Beberapa waktu lalu, sehubungan dengan sikap pemerintah dalam menghadapi wabah Covid19, juru bicara dari kementrian mengajak semua masyarakat untuk bisa saling bergandengan tangan bahu membahu menghadapi wabah yang tengah melanda negeri ini. Tidak ada yang salah dengan ajakan itu, hanya saja ada yang terasa sangat aneh dipikiranku dengan narasi yang dibangun sang jurubicara tersebut yaitu soal "orang miskin menularkan covid19 kepada orang kaya". Aku jadi bertanya apa iya orang miskin yang menjadi penyebab merebaknya kasus Covid di negeri ini? Bukan sebaliknya, dibawa oleh mereka yang datang dari luar negeri ke Indonesia?
Tapi sudahlah, bukan jurubicara itu yang ingin ku bahas disini... tapi soal, bagaimana mungkin orang miskin menularkan covid19 di negeri ini? Aku justru ingin menegaskan bahwa "orang miskin" lebih banyak sebagai korban daripada sebagai penyebar Covid19.
Sebelum kita melihat data dan statistik, mari kita menyamakan persepsi terlebih dahulu agar pola pikir ku dan kalian yang membaca tulisan ini bisa sama memahami terminologi "orang miskin" dan "orang yang tidak miskin" (entah kalian mau menyebutnya sebagai apa; kaum menengah, medioker, orang kaya, tajir, kaya raya, tajir melintir).
Siapa yang dimaksud "orang miskin" di Indonesia sekarang ini?
Kita tentu saja bisa berdebat soal definisi, ukuran dan jumlah orang miskin di Indonesia. Namun untuk menyamakan persepsi dalam tulisan ini, aku ingin mengungkapkan data resmi yang digunakan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) yaitu Per bulan Maret 2018, orang disebut miskin jika pendapatannya Rp. 401.220 per kapita perbulan. Dari garis ini Badan Pusat Statistik (BPS) kemudian mencatat jumlah orang miskin di Indonesia pada September 2019 sebanyak 24,79 juta orang dari perkiraan total penduduk Indonesia di tahun 2020 sebanyak 271.066.000 jiwa.
Jika kita melihat statistk, perbandingan antara "orang miskin" dan "orang yang tidak miskin" diatas, kita bisa menarik kesimpulan: Orang miskin dengan penghasilan Rp. 401.220 perkapita perbulan tidak mungkin menyebabkan Covid19 bisa langsung bernultiplikasi sekian banyak dalam waktu singkat seperti yang terjadi di Indonesia. Alasannya?
1. Dengan penghasilan sebesar ini, berapa banyak "orang miskin" yang bisa bepergian keluar negeri dan pulang-pulang bawa Covid19?,
2. Jangankan ke luar negeri, naik busway dan kereta api atau angkot setiap hari saja mustahil lalu bagaimana mungkin mereka menjadi pihak yang dituding menyebarkan Covid19 ke "orang yang tidak miskin" dalam waktu singkat sebanyak yang terjadi di negeri ini?
3. Jumlah orang miskin di Indonesia ternyata tak sebanyak jumlah "orang yang tak miskin". Jumlah yang tak banyak itu tersebar di seluruh wilayah Indonesia yang kalo menilik kepemilikan jumlah uang nya, tak akan bisa punya moblitas tinggi, Jadi sangat mustahil bisa menjadi penular Covid19 dalam waktu singkat kepada banyak orang.
Saya hanya sedang bertanya-tanya, Para Pemimpin di negeri ini, sebelum mereka membuat "statement", apakah ada buat kajian atau tidak? Kog bisa para pemimpin ini menyebutkan "orang miskin" sebagai penular Covid19 ke "orang kaya".. Atau, kita harus merubah data tentang "orang miskin" dan "orang kaya" di Indonesia? Jangan-jangan yang disebut miskin adalah mereka yang bisa bepergian keluar negeri, mengikuti meeting dengan para pemilik kapital dan petinggi, punya moblitas setiap hari di busway, kereta api dan angkot, sementara yang disebut "orang kaya" adalah mereka yang setiap hari cuma bisa mengumpulkan uang Rp. 20.061?
Mungkin memang aku yang terlalu bodoh di negeri ini untuk bisa memahami setiap pidato pemimpinku.
***

Jika mencintai indonesia adalah dosa, kenapa tuhan membangunkan rumah rindu di dadaku begitu megah? Apa salahku. Apa dosaku.

Salah dan dosaku karena di republik Indonesia, orang berdoa dan berusaha jadi orang yang beruntung.

Beruntung jadi bupati walau buntung. Beruntung jadi gubernur walau bingung. Beruntung jadi presiden walau berutang. Beruntung jadi DPR/MPR walau bengong. Beruntung jadi jenderal walau melompong.

Sebab itu mereka semua jadi ahli kolonial: pejabat kolonial; profesor kolonial, mahasiswa kolonial, politisi kolonial. Itu produk pendidikan kolonial yang bertugas memastikan berlangsungnya kolonialisme sepanjang hayat.

Maka benar kata Romo Mangun (1993), "buat apa kita memiliki sekian ratus alumni sekolah yang cerdas. Tapi membiarkan jutaan masyarakat menjadi bodoh. Kelak ratusan alumni sekolah tersebut akan menjadi penjajah sekian juta masyarakat yang bodoh itu."

Di republik ini: Orang cerdas itu terbatas. Orang jenius itu misterius. Tapi keduanya punya ciri hampir mirip: melawan ketidakadilan; menghadirkan kemerdekaan; memproduksi kemandirian.

Keduanya menghancurkan struktur lama yang menindas. Keduanya tak dipahami oleh orang kebanyakan (awam). Keduanya dimusuhi kaki tangan begundal kolonial. Keduanya musuh dan momok bagi pemuas nafsu diri dan kelompoknya.

Kalau kalian belum melawan, kalian pasti belum cerdas apalagi jenius. Masih orang awam; yang bodoh dan dibodohi; yang budak dan melayani. Apalagi kalau kalian memusuhi warganegara sendiri, kalian hanya budaknya begundal.

Padahal, tidak jadi manusia nusantara jika belum menikam mati begundal kolonial di republik ini.

Apakah pendidikanmu membuatmu cerdas? Belum.

Apakah agamamu membuatmu jenius? Belum.

Apakah pemerintahanmu membuatmu merdeka? Belum.

Apakah masyarakatmu membuatmu mandiri? Belum.

Lalu, kita ini siapa? Inilah kita yang kondisi postkolonialnya paria. Pendidikanmu, agamamu, pemerintahanmu, masyarakatmu hanya jadi sekrup bagi berlangsungnya neoliberal. Terjajah dan menangis secara tragis. Miskin tanpa kesadaran. Terkutuk tanpa kikuk.

***

"Aku ingin saat matanya terpejam menjemput tidur, akulah yang dilihatnya. Aku ingin saat matanya membuka untuk memeluk siang, akulah yang dilihatnya."

Begitulah pengakuan kakek tua yg kutemui di gubuk pertanian mewah di suatu senja. Aku datang tak sengaja. Awalnya mencari hotel yang tenang buat menyelesaikan dua bab terakhir dalam buku baru yang harus kuedit. Tetapi, kawan baikku membawaku ke kakek tua tersebut. Orang kaya yang masih kekar dan bercita-cita besar. Orang yang membuat pura, musalla dan istana buat kekasihnya yang sudah tak bisa apa-apa.

"Kami menikah dan kemudian sibuk mencari harta. Tak sempat menenun bersama. Tak sempat bersenda gurau. Punya anak juga lupa kapan hari ulang tahunnya. Ringkasnya kami jadi kaya raya. Sampai kemudian kami sama-sama tua. Istriku stroke. Aku stress."

Demikianlah lanjutan pengakuan dosanya. Sambil berkaca-kaca beliau menasihatiku untuk tidak putus-asa. "Jangan kau tinggalkan republik ini tersesat dan kesepian karena engkau putuskan hidupnya," demikian petuah yang menghujam jantungku. Makjleb.

