Ulasan Novel "THE KHILAFA, Karya Zaynur Ridwan" - Muhammad Arsjad Yusuf



Novel The Khilafa menggoda para pembacanya untuk menarik dua kesimpulan: Islam adalah korban; dan solusinya adalah khilafah. Berlatar kekejaman Israel, khususnya di Gaza, Zaynur memicu sentimen pembacanya dengan menghabiskan sekitar dua pertiga novelnya untuk menggambarkan penderitaan kaum muslim di Palestina. Selanjutnya, khilafah.

Kekejaman terhadap manusia tidak dapat dibenarkan. Siapapun pelaku dan korbannya, apapun ras dan agamanya. Yang sulit dimengerti, bagaimana khilafah tiba-tiba dinobatkan sebagai solusi terhadap kekejaman tersebut? Mengambil kesimpulan melalui pemikiran mendalam memang menguras tenaga dan pikiran, mengambil kesimpulan berdasar perasaan jauh lebih mudah dan cepat. Cara terakhir itu disebut metode heuristik, mental shorcut ala homo sapiens yang mengambil jalan pintas akibat ketidakmampuan mental untuk menjalani proses kognitif dalam mencari solusi.

Karena itu, sentimen penderitaan dijawab dengan solusi romantisme. Khilafah adalah alat untuk menguasai dunia. Dengan itu Islam tidak pernah menderita, bahkan berjaya bila kekhalifahan berkuasa, maka khilafah adalah solusinya. Puncak kejayaan khilafah adalah Kekhalifahan Umayyah. Berjaya dari semenanjung Iberia hingga tepi barat India, dari zaman Muawiyah I hingga Marwan II, dari pertengahan abad ketujuh hingga pertengahan abad kedelapan. Inilah surga dunia. Inilah solusinya. Inilah yang harus diraih kembali. Tanpa pernah terlintas korban-korban darah dan korban-korban penderitaan yang diproduksi oleh kekhalifahan, ditambah fakta keberuntungan Indonesia yang mengenal Islam tanpa melalui proses penjajahan, khilafah menjadi solusi yang tampil seksi dalam novel ini.

Idealnya, Islam versi Qur’an adalah rahmatan lil ‘alamiin (Q.S. 21:107), kasih sayang bagi seluruh alam. Sayangnya, sebagaimana pemeluk agama lain yang seringkali gagal mewujudkan ajaran ideal agamanya, Islam versi muslim adalah rahmatan lil muslimin (Q.S. ??? : ???), kasih sayang bagi muslim (saja). Kalau ada yang mengalami ketidakadilan selama muslim berjaya, tidak jadi masalah, karena muslim beriman pada Allah, siapa yang suruh mereka tidak menjadi muslim dan beriman? Kurang lebih, begitulah khilafah.

Zaynur memang tidak menyebut subspesies khilafah mana yang dia maksud, tapi menilai dari Palestina yang menjadi latar novelnya dan komentar positif Felix Siauw yang dicantumkan pada cover bukunya, tidak berdosa rasanya bila mengatakan khilafah yang dimaksud adalah khilafah versi Hizbut Tahrir. Partai politik yang didirikan di Palestina pada tahun 1953 oleh seorang ahli hukum bernama Taqiyuddin An-Nabhani. Catat, partai politik.

Makhluk seperti apakah khilafah versi Hizbut Tahrir? Jawabannya dapat ditemukan dalam karya-karya An-Nabhani. Salah satunya adalah buku Nizamul Islam. Di dalamnya, terdapat rancangan UUD khilafah yang terdiri dari 191 Pasal. Begitu khilafah berdiri, UUD ini langsung in force. Beberapa diantaranya adalah: Akidah Islam adalah dasar negara (Pasal 1); dikotomi wilayah dunia menjadi wilayah Islam dan kafir (Pasal 2); Khalifah menetapkan hukum syariat yang wajib ditaati lahir dan batin di bidang zakat, jihad, dan persatuan kaum muslim (Pasal 4); tidak boleh ada rohaniawan Islam, negara harus mencegah kemunculannya (Pasal 10); dakwah Islam adalah tugas pokok negara (Pasal 11); kritik terhadap pemerintahan hanya boleh dilakukan warga muslim (Pasal 20); warga non-muslim tidak punya hak pilih (Pasal 26); khilafah melegislasi hukum-hukum syariat (Pasal 36); perempuan tidak boleh menjadi pejabat (Pasal 116); negara dilarang bergabung dengan organisasi internasional yang tidak berasaskan Islam, misalnya seperti PBB (Pasal 191). Melihat isi pasal-pasal tersebut, rasanya tidak perlu dijelaskan lebih lanjut adanya ketidakadilan dan ketidaksetaraan antara warga negara muslim dan non-muslim hingga ketidaksetaraan antara muslim perempuan dan laki-laki. Belum ditambah dikotomi wilayah dunia antara muslim dan kafir yang menimbulkan aroma permusuhan, serta penarikan diri dari pergaulan internasional seperti PBB demi menjaga kesucian negara.

Uniknya, dalam halaman terakhir novelnya, Zaynur mengklaim sistem khilafah bukanlah teokrasi. Sulit dipahami tentunya, mengingat akidah atau keimanan digunakan sebagai dasar negara, kalau ada istilah selain teokrasi untuk itu tentunya akan lebih menyenangkan bila dicantumkan di dalamnya. Zaynur juga mengatakan bahwa tidak seperti demokrasi, di mana kedaulatan berada di tangan rakyat, sistem khilafah menganut kedaulatan berada di tangan syariat. Sepertinya syariat mampu berbicara untuk dirinya sendiri, tidak memerlukan penjelasan manusia-manusia super cerdas yang mampu mengetahui bahkan apa yang tidak disukai Allah (makruh) melalui ijtihadnya, bukan melalui wawancara. Kalau benar begitu, mengapa harus manusia yang menyusun UUD mengenai khilafah? Untuk apa khalifah diberi wewenang melegislasi hukum-hukum syariat? Bukankah baru saja dikatakan syariat berdaulat dengan sendirinya?

Kejahatan dan ketidakadilan terhadap kemanusiaan adalah musuh bersama umat manusia. Qur’an menunjuk muslim untuk bersikap reaktif terhadapnya. Di mana pun kekejaman dan ketidakadilan terjadi, meskipun menimpa kelompok yang tidak disukai, muslim harus beraksi (Q.S. 5:8). Bahkan, Qur’an meminta muslim mengorbankan kepentingan pribadinya demi tegaknya keadilan (Q.S. 4:135). Khilafah dalam gagasan-gagasan yang telah dijelaskan sebelumnya hanyalah terjemahan-terjemahan hasrat untuk berkuasa, egoisme, dan ketidakadilan.

***

0 comments:

Post a Comment