Di tangan elite kita yang superkaya (oligarkis) dan nyolongan (predatoris), "akal telah dibunuh, perasaan telah dimatikan, gotong royong telah dipunahkan dan empati telah dimusiumkan." Sebaliknya, di kampus nusantara tradisi kritis, mental perlawanan, praktik koperasi dan jiwa memanusiakan manusia diagungkan serta diluhurkan. Kampus ini menghidupkan dan memenangkan nilai-nilai pancasila.

 


Percayakan Pendidikan Agama dan Kepercayaan kepada Pimpinan Agama dan Kepercayaan itu sendiri. Dan pendidikannya dilakukan di area mereka sendiri. Sangat tidak baik kalau di sekolah diadakan pemisahan kelas berdasarkan perbedaan Premordial seperti suku ras dan agama. Pemisahan kelas pelajar atau mahasiswa seperti ini adalah upaya  pemecah belahan bangsa sejak di bangku sekolah. Saya pikir ini salah satu kebijakan fatal yang dibuat pemerintahan Orde Baru yang masih diteruskan hingga sekarang. Oleh karena itu kebijakan ini harus segera dihentikan. Saya tawarkan kebijakan baru yang lebih manusiawi dan bermoral Pancasila. Pertama. Agama dan Kepercayaan mendidik siswa yang menganut Agama atau Kepercayaan dan memberi penilaian. Dan nilainya diserahkan ke Sekolahnya. Kedua. Sebagai gantinya di sekolah diajarkan Pendidikan Budi Pekerti Nusantara. Diajarkan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. S1 S2 S3. Materi pelajarannya antara lain cerita cerita rakyat dari seluruh Nusantara. Yang bisa mengarahkan pelajar dan mahasiswa menjadi Manusia Indonesia yang berbudi luhur. Berpikir kreatif. Pekerja keras. Hidup sederhana. Suka gotongroyong. Kepribadian demokrasi. Kemanusiaan universal. Patriot bangsa. Nasionalis. Cinta tanah air. Dstnya. Sesuai dengan Sumpah Pemuda. Naskah Proklamasi. Pembukaan UUD 1945. Selamat Berjuang. MERDEKA.


Jakarta tidak akan jadi seperti New York. Karena Ilmu Teknologi dan Seni di Indonesia sangat rendah. Sangat berbeda dengan Amerika Serikat. Saya perkirakan 5 tahun setelah Ibu Kota Negara pindah. Yaitu tahun 2029 penduduk Jakarta tinggal 5 juta orang. Tahun 2045 penduduk Pulau Jawa tinggal 100 juta orang. Indonesia masih bangsa terbelakang. Kalau di analogikan dengan Kereta Api. Indonesia hanya punya 1 lokomotif. Yaitu politik. Kemana kekuasaan politik pergi kesana ekonomi sosial dan budaya pergi. Dan itu artinya. Segala sesuatu di Indonesia ditentukan oleh kekuadaan politik. Yang lain cuma sekedar numpang hidup.


Membangun kampus itu mencipta peradaban. Dari pembangunan jiwanya, lalu ke pikiran, ucapan, tulisan, literasi dan tradisi. Pada kampus, jiwa-jiwa lurus dan semesta diproduk untuk menjaga sesama yang anti eksploitasi



Memajukan Ilmu, Teknologi,  Seni dan Industri.
                      
Kemampuan Ilmu dan Teknologi kita rendah; dan lebih buruk lagi, kemauan kita untuk menguasai Ilmu dan Teknologi juga sangat lemah; dan oleh karena itu kita sangat tergantung kepada hasil industri  negara lain. Kita harus kerja keras dan kreatif, menyerap teknologi dari berbagai negara maju, dan kemudian menerapkan dan mengembangkannya di Indonesia. Revolusi Ilmiah dan Revolusi Industri akan kita jalankan untuk memajukan ilmu, teknologi, seni dan industri. Ilmu, teknologi, seni dan industri, harus dimajukan bersama; dan oleh karena itu harus digerakkan bersama-sama. Kemajuan Ilmu, Teknologi dan Seni harus memajukan Industri; dan sebaliknya kemajuan Industri harus segera memajukan Ilmu, Teknologi dan Seni. Artinya, keuntungan yang didapat karena kemajuan Industri, sebagian harus segera digunakan untuk penelitian dan pengembangan Ilmu, Teknologi dan Seni. Rangkaian kegiatan ini, kalau berlangsung berkali-kali, berkembang menjadi spiral menaik curiosity-inquiry-discovery. Ilmu, teknologi, seni, industri, sosial, ekonomi dan politik dalam negara-bangsa Republik Indonesia semakin maju dan berkembang. Pengembangan Ilmu, teknologi, seni dan industri meningkatkan taraf hidup masyarakat; sebaliknya, peningkatan taraf hidup masyarakat meningkatkan kemampuan Ilmu, Teknologi, Seni dan Industri.
 
