Dalam setiap kepercayaan, dari zaman pra sejarah yang percaya kepada roh leluhur, animisme, dinamisme, totemisme sampai pada jamannya monotheisme, puncak dari ritual penyembahan adalah ritual kurban. Kurban adalah prosesi dimana manusia mempersembahkan barang berharga miliknya yang dipersembahkan kepada sesuatu yang dianggapnya berkuasa atas segala mahluk dan semesta.

Membahas darimana sumber sesungguhnya prosesi kurban ini diambil tentu dapat menimbulkan diskusi atau debat panjang. Jika kita membaca literatur sejarah peradaban manusia, akan kita dapati bahwa praktek memberikan persembahan sebagai kurban, dari kurban berupa hasil panen kebun, hewan ternak hingga manusia, telah sangat lumrah diterjadi di daerah peradaban Pasifik Selatan, Jepang Kuno, Asia Tenggara, Eropa kuno, wilayah tertentu Amerika, Mesoamerika, Yunani, Romawi sampai peradaban besar dunia kuno. Prosesi kurban dilaksanakan demi menenangkan dewa-dewa tertentu dan Tuhan yang dipercayai.

Tulisan saya kali ini akan berpijak pada praktek kurban dari lingkup kepercayaan monotheis yang bersumber dari kitab yang ditulis oleh Nabi Musa. Dalam kitab Keluaran, kurban pertama kali terjadi pada situasi paska Adam melanggar ketetapan Allah dengan memakan buah yang tak boleh dimakannya. Ketidak taatan Adam pada perintah Allah menjadi masalah serius; putusnya hubungan intim antara Allah dan manusia. Putusnya hubungan intim itu kemudian menjadikan Adam menyadari keadaannya yang telanjang dihadapan Allah dan membuatnya sangat takut. Adam menyadari dirinya sebagai manusia yang tidak layak berdiri dihadapan Allah yang kudus. Dan kenyataannya Allah yang kudus itu hanya bisa dihampiri dalam kekudusan, tanpa kekudusan tidak seorangpun bisa melihat Allah.

Agar kondisi manusia kembali pulih dihadapan Allah, maka inisiatif melakukan ritual kurban dilakukan oleh Allah sendiri dimana IA menyembelih hewan dan mengenakan kulit dari hewan sembelihan itu ke tubuh Adam sehingga Adam tidak lagi telanjang dihadapan Allah. Kisah itu menjadi momen paling mengharukan dan berkesan bagi Adam, sehingga ia kemudian menceritakannya kepada anak-anak keturunannya; kurban adalah ritual pemulihan bagi hubungan yang rusak antara Allah dan manusia.

Setelah peristiwa itu, ritual kurban kemudian berkali-kali disebutkan dalam kitab-kitab (Taurat) yang ditulis oleh Musa. Kisah yang tak kalah populer adalah tentang prosesi kurban yang dilakukan oleh keturunan Adam; Kain & Habel. Suatu kali, didorong oleh rasa syukur karena hasil panen kebunnya yang melimpah, Kain yang pekerjaan sehari-harinya sebagai petani, mempersembahkan sebagian dari panen hasil tanah yang dikelolanya itu kepada Tuhan.

Pada saat yang sama, adiknya Habel yang pekerjaannya sehari-hari sebagai peternak, juga mempersembahkan korban dari hasil ternaknya.

Kain & Habel sama-sama melakukan ritual kurban, namun yang kemudian berkenan kepada Allah adalah persembahan Habel. Habel telah melakukan ritual kurban persis seperti kisah yang didengarnya dari Adam. dimana Allah menjadikan hewan sebagai obyek kurban untuk mendamaikan dosa; ketidaktaatan Adam pada Firman Allah.

Setelah peristiwa Kain dan Habel, kitab Taurat kemudian fokus merinci secara detail bagaimana seharusnya ritual kurban yang berkenan kepada Allah dilakukan, dari pemilihan materi kurban yang tanpa cacat hingga prosesi yang seharusnya dilakukan tahap demi tahap tanpa ada kesalahan prosedur. 

Lalu apa kaitannya dengan kita yang hidup dizaman ini? Apakah kita masih harus melakukan ritual kurban? Masih relevankah ritual kurban itu bagi kita sekarang? Bagi para penganut monotheisme, kurban masih dikerjakan meski bentuk dan volume pelaksanaannya fariatif, tidak murni copy paste dari tulisan-tulisan Musa.

Bagi kaum Protestan, kurban telah dimaknai sebagai bentuk p enyerahan segenap hidup, selama hayat di kandung badan, untuk selalu kudus dan berkenan bagi Tuhan. Bagaimana bentuknya? tidak lain dengan melakukan praktek kurban setiap hari; selalu memberikan yang terbaik, kepada Allah maupun kepada sesama.

Memberi yang terbaik itu tidak mudah, membutuhkan kebesaran jiwa dan sikap rela menerima rasa sakit, butuh totalitas... itulah pengorbanan yang sejati. Jika dalam praktek memberi yang kita lakukan tidak disertai rasa "sakit".. itu bukanlah kurban. Jika waktu yang kita berikan kepada Allah adalah waktu senggang, itu bukan kurban. Jika kita memberikan baju kita kepada orang lain sementara kita masih punya jubah, itu bukan kurban. Jika kita menolong teman ditengah waktu luang, itu bukanlah kurban. Jika kita bekerja untuk rakyat karena darinya kita mendapatkan keuntungan, itu bukan kurban. Jika kita memberikan 1 milyar kepada rakyat sementara masih ada 1 triliun tersimpan aman, itu bukan kurban. Jika kita tidak pernah bisa mengerjakan ritual kurban, memberikan yang terbaik sebagai pengorbanan,  baik kepada Allah dan kepada sesama dalam hidup kita, maka kita tidak akan pernah bisa mendekat kepada Allah sang Pencipta kita.

Apakah kita mau dan telah menjadikan ritual kurban sebagai puncak tertinggi dalam siklus hidup kita untuk mencapai perkenananNya..?

***

“A single death is a tragedy, a million deaths is a statistic.” –Stalin

Seperti halnya pagebluk yang meluas, korona memiliki kemampuan mengganggu daya sintas tiap orang dengan mudah. Bukan hanya mengganggu, tapi juga merusak, bahkan mematikan secara massal dalam satu periode waktu. Terbukti, sejak awal mula virus baru ini terdeteksi dan mulai menyebar per Januari sampai hari ini, 27 April 2020, John Hopkins University, mencatat ada 2,99 juta orang yang terinfeksi dengan kematian mencapai angka 206.992 jiwa. Di Indonesia, lebih ngeri, sebanyak 743 jiwa meninggal dunia dari 8.882 kasus. Jelas, persentase kematiannya lebih tinggi dibanding tingkat kematian di dunia.

Tak ayal, kita jadi begitu cemas. Sebab bagi masyarakat yang terpapar virus, dirinya dengan kematian yang normal seakan tak diberi jarak-waktu. Dalam pandemi, kematian itu nampak prematur. “Isuk loro, sore mati (baca: pagi sakit, sorenya meninggal),” getir orang-orang Jawa menghadapi keganasan wabah Flu Spanyol yang merebak sejak musim kemarau, Juni 1918 hingga Februari 1919 di Hindia Belanda (Arif, Kompas, 1/4/2020). Dalam nada pesimistis yang sama, bukankah kegetiran seperti itu kian terasa hari-hari ini?

Tak jauh beda, masyarakat yang sebetulnya tidak terinfeksi korona pun gelisah. Takut tertular. Kita jadi membatasi diri dari perjumpaan fisik, kita mesti diam di rumah, belajar cuci tangan yang benar, dan wajib memakai masker bila memang perlu untuk ke luar rumah. Kebiasaan baru itu dapat dilihat sebagai hasil akumulasi dari kewaspadaan dan kepanikan. Kapan giliran kita tiba? Mampukah kita bertahan hidup? Atau lebih jauh, melalui Covid-19, bagaimana kita harus menyikapi ancaman kematian?

Obsesi menaklukkan kematian

Kemunculan Covid-19 ini membuat hidup yang rutin kembali memikirkan makna kematian. Ujung dari rutinitas itu ialah kematian, baik karena epidemi maupun tidak. Sehingga untuk sebagian masyarakat meyakini bahwa: hidup begitu absurd bila terlahir untuk mati. Oleh karenanya, mereka lebih memilih melawan, ketimbang menanti, kematian.

Kita lebih sering melupakan rasa takut akan kematian dengan melarutkan diri dalam keseharian yang banal. Atau mengalahkan ketakutan itu dengan sibuk menyiapkan diri sebaik mungkin sesuai tuntunan agama dan kepercayaan yang diyakini sampai ajal menjemput. Namun, ada sebagian kita yang justru menolak untuk takut. Dengan mendekonstruksi pemahaman yang sudah sakral: dari mortalitas menjadi imortalitas.

Ide radikal tersebut bukan bualan belaka. Lewat kolaborasi ilmu pengetahuan dan kapital yang besar, sejumlah ilmuwan dan hartawan memilih untuk menepis kefanaan. Seperti ahli gerontologi-biomedis Aubrey de Grey dalam bukunya Ending Aging (2007) menerangkan dengan keyakinan penuh bahwa kita bisa menghambat penuaan. Caranya: dengan mengidentifikasi penyebab penuaan, semisal mutasi pada DNA, mutasi mitokondria, dan penumpukan protein yang tak ada guna pada sel.

Futurolog Raymond Kurzweil, pada 2012, difasilitasi Google untuk mengembangkan apa yang belakangan disebut Human Immortality Project (HIP). Ia percaya, dalam waktu dekat, teknologi nano dapat membantu tubuh agar makin imun. Menjadikan tubuh jauh lebih sehat adalah anak tangga pertama menuju keabadian. Pula, melalui Calico, anak perusahaannya, Google memulai kerja-kerja besarnya mengatasi kematian. Tahun 2018, The National Academy of Medicine (NAM), sebuah lembaga riset mandiri di AS, mulai memusatkan perhatiannya untuk mengakhiri penuaan.

Peter Thiel, tokoh berpengaruh Silicon Valley dan pendiri PayPal, dengan kekayaan pribadi mencapai 2,2 miliar dolar AS, begitu terobsesi untuk hidup panjang. “Saya pikir ada tiga pendekatan utama dalam hal kematian: Anda bisa menerimanya, mengingkarinya, atau melawannya. Saya pikir yang dominan adalah kita akan mengingkari atau menerimanya, dan saya memilih untuk melawannya,” ujarnya pada media Telegraph. Ambisi Thiel itu diejawantahkan dengan serius dalam proyek bernama Unity Biotechnology. Bersama Jeff Bezos, pendiri Amazon, perusahaan tersebut dibuat untuk memerangi penuaan.

Bill Maris, seperti yang diceritakan Yuval Noah Harari dalam Homo Deus (2015), memimpin Google Ventures (GV), menginvestasikan 34 persen dari portofolionya yang bernilai dua miliar dolar AS pada proyek-proyek yang bertujuan memanjangkan umur manusia.

Persekutuan antara teknologi medis dan uang memang memiliki probabilitas tinggi untuk bisa menginterupsi Sejarah. Tetapi, ada hal lain yang sublim yang ditawarkan pada Sejarah menyoal makna kematian.

Obsesi mendamaikan kematian

Kematian bukanlah musuh yang harus ditaklukkan. Mayoritas kita memandang bahwa, kendati absurd, dengan terlahir untuk mati, hidup jadi bermakna. Dengan adanya batas kehidupan, justru kita mulai memikirkan masa depan sejarah. Tak terkecuali: tentang ancaman kematian. Ada paradoks, tetapi hukum alamnya bekerja demikian. Hidup abadi dimungkinkan hanya akan membuat kita abai dalam menyusun (dan menyikapi) skala prioritas aktivitas kita. Kreativitas manusia jadi tumpul sebab ketiadaan dorongan untuk segera bersikap. Mengetahui fakta cepat atau lambat akan mati adalah dorongan yang paling potensial.