"Tentu saja sulit bagiku menerima ini semua di awalnya. Penyesalan selalu berada di akhir cerita, ketika semua telah menjadi nyata. Tiada kesempatan bagiku untuk mengulang kembali apa yang telah terjadi. Semua telah berlalu dan hanya meninggalkan perih di hati. Mungkin setelah bertemu kalian, aku bisa berbagi cerita mengenai arti sebuah kesetiaan cinta yang tak bisa dinilai dengan apapun di dunia yang fana ini. Kefanaan yang harus disikapi dengan biasa."

Itu lanjutan kisah kakek tua. Kisah yang membuatku menangis dan bertanya. Mengapa ada penderitaan dan kesetiaan? Mengapa ada sakit dan kesepian? Mengapa tuhan membiarkan kesakitan? Jika tuhan mahakuasa, pengasih, bijaksana, dan adil, mengapa dunia ini begitu penuh dengan kebencian dan ketidakadilan? Kini, aku sendiri menanyakan hal-hal itu. Sebab, cerita kakek itu membuat tanyaku tak terperi.

Apa itu hidup? Bagaimana memaknainya? Mengapa kita harus setia? Kapan kita boleh mati? Adalah beberapa pertanyaan yang kini hinggap kembali saat aku mulai merindukan kematian. Yah. Kematian.

***

Kalian datang dari masa lalu. Aku datang dari masa depan. Bertemu kita membentuk peradaban. Adab adalah aturan, nilai, tradisi dan konsensus yang idealistik. Dus, di sini perlu kerelaan berbagi, berkomunikasi dan berkomitmen. Agar tensi lembut dan resonansi indah dihayati. Agar lagu makin merdu dan tembang-tembang mewaraskan kehidupan.

Juga agar ide-gagasan cerdas menjadi keseharian. Dan, para jenius memimpin dengan hikmah yang bajik. Rakyatlah puncak sejahtera dan keadilan. Rakyatlah penguasa sejati yang tak seorangpun paria nasibnya.

MENGHASILKAN KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN YANG MENTRADISIKAN KEADILAN-KESEJAHTERAAN-KEBAHAGIAAN.

Inilah indonesia baru. Inilah yang akan terjadi. Inilah kita dan kami yang sebentar lagi hadir.

Dus, di dalam republik Indonesia yang berideologi Pancasila akan tertradisikan insan cerdas yang ramah pada agama publik yang multikultural. Dan, dalam agama publik yang multikultural terdapat ilmu pengetahuan yang mencerahkan. Serta, dalam ilmu pengetahuan yang mencerahkan terdapat mental merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Inilah mental konstitusional yang anti kolonial. Mental ini bekerja menghancurkan warisan penjajahan: oligarkis, kleptokratis, kartelis, fundamentalis, fasis dan predatoris.

Adakah kita sudah sampai ke sana? Segera, sebab aku yang memimpinnya. Menyitir sastrawan besar Kahlil Ghibran, "suara kehidupanku memang tak akan mampu menjangkau telinga kehidupanmu yang senyap; tapi marilah kita coba saling bicara barangkali dapat mengusir kesepian dan kejahiliyahan yang bertalu-talu."

Seperti agama-agama tua yang purba, aku pasti setia dengan cita-cita menaklukan dunia. Memastikan keadilan semesta. Merealisasikan Indonesia Raya.

***

Siapakah budak terkeren di zaman modern? Presiden Republik Tetangga dan Gubernur Kota entah di mana. Siapakah buruh terdahsyat di zaman global? Dialah WKJ dan PCB.

Bagaimana menjelaskannya? Mengutip tesis Tola Ma (2016), karena keduanya adalah produk terbaru dari persekutuan dan perzinahan "Triumvirat (3 Serangkai) yaitu:

  1. Para Taipan yang rakus (ular naga)
  2. Korporasi Barat eks penjajah lama (singa tua)
  3. Elit Ekopol Pribumi penghianat warganegara (kerbau liar)."

Perkawinan antara 3 serangkai itulah yang melahirkan aktor seperti keduanya. Arsitekturnya adalah: pada WKJ, kerja tanpa pikiran. Sedang pada PCB, bicara tanpa pikiran.

Tetapi, keduanya serupa tak sama: kepalanya naga, mulutnya singa, tengkuk dan perutnya kerbau. Tubuhnya bersisik seperti ular. Intimidatif, mengaum, mengusir dan mencekik kaum miskin, kaum pinggiran dan warga lemah. Keduanya bersekutu dengan serdadu, media dan keparat hukum. Keduanya meneguhkan oligarki (palsu).

Budak adalah golongan manusia yang dimiliki oleh beberapa tuan, bekerja tanpa gaji layak dan tidak mempunyai kemerdekaan menentukan masa depannya. Hidupnya melanggengkan perbudakan. Suatu kondisi di saat terjadi pengontrolan terhadap seseorang oleh orang lain; negara kuat terhadap negara lemah; organisasi kuat terhadap orang atau negara bodoh.

Perbudakan ini terjadi untuk memenuhi keperluan akan kuasa, jaringan, uang, SDA, SDM (buruh dan pelacur). Arsitektur ekopol lama yang diperbarui aktornya: bukan hukum apalagi hasilnya.

Menjadi budak berarti dipaksa untuk melayani majikan. Dalam sejarahnya, para budak dari Afrika dan Asia yang lahir pada masa perbudakan, bekerja di berbagai perkebunan gula, kopi, coklat, kapas, tembakau dan pertambangan.

Tentu, tidak semua budak menerima nasib mereka begitu saja. Khususnya di Suriname, para budak melarikan diri, menetap di hutan dan membangun komunitas mereka sendiri berdampingan dengan bangsa Indian.

Para budak yang membangkang ini disebut Maroon atau Negro Hutan. Selain itu, mereka memberontak, baik yang kecil-kecilan maupun yang besar-besar di kawasan perkebunan dan perkotaan.

Pemberontakan budak terbesar terjadi pada tahun 1795 di Curacao di bawah kepemimpinan Tula yang menuntut kebebasan dan kemerdekaan.

Sang pemimpin Tula mendapat gagasan dari Revolusi Prancis dan kesuksesan pemberontakan budak di Santa-Domingue (Haiti). Namun demikian, Tula membayar kebebasan dengan nyawanya.

Perbudakan modern di Indonesia sudah lama. Dikerjakan oleh lima kolonial-begundal: Portugis, VOC, Belanda, Inggris dan Jepang. Sejarawan Breman (1987) membuktikan bahwa kaum kolonialis meraup untung berjutakali lipat dari penanaman kopi di Indonesia sementara para petani semakin terhimpit hidupnya karena menerima upah minim. Negeri-negeri penjajah makmur karena kita. Mereka maju dan sejahtera karena kita semua.

Kini perbudakan itu lebih canggih. Via presiden dan para eksekutifnya mereka makin masif dan gigantik. Kuatnya perbudakan itu karena KKN sudah menjadi tradisi, karakter dan keagamaan kita semua.

Kini bahkan nalar kemanusiaannya sudah hilang. Mereka tak ada bedanya dengan binatang dan syaitan: culas dan peras.

Lalu, di mana TNI dan Polri? Mereka jadi penjaga dan kaki tangan yang setia dengan sedikit baju seragam sisa-sisa.

Di mana agamawan? Mereka diberi media dan sedikit uang buat berias dan beli beras. Di mana mahasiswa? Mereka disibukkan oleh SKS dan mimpi jadi kaya mendadak.

Dan, di mana buruh serta serikatnya? Mereka dibuat sehat untuk menjadi alat produksi. Di mana para akademisi? Mereka diberi honor buat bercuap-cuap soal kurikulum yang sesat dan jahiliyah.

Akhirnya keterjajahan, kemiskinan, kebodohan, kesenjangan, kesakitan, ketergantungan, konflik makin membuncah. Tak ada yang mengurusnya. Apa solusinya? Kita perlu Ibrahim, Musa, Muhammad, Che Guevara, Khomaini, Tan, Karno dan para idealis yang bersekutu melakukan revolusi keenam.