Membangun Puluhan Kota Industri.
Dalam upaya pengembangan ilmu, teknologi, seni dan industri, kita perlu membangun puluhan kota industri dan kota seni di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di atas lahan tidak subur, yang penduduknya masih sedikit, misalnya di atas lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Pembangunan kota industri dan kota seni disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia, misalnya dimulai dengan memproduksi pembangkit listrik tenaga gambut untuk digunakan di lahan gambut; dan masyarakat dibuatkan alat pembuat briket dengan bahan baku gambut, dan kemudian briket gambut tersebut dibeli oleh perusahaan pembangkit listrik tenaga gambut. Pemerintah Pusat hendaknya  memusatkan perhatiannya di kota-kota ini, dalam upaya meningkatkan kemampuan ilmu, teknologi, seni dan industri. Puluhan kota baru ini, kota-kota teknologi, seni dan industri, tersebar di berbagai wilayah, terutama di wilayah yang tidak subur dan belum maju. Kota-kota industri ini akan kita jadikan tempat untuk mengubah masyarakat, agar lebih cepat menjadi produsen dengan mengembangkan teknologi dengan pola pikir dan perilaku rasional berorientasi prestasi. Kehadiran kota-kota industri menempati posisi strategis, dalam upaya memajukan ilmu, teknologi, dan industri; memajukan pola pikir dan perilaku masyarakat; memperluas lapangan kerja yang akan menampung banyak tenaga kerja terdidik. Di kota-kota industri ini, kita bergotongroyong mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan industri; disini kita dapat mengurangi ketertinggalan kita dari negara-negara maju, hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita dapat mengimbangi mereka di bidang ilmu, teknologi, dan industri. Kota-kota industri ini dijadikan pusat pendidikan, pelatihan dan pengembangan ilmu dan teknologi, yang akan menjadi salah satu lokomotif penggerak kemajuan Indonesia.  

Membangun Puluhan Kota Seni dan Film.
Indonesia juga perlu membangun kota-kota seni dan perfilman, untuk mendukung perkembangan seni di tengah-tengah masyarakat; tempat para seniman dan warga perfilman belajar, kerja dan berproduksi; tempat dimana seniman profesional bisa berkembang dan hidup layak; tempat dimana sebagian penganggur yang berminat jadi seniman bisa mendapat pekerjaan; dan seterusnya. Kehidupan yang seserasi dan selaras membutuhkan kemajuan ilmu dan teknologi serta seni secara seimbang; dan untuk itu ilmu, teknologi, seni dan industri perlu dikembangkan bersama-sama; dan perkembangan ini mendukung kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang serasi dan selaras. Kota industri dan kota seni akan berperan dalam proses pemerataan distribusi pnduduk Indonesia, sekaligus untuk mengurangi kepadataan penduduk di pulau Jawa, dan dengan demikian pulau Jawa dapat memproduksi banyak beras, yang sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di luar Jawa. Perkembangan dunia seni juga akan membuka banyak lapangan kerja, dan dengan demikian akan mengurangi pengangguran.  Kota-kota seni ini akan menjadi halaman depan Indonesia dalam interaksi antar bangsa dan antar peradaban di bidang seni; dan kita punya kesempatan luas untuk memperkenalkan kesenian Indonesia kepada bangsa-bangsa lain; kemajuan seni akan menjadi daya tarik menghadirkan jutaan wisatawan mancanegara ke Indonesia; dan kemajuan ini juga akan menyediakan banyak kesempatan kerja bagi para seniman, dan juga para pengrajin yang memproduksi peralatan seni.