Hidup adalah fakta eksistensi manusia. Ia, bagi Arthur Schopenhauer (1788-1860), intelektual yang melihat hidup dengan pesimistis, cuma berisi penderitaan demi penderitaan. Sebab sinopsis peradaban manusia adalah sejarah panjang ketidakadilan. Hidup selamanya hanya akan memperpanjang daftar derita.

Tak seperti angkuhnya para pesohor Silicon Valley dan Yuval Noah Harari, yang meyakini manusia adalah seonggok daging hidup dengan algoritma biokimiawi sebagai mekaniknya, mayoritas kita lebih menerima konsepsi adanya jiwa dalam tubuh. Immanuel Kant mengklasifikasikannya sebagai noumena (the thing-in-self). Antonim dari fenomena (appearance thing). Keduanya, buat Schopenhauer, memiliki kausalitas di mana noumena dapat memanifestasikan dirinya dalam fenomena. Kehendak untuk hidup (the will to life) merupakan hasil manifestasi tersebut. Penderitaan ala Schopenhauer berasal dari interaksi keduanya. Pendek kata, kehendak untuk hidup itulah yang melahirkan derita. Oleh sebabnya, Schopenhauer beri semacam pilihan-pilihan dalam bersikap: mengafirmasi atau menyangkalnya.

Kebanyakan kita akan mengafirmasi atau menyangkalnya, dan seperti Thiel di atas, saya memilih sikap alternatif, yaitu mendamaikannya. Artinya, karena hidup tak melulu tentang luka dan penderitaan tak selalu dipersepsikan sebagai duka.

Kematian adalah akhir dari derita atas intervensi (bukan belenggu) the will to life itu. Buat yang beragama, kita dibekali pelbagai hal yang eskatologis. Sehingga bila hidup adalah kumpulan penderitaan dikarenakan “beban” agama dan sejarah, atau juga rutinitas dengan rupa-rupa masalah, maka kematian merupakan jalan menuju dunia idea, yang bagi kita yang beragama, tempat keadilan dan kebahagiaan hakiki berada. Dan hidup selamanya hanya akan jadi sebentuk penyangsi akan semua itu.

Jangankan keabadian, mewabahnya Covid-19 ini justru membuat kita merenungi kematian. Daya kejutnya pada rutinitas kita luar biasa. Sebab ancaman kematian jadi begitu dekat. Kecemasan komunal ini mestinya berujung pada pemahaman lebih utuh akan hidup bersama yang bermakna. Apakah obsesi akan hidup yang abadi menjadi realitas? Bayangan itu masih sangat amat buram. Akan tetapi, bayangan awalnya, lewat kemajuan ilmu kedokteran, harusnya dengan segera bisa memastikan bahwa 206.992 orang yang mati prematur karena pandemi bukan menjadi, seperti ucapan angkuhnya Stalin di muka tulisan ini, statistik World Health Organization (WHO) semata –setidaknya, kematiannya mesti berbuah obat dan vaksin.

***

Sofah D. Aristiawan:
Esais, Peminat Filsafat, Mahasiswa Administrasi Publik FISIP Universitas Padjadjaran

Betapa menariknya pemerintahan hari ini. Cerdas membuat utang baru yang berbunga mahal dalam merealisasikan APBN. Betapa canggihnya rezim hari ini. Pintar melanggar UU Keuangan Negara 2003 dan mengetik perpu baru, soal struktur dan disiplin anggaran. Dan, betapa kuatnya presiden hari ini. Bertekad mengampuni pengemplang pajak (tax amnesty) dan pencuri uang warganegara.

Apa sih sesungguhnya cita-cita negara ini? Sampai-sampai kita jadi menarik, canggih dan kuat (dalam mengkhianati konstitusi). Cita-citanya begitu mulia: mencipta dan mewariskan negara yang menjamin warganya hidup dalam keadilan sosial bagi seluruhnya.

Faktanya, per September 2020, Gini Ratio kita masih sebesar 0,38. Kondisi yang memalukan ini mencerminkan kesenjangan negeri kita sangat besar. Itu juga yang menyebabkan kita di peringkat ketiga terburuk seluruh dunia. Hal ini karena kekayaan nasional sebanyak 50,3% hanya dikuasai oleh 1% rakyat Indonesia. Ini jelas fakta yang "anti Pancasila."

Bandingkan dengan negara seliberal Amerika Serikat (AS), di mana yang menikmati kekayaan nasional di atas 1.3%. Kita negara Pancasila loh. Lalu, di mana pancasilanya?

Singkatnya, kemiskinan, kebodohan, konflik, kesakitan, kesenjangan, ketimpangan, ketergantungan, kejijikan dan keterjajahan (9K) masih bercokol kuat di republik kita. Kenapa begitu? Karena arsitektur ekopol kita masih tetap kolonialis dan "sakit" bahkan anti nalar.

Sebagai contoh soal "dana publik." Ia sesungguhnya selama ini hanya beredar di antara pengusaha besar (konglomerasi, MNC: asing-aseng) dan sama sekali tidak berpihak kepada ekonomi warganegara. Uang hanya beredar di antara mereka yang lebih memilih investasi ke pasar obligasi dan properti daripada mengembangkan usaha kecil dan menengah apalagi koperasi.

Celakanya, para konglo itu mendapatkan akses modal dari bank yang selama ini menikmati keuntungan hanya dari hasil bunga obligasi rekapitalisasi perbankan yang mencapai lebih dari 600 triliun rupiah. Padahal, bunga obligasi itu berasal dari pajak warganegara.

Jadi, warganegara dibebani bayar pajak untuk dinikmati segelintir konglomerat hitam. Pancasilais sekali ini karena dikerjakan selama puluhan tahun. Ajiiibbbb.

Kita tahu saat ini, pemerintah per tahunnya rata-rata harus membayar 60 triliun rupiah untuk bunga obligasi yang diterbitkan guna mem-bailout bank konglomerat hitam. Padahal, kebanyakan bank yang kolaps pada 1998 itu karena dimanipulasi oleh pemiliknya sendiri. Akibatnya, beban anggaran yang sangat besar harus ditanggung oleh warganegara via pembayaran pajak.

Nasib fatalnya, obligasi rekapitalisasi ratusan triliun rupiah itu terus membebani APBN tiap tahun yang berakibat pada pencekikan pajak, pencabutan subsidi, pengurangan pos-pos anggaran seperti pendidikan, kesehatan dan perumahan.

Singkatnya kekayaan makin kaya dan kemiskinan makin miskin. Terlebih, kemiskinan struktural ini menguat terus karena:

  1. Kita kurang demokratis sehingga tak ada partisipasi dan gotong-royong; 
  2. Habisnya akses dan kontrol terhadap sumber daya (SDA & SDM); 
  3. Adanya ketimpangan akumulasi dan distribusi aset produktif baik lahan maupun modal; 
  4. Masifnya kebijakan berorientasi memenuhi pasar asing daripada pasar domestik; 
  5. Punahnya peran pemerintah dalam meminimalkan ketimpangan sosial dan swastanisasi yang berlebihan;
  6. Perampokan terus menerus sumber daya alam yang berdampak pada kerusakan lingkungan;
  7. Banjirnya kebijakan-kebijakan yang menyebabkan lahirnya oligarki, kleptokrasi, kartelik dan predatorik; 
  8. KKN yang merajalela;
  9. Warganegara yang apatis dan cuek.

Sembilan hal itulah yang membuat kreta kuda nawacita mogok. Sembilan hal itu juga yang memastikan kerja blusukan mubadzir. Selebihnya konsolidasi rezim lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama makin solid dan predatorik.

Lalu, apa jalan keluar dari ekopol sakit dan anti nalar ini? Trias revolusi: mental, nalar dan konstitusional. Memang, revolusioner hadir dan merekah dalam keadaan asing, dan ia akan kesepian dalam keadaan asing. Tak banyak yang berterimakasih, terlalu banyak yang cuek, tak sedikit yang membenci. Tetapi, beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu karena menjadi sebab kemerdekaan dari suatu bangsa. Amalnya membawanya ke hadapan Tuhan dan syorga.

Inilah arus balik dari ekonometrika menjadi sosio-ekonomika. Sebab menjadi merdeka itu pilihan; sejahtera itu kecerdasan; berkeadilan itu keimanan; bergotong-royong itu keniscayaan. Jika tidak, rezim terus berganti-ganti tapi kenestapaan kita tetap dan tak terperi.

***

Tentu saja ini bukan cerita dan perdebatan kitab suci. Sebab, semua dimulai dari hujan dan banjir; gerimis dan tangis. Ia yang menunggu kesejarahan akan bangkitnya kejayaan yang tak menua di bawah pohon belimbing.

Sungguh. Berteman karena uang, saat uang habis persahabatan akan dilupa. Berteman karena keuntungan, setelah kerugian akan bubar. Berteman karena kekuatan, setelah kalah maka hubungan akan runtuh. Berteman karena kekuasaan, setelah kekuasaan hilang maka akan ditinggalkan. Berteman karena perangai perasaan, jika perasaan putus akan terluka. Hanya berteman dengan hati tulus, barulah akan mulus.

Mirip kisah di bawah ini. Kisah dimula dari bertemu di stasiun. Ditulis dalam buku kelas kedokteran. Bagai setetes embun di daun; di antara bintang dan gelap malam. Nasib lamban bergulir di makian dan cacian senior. Menjadi mahasiswa kedokteran itu seperti menjadi jarum suntik. Ketika jatuh ke tanah, ia tak terserap musnah.

Tuhan. Ini kisah mirip kisah aksara, anak hebat yang dititipkan saat kami ngopi denganMu. Saat ia bersama sekitarnya yang rakus tak bernas. Sebab, kakeknya kemarin melarang mamahnya menemui anaknya dan kini melarang anaknya menemui mamahnya. Jahat sejahat jahatnya manusia. Mirip indonesia, di mana negara makin lucu dengan sinetron bertema rampokan dan hantu.

Mencintai senior yang bisu itu seperti rel kreta. Bersama tapi tak jumpa. Begitupun hatinya, diayun bimbang jawab ujian proksi dan karikatural. Rasanya mirip rempeyek. Terhempas dan hampa. Sangat sulit dihitung. Jauh tak terkira. Berdebum tak mati. Tulang patah dan kaki bengkak-bengkak saja.

Mencintai yunior itu seperti tari yang tersaput mega. Enggan hidup. Apalagi bersinar. Hambar dan tidak tak tergambar. Rasanya bagai menusuk angin ke raga. Membuat jiwa gemetar; niat jadi gentar; iman jadi kabur.

Kisah ini mirip hipotesa baru. Jika ada debat antara SMI VS RR soal utang itu adalah debat antara fiksi versus fakta. Berat. Sulit. Sinopsisnya pasti mahal. Sebab ini adalah rentenir melawan nalar.

Kisah ini juga mirip cerita Mahesa Jenar. Orang yang tidak pernah lari dari permasalahan walau menyangkut bahaya nyawanya. Semua masalah yang dihadapinya tidak ditepiskan, tapi dihadapi untuk kedamaian umat manusia.

Mengapa? Sebab Mahesa Jenar itu lembut perasaannya, suka menolong orang, suka mengalah untuk kebahagiaan orang lain, baik hati, berkorban untuk negaranya dan tidak mementingkan diri sendiri.

Singkatnya, cinta gila itu membuat keterpurukan. Di sini. Di sana. Di mana saja dipeluk bimbang sikap dan jawab. Ya. Sikap mereka yang tuli tapi butuh, buta tapi minta, bisu tapi ngasu. Semua membeku dan sara tak terukur dan tak terkira dalam dan panjangnya. Amitabha.

Kasih. Adalah kau tuangkan cinta? Adakah kau dustai diri. Adakah yang kau tuang ke dalam tungku yang tengah panas menyala. Pasti tak ada. Sebab hidupmu memang tanpa niatan yang bisa dibaca. Kasih. Adalah kau padamkan bara; adakah hidup tanpa nyawa; adakah cinta tanpa setia. Seperti bilik-bilik pengkhianatan istana pada kita semua. Tatkala hangat mulai membuai jiwa; meluruhkan air mata.