Kaliankah itu generasi yang terpanggil menikam mati tiga aliansi kolonial terbaru? Kami memanggil kalian! Kami menunggu kalian untuk pimpin.

***

Ketika sang burung hidup, mereka makan semut. Ketika burung mati, semut makan bangkainya. Hidup adalah perputaran (daulah) dan pergantian (badalan). Tapi, elite negara kita adalah generasi yang menolak perputaran dan pergantian. Mereka ingin ketika aku lahir, mereka sudah jadi penguasa. Begitu juga ketika aku mati, mereka masih berkuasa. Lupa pada hukum alam, sunnah Tuhan yang esa.

Maka, membusuklah takdir bangsa ini. Yang lama sekarat. Yang baru tak kunjung datang mendekat. Kisah dari kasih tanpa duplikat. Bukan takdir suci cinta sejati.

"Cinta sejati adalah ketika kamu menemukanku dalam cahaya masa muda kita, lalu kita menjadi tua bersama (Guru Ekawati Wijaya: 2016)." Sudahkah kalian temukan cinta yang sesungguhnya?

Saatnya kita cari dan temukan. Pada ujungnya. Senyummu tak ditemukan lewat doa. Kasihmu tak ditemukan lewat agama. Rindumu tak ditemukan lewat kitab suci. Cintamu tak ditemukan lewat dogma. Kangenmu tak ditemukan lewat rumah ibadah, apalagi di gedung-gedung pemerintah.

Rupanya. Engkau hanya diciptakan Tuhan untuk hidup di hatiku; tak sudi hidup dalam kenyataan revolusiku. Dan, setelah hidup yang sepi, engkau tahu aku mencintaimu: memeluk semua cerita-ceritamu. Maka,

”Siapa tahu kamu tidak mencintainya, padahal itu baik bagimu. Siapa tahu kamu mencintainya, padahal itu tidak baik bagimu. Tuhan mengetahui, sedang kamu tidak" (QS.2:216).

Kata para taipan gila, "kuwariskan tanah merdeka ini pada kalian. Urus dan usirlah pribumi miskin dan bodoh dari tanah-tanah mereka. Sbb penderitaan mereka adalah kebahagiaan kalian."

Ini kegilaan politik. Zaman gila, kata Raden Joyoboyo, adalah, "Akeh janji ora ditepati" (banyak janji tidak ditepati), "akeh wong wani nglanggar sumpahe dhewe" (banyak orang berani melanggar sumpah sendiri), "manungsa padha seneng nyalah" (manusia saling lempar kesalahan), "akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit" (banyak orang hanya mementingkan duit), "ora ngendahake hukum Hyang Widhi (tidak peduli hukum Tuhan)."

Banjir individu yang egois. Tak ramah pada kemanusiaan. Masuk sorga sendirian.

Tahajudmu individualistik/Berbeda dengan doa purba/Kepadamu yang meniadakan rindu/Kupinjam sakit orang-orang berdosa/Pada tangisnya; menyimpan kebingungan/Perlukah hantu menghapus sekutu/

Karena itu, "keberhasilan kita di masa depan lebih penting, daripada kemiskinan kita di masa kini serta kepedih kita di masa lalu. Dari situ, nalar sadar waktu dan tempat hendaknya diorientasikan ke depan (progresif) agar keberhasilan menjadi pelunasan janji kita kepada generasi selanjutnya.

Memang. Kita tanpa selembar selimut yang mampu menyelimuti gigil duka lara. Tanpa seutas tangan yang bisa hangatkan rasa. Kita semua adalah mayat. Daging sekerat. Tulang melarat. Ke depan itu keniscayaan.

Sejak lalu. Kubisa. Membaca, merangkum, meriset, mengajar, menulis, menunggu mati (7M). Apalagi tuhan yang mentakdirkanku tak ditemukan lewat doa; lewat agama; lewat kitab suci; lewat dogma. Jika ada yang menemukan, itu Tuhan ilusi. Tak lebih hebat dari secangkir kopi. Mitos dagangan kaum pengangguran.

***

Di sore yang cerah, di kedai kopi yang sejuk di kota Bogor, aku berbincang dengannya. Hanya terdemarkasi meja kecil yang di atasnya terdapat gelas kopi dinginku yang berembun. Menjadi bukti hukum kedua termodinamika, entropi, masih berlaku dan menandakan waktu sedang berjalan.

Ia bersabda, “Menulislah, kau tidak tahu kapan kau akan mati”. Kujawab padanya bahwa aku sudah berniat menulis buku, tentang operasi-operasi intelijen Muhammad yang badan intelijennya dikepalai sahabatnya, Abu Bakar. Ia menutup, “Sementara menunggu, tulislah artikel pendek, apa saja, beberapa paragraf cukup”.

Aku bisa melihat demarkasi fisik seperti meja, serta menandai perjalanan metafisik waktu melalui entropi, tapi kata dan kalimat tidak berbatas yang nyata. Mereka masuk begitu saja ke dalam pikiranku dan beritikaf di sana. Aku tahu itu terjadi, hanya karena setelahnya, aku mulai menulis.

Tentu saja sebelumnya aku pernah menulis. Tugas akhir sarjana, makalah kuliah magister, jurnal prasyarat tesis. Semuanya soal hukum, jurusan kuliahku, ilmu aneh yang isinya penuh basa-basi. Bila ‘free will’ memang nyata adanya, kupastikan tidak ada kehendak bebasku dalam setiap tulisanku itu. Kutulis hanya karena fardhu ‘ain yang dibebankan institusi pendidikanku, yang kutahu tidak akan membuatku lebih pintar atau lebih bodoh. Menulis sesuai kehendakku, baru kumulai setelah sore itu.

Einstein pernah berkata, “Perbedaan masa lalu, masa sekarang, dan masa depan hanyalah ilusi belaka”. Karena itu, ketika gelombang elektromagnetik menerpa huruf dalam tulisanku dan memantulkannya pada kornea matamu sehingga kau melihatnya, saat itu juga aku sedang menulis huruf yang sama. Ketika cahaya menerangi fotoreseptor di bagian retina di belakang matamu sehingga kau melihat kata dalam tulisanku, saat itu juga aku sedang menulis kata yang sama. Ketika otakmu memutar kalimat yang tertangkap terbalik dalam retina matamu, saat itu juga aku sedang menulis kalimat yang sama. Saat seluruh huruf, kata, dan kalimatku teruntai utuh dalam pikiranmu dan kau selesai membacanya, saat itu juga aku selesai menuliskannya.

Bila kau dan aku tidak berbatas waktu, jangan kau kira kita berbatas ruang. Asal kau rasakan perasaan dalam tulisanku, percayalah, kau dan aku lebih dekat dari tiada berjarak. Karena itu, meski kau baca tulisanku saat aku sudah mati, kau bukan hanya ada di sisiku saat aku menuliskannya, kau ada dalam diriku seperti aku ada dalam dirimu. Hanya berbatas kesadaran dan takdir. Aku menulis, kau membaca.

Kuharap kau tahu. Tak jarang ketika menulis, aku harus menahan air mataku.

Karena, ketika aku menulis tentang Tuhan, aku belum pernah berbicara apalagi bertemu dengan-Nya. Sedang begitu banyak manusia cerdas yang mengetahui dengan pasti yang Tuhan halalkan, haramkan dan makruhkan. Mengetahui saat Tuhan memberi azab atau memberkahi suatu negeri. Tanpa bukti bicara atau bertemu dengan-Nya, mereka dipuja dan dipercaya. Karena itu, ketika menulis tentang-Nya, seringkali kuurung menulis seutuhnya. Menghormati mereka yang kusayang dan kucinta, beserta apa yang mereka pilih untuk puja dan percaya.