Kesenian dari seluruh Indonesia mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang di kota-kota seni ini; dan kesenian kita yang beranekaragam akan menjadi salah satu modal utama untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Di kota-kota seni didirikan berbagai sekolah seni, mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi; calon pelajar dan mahasiswa seni datang dari seluruh penjuru Nusantara; mereka belajar di sini dan kemudian sebagian kembali ke daerahnya masing-masing untuk membangun kesenian di sana. Di sini ditampilkan berbagai pertunjukan seni; menumbuh-kembangkan rasa keindahan seni di kalangan masyarakat luas; mengurangi rasa kebencian dan permusuhan yang sekarang banyak menghinggapi warga masyarakat. Kehidupan bersama ini perlu di buat indah dan menyenangkan, serasi dan selaras. Kehadiran kota-kota seni ini menempati posisi strategis, dalam upaya memajukan kesenian dari seluruh Nusantara; memajukan apresiasi terhadap kesenian kita sendiri; memperluas lapangan kerja untuk mempekerjakan banyak seniman; memperkuat posisi kesenian Indonesia di pasar global; dan meningkatkan kebanggaan nasional Indonesia. Nasionalisme dan patriotisme di bidang seni perlu diperkuat, seperti di awal kemerdekaan Indonesia. Satu atau dua dari antara kota seni ini, juga sekaligus dijadikan lokasi pembuatan film yang disewakan kepada perusaan film dalam negeri ataupun mancanegara; di sini disiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan film; dan karena pembuatan film  membutuhkan lahan luas, kota seni khusus ini bisa dibangun di atas lahan luas, misalnya seluas 500 km2.
                     
Menjalankan UUD 1945.
Kota-kota industri dan seni ini langsung dikelola oleh Pemerintah Pusat, hingga dapat bergerak cepat tanpa hambatan dari pihak manapun; dan dengan demikian  dapat dengan cepat memanfaatkan dan mengembangkan ilmu, teknologi, seni dan industri untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dasar hukum pendirian kota-kota ini adalah UUD 1945, khususnya:

Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28C Ayat (1) yang menyatakan: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Pasal 31 Ayat (5) yang menyatakan: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban  serta kesejahteraan umat manusia.  

Pasal 33 Ayat (3), yang menyatakan: Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;



Universitas Nusantara sebagai produk Nusantara Centre pastilah memproduksi warganegara unggul yang ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi agar semesta bagaikan syorga.

Dus, membangun universitas nusantara adalah menyiapkan manusia berkeadilan sosial bagi seluruh warga semesta.

Mengapa? Sebab, sejarah pasca kemerdekaan kita adalah sejarah pertempuran antara "kebudayaan-pendidikan melawan penipuan-kejahiliyahan" yang tiada akhir. Maka, menguatkan universitas adalah mensolidkan pasukan pemenangan di masa kini dan mendatang


CERPEN (Cerita Pendek) SABTU

Aku baru saja dikabari oleh kawanku. Ia bersama beberapa temannya membuat seminar tentang Indonesia Bersih Sampah. Tujuannya, mendidik anak-anak, khususnya para pelajar di Indonesia untuk "sadar sampah". Artinya, dimanapun anak-anak itu berada, mereka nantinya dapat menjadi orang yang peduli pada sampah. Tak boleh ada sampah yang dibiarkan membusuk dan mencemari lingkungan. 

Acara ini tentu saja sesuatu yang bagus dan sangat-sangat bermanfaat; jauh lebih bagus dari program balap mobil listrik di Jakarta yang digagas oleh Gubernur Ibukota, program yang telah juga mendapat utangan dari Bank Provinsi dengan nilai besar itu. Hanya saja, aku mendengar dari kawan ku ini, bahwa untuk acara yang bisa meghadirkan dan melibatkan siswa sekolah sampai 800 orang lebih itu, yang dampaknya sangat positif bagi generasi muda.. tak mendapat dukungan finansial dari institusi yang seharusnya mendorong dan mengupayakan acara-acara seperti ini bisa terjadi sebagai kegiatan Corporate Social Responsiblity (CSR) tentu saja, ya sebagai Respon Sosial para pemimpin ataupun pengusaha yang telah mendapat banyak keuntungan dari rakyat. 