Kasih. Jika Tuhan memberitahu bahwa umurmu tinggal sehari, apa yang akan kamu lakukan? Seperti para pencari kursikah? Atau seperti penemu uang saku? Atau seperti mereka yang saat kere memilih kiri tetapi begitu berkuasa menjadi babi?

Kini. Dan, sejak kemarin. Mendengar kisah-kisah. Aku terhempas bimbang sikapmu; aku bergairah tetapi mati; aku fiksi bin fiktif; aku khayal yang nyata. Kesasar. Terpuruk di sini. Di antara ikan dan kayu bakar. Mandeg. Stagnan. Limbo. Dipelukan bimbang jawabmu. Digantung rindumu yang palsu. Ilutif. Membentuk patung-patung agama. Membeku dan sara; mencerna gagal spiritual tak terkira. Tragis setragis tragisnya.

***

Ini bukan kisah kalian. Tetapi jika ada kemiripan nama dan isi, mohon dimaafkan. Ini bukan cerita kalian. Tetapi jika ada yang membuat tersinggung, mohon dilapangkan. Ini bukan hikayat qais dan laila, sebab ini hanya cerpen saja.

Cerpen ini hadir saat republik tetangga mengalami keterhebatan fatwa pemilik modal. Fatwa yang tak terbaca di kitab suci tetapi terjadi di kehidupan nyata dalam 15 tahun terakhir kita dalam berbangsa.

Fatwa suci itu mengatakan, "Jika para taipan memanggil, tukang kayu bisa jadi ratu; jendral mau jadi juru ketik; ulama bangga jadi juru stempel; guru besar rela jadi jubir; cendekiawan bersuka-ria jadi badut; anggota parlemen berbaris jadi velacur; aktifis hobi jadi sipilis."

Cerpen ini juga terselip di antara hipotesa yahud yang berbunyi, "kini yang lama tak kunjung mati. Yang baru tak kunjung datang. Penguasa menua. Penggantinya tak mengerti, tak benderang, tak menjanjikan."

Yang jelas, cerpen ini diketik saat limbo. Sehingga berilusi negatif: tanpa ide, minus nalar, alpa gagasan itulah elite kita kini. Cuma beda pendapatan; bukan beda pendapat. Inilah republik plonga-plongo yang bahagia memproduksi budak dan kejahiliyahan.

Padahal, jahiliyah itu tidak berumah. Ia suka singgah di manapun sekehendaknya. Sesekali mampir di istana. Terkadang hidup di kampus dan rumah ibadah. Terakhirkali berwajah culun dan suka blusukan. Akhirnya, pilpres kita selalu seperti omong kosong versus otak kosong. Yang menang selalu tong kosong.

Cerpen ini dimulai dengan keimanan pada kaidah tak ada hidup tanpa ada masalah. Tak ada berkawan tanpa berbuat salah. Karena sewajarnya bagi manusia ada sikap penuh khilaf. Untuk itu Allah mengajarkan kita menjadi pribadi pemaaf.

So, mari memaafkan. Ella namanya. Bagi suaminya, ia peri mulia yang tak ada duanya di dunia. Dikejar sejak semester pertama sampai sarjana. Lalu menikah dan beranak-pinak. Satu lelaki yang rupawan. Tetapi, cobaan memang tak melihat profesi, tanpa tanda dan sering tiba-tiba. Saat melihat putri lain, ayah dari lelaki yang rupawan itu tersyariahkan. Sebab menambah itu sunnah.

Kini, mereka tidur seranjang tetapi hati tak girang. Menangispun tak sedu. Sebab di baliknya ada peluru. Suaminya memang serdadu. Cerita masa lalu soal peradaban agung tinggal kenangan. Dalam hati keduanya tinggal pertanyaan besar, "apa itu setia?"

Elli namanya. Di ujung senja usia, dilempar ke jurang nista. Saat arjuna terakhir hadir, ia tak sudi. Sebab orang itu bukan tipenya. Tapi apa mau dikata? Tokh hidup tinggal sebentar. Pestapun dilakukan. Anak pinak dihadirkan. Seorang lelaki tampan menyapa. Tetapi, ini soal hati. Tak kagum. Tak seperti yang diharapkan. Hambar. Terkadang marah. Cuek. Limbo. Yang ada, seperti tiada. Yang tiada, diharap ada.

Ia ingat. Sejarah ranjang terkadang lebih lalim dari sejarah perang salib; lebih kurang ajar dari cerita neoliberal; lebih sadis dari prestasi sekolah. Tapi mau bagaimana lagi? Buntu dan kuldesak tak menentu. Tak ditemukan jalan kembali.

Ella dan elli. Kisah dua samudra. Cerpen dua bukan saudara. Hadir dalam realitas kita. Sering tak tahu harus bagaimana. Sebab, manusia adalah waktu yang menjumlah luka. Berputar dalam labirin tetapi sering menikmati sambil meratap perih.

Ella dan elli menjerit gigil. Bantu aku, lari dari bayangmu. Hasrat melupakanmu. Usah lagi, senyum sapamu mengganggu. Engkau bukan untukku lagi. Ini seperti petikan lagu. Entah lagu siapa. Sebab tidak semua pertanyaan mengharuskan jawaban.

Singkat. Ujung cerpen ini adalah begini: Tidak semua yang dicintai sedia mencintai, dan tidak semua yang mencintai sedia dicintai. Tidak semua sedia saling mencintai, kata Albert Einstein.

***

Seringkali nyawa kita tak ada harganya. Juga nyawa orang-orang yang kita cinta. Mereka diambil begitu saja. Saat kita sangat bergantung kepadanya. Selepas matinya, ribuan rintang menghadang. Jutaan problem terbentang.

Ingat. Dalam sejarah panjang soal penderitaan, ia bisa lebih lalim dari kebahagiaan; lebih kurang ajar dari cinta monyet; lebih tragis dan egois dari krisis finansial. Tapi mau bagaimana lagi? Buntu dan kuldesak tak menentu. Seperti jaelangkung terkena usus buntu: datang tak menggenapi; pergi tak mengurangi.

Saat paria, barisan semua datang. Sakit dan penyakit antri. Fitnah dan caci bertumbuh. Harta hilang. Cita-cita melayang. Begitulah. Dengan sangat kurang ajar Tuhan, hantu dan hutan memporak-poranda jalannya. Karenanya, memilih jalan merdeka adalah pilihan kesunyian. Sepi penolong, sepi pelindung. Juga alpa dari kasihmu.

Tan Malaka berucap, "barang siapa yang menghendaki kemerdekaan buat negaranya, maka ia harus sedia dan ikhlas untuk menderita pedih dalam rangka kemerdekaan dirinya sendiri dahulu." Sebab merdeka pasti melawan dua hal: musuh eksternal dan pengkhianat internal.

Ia tegak dalam penderitaan bagai udara yang dihirup tiap detik dalam tubuh dan jiwanya. Tapi ujungnya nanti senyum lebar. Kebanggaan keturunan. Teladan generasi. Makin menderita makin mulia posisinya. Menderita karena gagasan dan ide-ide besarnya. Bukan menderita karena jadi jongos akibat kebodohan dan kenaifannya.

Ia paham. Semua agama dimulai dari kekeliruan. Semua negara dimulai dari kebodohan. Semua cinta dimulai dari kejumudan. Semua cita-cita dimulai dari keterjebakan.

Dus, tindakan-tindakan kita hanya kesia-siaan yang dirayakan besar-besaran. Pergulatan-pergupatan kita hanya menjumlah sejarah dan luka sambil mengobati dan melukainya lagi: berputar-putar, tawaf, berulang-ulang.

Ia juga sadar. Revolusioner hadir dan merekah dalam keadaan asing, dan ia akan kesepian dalam keadaan asing. Tak banyak yang berterimakasih, terlalu banyak yang cuek, tak sedikit yang membenci.

Tetapi, beruntunglah orang-orang yang terasingkan itu karena menjadi sebab kemerdekaan dari suatu bangsa. Amalnya membawanya ke hadapan Tuhan dan syorga. Kaliankah itu? Sepertinya bukan.

***

Jika kita bertemu dengan penguasa yang wakaf nyawa demi kemakmuran dan keadilan rakyatnya; mendahulukan kaum miskin-bodoh-cacat dari lainnya; satunya kata dan perbuatan; jenius karena memahami ekopol global, itulah pemimpin pancasilais. Ia dipotret dalam kitab Alquran dengan sikap, “Mereka mengutamakan (orang lain) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan. Siapa yang tak kikir, mereka itulah orang-orang yang beruntung" (QS.Al-Hasyr:9).

PANCASILA, adalah ideologi kemanusiaan, kadilan dan pemerataan. Tiga hal yang tak akan bisa tercapai di tangan pemimpin penipu.

Di tangan para pemimpin penipu, Pancasila tak pernah tumbuh menjadi kemakmuran sosial yang kita rindukan bersama. Padahal kemakmuran sosial adalah fondasi negara Pancasila.

Wacana dan praksis pancasila kini dipenuhi "pembicaraan tanpa pikiran; hukum tanpa keadilan; birokrat yang biadab, oligarkis, kapitalis dan predatoris. Negara kita kehilangan elan vital pancasilaisme yang berkeadilan seperti cita-cita para pendiri republik Indonesia.

Bagi pemimpin pancasilais tentu saja punya prinsip-prinsip yang dikerjakan dengan jelas: kebangsaan, internasionalisme dan perikemanusiaan, mufakat dan demokrasi, kesejahteraan dan kemakmuran sosial, serta bertakwa kepada Tuhan yang Maha Esa.

Pemimpin pancasilais juga harus berwawasan nusantara. Ini merupakan cara pandang terhadap rakyat, bangsa dan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang meliputi darat, laut, dan udara di atasnya sebagai satu kesatuan politik, ekonomi, sosial, budaya dan pertahanan keamanan.

Ia harus berwawasan nasional yang kemudian menjadi pandangan atau visi bangsa dalam menuju tujuan dan cita-cita bersama: bernegara. Dus, wawasan nasional adalah sudut pandang geopolitik Indonesia secara mendasar berempat dimensi: kepulauan, kelautan, daratan dan dirgantara.

Wawasan ini memandang dirinya sendiri (secara geografis) sebagai satu kesatuan antara ideologi, politik, ekonomi, sosiokultural, serta masalah keamanan dan pertahanan.

Adakah dik kowi dkk seperti itu? Kalau iya, ayok kita dukung. Kalau tidak, ayok kita ganti.

***

Kalian terus berisik. Padahal kemacetan makin membuat panik. Hidup makin mencekik. Maka, hanya pada malam, warga bisa bersembunyi. Saat semua penegak hukum tajam menyiksa kaum miskin dengan pisau yang menukik.

Pisau yang seuplik jika berhadapan dengan asing-aseng-asong yang tengik. Taukah kalian kata kamus postkolonial soal-soal mereka? Kaum tengik yang menempati elite Indonesia adalah gerombolan yang mencintai sesuatu dengan cara harus memiliki, mengkomodifikasi dan mengeksploitasi segala kelebihan sesuatu tersebut sampai ia tak terjangkau oleh orang lain.

Itulah mereka yang mewarisi dan mentradisikan mental kolonial. Kalian tahu, sampai hari ini ditemukan ada 35 karakter kolonial sebagai penghambat kemajuan Indonesia.

Tetapi dari 35 tersebut ada lima besar yang dapat dijumpai pada diri mereka sehari-hari.

Pertama, mental inlander. Yaitu sikap takut, memuja, takjub dan minder terhadap bangsa asing. Sikap inilah yang membuat UU kita sering berpihak ke asing daripada warga sendiri.

Kedua, mental instan. Akibat langsung dari inlanderisme ini manusia Indonesia mengembangkan kelakuan instan. Yang penting hasil sambil melupakan proses.

