UJUNG TAHUN AKHIR WAKTU - Yudhie Haryono


Jika tuan terlalu sibuk dengan ontanisme, utangisme dan infrastrukturisme maka tuan pasti abai terhadap keselamatan warga negara (human security approach). Rupanya prioritas pembangunan tuan bukanlah keamanan kehidupan manusia, alam raya dan masa depannya.

Masih ada waktu. Mumpung berkuasa. Waraslah. Tobatlah. Jika tidak, kita sebenarnya mengidap penyakit defisit kapasitas minus integritas. Dan, itu paling akut di elite Indonesia.

Kini. Aku masih belum tahu sejak kapan waktu dibagi-bagi. Apa pula fungsinya. Seperti sekarang: ujung tahun. Dimulai dengan senyummu; masakanmu; cinta kasihmu; gerimis pagi; kolam renang yang tumpah. Hujan dan petir yang menggelegar.

Menurutmu, apa yang akan terjadi jika waktu tak dibagi-bagi? Adakah agama dan negara masih berfungsi?

Kasih. Kawan. Handai tolan. Aku ingat pernah menulis soal waktu. Judulnya: Tentang Waktu~

Tak ada kepurbaan dan keentahan masa depan tanpa mengabsenkan waktu. Ia menunjukkan drama terakurat untuk memberitahu siapa yang paling kita cintai; apa yang paling berharga; apa yang dituju; siapa terbenci; di mana kita dikhianati.

Waktu juga yang menunjukkan pada kita (yang waras) soal dunia itu apa. Soal hidup yang hanya senda gurau dan sandiwara. Soal asmara yang kering mengering lalu jatuh menghilang. Soal hasrat dan kesenangan yang pada akhirnya bukan subtansi. Soal takdir yang menipu. Soal ilusi, delusi dan realitas yang selalu berganti. Soal tuhan hantu dan hutan.

Waktu itu abadi. Berdiam memotret semua kejadian. Demi waktu, kukirim cintaku buatmu kekasihku. Walau kutahu, takdir terbaik adalah tidak mengenalmu.

Dan, akhirnya engkau harus tahu bahwa Indonesia itu anti minorokrasi (minoritas penindas). Indonesia itu anti mayorokrasi (mayoritas penindas). Selanjutnya, Indonesia itu hibridasi (konsensus). Indonesia itu pancasila (mizan).

Tesis pertama adalah makar. Tesis kedua adalah mahar. Bedanya hanya satu huruf: k#h. Siapa melakukan tesis pertama, mereka makar. Siapa melakukan tesis kedua, mereka mahar.

Karena itu. Ada yang menampar kita untuk membuat sadar. Ada yang membelai kita untuk membuat lalai. Ada yang mencinta kita untuk membuat bencana.

Lalu, engkau mau membuat apa? Adakah yang lebih romantis dari menggendongmu di pematang sawah. Lalu, kita mancing ikan di empang pinggir sungai. Hasilnya dibakar dan dinikmati sambil bercerita tentang arkeologi candi-candi Nusantara.

Adakah waktu yang lebih indah dari menatap wajahmu yang rupawan, sambil masak sambal terasi dan cerita soal-soal postkolonial?

Kini. Mari mudik. Menceritakan satu-satu. Tentang kurikulum postkolonial. Di kampus tercinta. Universitas Nusantara. Dari hulu Nusantara Centre. Kini. Dan seterusnya. Biar sepi memagut. Biar sunyi senyap. Seruput kopi pahit. Dan, lukamu kubalut. Mesra. Sampai tak ada angkara. Hari ke hari kau nanti tahu. Ujung kita menjadi sejoli purnama. Bahwa hidup adalah revolusi sia-sia. Sebab, apa artinya bahagia tanpamu.

Kau seperti indonesia. Yang jika diceritakan, butuh trilyunan lembar kertas. Hingga seluruh langit dijadikannya buku, tak akan memfiniskan kisahmu. Apalagi jika tintanya dari air mata para janda. Tak akan seperlimanya. Tak ada yang sanggup mengkanfaskannya kecuali engkau yang memagutku sepanjang waktu. Sayangnya kok engkau tuli, bisu dan buta. Mungkin sudah dikebiri seperti para kasim yang tinggal di istana.

***

0 comments:

Post a Comment