Bahkan, yang lebih miris adalah, dari instansi negara yang terkait dengan program seperti ini, pun berkata "kami tak ada uang".. "jadi kemana uang rakyat itu?" jangan tanya jawaban jujurnya, karena bahkan rumput yang bergoyang pun (tempat bertanya musisi kondang semacam Ebiet G Ade) tak akan tahu jawabnya

Aku meyimak dengan khidmat kisah teman ku itu. Dan, karena aku bukan politisi apalagi staff menteri, tentu aku hanya bisa menuliskan kisah ini sebagai curahan perasaan bingung ku pada mereka yang menyebut diri "pemimpin" juga "pengusaha"... untuk apa mereka duduk disinggasana? apa manfaatnya mereka itu menjadi tuan jika punya mata tapi tak melihat, punya telinga tapi tak mau mendengar.. ?

Akhirnya ku putuskan menjadikan kisah dari temanku itu sebagai lagu, supaya jika nanti aku duduk di singgasana itu, aku tahu bagaimana caranya memperlakukan tahta.. duduk namun tetap sedia menunduk.. untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatlah seharusnya para pemimpin kerja sibuk.

 

Sampah ada disekitar kita

berserak, bertebaran tak punya makna

dari kertas bekas sampai beling kaca

semua terlihat jelas didepan mata


Sampah dibuang dan dibiarkan membusuk

di sungai menjadi limbah tak terkeruk

diltanah lapang menggunung tak lapuk

dan setiap makluk didekatnya jadi mabuk

 

Hujan datang, kali pun banjir 

airnya meluap dari hulu ke hilir

kota dan desa terendam air tak mengalir

jika sudah begini pemimpin pandir saling sindir

 

Indonesia mustinya dipimpin oleh ksatria

yang kerja dan mengabdi tulus pada bangsa dan negara

bukan memimpin yang duduk dalam singgasana jumawa

yang tak pernah peduli pada rakyat yang menderita


Sampah itu adalah kamu yang kerap berpikir busuk

sampah itu adalah kamu yang kerap berlaku terkutuk

 

Badui, 13 November 2021

 

 



Yang tetap itu perubahan. Dan, dalam perubahan itu yang inti adalah prosesnya. Tidak ada yang abadi dan menetap. Semua soal waktu. Bisa saja hari ini kita kalah, suatu saat menang; sangat mungkin hari ini kita miskin, besoknya kaya. Pasti semua bergiliran dan berpasangan. Karenanya jangan terlalu putus asa dan tidak perlu terlalu sedih. Begitu kita telah bekerja keras, maka pasrahkanlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserahdiri kepada-Nya. Terus bekerja dan berdoa. Sampai ajal tiba. Di kampus nusantara kita akan ditradisikan untuk menyemesta agar melampaui ekonometrika dan pengaruh-pengaruh negatif lainnya.


Pilpres liberal banyak memakan korban. Ribuan terkapar mati mubazir.
Rebutan sepiring nasi. Sementara segelintir tuan rakus tertawa girang. Sebab uang dan kursinya berlipat garang. Lalu, kekuasaan menjadi tuhan, pengkhianatan menjadi panglima setan dan kesetiaan menjadi murahan. Manusia berbondong-bondong bersumpah dan beriman pada keuangan yang maha esa.

Di universitas nusantara, praktik demokrasi liberal dikutuk dan ditinggalkan. Dimasukan ke musium. Tak dijalankan. Sebab kita punya politik pancasila yang perikeadilan sosial bagi seluruh penghuninya. Sistem majlis yang keterwakilan (golongan dan daerah) dan keterpilihan (parpol). Berkoperasi. Resiprokal kritis alam semesta, Tuhan, manusia

 




Seharian ini kampungku hujan deras. Bulir hujan terasa lebih besar. Gemuruh mendekap atap. Berdentang getarkan genderang kuping. Tetapi, sujud subuh terasa lebih khidmat. Andai saja ini sujud terakhirku, aku bahagia.

Ya. Aku sudah tak berdaya. Tak ingin lagi menikmati hidup pemberian Tuhan yang semaunya. Kini, aku terus hanya bisa berdoa dan mendzikirkan namanya. Orang-orang baik dan kekasih hati yang tak tahu diri. Tak sudi berbagi. Padahal, betapa indah jika manusia saling fokus bekerja, berdoa dan gotong royong merealisasikan Indonesia Raya.

Tuan-puan yth. Tugas negara dan ilmuwan postkolonial itu sangat menantang: mengembalikan peran Universitas sebagai pemandu dan penuntun peradaban manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah dilakukan oleh dunia fundamentalisme-terorisme pasar neoliberal.