Ketika aku menulis tentang agama, diterangi berbagai literatur yang tabu. Aku teringat begitu banyak mereka yang terkurung gelapnya otoritas manusia, tersandera dogma, teracuni benci. Terhipnotis ia yang katanya paling tahu kitab suci. Ia yang menguasai kebenaran dan semua jawaban pertanyaan dunia akhirat. Karenanya ia boleh menyalahkan kelompok lain, memaksakan kehendaknya, kalau perlu membunuhnya. Padahal aku tahu, dulu kitab suci memberi makna bagi manusia, kini ia yang memberi makna bagi kitab suci. Karena itu, kulihat ia bersusah payah mendamaikan sains dengan kitab suci. Menemukan ayat dari sains, bukan sebaliknya. Dengan itu, ia merasa paling tahu segalanya. Padahal sains yang ia damaikan itu berkata, komposisi utama dirinya hanyalah hidrogen, oksigen, dan karbon. Persis komposisi utama kotoran yang keluar dari anusnya. Molekul dalam segelas air berjumlah lebih lebih banyak dari jumlah gelas yang dapat menampung lautan. Karenanya, air yang ia gunakan untuk bersuci, molekulnya pernah melintasi saluran kemih Namrud, Fir’aun, dan Qorun. Serupa itu, udara yang ia hirup saat mengaji, molekulnya pernah melewati paru-paru Abu Jahal dan Abu Lahab saat asyik menista dan mengumpat Nabi. Kalau merasa paling tahu segalanya, tolong carikan juga untuk itu ayatnya.

Ketika aku menulis tentang Muhammad, dosanya adalah kemuliaan bagiku, khilafnya adalah mukjizat bagiku. Kurentangkan tanganku selebar-lebarnya pada yatim piatu itu, kudekap ia sepenuh hati dengan seluruh jiwaku. Tanpa tanya dan cela. Ketika ia suci bagiku sebagaimana adanya, aku tahu mereka pamrih mencintanya. Bermaharkan pahala, syafa’at, dan surga.

Ketika aku menulis tentang sains, sejauh yang kumampu. Aku teringat mereka yang tidak menikmati luangnya waktu, untuk menghibur diri dengan biologi kuantum atau astrofisika, apalagi menuliskannya. Aku pun berutang pada mereka yang memasak makananku, mencucikan piring dan pakaianku, menyuguhkan kopi di kedai favoritku, agar aku bisa bersantai dan menuliskannya. Demi setiap ledakan supernova di alam semesta ini. Di hadapan mereka semua, aku manusia paling bodoh di dunia.

Ketika aku menulis, terkadang kuingat ia yang bersabda di sore itu. Teringat mimpi dan cita-citanya akan Indonesia yang raya, menjadi mercusuar dunia. Hanya untuk mendapati dirinya belum memiliki kekuatan dan kekuasaan untuk meraihnya. Aku pun tertegun, menghentikan tulisanku, mengingat betapa banyak mereka yang sudah berkuasa di negeri ini malah merajut dosa dan dusta bagi bangsa. Tanpa simpati. Tanpa empati. Pada derita bangsa, apalagi dunia. Jangan-jangan, demi berkuasa kita harus merelakan simpati dan empati enyah dulu untuk selamanya. Hanya untuk menemukan diri kita amnesia pada mimpi dan cita-cita. Apapun itu, aku tetap berdoa untuknya.

Ketika aku menulis soal hidup, aku teringat spesies diriku. Sumber utama masalah dunia, bernama manusia. Anak haram alam semesta. Sejak lahirnya merusak darat, laut, dan udara. Membasmi makhluk lain hingga punahnya, membantai sesama. Terlalu suci untuk mengakuinya, hingga menyalahkan setan dan Iblis untuk semua. Ia dengan geosentrisme mengira bumi yang ia diami pusat segalanya. Nicolaus Copernicus menyadarkannya. Ia dengan humanisme mengira dirinya paling berarti di seantero jagat raya. Persis anak tujuh tahun mengira dirinya paling spesial dan semesta bertawaf mengelilinginya. Sambil merasa yang terhebat adalah ras, bangsa, atau agamanya. Kuharap sains menyadarkannya. Mereka semua dari sel yang sama. Tanpa itu, jangan harap damai akan ada. Hanya berebut kuasa, perbatasan dan sumber daya, sampai mati semua.

Ketika aku menulis, aku teringat, betapa luang waktu yang kumiliki, betapa kenyang perut yang kuisi, betapa nyaman kasur yang kutiduri, betapa empuk sofa yang bokongku duduki, betapa sejuk ruangan yang kudiami. Sedang kutahu di berbagai belahan dunia dan negeri, begitu banyak anak-anak miskin tanpa waktu luang untuk dimiliki, dengan kelaparan perutnya diisi, tanpa alas yang layak untuk ditiduri, apalagi sofa bersantai untuk diduduki, sedangkan ruangan sejuk hanyalah sebatas mimpi, dan untuk itu semua aku pun tidak dapat berbuat apa-apa selain menyesali. Demi setiap nafas yang telah kuhembuskan sepanjang hidupku. Di hadapan mereka semua, tulisanku hanyalah omong kosong belaka.

Kalau kau belum pernah menulis sesuai kehendak hatimu, maka menulislah. Sejauh kata mampu mengungkap perasaanmu, sejauh kalimat mampu menjangkau sudut tergelap pikiranmu. Meski kadang kau akan terlupa mengungkap derita sesama, meski kadang kau akan terlupa tiada sanggup kau jangkau sudut tergelap dunia. Bila kau temukan kesedihan di dalamnya, semoga padamu  kebahagiaan kelak menemukan jalannya. Demi ruang, waktu, dan apa pun yang berada diantaranya. Pada ia yang bersabda di sore itu, aku berutang untuk selamanya.

***

Pendidikan kita mandek bahkan mundur. Demikian simpulan diskusi di acara FDK yang diselenggarakan oleh YSNB, Aliansi Kebangsaan dan FKPPI, Rabu kemarin (17/5/2020) di Apartemen Sultan. Karena itu, ia perlu direvitalisasi. Tetapi tak mudah. Mengapa? Ia menghadapi tiga barikade sekaligus.

Pertama, akibat amandemen, konstitusi kita tidak memberi ruang bagi cendekiawan dan ilmuwan untuk ikut menjadi anggota MPR guna merumuskan kebijakan publik (UU). Konstitusi kita kini hanya corpus politik minus budaya, hukum dan pendidikan. Sistem dua kamar (bikameral) rasa satu kamar sebagai pengisi DPR/MPR dan biaya mahal dalam politik (pileg) membuat utusan golongan/profesi dan utusan daerah/kebijaksanaan hilang.

Tentu mengharapkan legislasi yang berdimensi kedalaman, kebijaksanaan, kebudayaan dan peradaban menjadi sangat sulit. Anggota-anggota DPR/MPR kita kini sangat politiking dan berjangka lima tahunan.

Kedua, porsi cendekiawan dan ilmuwan sangat sedikit di parlemen. Dengan model voting dalam memutus kebijakan publik, mustahil rasanya para anggota parlemen berbasis pendidik memenangkan voting. Sehebat dan sejenius apapun mereka akan kalah dalam voting karena basisnya jumlah suara dan oligarki ketum parpol.

Ketiga, keterlibatan warganegara dan asosiasi-asosiasi sipil makin kecil. Kini tak kita jumpai lagi filantropis yang mau berbaris bersama kaum Pancasilais guna mendesak parlemen agar memihak warganegara saat merumuskan undang-undang. Dalam hal ini yang mau waras tak punya daya; yang punya daya tak punya dana; yang punya dana tak punya cita-cita yang sama dengan yang waras.

Jadi bagaimana strategi menembus tembok penghalang itu?

Pertama, mari kita perbaiki arsitektur ekopolsusbudhankam di lima sisi:

  1. Tata nilai
  2. Tata kelola
  3. Tata agensi
  4. Tata budaya
  5. Tata tekhnologi secara serentak yang berdimensi maritim (laut), pertanian (darat) dan dirgantara (udara).

Kedua, mari kembalikan dimensi kebudayaan dan peradaban sebagai ontologi undang-undang kita. Karenanya nanti menjadi sisbudiknas (sistem kebudayaan dan pendidikan nasional), bukan hanya sisdiknas (sistem pendidikan nasional). Jika kebudayaan dan peradaban jadi ontologi maka ini bicara antar generasi; bicara masa depan bukan membincang pesta lima tahunan.

