Kawan-kawan yang baik. Sudah lama dalam bernegara, kita mengalami kekalahan dalam perang kecerdasan. Tak banyak yang tahu. Hanya orang-orang tertentu yang mengerti dan menyadarinya. Bahwa mempertahankan kekayaan negeri penjajah adalah merubah model penjajahan. Salah satunya, para penjajah itu menciptakan krisis berulang. Saya sudah tulis protokol krisis negara buat warisan. Ini penting agar saya mati tak menjadi arwah penasaran. Sebab sudah kuwariskan pengetahuan terdalam guna mengatasi pertempuran kejeniusan.

 


Kemranjen~
Pada akhirnya bukan masa depan. Pada hilirnya hanya tempe mendoan. Kita tak saling berpura-pura. Sesal setelah tua. Kenapa saat itu kita saling curi pandang dan membuat prestasi yang tak ada hubungannya dengan Indonesia? Demi waktu tak terukur angka. Seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri. Ditelan deru desa. Kini kau telah pergi tak kembali. Namun desamu hadirkan senyummu abadi. Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi. Setelah tawaf dan sai. Bila hati mulai gemuruh berdoa sepi tanpa terobati. Sambil sebal pada nasib yang dikangkangi.

Banyumas~
Melihat mereka yang hidup demi gaji semata. Atas nama tuhan. Atas nama masa depan. Tak ada kemuliaan karena tidak memuliakan inovasi dan industri. Tak ada jalan dan festival yang layak dirayakan. Tuhan, aku tak ingin hidup seribu tahun seperti penyair itu. Sekali mati. Sebab takut bercinta, revolusi saja. Bukan lek mad. Bukan lek karno. Mereka bedua bapak para revolusi nyambi bercinta. Jemarimu begitu lentik. Senyummu melirik. Kan kusebut namamu dalam tiap jengkal perlawananku. Bermilyar kawan datang dan pergi. Engkau tetap di hati. Sambil membenci begundal yang terus menang. Di republik ini.

Gontor~
Nalarnya tunduk pada hapalan. Dan, sesungguhnya itulah sebodoh-bodoh masa depan. Karnaval masa yang purba. Perayaan kesia-siaan. Hidup segan mati bosan. Tolong ambilkan bulan, saat kalian suka kopi susu. Tak ketemu. Inilah ontologi minus epistemologi. Sejarah tanpa kreasi. Hanya angka-angka dan kode buntut. Walau tak ada kemenangan, gita cita tetap diperdendangkan. Pesantren-pesantren kita yang purba, adalah peradaban gigantik dan tua di muka bumi yang menyebut dirinya dengan syorga: santri yang ditaburi ustad-ustad membentuk kejahiliyahan semesta. Ialah ibu dari mula pendidikan besar nusantara. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya.

Jogjakarta~
Antara mesir dan jogjakarta. Aku jatuh cinta. Soal sekolah yang tumpah. Merana bertepuk sebelah. Mirip kisah cinta tiga malam yang kuingat selamanya. Kini seakan mimpi yang buruk. Sepi dalam kesunyian. Bodoh dalam kebodohan. Kualami setiap hari. Kisah yang sudah tiada lagi. Tertelan sejarah perlawanan 98. Ya. Tinggal memori membawa kebusukan kembali. Adakah waktu tersisa. Menjaga kita tetap sekapal perlawanan.

Kini. Problem itu bergelombang datang. Kemiskinan membuat wajah seseorang lebih tua dari yang sebenarnya. Kebodohan membuat nasib manusia lebih jahat dari yang sewajarnya. Kerinduan membuat kita lebih pucat dari keseharian jadwal biasa.

Mengingatmu adalah mengingat sajak Chairil Anwar berjudul Senja Di Pelabuhan Kecil (1946). "Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal makanan.

Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap."

Kini adakah debu saung yang ingin kalian ceritakan? Atau hanya ada jalan buntu. Aku dan kita masih menunggu.

Purwokerto~
Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia. Yah. Kini mereka sedang bahagia saat aku terluka; terjatuh dan sulit bangkit lagi; tenggelam dan tergopoh menelan air setelan-telannya; mabuk agama.