Di negara postkolonial, fungsi utama Universitas adalah berternak kejeniusan yang melahirkan perilaku, nilai dan norma sesuai konstitusi guna mewujudkan totalitas manusia yang melawan sehingga merdeka, mandiri, modern dan martabatif: menjadi agensi kemerdekaan, kebersatuan, keberdaulatan, kesejahteraan, keadilan dan kesederajatan atau kemerataan bersendi kegoyong-royongan. Itulah roadmap Universitas Nusantara.

Jika tuan-puan gagal dalam peran itu, gagal pula negara ini menunaikan janji proklamasi, gagal total sebagai manusia pancasila. Hidup kita seperti melata: jejaknya tak tercium sejarah, adanya tiada.

Tuan-puan yth. Maka, mari naikkan level permainan. Syukur-syukur mampu sekelas Barca di sepakbola or Chicago Bull di basket. Pikirkan dan tuliskan cara mengelola negara dengan jenius dan sampaikan ke pihak-pihak terkait. Realisasikan cita-cita besar negara pancasila. Cari segala cara yang halal, pas dan gol.

Semoga kita tak menari-nari di musik yang ditabuh orang lain: para begundal kolonial dan proxynya. Dari niat, angan, ucapan, tulisan, tindakan dan realisasi nusantara kita baktikan. Aamiin.(*)

 

Setiap hari ada ribuan keajaiban terjadi di dunia ini. Mukjizat tak pernah habis. Hal tak mungkin menjadi mungkin selalu ada. Peristiwa spektakuler sering hadir. Siapa tahu kali ini terjadi untuk kita, demi berdirinya kampus nusantara. Jangan buang harapan, jangan kurangi doa, jangan berhenti bekerja. Sebab ketiganya itu inti hidup di dunia. Semoga. Salam sehat



Tak ada pilihan lain kecuali kita harus mengerjakan lebih dari apa yang dipikirkan orang lain dan percayalah, pada suatu saat akan dibayar lebih banyak dari apa yang sudah kita kerjakan. Di kampus nusantara, kita akan bekerja dan berdoa melampaui pikiran dan perkiraan orang lain. Itulah metoda menemukan dan mengembangkan potensi-potensi yang masih tersembunyi di kolong jagad raya dan semesta.


 

Sejarah membawa kabar dari masa lalu. Cita-cita menggiring pikiran dan tenaga ke masa depan. Gotong-royong meralaskan kinerja hari ini. Dari nalar sadar waktu ini, manusia Indonesia terjebak di masa kini dan masa lalu. Gerak ke depan sering terhambat karena perbedaan dan alpa iptek plus penjajahan baru. Maka, memenangkan perang kecerdasan itu penting. Dan, kita bisa memulainya dari kampus nusantara. Kampus yang kita bangun bersama.


Kita tahu, dalam diri pahlawan selalu ada keyakinan dan optimisme bahwa walau kita di masa tergelap akan datang zaman terang: akan ada mentari di esok hari. Mereka meneladani kita dengan terus bekerja dan berdoa. Optimis dan berpikir positif, seburuk apapun kondisi kita.



Perang modern, di tingkat global adalah saling menghancurkan modal utama: agensi dan ideologi. Karena keduanya merupakan pusat strategis dan sumber energi yang menentukan kemenangan.

Maka, menyiapkan agensi bermental pemenang menjadi sangat vital. Dengan basis konstitusi dan meta science, kita diniscayakan untuk meletakkan semua potensi menjadi memastikan ketertiban dunia. Agensi patriotik yang memanggul keniscayaan atlantik merupakan potret utama yang roadmapnya harus disegerakan.

Adakah pendidikan kita sudah ke sana? Mencetak manusia unggul bermental Pancasila untuk memastikan peradaban Indonesia Raya. Ataukah sekedar mencipta budak pasar dan budaknya bangsa-bangsa? Kalian semua subjeknya!

Kata mereka yang sudah berumur, "dalam perjuangan meraih cita-cita selalu ada strategi dan ada taktik. Strategi yang bagus bisa gagal karena kesalahan dalam taktik. Demikian pula sebaliknya."

Hal yang sama pernah dilakukan oleh para pendiri bangsa. Bagi mereka, hidup terlalu singkat kalau hanya jadi orang biasa. Tetapi, menjadi luarbiyasa itu juga tak mudah. Perlu setia, konsisten dan restu alam raya.

Dari sejarah mereka, kita bisa lebih cermat dalam menilai mana strategi dan mana taktik yang digunakan untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat semesta.