Ketiga, menggalang partisipasi publik seluas mungkin (lintas partai, lintas SARA, lintas generasi) untuk mengembalikan pendidikan pada tujuan semula: mencerdaskan kehidupan bangsa agar mulia, bermartabat dan menertibkan dunia.

Tentu tidak mudah. Tapi kami terus berupaya. Diskusi sangat menarik karena diikuti para peminat kajian pendidikan, kebudayaan dan peradaban yang kompeten di antaranya Prof. Hafid Abas, Prof. Laode Kamaluddin, Ki Darmaningtyas, Bapak Pontjo Sutowo, Prof. Muchlas Samani, Yudhie Haryono, Ph.D, Ki Nurrachman, Ki Ahmad Rizali, Ki Wigrantoro, Ki Wisnubroto, Kyai Irawan, Dr. Herawati, Bung Ferdiansah (DPR) serta dipandu moderator Dr. Ki Bambang Pharma Setiawan.

***

#Untuknya yang ujiannya tak kunjung habis#

Kasih. Bacalah setelah aku dikuburkan. Sebab saat itu, dunia akan terang. Engkau kini paham. Seorang penulis adalah orang yang resah dengan hasil tulisan dan lebih resah dengan apa yang belum dituliskan.

Aku camkan dan pahami itu. Sampai kini takdirku melelahkan dan kesepian. Terlebih setelah dimarahi, dicaci dan difitnah jutaan manusia yang kucintai. Manusia indonesia yang tak mengerti. Juga engkau yang terus ikutan. Walau sepagi buta dunia bagai heart beats fast.

Ya. Jantung berdebar kencang. Menerima takdir yang tidak tak terpikirkan. Ngopi-ngopi bersama Tuhan. Tanpa hantu dan hutan.

Tuhan mengirim surat rindu padaku. Saat aku merindukanmu. Satu kilo rindu sekaliber uranium yang gigil. Tidak tak terjangkau. Maka, merindukanmu adalah memintal air mata. Mengangenimu adalah menjahit angan bahagia. Mencintaimu adalah melafalkan doa. Menulis namamu adalah melukis es kutub utara-selatan: mereka dingin tanpa harus proklamasi.

Engkau melebihi puisi. Lebih dahsyat dari birahi. Dalam sedalam-dalamnya. Sebab di situ Tuhan bermain dadu. Di matamu tak kutemukan cinta sejati. Di hatimu tak kutemukan kebahagiaan hakiki. Penuh maha duka, maha derita.

Colors and prom-misses. Kutemukan warna-warni dan janji-janji yang tak pernah terjadi. Bekerja di antara dogma dan ketololan-ketololan. Lalu bekerut dan bertanya, "how to be brave?" Bagaimana agar berani di saat semua takut dan pengecut. Saat seseorang menuduhku sebagai ilmuwan yang lupa diri dan tak tahu terimakasih: seperti kacang lupa pada kulitnya.

Aku. Ya aku yang belum tahu mana kacang mana kulit. Makin bodoh aku setelah tua bangka. Makin tak berguna. Juga untuk hidupmu. Tanganku tak mampu membuang sialmu.

Kasih. Ini mirip tanyaku dulu pada hatiku. How can I love when I'm afraid to fall? Bagaimana bisa aku cinta saat aku takut jatuh? Ya. Jatuh cinta denganmu itu mukjizat kecil. Sebab mukjizat besar tak pernah hadir.  Keterkejutan yang dahsyat tapi terpikirkan.

Seperti indonesia. Negeri tanpa dentuman. Sekali hadir hanya untuk menjadi kufur. Penghuninya tak pintar bersyukur.

Masih ingatkah bahwa aku pernah mengetik tulisan buat murid-muridku, "orang sudah tua dan tak berkuasa sepertiku tidak mampu membangun masa depan Indonesia untuk kaum muda. Yang kini mampu aku lakukan hanya berusaha membangun kaum muda untuk masa depan Indonesia." Dan, engkau mengiyakan dengan ciuman mautmu.

But, watching you stand alone. Kini melihatmu sendirian seperti yatim yang pilu. Tak hendak hidup; tak berseri ceria menyambut mati. Involusi. Limbo. Gedubrak ke sana ke mari. Tanpa id dan logos yang adekuat. Tapi matamu dan bibirmu meledekku. Mengatakan diriku lelaki yang perlu diujicoba. Seperti sepeda ontel saja. Yang baru didapat dari dik Jokowi. Maka, "all of my doubt suddenly goes away somehow." Segala bimbangku mendadak hilang. Terbang. Menuju langit yang tak perlu proklamasi agar dunia tahu dirinya tinggi. One step closer. Selangkah lebih dekat. Ya. Dekat dengan sang mula. Asal muasal segalanya.

I have died every day waiting for you. Kasih. Mungkin kini engkau tahu. Dulu. Tiap hari aku telah mati karena menantimu. Mati berkali-kali. Terutama saat anak-anakku tidak bersamaku. Mereka jauh. Direngkuh kejam kehidupan yang tak tahu malu. Tetapi, engkau bilang, "darling don't be afraid." Kasih jangan takut. Aku kini bersamamu. Pijatan dan dorongan hidup bergema bagai takbir di hari raya: deras dan keras. Maka, kini engkau mengerti. I have loved you for a thousand years. Aku telah mencintaimu ribuan tahun. Sebab, seribu tahun lalu dunia gelap gulita. Ketika terang, engkaulah senyumnya. Bukan bulan apalagi mentari. Tapi senyum manismu; semanis-manisnya.

Dentang. Kulintang. Seruling kesunyian. Aku ketuk. Aku ketik. I'll love you for a thousand more. Aku kan mencintaimu ribuan tahun lagi. Dari kemungkinan-kemungkinan yang mungkin tak mungkin. Dari cerita-cerita yang tak jadi novel. Dari sabda-sabda yang tak jadi kitab suci. Dari moral kebijakan yang tak jadi agama. Engkau dan anak-anak kita akan merealisasikan pancasila.

***

Dalam buku dan kitab-kitab yang terkurikulumkan, termaktub bahwa basis neoliberalisme itu: individualisme, keinginan, ketamakan, dominasi dan ketimpangan.

Sedangkan basis pancasilaisme itu: kebersamaan, kebutuhan, keselarasan, gotong-royong, kemerataan.

Mestinya keduanya bertempur. Saling tikam. Tetapi, di indonesiah keduanya berkolaborasi merampok anak negeri.

Karena itu, hampir di semua negara postkolonial yang beriman pada demokrasi liberal, kelahiran rezim baru via pemilu, sesungguhnya hanya proxy dan kulit domba baru dari srigala yang sama; seringkali lebih ganas karena mereka memperluas dan memperdalam tekanan kuasa imperialnya; mengangkangi via regulasi; merusak kurikulum budaya dan agama, menghapus local wisdom, menyuburkan KKN, memperlebar kesenjangan, menyuguhkan pemimpin culun dan birokrasi pencekik serta pebisnis predatoris.

Maka, menunggu revolusi kini bagai menunggu mati yang tak kunjung datang. Menunggu kalian yang tak kunjung berontak. Menunggu takdir yang tak kunjung revolusi. Menunggu cintamu yang tak mungkin bersemi.

Padahal, dalam duka yang tak bertepi, aku mengingatmu. Dalam sepi yang tak berujung, aku merindukanmu. Dalam sempoyongan masa depan, aku mencintaimu. Aku selalu ingin mengusap pipi dan memijat kakimu. Menguatkan hati dan pikiranmu bahwa cita-cita dan hidupmu akan hadir dalam kebahagiaan bersama. Hay. Kamu. Ayok kita mandi bersama dan tuntaskan masalah-masalah di depan mata. Problema kita semua: kaum miskin kota dan desa.

Di sana, kaum muda, dengan segala kekurangannya adalah pahlawan terakhir yang bisa diharapkan. Walau hari ini, kaum muda itu lebih jumud dari harapan-harapan konstitusi kita; impian dan mimpi-mimpi pendiri republik.