Impor dalam segala hal, menyontek, pergi ke dukun, korupsi, nyogok dan money politic adalah bukti tak terbantahkan menjamurnya karakter instan. Bahkan makanan terlaris di republik indon juga bernama instan: mie instan dll.

Ketiga, mental mendendam. Karakter ini lahir karena keinginan cepat kaya, cepat berkuasa dan cepat terkenal tak mudah didapatkan maka ketika dapat, ia mendendam dari masa ketika miskin, tuna kuasa dan tidak dikenal.

Balas dendam itu dikerjakan dengan menumpuk harta, memegang kekuasaan dengan segala cara (nepotisme). Tak ada perkaderan dalam karirnya, tak ada pemerataan dalam ekonominya. Maka, gaji tinggi tapi minim prestasi.

Keempat, mental melupa (autis). Tentu saja, siapa punya tingkah dendam akan lupa. Proses melupa ini khas warga negara poskolonial.

Karena itu problem negara-negara poskolonial adalah "membariskan ingatan melawan lupa." Warga negara poskolonial mengidap pendek ingatan dan menjadi kawanan penjejer luka serta lupa. Sebelum berkuasa, ia berjanji apa saja. Begitu berkuasa, ia bekerja melupakan janji-janjinya.

Kelima, mental miopik atau rabun. Ia tak mampu melihat "sejarah masa lalu dan strategi masa depan." Yang ada dalam pikirannya: kalau bisa diperlambat kenapa dipercepat, kalau bisa impor kenapa harus berproduksi.

Karena rabun, ia tak kuat iman. Sebab iman adalah soal jauh di akherat. Karena rabun, ia tak takut dosa. Sebab dosa adalah soal eskatologis. Ciri utama rabun adalah tak terima perdebatan-perdebatan sehat, jadi fundamentalis dalam segala hal.

Lima mental itu kini makin mendapati faktualnya. Mau tahu buktinya? Coba kita kutip omongan SMI yang juga produk manusia bermental kolonial. Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkap bahwa ada US$ 250 miliar atau Rp 3.250 triliun kekayaan orang-orang sangat kaya asal Indonesia yang ditempatkan di luar negeri.

Dari jumlah tersebut, terdapat US$ 200 miliar atau Rp 2.600 triliun yang disimpan di Singapura, di mana US$ 50 miliar atau Rp 650 triliun disimpan dalam bentuk non-investable asset dalam bentuk real estat.

Sedangkan US$ 150 miliar atau Rp 1.950 triliun diinvestasikan dalam bentuk investable asset, seperti deposito, saham, dan surat berharga.

"Itu belum termasuk dana yang disimpan di negara lainnya, seperti Hong Kong, Makau, Labuan, Luksemburg, Swiss, dan negara tax haven lainnya, termasuk Panama," kata Sri Mulyani.

Ngeri bukan? Pasti tidak buat kalian. Sebab kalian sudah terlalu lama menderita sehingga berpikir saja sudah tak bisa. Aikhhh kok aku jadi begini melankolis dan sedih yang tak sudah-sudah?

Di seberang warung kopi dan di pinggir rel kereta api, kuingat keculunan-keculunanmu. Lelaki yang lakunya tak laki-laki. Diberi kesempatan merealisasikan janji proklamasi tapi yang dikerjakan hanya ilusi dan imaji kaya sendiri.

***

Tak ada di peta ilmu bumi. Tetapi, jika kau tak tahu Kecila, kau tak tahu Indonesia. Sebab, setahu hamba, Indonesia itu bagian dari Kecila. Pada nasib hampir sejahtera, penduduknya tiba-tiba mengerti, dan punya jerit suara hati. Di sanalah ayat-ayat disucikan. Hadis-hadis dipelajari. Dan, peradaban coba dihadirkan.

Tentu letih. Pasti lungkrah meski mencoba melabuhkan rasa yang ada, pikiran yang hadir. Serta tindakan yang tak begitu mulia. Di sana. Mohon tinggal sejenak, lupakanlah waktu. Di sana. Dibangun jiwanya. Ditempa raganya. Ditakdirkan salah satu penduduknya akan memakmurkan seluruh dunia.

Kasih. Temani aku. Usap air mataku. Air mata pemberi kisah tetesan lara. Lalu, kita merajut asa, menjalin mimpi, endapkan sepi-sepi. Kau tahu? Perjalanan ini tidak tak terselesaikan. Apalagi jika ditempuh dengan sepeda.

Kehidupan manusia di desa Kecila selalu menjadi misteri bagi siapapun. Masa depan warganya sulit untuk ditebak. Nasib penghuninya membuat pendatang penasaran akan seperti apa kehidupan mutakhirnya. 45 tahun kulihat, desaku sami mawon nasibnya.

Di sana, banyak orang yang terlalu memikirkan masa depannya sehingga tidak menikmati masa-masa yang dijalani pada saat ini. Karenanya, nasib baik dan semangat selalu dibutuhkan oleh kita untuk selalu berpikir positif tentang kenestapaan agar menikmati kehidupan pada masa sekarang dan yang akan datang.

Kasih. Cinta akan membawamu kembali ke sini, menuai rindu. Memelukku. Kangen akan mengembalikan akalmu, memanen keutuhan. Jelita akan memastikanmu, menggoreng ikan guramih yang kita ternak di sawah-sawah.

Engkau itu rajawali yang indah. Tak pernah mengemis untuk ditangkap. Tak pernah menolak untuk dilukai. Engkau yang bersinergi dengan keadaan dan ketiadaan. Kehidupan dan kematian. Kehadiran dan kefanaan.

Kata penyair Rendra, "langit tanpa rajawali adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma. Orang boleh saja bicara di tujuh langit, tujuh syorga, tujuh cakrawala, tujuh pengembara. Tetapi rajawali tetap terbang tinggi memasuki sepi, memandang dunia di sangkar besi. Duduk bertapa mengolah hidupnya."

Desa ini. Keasrian ini. Pasti membasuh perihmu. Pasti membawa serta dirimu. Menenteng sebakul senyummu. Dan, kutahu dirimu yang dulu mencintaiku apa adanya. Bukan pengumpul duka. Bukan pemintal lara.

Kasih. Saat ujung malam kuselalu mencarimu. Jika ketemu, mau kubagi rindu. Karena Allah membagi-bagi rizki buat hambanya antara subuh dan terbitnya matahari (HR. Kirenak).

Hantu. Saat tengah siang kuselalu menyebut namamu. Untuk mentransfermu pulsa. Karena Allah menunggu doa para hamba yang mencari cinta di sepanjang usia (HR. Azzaleak).

Hutan. Saat akhir hari kuselalu meyakinkan diri bersujud menangis. Untuk mengirimkan buku-buku. Karena Allah menyusun nasib hambanya antara kebahagiaan dan kesusahan (HR. Al Batrisyiak).

Kasih. Di pematang sawah. Di pinggir kuburan. Saat kita duduk tertawa memanen padi. Di pinggir-pinggir sungai. Saat dusta mengalir, jujurkanlah hatimu padaku. Saat pengkhianatan terukir, luluhkanlah jiwamu pada semesta. Agar semua tidak nggresula.

Kasih. Genangkan batin jiwamu, genangkan cinta kasihmu. Seperti dulu, saat bersama, tak ada keraguan. Tak ada saling sengkarut. Melintasi ujung kota Buntu dan Kota Sumpiuh. Minum air kelapa dan terdampar di pantai Widarapayung. Telan gorengan yutuk. Dan, kemlekeran nasi pecel.

***

Nusantara tiada. Ambruk bersama kisahnya: keagungan dan datangnya penjajahan. Ratusan tahun via VOC, Portugis, Belanda, Jepang dan Amerika. Maka, sejarah indonesia purba adalah sejarah kerakusan dan penjajahan. Ilmu indonesia adalah ilmu penyesatan dan pengaburan. Ekonomi indonesia adalah ekonomi ilusi dan sok ilmiah.

Warga indonesia adalah warga kesusahan dan kepahitan. Elite indonesia adalah elite kebajinganan dan kekufuran. Agama indonesia adalah agama kepasrahan dan eskatologisme. Ya. Ini jenis indonesia purba yang diulang-ulang hari ini.

Padahal, masalah dan problema negara Indonesia hanya dapat dipecahkan dengan cara Indonesia, dengan jalan Indonesia dan dengan gaya Indonesia. Jalan, cara dan gaya Indonesia adalah Pancasila. Satu yang lima dan lima yang satu.

Hibridasi itu bernama mental konstitusional: berketuhanan, berkemanusiaan, berpersatuan, bermusyawarah atau bergotong royong dan berkeadilan.

Problemnya kini adalah yang menjalankan Pancasila tidak ada. Bahkan yang ada adalah yang mengkhianatinya. Kini, surplus bajingan di Indonesia Raya, itulah kenyataannya.

Bagaimana dengan Indonesia yang dicita-cita? Dimulai perang Jawa dan Sumatra, disubsidi lewat Sumpah Pemuda dan dikokohkan via Proklamasi 1945, cita-cita Indonesia jelas: melenyapkan penjajah dan membangun jiwa (mental, karakter, kepribadian) baru membangun badan (infrastruktur, struktur, fisik).

Rentetan mula Indonesia adalah menetapkan menara Pancasila, Bung Karno dkk yang membuat pondasinya. Pramoedyalah yang membangun temboknya. Kitalah yang akan memastikan terpasang atapnya agar tugas presiden berikutnya tinggal membawa kejayaan-kemakmuran-keadilan di dunia.

Kini, agar cita-cita dan janji proklamasi itu bisa diwujudkan, mari kita fokus pecahkan warisan penjajahan itu. Yaitu kumpulan kurikulum kolonial dalam bentuk 9K: 1)Keterjajahan baru; 2)Kemiskinan; 3)Kepengangguran; 4)Ketimpangan; 5)Ketergantungan; 6)Kebodohan; 7)Kesehatan dan kesakitan; 8)Konflik; 9)Kepunahan.

Jika kita merealitaskan solusi sembilan problema itu, jadilah mercusuar Indonesia Raya. Satu peradaban yang layak dijadikan kekasih, rumah, sorga sekaligus sekuntum mawar yang semerbak indah.

Kita harus bisa menemukan “mawar-mawar” indah yang tumbuh dalam nusantara itu agar ia menjadi tumpah-darah; air udara dan zamrud pengabdian. Kita harus mengabaikan duri-duri yang muncul dan mengganggu.

Duri-durinya adalah para pengkhianat konstitusi dan warganegara. Dengan membunuh duri-duri itu, kita akan terpacu untuk membuat mawar merekah, dan terus merekah hingga berpuluh-puluh tunas baru akan muncul. Sangat indah dan sedap dinikmati mata hati.

Pada setiap tunas itu, akan berbuah tunas-tunas kebahagiaan, ketenangan, kedamaian, yang akan memenuhi taman-taman jiwa kita. Kenikmatan yang terindah adalah saat kita berhasil untuk menunjukkan diri kita tentang mawar-mawar itu dan mengabaikan sampai menghilangkan duri-duri yang muncul di sekitarnya.

***

Alkarim. Pikiran-pikirannya semilyar tahun melampaui zamannya. Dampaknya, kami jatuh cinta padanya. Tuturnya tajam bak pisau baja. Akibatnya, sejak pertama kami bertemu terus ingin berguru. Caranya bermeditasi begitu sunyi. Sehingga kami diam semilyar kata tak berucap menghuni relung hati. Geraknya bersosial begitu jelas pemihakannya bagi si miskin dan cacat. Kami terkagum dan terharu dibuatnya. Ia mengajarkan kami untuk tak pernah perduli pada kezaliman.

Tuhan, kami bersujud tekun-tekun setiap saat. Bertanya gugup mengapa Engkau anugerahkan ia yang kami sayangi begitu tersiksa. Engkau beri ia cinta yang tak mungkin tuk bersatu. Engkau beri ia ilmu yang tak mudah dipraktekkan, tak laku dibagi. Sebab, tahta dan kursi yang sesungguhnya telah lama dicintai untuk menikam mati kumpeni tak pernah benar-benar hadir dalam hari-hari kekasih kami. Ia yang kami panggil alkarim.