Semoga alam restu. Semoga kapalku dan pasukanku paham akan hal itu. Dan, kita bisa vini vidi vici. Datang, bertanding, menang. Lahir, jihad, syahid.

72 tahun lebih umur negara kita. Cukup dewasa jika itu umur manusia. Sayangnya, belum banyak hal subtansial yang kita kerjakan.

Tak banyak terobosan kinerja dalam soal kedaulatan mata uang. Makin hari, rupiah kita tak berarti. Akibatnya bisnis yang ada kaitannya dengan impor, lumpuh. Lebih jauh industri melamban dan mati. Deindustrialisasi menjadi potretnya.

Kalau tokh tumbuh industri manufaktur di IT, terutama produksi hape, subjeknya bukan warga negara Indonesia.

Industri hape kini jadi ladang pengeruk keuntungan sangat besar (nomor dua setelah migas). Di Indonesia tercatat ada 700 juta unit hape dengan berbagai merk, mulai Nokia, SonyEricsson, Samsung, Blackberry, dll.

Statistik memperlihatkan, grafik peningkatan pengguna gadget selalu menunjukkan trend positif dari waktu ke waktu. Sayangnya, pelaku lokal stagnan, pelaku asing (china) meningkat dahsyat.

Pemerintah dan kita semua jadi penonton dungu. Negara konsumen. Dunia usaha dan pendidikan tak bersinergi menangkap peluang ini. Semua sibuk korupsi dan blusukan.

Dalam banyak hal, kita makin tertinggal. Elite kebanyakan lupa sejarah Indonesia, rabun cita-cita proklamasi dan amnesia konstitusi.

Semua juga menjadi ciri khas ekonom neolib (appetitus divitiarum infinitus). Ekonominya buat diri sendiri dan selingkuhannya saja. Tak ada urusannya dengan republik. Tak ada sambungannya dengan negara. Tak ada dampaknya buat warga nista paria.

Problem besarnya, kini mereka makin kuat di istana. Dan, kita belum tahu lewat mana menghentikannya.(*)

 


Kawan. Sejarah uang orang kaya di dunia adalah uang gelap hasil penjajahan dengan menjarah emas, perak dan berlian negara jajahan. Merkantilisme tradisional seperti VOC menjadikan Netherland sebagai negara kecil kaya raya di Eropa. Raja dan Ratu Netherland hidup mewah di tengah penderitaan rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda.

Begitu juga dengan Great Britain, France, Prusia, Portugis semuanya hidup dalam kemewahan di atas penderitaan tanah jajahan. Uang mereka beranak-pinak sampai saat ini dan itu menjaga hegemoni mereka, lalu dijadikan uang pinjaman korporasi melalui jalur uang global via IMF, WB dll.

Negara miskin pinjam uang yang didapat dari merampas sumber daya mereka yang sudah berubah bentuk menjadi uang di pasar finansial yang dioperasionalkan oleh hedge fund global. Pinjam uang milik sendiri, dalam bahasa kaum milenial.

Merkantilisme ini tetap berjalan mencari mangsa baru. Lahirlah Jepang, Korea Selatan dan sekarang Tiongkok yang tidak masuk dalam orbit merkantilisme barat di bawah pengaruh Yahudi. Tiongkok or China ini pemain lama berbaju baru, lewat Obor dll yang efektif memperdaya negeri-negeri dungu seperti kita.

Di kita, mereka berkolaborasi dengan proxy dan dikopi metodanya. Lahirlah road map bisnis konglomerasi hitam di kita menjadi: bisnis perbankan, lalu ke bisnis tambang/sawit (ekstraktif), lanjut bisnis aset tanah/property (apartemen, hotel) masuk lagi ke rumah sakit (jualan tempat inap harian+jasa kesehatan+alat kesehatan), lanjut ke maskapai penerbangan (jualan kursi dan monopoli).

Mereka mengoperasionalkan semua jenis bisnis; yang terang, setengah terang, gelap bahkan yang gelap gulita. Mereka keruk tanpa bicara moral uang itu halal atau haram. Yang ada adalah jumlah yang terus bertambah. Karena merkantilisme hanya berbicara untung dan untung. Mereka produksi via pengaruh, bedil dan kekuasaan. Apapun jalan harus ditempuh. Halalkan. Tak ada yang haram. Termasuk suap semua elite agamawan agar befatwa sesuai perintah mereka.