Tak ada masa depan. Tak ada harapan. Yang ada hanya masa gelap dan tajamnya kejahiliyahan. Kecuali jika kita yang masih waras dan pancasilais sesungguhnya, bangkit melawan.

***
Dalam kajian sejarah tentang manusia, kita mendapati kenyataan bahwa setiap kehidupan memiliki siklus lahir dan punah:


1. Kelompok manusia Hominid yang fosilnya banyak ditemukan di wilayah Afrika Selatan (Makapansgat, Sterkfontein, Kromdraai, dan Taung) dan Afrika Timur (Danau Omo, Olduvai Gorge, Laetolil, Kanapoi, dan Hadar), hidup sekitar 2.5 juta - 0,6 juta tahun SM telah punah.




2. Berikutnya kelompok manusia Homo Sapiens yang banyak tinggal di Nusantara terutama daerah Sangiran, Trinil, Ngawi, Jawa Timur dan di Wajak. Dikenal sebagai spesies yang sangat tangguh dalam beradaptasi dengan lingkungannya. Hidup sekitar tahun 900.000 - 195.000 SM, namun kemudian pun punah.


3. Selanjutnya ada kelompok manusia Neandhertal yang Spesimennya ditemukan di Eurasia, dari Eropa Barat hingga Asia Tengah dan Utara. Spesies ini dinamakan Neandertal sesuai dengan lokasi tempat pertama kali ditemukan di Jerman, Neandertal atau Lembah Neander. Hidup sekitar tahun 600.000 - 30.000 SM lalu punah tanpa diketahui sebabnya.



4. Kini kelompok manusia dari Generasi Adam yang eksis sejak sekitar tahun 4.800 SM (dihitung dari genealogi Adam di kitab Kejadian pasal 5, yang ditulis oleh Musa), dari waktu ke waktu melewati ancaman kepunahan oleh perang antar sesama, dan oleh berbagai penyakit serta Virus. Meski demikian rapuhnya manusia generasi Adam ini, mereka sering merasa sebagai mahluk paling hebat. Pongah sebagai mahluk paling istimewa dan menganggap sesamanya tidak sepadan hanya karena beda anutan kepercayaan atau warna kulit. Kepunahan sudah di depan mata, sesuai wahyu yang telah ditulis oleh semua kitab suci, lalu mengapa kita tidak bisa berdamai satu sama lain menghadapi kepunahan bersama... barangkali dengan bersama-sama dalam damai kita bisa sedikit memperpanjang masa hidup generasi kita, khususnya yang sama-sama tinggal diatas bumi Nusantara ini.

***


Beberapa hari lalu, tepat setelah membuka pintu, aku melihat seekor kucing berbaring santai di sudut taman rumahku. Kucing itu tidak pernah kulihat sebelumnya di kompleks rumahku. Saat itu hari sedang gerimis, dan sejauh yang dapat kuingat, kucing tidak begitu suka air. Setelah kudekati, ternyata ia terbujur kaku. Mati. Benar-benar mati. Tidak bisa lebih mati daripada itu. Aku menatapnya dengan iba, karena merasa kelak bernasib sama. Untuk menghormatinya, ia kuberi nama Schrodinger.

Wajahnya dipenuhi kerumunan semut, mencegahku melihat raut wajahnya secara utuh dan memastikan apakah ia mati bahagia atau tidak. Penalaran abduktifku menarik kesimpulan, ia sudah tahu ajal akan menghampirinya dan mencari tempat untuk menunggu ajal menjemputnya. Mungkin ia menjauhi tempat asalnya supaya teman dan keluarganya tidak bersedih, dan dari seluruh taman yang ada di dunia ini, ia memilih sudut taman rumahku. Mungkin ia sudah berada di sana dan mati sebelum gerimis turun, atau sudah tidak lagi sanggup berpindah saat itu terjadi.

Aku membayangkan, mungkin ia mirip manusia yang menginginkan taman surga, hanya saja ia memilih taman rumahku sebagai taman surganya. Adakah kehidupan setelah mati baginya? Atau sudut taman rumahku itulah akhir baginya. Lalu apa bedanya dengan kita? Mungkin kita juga bernasib sama, mati adalah akhir segalanya.

Betapa lancangnya aku. Manusia tidak abadi? Tidak abadi?! Yang benar saja? Pikiran cacat macam apa itu? Kita akan hidup selamanya! Kita cukup bijak untuk itu. Saking bijaknya, kita bahkan menamakan spesies kita homo sapiens (manusia bijak). Rasanya aku mulai mengerti mengapa manusia terus menerus berperang dan berebut kekuasaan.

Aku bisa memilih menutup mataku pada hal-hal yang tidak ingin kulihat, seperti melihat jasad Schrodinger dengan jarak kurang dari dua puluh centimeter. Tapi aku tidak bisa menutup pikiranku dari hal-hal yang ingin kuketahui. Karenanya, seperti gerimis yang semakin besar dan menerpa jasad Schrodinger, kata-kata dalam pikiranku be-revolusi menjadi pertanyaan-pertanyaan yang menghujani diriku dan membuat otakku yang cetek ini semakin tersiksa.

Manusia seringkali menyepelekan kebodohannya sebanyak ia meremehkan kecerdasannya. Kebodohan saja sudah sangat menyiksa. Mengakui kebodohan? Itu seperti bunuh diri. Karena ketidaktahuan adalah sesuatu yang tidak tertahankan, manusia menciptakan jawaban untuk semuanya. Termasuk soal hidup dan kematian. Padahal, khususnya soal kematian, kita manusia tidak lebih tahu dibanding Schrodinger. Aku dan sahabatku sering meledek manusia dengan sebutan ‘bijaksana-bijaksini’. Di mana pun kita berada, kita akan memastikan diri kita selalu terlihat bijak.

Lalu bagaimana semua ini bisa terjadi?

Well, beberapa tahun lalu, tepatnya 13,8 miliar tahun yang lalu, materi dan antimateri saling menghancurkan satu sama lain. Puing-puing kehancuran mereka adalah energi cahaya, seperti ayat ketiga pasal pertama kitab Kejadian: “Jadilah terang!” Ilmuwan menyebutnya Big Bang.

Karena asimetris, materi yang berjumlah lebih banyak itu tersisa, dan menjadi semesta. Kisah energi dan materi itu kita sebut fisika.

Materi dan energi kemudian bercinta, anak cucu mereka adalah atom dan molekul. Genealogi mereka kita namakan kimia.

Fast forward, 4,6 miliar tahun yang lalu bumi terbentuk. Di dalamnya, hukum fisika dan reaksi kimia melahirkan organisme, nama panggilannya adalah biologi. Ia ber-evolusi, menjadi homo sapiens, punya kesadaran, punya kecerdasan, memiliki sihir bernama ‘bahasa’. Mantranya kita sebut konsep, teori, dan fiksi.

Beberapa ribu tahun kemudian, mantra baru muncul di Mesopotamia, ia bernama angka. Sama-sama bahasa, tetapi separuh bisu, ia menjelaskan ukuran. Ia adalah subsistensi mencoba menjelaskan eksistensi. Angka, mencoba menjelaskan realita. Tidak yakin bisa begitu? Bacalah Principia Mathematica kalau berani. Si jenius Bertrand Russell dan sahabatnya menghabiskan sepuluh tahun untuk menghasilkan ratusan halaman hanya untuk memberikan bukti bahwa 1+1=2. Percayalah, bagiku buku filsafat matematika itu isinya seperti mimpi buruk. Aku bahkan tidak begitu yakin Principia Mathematica ditulis untuk dibaca oleh manusia.

Konsep, teori, dan angka mencoba menjelaskan hidup ini melalui fisika, kimia, dan biologi. Tapi fiksi punya pendapat lain. Israel, Siddharta Gautama, Yesus Kristus, dan Muhammad bin Abdullah menggunakannya untuk menjelaskan kehidupan. Surga, neraka, Tuhan, dan keabadian adalah jawaban mereka. Kecuali Siddharta, hidup adalah penderitaan, bebaskan dirimu darinya, itulah nirvana. Saat sebagian besar manusia lain mencari nilai, mereka menciptakan nilai. Sedikit tidak biasa memang, tapi itu keren.