Sepertinya ada yang memiliki dengan erat hingga cita-cita gotong-royong yang ia ajarkan tak terealisasi. Selebihnya, ia dijerat oleh kumpulan barisan penjahat bergotong-nyolong.

Tuhan. Kami berbahagia karena masih memiliki buku-bukunya, pikiran-pikirannya, celoteh-celotehnya dan mimpi-mimpinya. Tentu, kami tak akan sia-siakan visi misinya yang begitu berharga dan mulia. Kami selalu bisa mendoakannya semoga mendapat tempat yang terbaik di sisa usia menegakkan pancasila.

Nabiku. Seperti sabda dan ketikan-ketikanmu, manusia tidak mudah memperoleh cinta sejati, rindu yang otentik serta kangen yang ikhlas sampai ia merasa sedih dan merasakan perpisahan yang sesungguhnya. Begitu pula dirimu.

Manusia juga tak akan punya kesabaran maksimal sampai ia di ujung kematian yang senyum melamar. Ia takan sadari kesulitan luar biyasa yang membuat putus asa sampai milyar penyakit memeluknya setia.

Nabi kami. Engkau pernah berucap yang selalu kami ingat. Menurutmu, manusia Indonesia terbagi dalam lima tipe:

  1. Orang purba: ngomong tuhan; 
  2. Orang putus asa: ngomong agama; 
  3. Orang nganggur: ngomong pancasila;
  4. Orang waras: ngomong solusi; 
  5. Orang modern: ngomong kolonisasi.

Posisi orang-orang Indonesia tdak naik-naik. Mereka kebanyakan baru di arena nomor 1-3. IQnya masih eskatologis, ilutif dan spekulatif.

Engkau juga pernah berwasiat keren. "Hidup itu mudah. Jika tak ingin ditagih, jangan utang. Jika tak ingin dimarahi, jangan bohong. Jika tak ingin dimaki, jangan menipu. Sederhanalah hidupmu, selamat jiwa ragamu." Wasiat ini luarbiyasa kini. Sebab berbondong-bondong kita semua saling menipu, bangga memaki, bertradisi bohong dan berkeseharian marah. Tak ada lagi kasih, kejujuran dan ketentraman.

Nabi kami terkasih. Tidurlah, kini dan nanti agar jiwamu kami wakili penuh waktu. Sepenuh hati. Sekelar jiwa. Mimpilah mimpi terindah dan termulia agar sampai menemukan jiwamu yang kemarin kering. Engkau jenis mustafa yang tidak takut pada takdir bangsa dungu yang mengerikan: tak ngeri dengan berkuasanya presiden plonga-plongo: tak peduli pada berkuasanya para cacing tanah perusak kuasa negara.

***

Semua ada resikonya. Semua ada harganya. Resiko demokrasi liberal adalah mahal. Harga demokrasi liberal adalah membayar apa yang dipinta pasar. Tetapi, puncak resiko dan harga yang terjadi adalah dicekik tengkulak dan rentenir internasional dan lokal.

Para tengkulak dan rentenir ini kebanyakan para pengemplang pajak. Sudah lama mereka mencuri. Via pemilu, hasil curian itu dicuci dan dilipatgandakan. Via presiden dan kabinetnya, hasil copetan yang disimpan di negeri tax heaven akan kembali via tax amnesty. Negara hanya alat bagi mereka meneguhkan perampokannya. Pemerintah yang berkuasa tetapi hanya begundalnya saja yang pesta pora.

Sesungguhnya, sejarah kekayaan konglomerasi dan oligarki di dunia adalah cerita tentang penumpukan harta dan uang gelap hasil perampokan via penjajahan yang menjarah emas, perak dan berlian negara jajahan. Merkantilisme tradisional seperti VOC menjadikan Belanda sebagai negara kecil kaya raya di Eropa. Elite Belanda hidup mewah di tengah penderitaan rakyat tanah jajahannya.

Begitu juga dengan penjajah Inggris, Prancis, Rusia, Spanyol dan Portugis semuanya hidup dalam kemewahan di atas penderitaan tanah dan rakyat jajahan. Harta dan uang mereka beranak-pinak sampai saat ini. Lalu, untuk menjaga hegemoni mereka, harta itu dijadikan uang pinjaman korporasi melalui jalur uang global via IMF, WB dll.

Negara miskin pinjam uang yang didapat dari merampas sumber daya mereka yang sudah berubah bentuk menjadi uang di pasar finansial dan dioperasionalkan oleh para bankir dan pialang uang global.

Merkantilisme ini tetap berjalan mencari mangsa baru. Lahirlah Jepang, Korea Selatan dan sekarang China yang tidak masuk dalam orbit Merkantilisme Barat di bawah pengaruh kaum Yahudi.

Di kita, para oligark penjajah berkolaborasi dengan proxy dan dikopi metodanya. Lahirlah road map bisnis konglomerasi hitam menjadi: bisnis perbankan, lalu ke bisnis tambang/sawit (ekstraktif), lanjut bisnis aset tanah/property (apartemen, hotel) masuk lagi ke rumah sakit (jualan tempat inap harian, jasa kesehatan dan alat kesehatan), lanjut ke maskapai penerbangan dan laut (tetapi intinya jualan kursi dan monopoli).

Tetapi, mereka juga mengoperasionalkan semua jenis bisnis; yang terang, setengah terang, gelap bahkan yang gelap gulita. Mereka keruk tanpa bicara moral uang itu halal atau haram. Yang ada adalah jumlah yang terus bertambah. Karena merkantilisme hanya berbicara untung dan untung. Mereka produksi via pengaruh, bedil dan kekuasaan. Apapun jalan harus ditempuh. Halal. Tak ada yang haram.

Semua itu karena para pemilik merkantilisme tidak ingin dapat saingan baru di tingkat lokal dan internasional yang mengganggu pengaruh dan posisi mereka selama ini.

Akibat lanjutannya banyak. Saat kemiskinan ide dan harta negara kita maka inilah yang terjadi. Pertama, pemerintah setuju menghapus subsidi. Padahal subsidi itu perintah konstitusi. Kedua, pemerintah pasti naikkan pajak. Padahal pendapatan kaum miskin belum meningkat. Ketiga, terjadi pelemahan penegakkan hukum. Padahal negara hukum itu cita-cita konstitusional kita. Keempat, hutang pemerintah membuncah. Padahal, kedaulatan negara tergantung dari besar kecilnya hutang dalam dan luar negeri. Kelima, terjadi defisit APBN.

Lucunya, APBN kita defisit saat Indonesia eksportir babu nomor 1 di dunia, eksportir sawit nomor 1 di dunia, eksportir batubara nomor 1 di dunia, produsen nikel nomor 1 di dunia, produsen timah nomor 2 di dunia, eksportir gas nomor 3 di dunia, eksportir tembaga nomor 4 di dunia, eksportir emas nomor 5 di dunia.

Hal ini bertahan terus siapapun pemenang pemilunya. Mengapa? Karena yang ada hanya pemain lama berbaju baru dan pemain baru bermental lama: limbo.

Bukankah kini kita tak lagi menikmati kuliah yang terjangkau, obat yang terbeli, listrik dan air yang nyala stabil? Bukankah kita tak mendapati para pemilik rekening di Panama Papers disuruh bayar pajak? Bukankah kita sulit melihat elite dihukum berat saat rakyat dihukum semau-maunya? Bukankah lapangan kerja makin tiada?

Terjadilah tradisi defisit APBN. Dengan APBN yang defist ini maka terlihat bahwa pemerintah tidak punya skala prioritas, tidak maksimal mencari pendapatan, tidak leluasa membuat program dan tidak mudah mengangkat PNS plus tidak bisa menghabiskan kemiskinan yang makin meluas.

Apa jalan keluarnya? Mestinya, pemerintah melakukan lima hal: 1)Nasionalisasi aset strategis; 2)Rekapitalisasi BUMN; 3)Transformasi shadow economics menjadi economics state via undang-undang; 4)Laksanakan pajak super progresif; 5)Masifikasi reindustrialisasi.

Setidaknya, publik mengenal pemain besar yang berkuasa di shadow economic dan menjadi pencekik presiden. Maka, jika hanya menggunakan pendekatan neoliberal yaitu utang, utang dan utang maka pemerintah sedang menggali kubur untuk rakyatnya. Sebab yang dikerjakan hanya "besar pasak daripada tiang."

Sebaliknya, jika hanya mengandalkan tax amnesty, sesungguhnya kita sedang gantung diri. Sebab 6.519 konglomerat yg memarkir 13.300 Triliyun sesungguhnya merupakan hasil lari dari pajak, korupsi, narkoba, illegal logging, illegal fishing, human trafficking, prostitusi yang kemarin juga mensponsori pemilu kita. Bagaimana mereka mau bayar mudah dan murah? Tidak mungin.

Yang mungkin, kita perlu revolusi ekonomi: kini dan sekarang. Yang benar dan konstitusional: tangkap mereka, adili dan sita kekayaannya buat negara. Apalagi pemerintah (via BIN dan KPK) punya data yang dimiliki lengkap, mulai dari nama, paspor, nama perusahaan hingga nomor rekening dari para konglomerat hitam tersebut.

Kita harus berani. Jika takut maka negara ini seperti pemerintah yang tidak memerintah dan penguasa yang tidak menguasai. Negara tanpa kepala negara. Merdeka tanpa kuasa. Memenangi pemilu untuk tunduk pada rentenir dan tengkulak saja. Dan, dapat dipastikan APBN-nya bukan untuk kemakmuran seluruh rakyat Indonesia.

***

Apakah aku kini. Hanya angin lalu. Apalah aku kemarin. Hanya air comberan. Apasih aku nanti. Hanya koran bekas. Bagimu, aku merasa hanya ingus yang dilupa. Bukan gerhana. Bukan kedaulatan sebuah peradaban. Ketika air mata menitik di pipi. Ketika engkau makin menjauh dan suci. Ketika engkau mengangkat telpon saja tak sudi. Saat-saat engkau perkasa dan masih peduli terhadap hidup dan masa emasmu. Tetapi pasanganmu tak lagi mempedulikanmu; meski engkau masih setia menantinya; tidur bersama dalam cita-cita yang berbeda; hati yang coba saling bergembira tapi sendiri-sendiri.

Kasih. Aku merindukanmu bagai rindu suara dengan telinga; bagai air sungai dengan pantai; bagai mendung dengan hujan. Tetapi, jangankan menulis namaku, mendengar suaraku saja engkau tak mau; tak peduli; tak mau tahu. Sampai aku mati berkali-kali. Menyebut indah namamu tak terperi.

Para rahib berfatwa, "jika kasihmu bertepuk sebelah kaki, lepaskan hatimu; ikhlaskan rindumu; jauhkan api kepemilikanmu; dinginkan nalar-nalar kegilaanmu."

Kini lakukan sesuatu. Terbanglah. Kepakkan sayapmu selebar angkasa biru. Ayunkan kakimu sejauh samudera biru. Taklukkan gunung dan ngarai. Arungi luas alam bebas. Jelajahi buku-buku dan tiduri perpus-perpus di pusat-pusat kegentingan. Hingga kau dapati tempat berteduh; bertanya dan bercerita kembali. Tuk tentukan arah, temukan ia yang pernah hilang.

Lalu, ukir kerinduan baru. Kasih baru. Cinta baru. Kehidupan baru. Buatlah waktu. Arsitekkan hari. Dirikan rumah bambu dan beton. Ikat tenda-tenda bermilyar tali kasih. Kreasikan menjadi satu hati yang terang saat gambaran jiwa yang terluka bagai langit meratap sendu kala bias cinta menghilang.

Maka, percayalah sakit itupun pergi tanpa permisi; nasib baik menghampiri;
rembulan tak menyisakan senyum; tapi kehilanganmu tetap seperti kiyamat yang kunanti. Kematian yang kugilai. Kejeniusan yang mentakdiri. Kesepian sehari-hari. Kesunyian kekasih hati.