Semua itu karena para pemilik merkantilisme tidak ingin dapat saingan baru di tingkat lokal dan internasional yang mengganggu pengaruh dan posisi mereka selama ini. Coba lihat begundal-begundal baru dari ilmuwan, agamawan, raja lokal dan tokoh yang kini bangga jadi "anjing penjaga modal" daripada menjaga rakyat dan moral.

INI CERITAKU UNTUKMU. MANA CERITAMU UNTUKKU?

 


Buku Gitanyali. Kami sedang membacanya bersama. Saat petir tiba-tiba datang tanpa diundang. Mungkin alam raya cemburu, pada kami yang diam saat setan-setan korupsi dari istana. Di atas pantat pacarku yang montok, kututup buku itu. Buku terjenius karya salah satu penulis yang kami kagumi, Rabindranath Tagore.

Doi, tentu saja salah satu penulis paling penting di abad ke-20 dalam kesusastraan India dan dunia. Karyanya yang berjudul "Gitanjali" dianggap sebagai salah satu prestasi terbesar, dan telah menjadi buku terlaris abadi sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1913.

Membacanya, kami berdua berharap dapat tuah penulisnya: hening, spiritualis dan semesta. Penulis berhasil melewati "pasangan partikel" takdir alam raya. Satu prestasi yang tak mudah didapatkan para salik, kecuali mereka yang dapat keistimewaan dari alam raya dan kerja cerdas tanpa kenal waktu.

Membaca pikiran-pikiran Tagore mengingatkanku pada sastrawan terjenius yang pernah hidup di tanah Jawa, Ronggowarsito. Perumus postulat "Zaman Gila," dengan tanda dan petanda, "Akeh janji ora ditepati" (banyak janji tidak ditepati), "akeh wong wani nglanggar sumpah dhewe" (banyak orang berani melanggar sumpah sendiri), "manungsa padha seneng nyalah" (manusia saling lempar kesalahan), "akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit" (banyak orang hanya mementingkan uang), "ora ngendahake hukum Hyang Widhi (tidak peduli hukum Tuhan)."

Lalu, kami ke Ambarawa. Sebuah kota yang legenda. Tempat tentara kita dulu menjadi tentara sebenarnya: menumpas penjajah. Tentu bukan seperti tentara hari ini, yang sibuk golf dan korupsi.

Dulu, di Ambarawa, sebuah rawa yang amba (lebar) pernah dirumuskan soal negara integral. Ya. Dulu sekali, para dalang bicara negara integralistik dengan bersabda, "Ana ingsun marga sira. Ana sira marga ingsun. Manunggaling sira lan ingsun supoyo manunggaling sira lan gusti."

Kini dirubah, "ana ingsun sira dipun tuku, ana sira ingsun tuku. Kabeh saiki dol tinuku." Dan, para tentara itu (terutama polisi) menikmati betul: membela yang bayar. Tak peduli korban makin banyak berjatuhan.

Dari kota mistis legendaris Ambarawa, kita diberitahu via iklan bahwa, presiden yang baik ternyata yang mengajak bangkrut bersama, miskin bersama, mati bersama dan menjadi pengkhianat bersama terhadap para pendiri negara Indonesia. Presiden yang mengajarkan pada kita seni menipu dan satire kecurangan yang akhirnya, kenihilan dan kehancuran sebagai hasil kenegaraan!

Bukan presiden yang melindungi, mencerdaskan, mengadilkan, menyejahterakan dan mengatur dunia berdasarkan Pancasila. Dan, sekali lagi: tentara diam saja bahkan tertawa bahagia menyaksikan presiden seperti petakilan di istana.

Padahal dari buku-buku sejarah, terkisahkan bahwa di dusun Ambarawa, pernah dirumuskan teori negara pancasila yang menempatkan nasib warganegara di atas segalanya: 1)Warganegara terlindungi; 2)Warganegara tercerdaskan; 3)Warganegara teradilkan; 4)Warganegara tersejahterakan; 5)Warganegara termartabatkan di dunia. Sayang sudah 6 presiden berlalu, teori ini tinggal teori, tanpa bukti.

Benar kata Bung Hatta, "kita kedatangan zaman global dan peradaban besar tapi surplus presiden berjiwa kerdil." Dan, sekali lagi: kekerdilan itu yang utama berasal dari tentara, yang melupakan Ambarawa.