Cerbung#2 "KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN" - Yudhie Haryono


Hidup sebatangkara itu bagai muslim tanpa tetangga; bagai muslim tanpa musalla; bagai muslim tanpa kakbah dan masjid al-aqsa. Tak tahu harus berdoa kapan, ke mana, dengan siapa dan di mana. Itulah aku kini. Saat itu umurku 10 tahun. Umur kecil bagi derita besar. Hari pilu bagi zaman ceria.

Lalu, sejarah sedikit berlalu. Aku ditemukan keluarga baru. Maliter, yang katanya teman ayahku. Pindah pulau, migrasi kota, urban di Jawa. Di keluarga baru yang nyaman aku tumbuh bagai bunga syorga. Yang saat remaja pada umumnya merindukan peluk orang tua.

Ayahku satu-satunya yang kurindu, mati. Ibuku satu-satunya yang kusayang, mati. Keduanya kini entah di mana kuburnya. Kucari ke mana saat aku tak pernah punya dana. Tak ada solusi dan jalan yang bisa kutemukan. Gelap. Pekat. Mendung tiap hari. Banjir bandang tiap minggu. Lapar dan dahaga tiap bulan.

Hingga tamat SMA, datanglah tentara muda gagah perkasa. Mengingatnya, aku ingat fatwa Alkarim Alrevolusi, "jika ada seseorang yang terlanjur menyentuh hatimu, mereka yang datang kemudian hanya akan menemukan keentahan." Bertemu dua kali, aku jatuh hati.

Tetapi, inilah kematianku yang kedua. Ia hanya tabur senyum dan bunga. Ia tak banyak janji tetapi menatap penuh arti. Kini, tanpanya aku terasa lemah dan sekarat. Semua terjadi setelah kutau bahwa ia pergi mengkhianatiku. Aku bak raga tanpa nyawa. Manusia yang hilang akal dan niat hidupnya. Hilang semua daya dan kekuatanku untuk waras dan bangkit berlari jalani kehidupan ini.

Aku tau bahwa tanpanya aku masih punya sisa kehidupan. Namun hatiku tak mampu jalani kehidupan ini jika tanpanya. Aku tanpanya butiran debu. Aku tanpanya gedebok bosok.

Untuknya yang perkasa; yang berkhianat tanpa cela, aku rindu pedih. Sebab, kemanapun aku pergi, wajahmu kemilau wudhu. Di manapun kumenangis, bayang culunmu mengejar. Kapanpun kubersembunyi, bau ketekmu mengikuti. Seluruh waktuku selalu engkau temukan. Seluruh lariku selalu engkau ejek. Aku kini merasa letih dan ingin mati. Bunuh diri.

Kasih. Aku harus tanya pada siapa? Tak ada satu rumputpun tahu. Tak ada kawan yang sudi menjawab. Sebab semua cinta kasihmu palsu. Seperti bau abab busuk di rongga dada saja. Pahit sepahit pahitnya. Bagai pergulatan yang panjang dalam kepiluan yang hasilkan bermilyar kesedihan.

Sering aku mencari jawaban di sungai, nihil. Di laut, hampa. Di kitab suci, kosong melompong. Di perpustakaan, hanya debu dan dupa. Hingga kuseret langkah menyusuri sawah, ngarai dan hutan: engkau tetap tak kutemukan.

Kasih. Kau membuatku gila hingga aku sering merasa mendengar suara Tuhan; mengetik wahyu; mengulek fatwa jahanam; melukis enigma menutupi jalan; membuang saham sampah; menggadaikan harap hentikan impian dan petualangan; nir-nalar sadar peradaban.

Dalam kepiluan ini, kasih. Tak perlu kau tanyakan itu pada hantu. Sebab, dalam hatiku terdalam tak pernah sedetikpun terlewatkan tanpa adanya dirimu: militer pengkhianat, lelaki laknat.

(bersambung)

0 comments:

Post a Comment