Engkau sedang apa, kekasih pujaanku? Adalah tanyaku yang kau tulikan, kau butakan dan kau bisukan sampai tuhan benar-benar mengambil nyawaku dalam duka: maha duka seduka-dukanya.

Saat kematian tak sudi hadir, engkaupun menjadi keentahan yang kesekian kali. Seperti bahagia yang abstrak dan tak mendekat.

***

Kudengar kalian berproklamasi, "kami, asing-aseng dengan ini menyatakan, akan membangun reklamasi di pantai Jakarta.

Hal-hal mengenai ijin dan lain lain, akan diselesaikan dalam tempo secepat-cepatnya, walau tidak seksama.

Hal-hal mengenai lingkungan hidup, nasib nelayan, dan siapa yang diuntungkan atau dirugikan, biarlah menjadi wacana kaum cerdik pandai saja. Jakarta, 29 Juni 2016.

Kudengar dari ujung bandara Suha saat kudapati kabarmu jatuh. Saraf terjepit di antara tulang punggungmu. Ini jenis siksa kambuhan yang ke sekian kali. Dari pojok redup ini kubayangkan kulihat mendung menghalangi pancaran wajahmu. Senyummu tinggal sisa-sisa.

Di rumah bernama Kirena, tak terbiasa kudapati engkau terdiam mendura. Tangis hasil penjumlahan maha sengsara. Apakah gerangan bergemuruh di ruang hatimu atas semua batu uji Tuhan yang tak berhenti. Sekilas galau mata ingin berbagi cerita dan tangis tak sudah-sudah.

Tentu. Kuingin datang sebagai sahabat bagi jiwamu yang sedang terus lara dan luka. Memelukmu penuh seluruh, saat batinmu merintih perih. Lalu kubisikkan kata, "usah kau lara sendiri. Masih ada asa tersisa aku dan kasihku buatmu."

Fatwaku kemudian, mari berbagi. Sebab tugas manusia adalah berbagi suka dan duka. Letakkanlah tanganmu di atas bahuku. Sampaikan sakitmu di atas tanganku. Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu. Agar dukamu tak hanya milikmu. Tetapi milik kita.

Seperti biasa. Kita harus yakin bahwa di depan sana ada cahya kecil memandu. Menitipkan keyakinan agar tak hilang arah kita berjalan menghadapinya. Tetapi, tetap saja sesekali sempat kau boleh mengeluh bahkan teriak: lepaskan segala.

Saat satu persatu jalinan kawan beranjak menjauh. Pergi seakan kita bukan siapa-siapa. Sendiri sepi. Tak tahan. Menggugat dan bertanya: Tuhan apa salahku; apa dasaku.

Kini. Seperti sebelumnya. Kudatang sebagai sahabat bagi jiwamu. Saat batinmu merintih. Saat sakitmu di puncak. Usah kau lara sendiri. Usah kau gantung diri. Masih ada asa tersisa. Ada kasih luarbiyasa. Letakkanlah tanganmu di atas bahuku. Segera. Agar senyummu kembali ceria. Di atas gubuk bernama Batrisyia.

Dari pojok bandara. Saat sujud ashar selesai dan doa dengan tangis. Kuyakinkan engkau agar meletakkan tanganmu di atas bahuku. Nasibmu di atas takdirku. Biar terbagi beban itu dan tegar dirimu. Agar kita menjadi manusia. Kasih. Usah kau simpan dukamu dan laramu sendiri. Usah kau telan sakitmu itu sendiri.

Dari bandara, mengenangmu seperti mengingat Romo Mangunwijaya yang legendaris. Saat ia bicara nasionalisme kita hari ini. Menurut Romo Mangun, nation kita kini berdiri di atas “nurani” yang mati. Kehendak untuk menghapuskan eksploitasi manusia oleh sesamanya, keinginan untuk melawan imperialisme, atau kemauan untuk membebaskan sesama manusia dari penderitaan jadi sesuatu yang hilang dari imajinasi kita tentang “Indonesia” hari ini.

Romo Mangun kemudian bilang, "saat negara absen dan lari dari derita rakyat, saat itulah kita rasakan lubang dalam yang kemudian diisi dengan tuntutan agar rakyat bekerja keras dan rela berkorban demi negara."

Tetapi kasih, ya. Pada akhirnya, kehidupan akan menertawakan kita saat kita sedih. Kehidupan akan tersenyum kepada kita saat kita bahagia. Ujungnya, kehidupan akan menghormati kita saat kita membuat orang lain bahagia. Sudikah kita membahagiakan saudara dan sekeliling kita? Itulah kwalitas kita! Bingung dan sedih.

***

Sesak. Menggelegak. Antara putus asa dan teriak lara. Mengeja nasib. Menghitung bulir air mata. Di atas sampan bernama Ella. Teringat si kufur berfatwa, "kita harus jujur berkata bahwa tidak ada ciptaan-Nya yang sempurna sehingga kewajiban kita hanyalah saling mengingatkan, saling menasehati, saling meluruskan, saking melengkapi, gotong-royong serta saling mendoakan."

Engkau menjadi nama yang dieja seperti para peziarah melafalkan nama-nama wali. Engkau menjadi kalimat yang diwiridkan para sufi saat menyebut nama-nama tuhan. Engkau yang tak mengerti makna proklamasi yang belum sempat kudengungkan di antara sampan dan kayuh. Engkau yang memanggilku guru: tukang ketik miskin yang kekayaannya hanya buku-buku.

Engkau yang kini kuhadiahi kuliah-kuliah pendek soal mental. Kuliah ecek-ecek yang kini dibuat dengan tujuan save the nation: save the constitution. Visinya melaksanakan Pancasila; meraih kemerdekaan keenam. Misinya menerjemahkan mental konstitusional untuk melawan mental kolonial. Tugas pokoknya merealisasikan trias revolusi: revolusi mental; revolusi nalar; revolusi konstitusional.

Ketikan ini bermula dari tesis bahwa: semua bayi di republik ini lahir dahsyat dan cerdas. Warisan kolonialah yang menyebabkan mereka jadi pengkhianat konstitusi. Mengkhianati konstitusi akhirnya melupakan janji kemerdekaan, lupa kemanusiaan.

Dari pengkhianatan konstitusi, lahirlah masyarakat miskin, bodoh dan konflik serta kesenjangan yang luar biasa dahsyatnya. Dalam riset kami, sampai hari ini ditemukan ada 5 karakter konstitusional sebagai modal kemajuan Indonesia. Kita tahu bahwa untuk menikam mati karakter kolonial harus dihadapi dengan karakter konstitusional: berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, bermusyawarah atau berdemokrasi dan berkeadilan. Lima Karakter dari Pancasila.

Bagaimana penjelasan pendeknya? Pertama, berketuhanan. Karakter ini bermakna "hanya takut dan cinta kepada Tuhan." Sebab semua punah kecuali Dia. Maka, semua manusia sama dan sederajat: apapun warna kulit, kelamin, agama, suku, bahkan harta dan kecerdasannya. Yang membedakan hanya prestasi dan rekam jejaknya. Sepanjang ia bisa berprestasi dan tak bersalah maka ia bisa memimpin dan memajukan negara. Ia tak takut pada sesama karena sesama bertugas membuat prestasi kebaikan.

Kedua, berkemanusiaan. Karakter ini dirumuskan dengan kalimat "tugas manusia adalah menjadi manusia maka lihatlah sesama manusia." Ia tak bahagia di atas derita sesama dan tak sedih di atas bahagia sesama. Makin tinggi laku, kuasa, kapital serta spiritualnya dicirikan dengan praktik memanusiakan manusia karena kemampuannya menundukkan nafsu barbariknya.

Ketiga, bergotong-royong. Karakter ini dijiwai dengan semangat anti gotong-nyolong. Dus, sikapnya adalah "satu untuk semua dan semua untuk satu; holupis kuntul baris." Modelnya pemerataan dan kebersamaan. Rezimnya bersifat semesta dan holistik; bkn parsial dan sekadarnya.

Keempat, berdemokrasi. Karakter ini berdimensi terpimpin. Berlaku dalam barisan dan pasukan; bukan kerumunan dan kesaling-pengkhianatan. Menjadi panitia kesejahteraan dan keadilan dalam semua dimensi kenegaraan dan kewargaan. Dalam demokrasi ini, ekopolnya bersama dalam nurani keindonesiaan dan kenusantaraan.

Kelima, berkeadilan. Karakter ini menjadi inti dari semua cita-cita; alat sekaligus tujuan dalam kehidupan warga dan negara. Keadilan berdimensi kemakmuran, kenalaran, kemodernan, kedaulatan, kemandirian dan kemerdekaan abadi. Adil adalah jalan bahagia. Dan, bahagia karena berlaku adil. Inilah lima karakter yang berdimensi spiritualis, intelektualis, sosio-kapitalis dan menzaman.

Engkau kini mengerti bukan soal kegundahanku? Jika belum, aku memang lelaki eksperimenmu; yang diteguk tak setiap waktu; sebagai penyelia yang tak bermakna. Kini menunggu mati dengan sesal tiada guna. Di atas bening air sungai serayu yang dipenuhi keganjilan-keganjilan cita dan cinta: membangun semilyar universitas atlantik yang gigantik. Dan, engkau tetap tak merindukanku. Apalagi mengangeniku seperti kangen muhammad pada revolusinya.

***

Dengan jumlah yang demikian besar (PT saja sekitar 3.180), apa yang telah disumbangkan kaum terpelajar modern bagi Indonesia? Tidak ada, kecuali menjadi pabrik bagi tegaknya neokapitalisme. Dus, Indonesia bukan makin merdeka dan berdaulat atas kehadiran kaum terpelajar, tapi makin pasti jadi sekrup tegaknya pabrik raksasa pasar neoliberal.

Di mana argumennya? Secara genealogis-historis, hadirnya institusi pendidikan merupakan arsitektur dari kegiatan yang dipisahkan dari aktivitas harian (daily life activities). Lalu mereka menjadi aktifitas khusus dan tersendiri: eksklusif-eksekutif. Itu mengapa, kehadiran universitas merupakan penanda tercerabutnya pengetahuan dari masyarakat yang merupakan pemilik pengetahuan itu sendiri. Akibatnya, berjuta lulusan bukan menyelesaikan problema masyarakatnya melainkan membuat problema masyarakat meningkat.

Bukankah tak ada kaum terpelajar yang sanggup menemukan solusi atas masalah warganegara?

Bukankah mereka kini hanya menambah problema masyarakatnya?

Bukankah keterjajahan, kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, konflik, kesenjangan, kesakitan dan ketergantungan (8K) tak berkurang saat kaum terpelajar bertambah?

Itu semua, lagi-lagi dikarenakan kurikulum kolonial yang kita warisi dan kita wariskan. Membuat sekolah yang tercerabut dari rakyat, menegakkan kurikulum yang menjauhi rakyat, memproduksi lulusan yang memusuhi rakyat. Apa buktinya? Saat kaum terpelajar ini berkuasa, mereka tidak bertanya "apa mau rakyat" tapi mereka mempraktekkan "apa mauku."

Sayangnya, kemauan mereka berlawanan dengan kemauan rakyatnya. Akibatnya kini seperti Indonesia; republik kaya tapi paria di tanah merdeka; negeri agamis tapi produsen koruptor; negeri indah tapi rusak lingkungan; negeri besar tapi kecil mental dan perannya di dunia.

Inilah saat tepat kita bertobat. Mencipta sekolah dengan basis menyelesaikan problema rakyat; menghidupkan kurikulum berbasis konstitusi; memproduksi sarjana desa; menghadirkan agensi pemberi solusi. Kaum rendah hati yang jadi nabi bagi kaumnya.

Tentu peran kaum terpelajar ini meraksasa jika kita ingin mereka menjadi pahlawan. Janji tersebut akan terlaksana jika kelas-kelas alternatif berkurikulum Pancasila dan UUD45 dapat direalisasikan secara masif.