Tentu. Saat terindah adalah saat menjilatimu. Begitu laparnya, akupun terbuai. Sebenarnya aku berharap memiliki dirimu selamanya. Segenap hatiku luluh lantak. Mengiringi dukaku yang kehilangan dirimu. Jatuh di lereng Merapi. Malam itu. Saat purnama hampir sempurna.

Semarang~
Peradaban dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah bentuknya. Lalu, mati. Ditendang harga diri. Beginilah keadaan diriku. Semangat membara. Tetapi, ini aku yang bukan aku. Hanya aku yang menyejarah lumrah. Dengan hitam legam kulit punggung dan nasibku.

Masih mungkinkah pintu hatimu kunikmati. Dengan hati yang pernah kuremukkan. Dengan niat yang pernah kuabsenkan. Sungguh aku tak mampu untuk menikmati kepedihan hatiku. Terlebih merelakan kematianmu. Ingin kuyakini cinta tak berakhir. Namun takdir menuliskan hidupmu harus berakhir. Maka, segenap hatiku luluh lantak. Mengiringi dukaku kehilangan dirimu. Aku tak sanggup merelakan kepergianmu. Selamanya.

Jakarta~
Sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi. Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama. Tetapi, melalui revolusi nalar, selama masih ada lautan yang bisa dilayari; selama masih ada kewarasan agensi; selama masih ada tanah yang bisa ditanami; selama masih ada nilai-nilai yang bisa disemai, selama itu pula masih ada cinta dan harapan. Sebuah harapan dan cita-cita untuk menjadi bangsa berdaulat total: merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

Kita harus meretas jalan kedaulatan. Hal yang lama dilupakan para begundal lokal hasil proxy penjajah internasional. Tapi dengan siapa saat sekutu tak ada, adalah pertanyaan abadi yang tidak tak terpecahkan hingga kini.

Depok~
Tumbuh. Dalam. Bercabang. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya. Kadang, kepadamu yang mungkin mencintaiku perlu ditulis. Ada yang tak termanai kutengarai. Ada yang tak sanggup kupahami. Ada yang tak terucap dalam hari-hari. Dan semua adalah tentangmu, kekasihku. Selamat berusaha menjaga hati. Selamat berusaha menjadi istri. Selamat berusaha menjadi ibu. Tetaplah semangat menjadi kekasih, istri dan ibu yang terbaik bagi kami dan keluarga kita.

Carolina~
S3. Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan. Begitulah keadaannya semilyar tahun lalu. Pilu. Keriting berlumur debu. Penuh luka najis dan bau got. Berlari dan berdiri gemetar depan kampus. Gentar. Seingatku, tidak ada hal lain yang terjadi. Hanya menunggu pergantian takdir berlaku saat semua lepas berlalu. Yang lama hampir mati; yang baru tak kunjung menjelma.

Makkah-Madinah~
Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. Jejak kakimu bersimpuh di kota tua dan purba dengan gigil dan jijik tak berkesudahan. Aku muak padamu; denganmu; bersamamu: tuhan, hantu dan hutan.

Indonesia~
Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi.

Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama vegundal, kini mereka ingin dipanggil yang mulia.

Cileduk~
Jika kami bersyukur atas cinta dengan pesta kecil dan membagi cindera mata berupa buku, adakah kalian sudi datang? Merdeka, setengahnya saja. Nasib tua yang tak tidak terbayangkan. Dikejar prestasi, menumpuk kampus dan menternak mata ajar nusantara.

Pasti aku tidak sempurna. Tetapi hatiku memilikimu sepanjang umurku. Mungkin aku tak bisa memiliki. Dirimu seumur hidupku. Sebab dirimu tak mencintai puisi dan buku.

Di Hati Kekasih~
Hadis paling lucu saat belajar islamic studies sejak dari Gontor sampai Mamarika adalah yang berbunyi, "doa kaum tertindas dan kaum miskin itu terkabulkan." [Abu Hurairah berkata, rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya (HR Abu Daud dan al-Tirmizi)].