Kemudian aku dan kalian lahir. Melihat Schrodinger mati, aku menulis tulisan ini, dan kalian membacanya. Bukankah sulit dipercaya? Untuk memahami hidup secara utuh, kita harus terlebih dahulu mati. Paradoks macam apa itu? Benarkah kisah setelah kematian seperti yang sebagian orang-orang suci itu katakan? Atau kita semua sebenarnya sama-sama tersesat? Tidak tahu yang telah berlalu, yang sedang terjadi, dan yang akan datang.

Atau memang kematian adalah akhir dari segalanya? Tidak ada lagi yang akan menangisi kita sepanjang masa, tidak ada lagi nafsu sepanjang birahi. Hitam. Gelap. Kosong dan terlupakan. Adakah eksistensi esensi sebelum kesadaran, kecerdasan dan bahasa muncul? Atau tidak ada artinya kah hidup ini sehingga kita harus mengais-ngais maknanya dan menafsirkannya sendiri?

Ribuan tahun manusia mempertanyakan ini, tidakkah membahagiakan bila kita memiliki jawaban pasti untuknya? Sekurang-kurangnya, aku akan mati tenang bila mengetahui siapa yang meledakkan materi dan antimateri dan memulai semua kekacauan ini. Mungkin manusia harus menunggu lebih lama untuk menjadi super jenius dan menemukan jawaban definitif atas pertanyaan-pertanyaan itu.

Aku tidak butuh satu survey pun untuk mengatakan 99,99% manusia tidak menginginkan kematian. Karena itu ‘semoga panjang umur’ menjadi doa favorit kita. Bukan karena hidup begitu menyenangkan, tapi karena kita tidak tahu apapun soal kematian. Mati adalah keniscayaan, begitu kata orang bijak. Mati adalah masalah teknis, begitu kata sains. Mana yang benar? Waktu akan membuktikannya. Siapa yang tahu nanti akhirnya Google berhasil memenangkan pertarungan melawan kematian dengan sains dan teknologi melalui proyek Calico. Saat kematian menjadi pilihan, seluruh nilai, paradigma, moralitas, dan pertanyaan kita tentu secara radikal akan berubah.

Sayang, saat itu terjadi kemungkinan besar aku dan kalian sudah mati. Persis seperti Schrodinger. Sial.

Aku memberikan sejumlah uang pada manusia bijak lain untuk menguburkan Schrodinger. Kuharap aku melakukan itu sendiri, tapi saat itu aku harus berada di tempat lain, melakukan aktifitas lain yang lebih bijaksana. Aku mendoakanmu Schrodinger, semoga di mana pun kau berada kau mendapat taman lain yang jauh lebih indah daripada taman rumahku.

Aku masih harus melanjutkan hidupku, mencari yang tidak pasti. Membunuh sisa-sisa pertanyaan dalam pikiranku, sambil menunggu mati.

***

Problem utama negara-bangsa postkolonial itu banyak sekali. Setidaknya, jika dikelompokkan ada lima. Pertama, menentukan garis batas waktu (Proklamasi). Kedua, menentukan garis batas teritori (Wilayah). Ketiga, menentukan garis batas tempat kuasa (Istana dan Kota). Keempat, menentukan garis batas iptek (Kurikulum dan Pengetahuan). Kelima, menentukan garis batas mental (Kedaulatan dan Konstitusi).

Bagaimana menjelaskannya? Mari kita bahas satu per satu. Sebagai garis batas waktu, proklamasi adalah klaim dahsyat bahwa kita merdeka. Secara hukum, proklamasi merupakan pernyataan berisi keputusan politik tertinggi bangsa Indonesia untuk menghapuskan hukum kolonial (penjajah) dan diganti dengan hukum nasional (Indonesia), yaitu lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, semua produk hukum bangsa penjajah diganti dengan produk hukum bangsa Indonesia.

Secara historis, poklamasi merupakan titik akhir sejarah penjajahan di Indonesia sekaligus menjadi titik awal Indonesia sebagai negara merdeka, bebas dan berdaulat. Secara sosiologis, proklamasi menjadikan perubahan dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Proklamasi memberikan rasa bebas dan merdeka dari belenggu penjajahan. Jiwa rakyat Indonesia berubah jadi rakyat yang bebas membangun kembali bangsa yang setelah sekian lama dijajah dan porak poranda akibat peperangan, khususnya jiwa mengisi kemerdekaan dengan yang bermanfaat.

Secara kultural, proklamasi membangun peradaban baru dari bangsa yang digolongkan pribumi (pada masa penjajahan Belanda) menjadi bangsa yang mengakui persamaan harkat, derajat, dan martabat manusia yang sama. Kita menjunjung tinggi nilai kemanusiaan setelah pada masa penjajahan begitu banyak pemaksaan yang dilakukan oleh penjajah. Secara politis, proklamasi menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan mempunyai kedudukan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia; bangsa Indonesia dapat menentukan sikapnya tanpa ada yang memaksa.

Secara spiritual, proklamasi yang diperoleh merupakan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang meridai perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Proklamasi mencerminkan tekad kemandirian bangsa Indonesia untuk terlepas dari penjajahan bangsa asing. Sebagai negara yang merdeka dan bebas, Indonesia ingin mengantarkan dirinya ke gerbang kehidupan yang adil dan makmur. Kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.

Proklamasi memuncaki perasaan senasib dan sepenanggungan akibat belenggu penjajahan yang berabad-abad, serta kesengsaraan lahir batin; memuncaki kesadaran bangsa Indonesia tentang hak kemerdekaan setiap bangsa; memuncaki nilai-nilai luhur agama yang menjiwai dan memengaruhi kehidupan bangsa Indonesia, seperti persamaan harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban sesama umat manusia sebagai ciptaan Tuhan; memuncaki keinginan luhur budaya bangsa Indonesia supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.

Adakah garis batas waktu dipahami dan diresapi oleh pejabat dan elite kita? Rasanya makin dilupa dan dikhianati.

Soal garis batas teritori. Sampai kini kita gagal memastikannya. Begitu banyak pulau, laut dan udara kita dikuasai oleh asing. Untuk sementara catatan resmi negara di Bappenas, luas wilayah Indonesia (daratan dan lautan) adalah 5.193.250 km. Tetapi fakta dan faktualnya abu-abu. Tidak ada dalam konstitusi. Tidak ada usaha mempertahankannya dengan persenjataan yang canggih. Tidak dibangun. Tidak diperhatikan. Sungguh, inilah garis batas teritori yang dialpakan, dilupakan dan dibiarkan.

Soal garis batas kuasa. Sampai kini, istana dan kota kita merupakan peninggalan kolonial. Dibuat dengan selera dan iptek kolonial. Karenanya, yang selalu terjadi adalah "ekonomi di Indonesia." Yang sedang berlangsung adalah "pembangunan di Indonesia." Hasilnya berupa pembangunan ekonomi oleh orang luar, dari orang luar dan untuk orang luar. Kita jadi penonton dan jongosnya para jongos. Lembaganya lembaga dengan modus dan strategi asing. Sehingga tidak kompatible dengan suasana dan hati warga negara Indonesia. Impor semuanya: ilmu dan kelembagaan. Jika begini, bagaimana mau merdeka 100%?

Soal garis batas iptek. Kini, praktis semua kurikulum dan pengetahuan lokal, habis. Yang ditulis, diajarkan, dihapal dan diiklankan tiap detik adalah ilmu luar. Bahkan ide, logos, konstitusi absen semua. Akhirnya, di negeri ini, kita lahir dan merdeka sampai mereka berkuasa: Tanah kita sewa, air dibeli, udara dicicil. Hingga miskin kapital, budak mental, alpa tauladan. Taukah kalian derita penjajahan pengetahuan? Sebab pengetahuan adalah kekuatan dan kekuasaan. Singkatnya, kini kita butuh ilmu psikohermeneutika sebagai pedang tajam pemenggal fundamentalisme dan feodalisme. Juga ilmu triasekonomika sebagai keris sakti penikam neoliberalisme dan kolonialisme. Jika dua ilmu itu bersekutu dengan ilmu postkolonial, ilmu konstitusi dan ilmu ideologi pancasila, mereka akan jadi panca-nuklir maut revolusi kemerdekaan nusantara ketiga.