Tugas suci itu jadi agama suci keIndonesiaan, berwatak nusantara, bersendi atlantis, berjiwa ksatria. Visi misinya mentradisikan lima karakter dasar (berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi, berkeadilan) dengan empat program dinamis (melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan, menertibkan).

Jika itu terjadi maka di masa depan kita akan memiliki sedikitnya lima hal: 1)Duaratus juta kader pancasila. 2)Ketiadaan ketimpangan; tak ada utang; tak ada prifatisasi; tak ada buta huruf; tak ada tuna kuasa; tak ada shadow economics. 3)Massifikasi kemandirian warga dan negara. 4)Kemajuan iptek dan imtak yang berdentum. 5)Bebas KKN dan bebas kolonialisme di semua tempat dan waktu.

Anda semua kaum terpelajar yang membebaskan atau sekrup kapitalisme? Mari bertobat di saat tepat.

***

Pemimpin tumpul saat virus menyergap. Akhirnya keadaan ekonomi ikut sekarat. Negara bingung saat APBN minus. Akhirnya utang jadi andalan. Kita punya menkeu terbaik, tetapi harapan dan gagasannya mati suri. Tak ada terobosan. Jalannya hanya itu-itu saja. Padahal, kebodohan pemimpin adalah tragedi. Kejahiliyahan rakyat cuma sinetron. Akhirnya, kematian mereka hanyalah statistik; pengetahuan dan kejeniusan terobosan tidak menjadi sandaran.

Pada situasi jahiliyah dan kolobendu ini, saya ingin memberikan kesempatan kepada para mahasiswa/i, santriwan/santriwati untuk ikut kuliah dan diskusi matakuliah postkolonial. Seri kuliah ini ada lima sesi. Nanti ada video dan teksnya. Silahkan melakukan pendaftaran secepatnya karena kuota dibatasi hanya untuk 50 peserta. Informasi detail bisa dilihat pada infografis dan pamplet.

Kita siapkan generasi unggul, kaya terobosan dan tidak linglung saat memimpin.

***

Extra exlesiam nulla mercatusa. Itulah ujungnya. Tetapi, apakah kini yang terjadi dalam ekonomi kita? Adalah bekerjanya ekonomi tanpa sistem. Dalam bahasa yang salah kaprah dinamakan sistem ekonomi pasar.

Apa itu makhluk bin madzab fundamentalisme pasar? Adalah sistem ekonomi di mana seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Mekanisme ini mengunggulkan konglomerat dan begundal finansial plus korporat-keparat-oligark. Inilah sistem paling brutal sepanjang sejarah peradaban manusia di dunia.

Madzab pikiran dan pekerjaan ini dikerjakan via filsafat "membela yang bayar" dan larangan sakit bagi si miskin dan tuna kuasa (sebab keduanya tak sanggup bayar). Ditradisikan via genosida minus pembunuhan: sebab yang terjadi adalah perbudakan massal.

Dalam sistem ini, faktor-faktor produksi dimiliki oleh swasta dan mereka mempunyai kebebasan untuk menggunakan semau-maunya. Sektor perusahaan akan berusaha untuk menggunakan cara paling koruptif sambil mencari keuntungan yang paling maksimum.

Sistem perekonomian pasar bebas mencapai tujuan tersebut melalui interaksi di antara pengusaha dan pembeli di dalam pasaran tanpa campur tangan negara dan pihak-pihak lain yang tak dianggap penting.

Adam Smith, dalam bukunya “An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations" menulis bahwa ciri dari sistem ekonomi pasar adalah:

  1. Setiap orang bebas memiliki barang, termasuk barang modal; 
  2. Setiap orang bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya; 
  3. Aktivitas ekonomi ditujukan untuk memperoleh laba; 
  4. Semua aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh swasta;
  5. Pemerintah haram melakukan intervensi pasar; 
  6. Persaingan dilakukan secara bebas; 
  7. Peranan modal adalah utama; 
  8. Kesenjangan makin lebar;
  9. Kuasa modal menentukan kuasa dalam segala hal.

Dus, sistem ini tidak mengurus hal-hal yang jadi problem negara postkolonial: keterjajahan, kemiskinan, kebodohan, kesakitan, kesenjangan, ketakmandirian, ketergantungan, kebingungan, kegelapan.

Jadi, tanpa sistem atau sistem pasar adalah "kebenaran" yang di luarnya salah. Tak ada kebenaran kecuali pasar dan pasarlah pusat kebenaran.

Lalu, di mana agama dan ideologi? Kini, keduanya dipasarkan secara murah dan tak laku lagi. Itulah mengapa orang tanpa gagasan dan ide jenius yang dipasarkan agar menjadi penjaga pasar. Sulit untuk tidak mengatakan elite kita sebagai budak korporasi (anak haram dari perselingkuhan singa, naga dan banteng).

Kini untuk ke seribu kali, hadir dan hidup kabinet korporasi dan elite korporat yang bersikap keparat.

Akhirnya, yang idealis, konstitusional dan waras akan menolak. Jika sedia, ia akan kalah dan binasa.

Karena itu, hidup di sekitar kejahiliyahan yang sistemik, massif dan destruktif harus hati-hati. Hadapi dengan setrilyun cara dan metoda.

Tanpa itu, kita hanya menjejer luka-luka; menumpuk pilu dan mengeringkan air mata tanpa jeda.

***


Pada mulanya soal serakah. Lahirlah penjajah. Jalurnya laut dan aksiologinya perampokan besar-besaran pada empat hal: rempah, herbal, emas dan modal nuklir.

Yang jadi soal, kenapa keempat pengetahuan ini tak menjadi inti kurikulum kita di sekolah, baik formal, informal maupun nonformal. Pantas jika kekayaan itu belum menjadi milik kita. Sebaliknya terus menjadi kekayaan penjajah penjarah yang tidak tak terhentikan.

Maka, merevitalisasinya bukan hanya penting di saat genting tetapi juga merupakan revolusi yang kelima. Tentu agar transformasi negara-bangsa pancasila mengemuka. Tanpa merevitalisasinya dalam kehidupan kenegaraan, kita sesungguhnya tak layak disebut manusia. Apalagi menyebut diri sebagai negara merdeka.

Rempah adalah tumbuhan beraroma yang digunakan untuk menjeniuskan manusia. Para penikmatnya menggunakan sebagai pengawet dan bumbu dalam masakan. Dalam semua rempah terdapat saripati kehidupan yang membuat penikmatnya merasakan kehidupan adiluhung. Karenanya, rempah-rempah digunakan untuk pengobatan, kesembuhan, rilaksasi, status sosial dan kesehatan.

Rempah-rempah biasanya dibedakan dengan tanaman lain yang digunakan untuk tujuan yang mirip, seperti tanaman obat, sayuran beraroma dan buah kering. Karena fungsinya, ia merupakan barang dagangan paling berharga pada zaman prakolonial.

Rempah-rempah adalah alasan mengapa penjelajah Portugis Vasco Da Gama mencapai India dan Maluku. VOC dan Belanda menjajah Indonesia. Spanyol menjajah Pilipina, dll.

Lebih dalam dari rempah adalah herbal. Ia adalah tanaman atau tumbuhan yang mempunyai kegunaan atau nilai lebih dalam pengobatan. Dengan kata lain, semua jenis tanaman yang mengandung bahan atau zat aktif yang berguna untuk pengobatan bisa digolongkan sebagai herbal.

Herbal disebut juga sebagai tanaman obat, sehingga dalam perkembangannya dimasukkan sebagai salah satu bentuk pengobatan alternatif yang tak punya efek samping. Rempah dan herbal merupakan kekayaan abadi yang kita punyai. Dari keduanya, potensi kekayaan yang dapat kita peroleh adalah 500 Triliun per tahun.

Di luar rempah dan herbal, kita juga pemilik kandungan emas dan nuklir yang besar. Emas adalah unsur kimia dalam tabel periodik yang memiliki simbol Au (bahasa Latin: 'aurum') dan nomor atom 79. Sebuah logam transisi (trivalen dan univalen) yang lembek, mengkilap, kuning, berat, malleable dan ductile.

Emas tidak bereaksi dengan zat kimia lainnya tetapi terserang oleh klorin, fluorin dan aqua regia. Logam ini banyak terdapat di nugget emas atau serbuk di bebatuan dan di deposit alluvial dan salah satu logam coinage. Kode ISOnya adalah XAU. Emas melebur dalam bentuk cair pada suhu sekitar 1000 derajat Celsius.

Jalur penjajahan purba membuat emas yang kita punya kini membuat mereka kaya raya. Potensinya bila kita kuasai dan miliki sekitar 1000 Triliun per tahun.

Jika emas menjadi idola penjajah dalam mendesain keuangan dan perbangkan dunia, maka nuklir ditempatkan sebagai alat dominasi dan perang tercanggih. Nuklir kini bahkan dijadikan alat ukur dari kemajuan suatu bangsa.

Padahal, itulah sumber daya kita yang murah dan menentukan di masa kini, tetapi juga dikuasai bangsa lain. Nuklir adalah sumber energi yang mendapat tenaganya dari reaksi yang melibatkan inti atom (nuclei).

Secara umum, sumber energi nuklir dapat dibagi menjadi tiga: nuklir fisi, nuklir fusi dan nuklir kombinasi fisi dan fusi. Senjata nuklir fisi ditenagai oleh reaksi fisi nuklir dan senjata nuklir fusi ditenagai oleh reaksi fusi nuklir. Sedangkan senjata nuklir kombinasi ditenagai oleh kombinasi antara reaksi fisi dan fusi nuklir.

Unsur yang sering digunakan dalam reaksi fisi nuklir adalah plutonium dan uranium (terutama Plutonium-239, Uranium-235). Sedangkan dalam reaksi fusi nuklir adalah lithium dan hidrogen (terutama Lithium-6, Deuterium, Tritium).

Indonesia adalah pemilik ladang eksplorasi uranium, yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Kedua ladang uranium tersebut terletak di Kalimantan Barat.

Indonesia juga memiliki cadangan nuklir jenis thorium hingga 280.000 ton yang tersebar di beberapa pulau, antara lain Bangka-Belitung. Dibandingkan uranium, thorium memiliki beberapa kelebihan, terutama dari sisi dampak lingkungannya. Potensi pemasukan dari sektor energi nuklir mencapai 1500 Triliun per tahun.

Singkatnya, menjadi negara merdeka tak lain dan tak bukan adalah memiliki dan mengendalikan proyek empat jalur penting: rempah, herbal, emas dan nuklir. Tanpa itu, jangan bilang sudah berdaulat.

***

Apakah kini yg terjadi dalam ekonomi-politik kita? Bekerjanya ekonomi tanpa sistem. Dalam bahasa yang salah kaprah dinamakan sistem ekonomi pasar. Apa itu? Adalah sistem ekonomi di mana seluruh kegiatan ekonomi mulai dari produksi, distribusi dan konsumsi diserahkan sepenuhnya kepada mekanisme pasar.

Apa tengarainya? Elitenya tumpul; defisit ide dan gagasan. Negaranya kere; surplus penjahat dan brooker. Masyarakatnya sakit; distrust dan malas.

Tentu saja, mekanisme pasar gila ini mengunggulkan konglomerat dan begundal finansial plus korporat-keparat. Inilah sistem paling brutal sepanjang sejarah peradaban manusia di dunia.

Sistem ini dikerjakan via filsafat "membela yang bayar" dan larangan sakit bagi si miskin dan tuna kuasa (keduanya tak sanggup bayar). Ditradisikan via genosida minus pembunuhan: sebab yang terjadi adalah perbudakan massal.

Dalam sistem ini, faktor-faktor produksi dimiliki oleh swasta dan mereka mempunyai kebebasan untuk menggunakan semau-maunya. Sektor perusahaan akan berusaha untuk menggunakan cara paling koruptif sambil mencari keuntungan yang paling maksimum.

Sistem perekonomian pasar bebas mencapai tujuan tersebut melalui interaksi di antara pengusaha dan pembeli di dalam pasar tanpa campur tangan negara dan pihak-pihak lain yang tak dianggap penting.