Lah piye? Kalau makbul berarti gak ada orang tertindas dan gak ada orang miskin lagi dunk. Sebab orang tertindas berdoa agar merdeka dan orang miskin berdoa agar kaya.

Nyatanya kaum tertindas dan kaum miskin tetap banyak terutama di ngindonesia.

Jadi, jika ada fatwa bahwa setiap doa dikabulkan tuhan (di dunia), jelas itu ilusi kaum jahiliyah purba.

***

 

Krisis makin dalam dan perih di rasa. Negara ini belum terlihat menemukan resep mengatasinya. Berbagai cara sudah dicoba. Agensi juga silih diganti. Tetapi yang terasakan justru makin menjadi-jadi. Mungkinkah karena itu "cara lama dan pemain lama"? Publik bisa menilainya. Kita bisa berduskusi cara hadapinya.

10 konglomerasi kuasai 75,3% total kekayaan kaum miskin. Kini, kita adalah negara ke-3 tertimpang di dunia setelah Rusia dan Thailand. Luar biasa.

Di komunitas Kampus Nusantara, kami mencoba cara baru dan agensi baru dengan sejuta simulasi. Sebab mengatasi krisis multidimensi adalah menggunakan meta-ilmu dan meta-nalar yang meraksasa. Tanpa itu kita akan berhenti dan jalan di tempat.




Ia bernama Arupaliasentosa. Tak ada yang sempurna. Walau wajahnya bintang lima. Mungkin karena ia sedang cantik-cantiknya. Mengalahkan bejana pualam milik raja.

Bibirnya melafalkan asma. Hatinya bersalawat badar. Jilbabnya bercadar. Lalu, mataku merasa malu jika mengingatnya. Sebab mengingatnya adalah mengetik pengkhianatan terbesar manusia di jagat raya.

Ini soal hati. Antara kota Jogja dan desa Kecila. Semakin dalam ia pergi, kali ini sejauh altar Venus dan Neptunus. Khianati janji syorga yang tidak tak termanai. Melupakan lafal dan sumpah serapah. Mendelet angka dan tulisan. Melepeh ikrar.

Maka, kadang juga ia berseri ceria. Senyum-senyum sendiri. Mengkhianati kekasih hatinya. Juga tatkala harus berpapasan malaikat di tengah pelariannya. Hey, kalian lugu dan lucu sebab berhasil kutipu, katanya gembira.

Tangannya memegang tasbih. Senin kamis ia menghapal kitab suci. Tapi kedok hidup menjadi watak utama. Pada akhirnya yang subtansi selalu terbuka di akhir sesi. Dan, hidup tak segera berakhir.

Dalam sepimu. Kini. Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala purnama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati.

Kusebut namamu. Kudzikirkan nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya mungkin kini tak melambai. Sungainya mungkin kini kering kerontang. Cintamu mungkin kini tanpa pantai. Apa yang sedang engkau rasakan dan hadirkan di terik siang?

Kurindukan senyum-guyon itu, sangat.



Aku terhenyak mendengar pernyataan seseorang yang katanya tokoh Agama (tak ingin ku sebutkan namanya dalam tulisan ini) berkata dalam narasinya yang meluap-luap: "jika bukan karena orang Arab, dia (nama seseorang yang juga tak ingin ku sebutkan di sini) mungkin masih menyembah pohon!".


"Alamak, jadi moyang ku di Nusantara sebelum kedatangan orang Arab (dengan agamanya itu) adalah para penyembah pohon?" pikir ku. “Benarkah demikian?”

Lalu aku mencoba membuka lembaran buku-buku sejarah yang ada ditumpukan lemari buku milik ku. Ku baca baik-baik semua hal yang tercatat dalam timeline Nusantara sebelum tahun-tahun dimana penganut agama dari Arab mendominasi Nusantara pada akhir tahun 1500M.

Lalu aku catat beberapa kenyataan tentang Nusantaraku ...

