan bangsa. Politik yang menjamin kewajaran hidup bersama di dunia; politik yang menjaga daulat hukum alam; memastikan daulat hukum rakyat; mentradisikan daulat hukum akal sehat.

Inilah daulat politik. Inilah daulat pikiran politik Indonesia yang dalam praksisnya berbentuk "majelis" permusyawaratan rakyat (MPR). Ini merupakan konsep bernegara dalam pencarian tiang-tiangnya, setelah nilai, id, dasar dan cita-citanya ditemukan dan menjadi konsensus bersama.

Menurut Soepomo (1945), konsep Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan penjelmaan seluruh rakyat Indonesia, yang mana anggotanya terdiri atas seluruh wakil rakyat, seluruh wakil daerah, seluruh wakil golongan dan seluruh wakil kerajaan.

Konsepsi Majelis Permusyawaratan Rakyat inilah yang akhirnya ditetapkan dalam Sidang PPKI pada acara pengesahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. MPR kemudian menjadi lembaga tertinggi negara yang bertugas menyusun tafsir konstitusi dalam ipoleksosbudhankam secara serius, massif, terukur, terencana, terstruktur, rasional, progresif, adaptif dan menzaman.

MPR kemudian diisi oleh tiga cluster yang mewakili tiga model pengisiannya: via keterpilihan atau pemilu (untuk warga umum); keterwakilan atau hikmah (untuk suku, kerajaan dan golongan/profesi); ketercerdasan atau modernitas (untuk warga cendekia).

Karenanya, dalam daulat politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal--dpr dan dpd) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.

Dus, alasan kita menyusun MPR berdimensi konstitusi dengan membuat sistem trikameral (tiga kamar) adalah: Pertama, untuk membangun mekanisme pengawasan dan keseimbangan (checks and balances). Kedua, untuk menghilangkan dominasi kelas tertentu dalam bernegara. Ketiga, untuk membentuk perwakilan yang mampu menampung kepentingan tertentu yang biasanya tidak terwakili secara subtantif.

Secara khusus, trikameralisme dapat digunakan untuk menjamin perwakilan yang memadai bagi semua wilayah dan kepentingan (keterpilihan/pasar; kebijaksanaan/raja dan suku; kejeniusan/sekolah) dalam lembaga legislatif-representatif.

Trikameral ini merupakan metoda yang memastikan tak adanya dominasi satu kelas atau kapital terhadap lainnya dan merupakan kongklusi dari lima kamar dalam pancasila: 1)Kamar spiritual: pemuka agama dan kepercayaan; 2)Kamar kebijaksanaan: para raja, ratu, sultan dan pemuka adat. 3)Kamar pasar: para politisi parpol. 4)Kamar persatuan: para tni-polri. 5)Kamar teritorial: para akademisi dan profesi.

Daulat politik ini akan menjadi kunci bagi daulat yang lain. Sebab, jika ideologi adalah ontologi bernegara maka politik merupakan epistemnya. Yang lain adalah aksiologinya.

***