Adam Smith, dalam bukunya “An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations" menulis bahwa ciri dari sistem ekonomi pasar adalah:

  1. Setiap orang bebas memiliki barang, termasuk barang modal; 
  2. Setiap orang bebas menggunakan barang dan jasa yang dimilikinya; 
  3. Aktivitas ekonomi ditujukan untuk memperoleh laba; 
  4. Semua aktivitas ekonomi dilaksanakan oleh swasta;
  5. Pemerintah haram melakukan intervensi pasar; 
  6. Persaingan dilakukan secara bebas; 
  7. Peranan modal adalah utama; 
  8. Kesenjangan makin lebar;
  9. Kuasa modal menentukan kuasa dalam segala hal.

Dus, sistem ini tidak mengurus hal-hal yang jadi problem negara postkolonial: keterjajahan, kemiskinan, kebodohan, kesakitan, kesenjangan, ketakmandirian, ketergantungan, kebingungan, kegelapan.

Jadi, tanpa sistem atau sistem pasar adalah "kebenaran" yang di luarnya salah. Tak ada kebenaran kecuali pasar dan pasarlah pusat kebenaran. Di mana agama dan ideologi? Kini, keduanya dipasarkan secara murah dan tak laku lagi. Itulah mengapa orang seperti Jokowi dan Ahok yang dipasarkan agar menjadi penjaga pasar. Sulit untuk tidak mengatakan keduanya sebagai budak korporasi (anak haram dari perselingkuhan singa, naga dan banteng). Selanjutnya lahirlah kabinet korporasi dan pejabat korporat yang bersikap keparat.

Akhirnya, yang idealis, konstitusional dan waras akan menolak. Jika sedia, ia akan kalah dan binasa.

Karena itu, hati-hatilah kawan!

***

Ekonomi konstitusi itu intinya koperasi yg memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, pakaian, rumah, pekerjaan, kesehatan dan pendidikan) tetapi juga ramah dengan perbankan, tersedianya dana pensiun, sehatnya asuransi kehidupan; kesehatan, pendidikan, asset, juga distric obligation, plus re-insurance fund yg tatakelolanya dari, oleh dan untuk semua anggota. Visinya gotong-royong. Misinya berbagi kebahagiaan dan keselamatan bersama.

Karena itu, ekonomi konstitusi merealisasikan kegiatan produksi guna menghasilkan nilai guna (use-value), moral dan keberlanjutan kemanusiaan-alam raya dan spiritual. Ekonomi neoliberal merealisasikan kegiatan guna menghasilkan nilai tukar (exchange-value), netral-profanitas dan keserakahan non sustainibilitas.

Dalam ekopol konstitusi, kita harus cerahkan hidup dengan pikiran jenius karena ia akan menjadi perkataan. Tuliskan perkataan karena ia akan menjadi tindakan. Dentumkan tindakan karena ia akan menjadi kebiasaan. Kemanusiakan kebiasaan karena ia akan membawa kita pada takdir kehidupan. Satu kehidupan individu, masyarakat dan bernegara yang adil, makmur dan martabatif. Itulah nilai-nilai Pancasila. Satu pola yg merdeka, mandiri, modern dan manusiawi.

Itulah arsitektur ekopol pancasila. Soal kini ekonomi Indonesia jadi neoliberal yg dikendalikan para begundal, itu soal lain.

Maka, kuingin mengingat koperasi dan ekopol konstitusi seperti mendengar dentuman, pikiran raksasa, khayalan kosmik dan kerja 1000 abad. Kerja raksasa ini kita mulai dari jauh pelacakan koperasi di seluruh penjuru negeri. Di antara satu kafe ke kafe lainnya: sekolah satu ke sekolah lainnya: NGO satu ke NGO lainnya. Tak kita temukan dirinya. Kecuali di dalam wangi gotong-royong kecil-kecil yg hidup segan mati sungkan.

Koperasi menjadi absurd: wujuduhu ka adamihi. Mereka digilas begundal kolonial. Ditikam para naga pemilik Indonesia yg dansa di istana setiap bulan dari dulu hingga kini: Liem Sioe Liong (Salim Group), Eka Tjipta Widjaja (Sinar Mas Group), Mochtar Riady (Lippo), Tan Siong Kie (Rodamas), Ciputra (Ciputra Group), Usman Admadjaja (Grup Danamon), Syamsul Nursalim (Gajah Tunggal), Peter Sondakh (Rajawali), Budi Hartono (Djarum), Sugianto Kusuma (Agung Sedayu), Trihatma Haliman (Agung Podomoro), Sofyan Wanandi (Gemala), Bob Hasan (Nusamba Group), William Soerjadjaja (Astra), Susilo Wonowidjojo (Gudang Garam), Benyamin Setiawan (Kalbe Farma), Murdaya Poo (Berca Retail Group), Soekanto Tanoto (RGM), Henry Pribadi (Napan Group), Prayogo Pangestu (Barito Pacific Timber), Joko Tjandra (Mulia), Husein Djojonegoro (ABC Group), Osbert Lyman (Lyman Group), Samadikun Hartono (Modern Group).

Karena dominasi penjajah dan perampok asing-aseng-asong di atas, hari ini bukanlah milik mereka yang memiliki dan menelurkan ide. Juga bukan milik visioner yang membangun arena untuk melancarkan kekuatan ide dan mentransformasikannya menjadi tindakan. Juga bukan milik para jenius yg berkarya bagi sesama.

Tetapi milik para begundal yang menghancurkan idealisme, menghabiskan tabungan moral dan melacurkan kecerdasan-kejeniusan demi perutnya sendiri. Sungguh, kasihan bangsa yg tempat-tempat ibadahnya penuh puja dan puji selalu menggema; para agamawan antri pamer ibadah setiap hari, tapi para pencuri, perampok dan begundal tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya: tinggal di istana dan makan bangkai saudara-saudarinya sendiri.

Karenanya gagasan revolusi sebagai "hal-hal yg mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya" tidak mendapat tempat dan kesempatan lagi. Terus terang, aku belum tahu jalam keluar selain revolusi untuk hidup di republik tongkol ini. Begitulah kini. Makin ke sini revolusi dan koperasi makin hilang dan irrelevan.

***

Optimis. Senyum yang manis. Begitulah sang Yesus memberi contoh menikmati kehidupan yang tragis. Kasih sayang. Amanah dan toleran. Begitulah sang Muhammad menuliskan teladan kehidupan. Maka saat engkau mengirim surat cinta yang puitik bertuliskan kalimat, "Bukan waktu terbuang yang harus disesali, melainkan waktu tersisa yang harus disiasati," aku tertegun; takjub dan jatuh hati.

Engkau berkata, "Berdamailah dengan masa lalu, dan mulailah menerima, memahami, merasakan kenangan sebagai penanda menuju fase pengalaman berikutnya. Sebab, tiap-tiap yang berjiwa akan mati. Lalu, hanya kepadaNya kita akan kembali (QS Al Ankabut: 57)." Indah betul fase ketikan dan fatwamu untukku. Engkau berseri-seri dan bersinar wajah tiap membacakan surah. Wajahmu makin cantik jika tadarus dan bercinta di pinggir kolam renang yang tak seekor kodokpun mengintipnya.

Dunia makin renyah jika mulutmu bersenandung doa, ”Ya Rabb, izinkan kami memiliki sisa umur yang benar; matikanlah kami dengan khusnul khotimah; ampunilah kami karena menghianatiMu; jadikan harta yang Engkau titipkan benar-benar dapat menjadi cahaya dalam kubur kami kelak; jadikanlah salat-salat kami sebagai penerang di alam barzahMu; jadikan doa-doa anak-anak kami sebagai peluas kubur kami." Lenguh orgasmemu kemudian memuncaki ibadah terbesar sepanjang umur. Engkau perawan abadi yang tersaji indah bukan hanya dalam khayalan semu.

Kasih. Inilah kisah dan keluhku. Di sinilah aku berdiri bekerja berdoa menunggumu dan memeluk mati. Alam yang terpisah meremukkan semua kisah. Kekayaan batin dan buku-buku sudah lusuh tak lagi laku. Mereka membusuk bersama debu-debu. Salju terbakar kepedulian. Hujan terkerek puisi para seniman. Tinggallah si jahil dan si rakus mewariskan telenovela tak berkesudahan. Salamku untuk murid-murid terkasihmu.

Kasihku. Cintaku. Kangenku. Sebagai ungkapan rindu yang bertalu-talu, kuhadiahkan cerita mistis ini buatmu.

"Alkisah, seorang lelaki berjalan tak tentu arah dengan rasa putus asa. Kondisi finansial keluarganya morat-marit. Saat menyusuri jalanan sepi, kakinya terantuk sesuatu.

Ia membungkuk dan menggerutu kecewa. "Uh, hanya sebuah koin kuno yang sudah penyok."

Meskipun begitu ia membawa koin itu ke bank. "Sebaiknya koin ini dibawa ke kolektor uang kuno", kata teller bank memberi saran. Lelaki itu membawa koinnya ke kolektor. Beruntung sekali, koinnya dihargai 30 dollar.

Lelaki itu begitu senang. Saat lewat toko perkakas, dilihatnya beberapa lembar kayu obral. Dia pun membeli kayu seharga 30 dollar untuk membuat rak buat istrinya. Dia memanggul kayu tersebut dan beranjak pulang.

Di tengah perjalanan dia melewati bengkel pembuat mebel. Mata pemilik bengkel sudah terlatih melihat kayu bermutu yang dipanggul lelaki itu. Dia menawarkan lemari 100 dollar untuk menukar kayu itu. Setelah setuju, dia meminjam gerobak untuk membawa pulang lemarinya.

Dalam perjalanan dia melewati perumahan. Seorang wanita melihat lemari yang indah itu dan menawarnya 200 dollar. Lelaki itu ragu-ragu. Si wanita menaikkan tawarannya menjadi 250 dollar. Lelaki itupun setuju. Senang sekali. Tuhan maha baik, batin lelaki ituh.

Saat sampai di pintu desa, dia ingin memastikan uangnya. Ia merogoh sakunya dan menghitung lembaran bernilai 250 dollar. Tiba-tiba seorang perampok datang, mengacungkan belati, merampas uang itu, lalu kabur.

Istrinya kebetulan melihat dan berlari mendekati suaminya dan bertanya,

"Apa yang terjadi? Engkau baik-baik saja kan? Apa yang diambil perampok tadi?"

Lelaki itu mengangkat bahunya dan berkata, "Oh, bukan apa-apa. Hanya sebuah koin penyok yang kutemukan tadi pagi."

Kasih. Bila kita sadar bahwa sesungguhnya kita tak pernah memiliki apapun, kenapa harus tenggelam dalam kepedihan yang berlebihan?

Sebaliknya, sepatutnya kita bersyukur atas segala yang telah kita miliki, karena ketika datang dan pergi, kita tidak membawa apa-apa.

Maka, menurutku menderita adalah karena melekat. Sedang bahagia adalah karena melepas. Demikianlah hakikat sejatinya kehidupan. Apakah sebenarnya yang kita punya dalam hidup ini? Tidak ada, karena bahkan napas saja bukan kepunyaan kita dan tidak bisa digenggam selamanya. So, hidup itu perubahan dan pasti akan berubah. Saat kehilangan sesuatu, kembalilah ingat bahwa sesungguhnya kita tidak punya apa-apa. Jadi "kehilangan" itu tidaklah nyata dan tidak akan pernah menyakitkan. Kehilangan hanya sebuah tipuan pikiran yang penuh dengan ke"aku"an. Ke"aku"an itulah yang membuat kita menderita. Rumahku, hartaku, istriku, suamiku, anakku.

Kita semua lahir tidak membawa apa-apa, meninggalpun sendiri, tidak bawa apa-apa dan tidak ajak siapa-siapa.

Pada waktunya "let it go", siapapun yang bisa melepas, tidak melekat, tidak menggenggam erat, maka dia akan bahagia walau tak selamanya.

***