Novel The Khilafa menggoda
para pembacanya untuk menarik dua kesimpulan: Islam adalah korban; dan
solusinya adalah khilafah. Berlatar kekejaman Israel, khususnya di Gaza, Zaynur
memicu sentimen pembacanya dengan menghabiskan sekitar dua pertiga novelnya untuk
menggambarkan penderitaan kaum muslim di Palestina. Selanjutnya, khilafah.
Kekejaman terhadap
manusia tidak dapat dibenarkan. Siapapun pelaku dan korbannya, apapun ras dan
agamanya. Yang sulit dimengerti, bagaimana khilafah tiba-tiba dinobatkan
sebagai solusi terhadap kekejaman tersebut? Mengambil kesimpulan melalui
pemikiran mendalam memang menguras tenaga dan pikiran, mengambil kesimpulan
berdasar perasaan jauh lebih mudah dan cepat. Cara terakhir itu disebut metode
heuristik, mental shorcut ala homo sapiens yang mengambil jalan pintas akibat
ketidakmampuan mental untuk menjalani proses kognitif dalam mencari solusi.
Karena itu, sentimen
penderitaan dijawab dengan solusi romantisme. Khilafah adalah alat untuk
menguasai dunia. Dengan itu Islam tidak pernah menderita, bahkan berjaya bila kekhalifahan
berkuasa, maka khilafah adalah solusinya. Puncak kejayaan khilafah adalah Kekhalifahan
Umayyah. Berjaya dari semenanjung Iberia hingga tepi barat India, dari zaman
Muawiyah I hingga Marwan II, dari pertengahan abad ketujuh hingga pertengahan
abad kedelapan. Inilah surga dunia. Inilah solusinya. Inilah yang harus diraih
kembali. Tanpa pernah terlintas korban-korban darah dan korban-korban
penderitaan yang diproduksi oleh kekhalifahan, ditambah fakta keberuntungan
Indonesia yang mengenal Islam tanpa melalui proses penjajahan, khilafah menjadi
solusi yang tampil seksi dalam novel ini.
Idealnya, Islam versi
Qur’an adalah rahmatan lil ‘alamiin (Q.S. 21:107), kasih sayang bagi
seluruh alam. Sayangnya, sebagaimana pemeluk agama lain yang seringkali gagal
mewujudkan ajaran ideal agamanya, Islam versi muslim adalah rahmatan lil
muslimin (Q.S. ??? : ???), kasih sayang bagi muslim (saja). Kalau ada yang mengalami
ketidakadilan selama muslim berjaya, tidak jadi masalah, karena muslim beriman
pada Allah, siapa yang suruh mereka tidak menjadi muslim dan beriman? Kurang
lebih, begitulah khilafah.
Zaynur memang tidak
menyebut subspesies khilafah mana yang dia maksud, tapi menilai dari Palestina yang
menjadi latar novelnya dan komentar positif Felix Siauw yang dicantumkan pada
cover bukunya, tidak berdosa rasanya bila mengatakan khilafah yang dimaksud
adalah khilafah versi Hizbut Tahrir. Partai politik yang didirikan di Palestina
pada tahun 1953 oleh seorang ahli hukum bernama Taqiyuddin An-Nabhani. Catat,
partai politik.
Makhluk seperti apakah
khilafah versi Hizbut Tahrir? Jawabannya dapat ditemukan dalam karya-karya
An-Nabhani. Salah satunya adalah buku Nizamul Islam. Di dalamnya, terdapat
rancangan UUD khilafah yang terdiri dari 191 Pasal. Begitu khilafah berdiri,
UUD ini langsung in force. Beberapa diantaranya adalah: Akidah Islam
adalah dasar negara (Pasal 1); dikotomi wilayah dunia menjadi wilayah Islam dan
kafir (Pasal 2); Khalifah menetapkan hukum syariat yang wajib ditaati lahir dan
batin di bidang zakat, jihad, dan persatuan kaum muslim (Pasal 4); tidak boleh
ada rohaniawan Islam, negara harus mencegah kemunculannya (Pasal 10); dakwah
Islam adalah tugas pokok negara (Pasal 11); kritik terhadap pemerintahan hanya
boleh dilakukan warga muslim (Pasal 20); warga non-muslim tidak punya hak pilih
(Pasal 26); khilafah melegislasi hukum-hukum syariat (Pasal 36); perempuan
tidak boleh menjadi pejabat (Pasal 116); negara dilarang bergabung dengan
organisasi internasional yang tidak berasaskan Islam, misalnya seperti PBB
(Pasal 191). Melihat isi pasal-pasal tersebut, rasanya tidak perlu dijelaskan lebih
lanjut adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara warga negara muslim dan
non-muslim hingga ketidaksetaraan antara muslim perempuan dan laki-laki. Belum
ditambah dikotomi wilayah dunia antara muslim dan kafir yang menimbulkan aroma
permusuhan, serta penarikan diri dari pergaulan internasional seperti PBB demi
menjaga kesucian negara.
Uniknya, dalam halaman
terakhir novelnya, Zaynur mengklaim sistem khilafah bukanlah teokrasi. Sulit
dipahami tentunya, mengingat akidah atau keimanan digunakan sebagai dasar
negara, kalau ada istilah selain teokrasi untuk itu tentunya akan lebih
menyenangkan bila dicantumkan di dalamnya. Zaynur juga mengatakan bahwa tidak
seperti demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat, sistem khilafah
menganut kedaulatan berada di tangan syariat. Sepertinya syariat mampu
berbicara untuk dirinya sendiri, tidak memerlukan penjelasan manusia-manusia super
cerdas yang mampu mengetahui bahkan apa yang tidak disukai Allah (makruh)
melalui ijtihadnya, bukan melalui wawancara. Kalau benar begitu, mengapa harus
manusia yang menyusun UUD mengenai khilafah? Untuk apa khalifah diberi wewenang
melegislasi hukum-hukum syariat? Bukankah baru saja dikatakan syariat berdaulat
dengan sendirinya?
Kejahatan dan
ketidakadilan terhadap kemanusiaan adalah musuh bersama umat manusia. Qur’an menunjuk
muslim untuk bersikap reaktif terhadapnya. Di mana pun kekejaman dan
ketidakadilan terjadi, meskipun menimpa kelompok yang tidak disukai, muslim
harus beraksi (Q.S. 5:8). Bahkan, Qur’an meminta muslim mengorbankan
kepentingan pribadinya demi tegaknya keadilan (Q.S. 4:135). Khilafah dalam
gagasan-gagasan yang telah dijelaskan sebelumnya hanyalah terjemahan-terjemahan
hasrat untuk berkuasa, egoisme, dan ketidakadilan.
***
0 comments:
Post a Comment