Terakhir soal garis batas mental. Kita mewarisi mental kolonial yang berciri ambtenar, inlander, malas dan jalan pintas. Tentu ini memabukkan sehingga jalan mundur. Yang bagus berkurang; yang buruk bertambah. Yang miskin makin paria; yang kaya makin digdaya. Maka, kita harus melakukan “gempuran nilai” (value attack) agar publik segera sadar. Kita harus ganti mental kolonial dengan mental konstitusional. Tanpa gerakan itu, jika kita cari mukjizat di Indonesia, yang didapat hanya keparat dan bangsat. Maka, kiyamat sudah dekat. Kita dilaknat. Tak punya martabat.

Kawan. Melampaui itu semua, sekarang mari mulai dari menyehatkan nalar dan mental diri sendiri. Sebab, orang bernalar dan bermental sehat akan melihat Indonesia sebagai spirit kehidupan; modal revolusi. Indonesia memberi energi kesejahteraan, kebenaran dan keadilan pada setiap aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pengetahuan, teknologi bahkan peradaban. Jika sehat nalar dan mental kita, ada setitik harapan di tengah pekat kegelapan.

***

Akhirnya kutahu. Ini hanya terminal. Antara satu zaman dengan zaman lainnya. Tak perlu dihindari. Tak perlu dirayakan. Padanya melekat enigma-enigma.

Mati. Aku merindukanmu seperti rinduku pada Tuhan. Aku mencintaimu seperti cintaku pada kehidupan. Tak banyak yang bersahabat denganmu. Engkau seperti penjual roti di pagi hari di perumahan kami. Datang tanpa diundang. Tanpa tanda-tanda yang kongkrit. Pergi tak pamit. Tanpa sesal dan asa.

Jika ada yang membeli. Engkau berhenti sebentar saja. Sedikit senyum. Lalu bergegas mencari mangsa lainnya. Tak perduli mereka bayar cash atau bagaimana.

Penjual roti bkn siapa-siapa. Ia mengambil roti di pabriknya. Menjualnya dari satu pintu ke pintu lainnya. Kematian juga datang dari satu orang ke satu orang berikutnya.

Kadang-kadang rombongan. Kapan? Jika sang maut lihat sang hidup sudah bosan mengantri saat jadi mahluk hidup. Dijejerlah mereka: sama-sama.

Mati. Ada seninya. Ada lagunya. Kalian mau tahu? Putarlah lagu-lagu Andrea Bocelli dan Kitaro. Mati adalah travelling to imperiality. Betapa sederhananya mati. Semua mendapatkannya: mau raja atau rakyat, mau idealis atau bajingan, mau miskin atau kaya.

Yang luar biasa adalah yang teriakannya tetap kencang walau jasadnya telah dikuburkan; yang namanya dikenang walau tubuhnya sudah ribuan tahun dikuburkan.

Kawan, katakan padaku kalian mau mati kapan dan bagaimana? Ingin dikenang sebagai apa.

Banyak orang menghabiskan waktu dengan korupsi. Banyak kawan menghabiskan waktu dengan ibadah. Banyak manusia menghabiskan waktu dengan berkuasa dan berzina. Sedang aku, hanya ingin menghabiskan waktu dengan anakku: membaca, menulis, mengajar dan menggerakkan kaki menemukan cita-cita dan cinta Indonesia.

Tapi itupun Tuhan tak restu, kalian juga bisu dan terus membisu.

Aku pulang ke depok. Sendirian. Hanya bersama malaikat dan syetan. Perumahan sepi. Aku buat jus: jambu dan durian. Juga buat kopi. Malam nanti mau lihat bola. Semi final. Jerman vs Spanyol. Kesepian dan kesendirian ini memagutku penuh seluruh. Andai saja kau ada. Kuajak tadarus dan dialog psiko-hermeneutika. Lalu, main catur dan tertawa. Mencicipi jus buatanku yang paling enak sedunia.

Selamat menjumput pagi. Mencincang kopi. Meremukkan mendoan. Dari senyapnya gubukku di Depok, kuingat dirimu. Seorang kawan. Yang kini entah di mana. Yang pernah bicara bahwa perkawanan adalah ketika suratku datang dari kotaku atau tempat di mana aku bersemayam.

Atau ketika kita saling mendoakan teman yang sakit serta mengenang yang telah pergi. Sepenuh hati. Seikhlas jiwa. Sebening akal pikiran.

Sayangnya, seorang kawan saja kini kutakpunya. Semua kini sibuk bersinetron dunia: tak berkirim surat apalagi berdoa dan mengenang yang tiada. Semua tergesa memburu dunia. Seakan tak ada esok yang tersisa.

Kawan. Telah lama bangsa ini mengkayakan bangsa lain, sambil memiskinkan bangsa sendiri. Telah lama negara ini memuliakan pendatang, sambil melecehkan penduduk asli.

Telah lama warganegara ini menyembah warganegara lain, sambil melecehkan kawan dan teman sendiri.

Maka, kini kita sedang melihat kalimat "a settled home for white and asenk settlers." Kondominium dan reklamasi dijadikan model pemukiman. Tax amnesty dijadikan andalan. Blusukan dijadikan pencitraan. Padahal, semua gombal.

Maka, kini kita sedang menikmati sekolah asing, kurikulum asing, agama asing, bahasa asing, uang asing, etika asing, aturan asing, undang-undang asing dan pelacur-pelacur asing membanjiri seluruh pelosok kebijakan publik.

Ingatan kita akan kedaulatan, punah. Pertemanan kita akan kemerdekaan, absen. Cita-cita kita akan kemandirian, hilang.

Harapan kita akan kemodernan, menguap tak tentu arah. Semua tertelan monoterisme dan ekonometrika.

Tak ada lagi, kurikulum postkolonial yang mengajarkan remembering, revitalizing, rewriting, representing, reindependenting dalam seluruh sejarah kehadiran Indonesia di muka bumi.

Maka kini, betapa sedih melihat kawan Joko Widodo menerjemahkan kekuasaannya menjadi, "democracy Indonesia is government off the people, buy the people and force the people."

Inilah mengapa Joko Widodo yakin kebebasan demokrasi harus dimaknai sebagai pelumas bagi "ketidakadilan semesta" demi memastikan kesenjangan akut dengan satu model pembangunan: mengusir si miskin, bukan menggusur kemiskinan; mengampuni para koruptor besar, bukan menggantungnya; menjual cepat aset negara, bukan mengembangkannya; menyetor cepat modal utangnya, bukan menasionalisasi; termangu dalam utang-utang baru, bukan efesiensi dan rekapitalisasi.

Jagad Dewa Batara, maafkan hamba. Kusadari akhirnya kerapuhan imanku. Telah membawa jiwa dan ragaku. Ke dalam dunia yang tak tentu arah. Kusadari akhirnya. Kau tiada duanya. Tempat memohon beraneka pinta. Tempat berlindung dari segala mara bahaya.

Oh Tuhan, mohon ampun. Atas dosa dan salah selama ini. Aku tak menjalankan perintah-Mu. Tak perdulikan nama-Mu. Tenggelam melupakan diri-Mu. Oh Tuhan mohon ampun. Atas dosa dan alpa. Sempatkanlah aku bertobat. Hidup di jalan-Mu. Tuk penuhi kewajibanku. Sebelum tutup usia. Kembali pada-Mu.

Pramoedya menitipkan pesan, "Yudhie, jadilah manusia yang memusuhi ketidakadilan, penindasan, kebodohan, kemalasan dan penjajahan." Jawabku, "Baik guru. Akan selalu kujalankan."

Karena itu di tengah defisit asa, aku kini baru bisa berbagi beasiswa, kegiatan dan buku (sambil membariskan pasukan merebut kuasa dari neoliberal) di www.nusantaracentre.org

Tuhan, bimbing kami dalam revolusi!

***