Pengantar "PROTOKOL KRISIS" - Yudhie Haryono


Sudah lama dalam berbangsa dan bernegara, kita mengalami perang kecerdasan. Tak banyak yang tahu. Sebab, yang banyak adalah sibuk mencari kebutuhan dasar yang tak mudah didapatkan. Itu menjebak. Bahkan menjerumuskan.

Dalam perang kecerdasan disebut bahwa mempertahankan kekayaan negeri penjajah adalah merubah model penjajahan. Salah satunya, para penjajah itu menciptakan krisis berulang.

Tulisan yang menjadi buku kecil ini kuberi judul protokol krisis negara buat kita semua. Ini penting agar jika saya mati tak menjadi arwah penasaran bin gentayangan. Sebab, sudah mewariskan pengetahuan terdalam guna mengatasi dan memenangkan pertempuran kejeniusan di masa kini dan selanjutnya.

**
Buku ini kuanggap penting karena makin ke sini, hidup makin tak pasti. Awalnya, stagnasi. Lalu, terjun pelan-pelan. Kadang menukik tajam. Turbulensi ini tantangan kecerdasan. Krisis itu tantangan kejeniusan. Tapi itu tak cukup. Perlu keajaiban semesta. Maka menang, utamanya memenangkan masa depan itu pilihan. Bukan sekedar takdir yang ditimpakan.

Tetapi tak begitu mudah ditangkap. Ya. Sebab masa depan tidak seperti rumah ibadah: sejuk dan menentramkan. Masa depan mirip lautan luas: penuh gelombang dan ketidak terjangkauan. Kalaulah bisa dimengerti, pasti itu penyederhanaan. Bukan sesuatu yang detil dan peta yang kongkrit.

Jika kondisi makin tak pasti, rasanya kita butuh manusia berkuasa yang berkata, "aku ingin menjelma menjadi makanan bagi mereka yang kelaparan dan menjadi pekerjaan bagi mereka yang menganggur serta menjadi obat bagi mereka yang sakit." Sebab, kelaparan, pengangguran dan kesakitan itu segitiga setan urban yang tak mudah ditundukkan.

Tentu saja, tugas terberat manusia berkuasa itu bukan hanya mengerjakan yang benar sesuai konstitusi dan kepentingan nasional, tetapi juga harus mengetahui apa yang benar menurut landasan negara dan filosofinya. Di sini, ia perlu kejeniusan yang meraksasa sebab di kursinya kendali perang modern dimenangkan atau kalah karena minus pengetahuan.

Dengan begitu, kita butuh para penguasa negeri dengan P besar agar berpikir dan bertindak besar. Jika kita punya penguasa dengan P kecil maka yang terjadi adalah negara ini merasa seolah-olah merdeka. Tetapi merdekanya seolah-olah. Dalam negara seolah-olah, kesuksesan sekulah kita adalah panen ternak begundal kolonial bermental kolonial yang membela pembayar.

Sekulah kita kiranya punya kwalitas lucu dan purba karena berkurikulum "surplus memori tetapi minus intelegensi." Banyak menghapal dan menghitung, tak banyak menganalisa dan inovasi. Akhirnya, kita surplus sarjana dan akademisi, tetapi minus nurani. Itulah mengapa banyak akademisi kita korupsi. Menjadi santri KPK bersama penjahat negara lainnya.

Dalam sekulah berkurikulum seperti itu, akhlak terbaik dari agensinya adalah sikap ngadalin bin ngibulin. Ia represi dan menang sendiri.

Bagi agensi seperti ini, hipotesa besar soal mengerjakan tugas kenegaraan pasti absen. Padahal, hipotesanya sangat sederhana: 1)Makin konstitutif ekonomi sebuah negara maka makin adil-makmur warganya; sebaliknya, 2)Makin menjauhi konstitusi ekonomi sebuah negara maka makin senjang kekayaan warganya.

Penguasa dengan P besar menyadari kita hidup di samudra maha luas. Dus, kejeniusannya mampu mencipta keluasan. Proyeksinya mencipta pelangi dan kebhinekaan yang tunggal ika dalam persatuan. Kesendiriannya menciptakan metoda-metoda perealisasian konstitusi.

Dalam mental penguasa dengan P besar, kehilangan masa lalu harus menciptakan sejarah perlawanan pada penjajah baru di masa kini dan datang. Perjalanan ke depan mencipta roman legacy yang dikenang semilyar tahun oleh anak cucu.

Dus, dalam hatinya, ia selalu bertanya, "apa warisanku untuk negeri ini?" Tentu bukan berapa yang sudah kurampok dari bangsaku.

Penguasa dengan P besar akan mengerti yang paling berharga yang tak bisa dimiliki sendiri. Yaitu kemartabatan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh warga negaranya, serta harga diri bangsanya di mata dunia. Ia adalah jalan sekaligus solusi dari krisis dan turbulensi negeri.

***

0 comments:

Post a Comment