Ternyata, dari beberapa sumber sejarah, kepercayaan Hindu masuk ke Indonesia untuk pertama kalinya sekitar abad ke-15 SM. Dan sejak tahun 200 SM, Kerajaan Hindu Dwipa Jawa diperkirakan eksis di Jawa dan Sumatra. Aku bisa saja menuliskan daftar kerajaan-kerajaan besar bercorak Hindu yang pernah eksis di Nusantara, namun karena pertimbangan efisiensi waktu (agar para pembaca tak perlu berlama-lama membaca tulisan ini) maka ku putuskan tak menulisakannya disini. Dan dari banyaknya sumber literasi yang ku baca, kenyataannya umat Hindu tidak pernah menyembah pohon. Tak ada satupun literasi tentang umat Hindu, juga umat Budha, yang menuliskan tentang ritual umat Hindu Budha yang menyembah pohon.

Kembali pada kajian tentang masyarakat Nusantara, baik Pulau Jawa dan Sumatra sejak jauh-jauh hari sebelum Masehi telah sangat dipengaruhi budaya yang besar dari sub benua India selama milenium pertama dan kedua Masehi. Baik agama Hindu dan juga Buddha berbagi latar belakang sejarah yang sama dan keanggotaannya kala itu bahkan tumpang tindih di saat yang sama (seseorang dapat bersamaan memeluk agama Buddha dan juga Hindu), secara luas disebarkan di Asia Tenggara Maritim.

 

Agama Hindu dan bahasa Sanskerta sebagai bahasa penyebarnya, menjadi sangat bergengsi di Jawa. Banyak candi Hindu yang dibangun, termasuk Prambanan di dekat Kota Yogyakarta, yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia; dan kerajaan Hindu berkembang sangat hebat nan masyur, yang paling signifikan adalah Kerajaan Majapahit.

 

Pada abad ke-6 dan abad ke-7 banyak kerajaan maritim muncul di Sumatra dan Jawa yang menguasai perairan di Selat Malaka dan berkembang seiring meningkatnya perdagangan laut antara Tiongkok dan Hindustan dan selewatnya. Selama saat ini, cendekiawan-cendekiawan dari Hindustan dan Tiongkok mengunjungi kerajaan-kerajaan tersebut untuk menerjemahkan teks-teks sastra dan agama. Bayangkan Nusantara telah menjadi pusat kajian sastra dan agama, para cendekiawan masa itu datang dari India dan Tiongkok ke Nusantara.

 

Di antara kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yang paling dianggap penting adalah Majapahit, yang merupakan kerajaan terbesar dan kerajaan Hindu terakhir yang signifikan dalam sejarah Indonesia. Majapahit berpusat di Jawa Timur, memerintah sebagian besar dari apa yang sekarang merupakan Indonesia modern dari sana. 

 

Tentang kebesaran Majapahit ini, seorang Pastur dari Eropa bernama ODORICO yang berkesempatan mampir dalam perjalanan misinya di tanah Jawa, menuliskan tentang WILWATIKTA yang dikunjungi dan dilihatnya sendiri pada tahun 1322, saat Raja Jayanegara bertahta; “Maharaja di pulau ini (Jawa) mempunyai banyak istana yang mengagumkan. Karena saking besarnya, anak tangga atau undak-undaknya pun besar, luas dan tinggi. Bahkan anak tangganya diselang seling dengan emas dan perak. Bahkan jalanan atau trotoar disusun menggunakan satu ubin emas dan satu ubin perak yang berselang-seling. Demikian pula dengan dinding istananya, berlapis emas. Di bagian luarnya banyak ukiran-ukiran ksatria-ksatria dari emas. Banyak dari kepala patung ksatria tersebut dikelilingi lingkaran-lingkaran emas seperti orang-orang suci (Santo). Sangat menakjubkan karena seluruh lingkaran-lingkaran tersebut ditaburi permata. Selain itu, langit-langit istana dibuat dari emas murni. Singkatnya tempat ini lebih kaya dan lebih mewah dari tempat manapun di dunia saat ini".

Dari pernyataan Pastur tersebut dapat dibayangkan betapa mewah istana dan juga jalanan yang ada disana ketika itu.

Kehebatan Majapahit ditorehkan pula dalam Kakawin Jawa Kuno Negarakretagama, yang ditulis pada tahun 1365 oleh Mpu Prapanca. Jika kita mau membaca dan mempelajari isinya, ini adalah catatan tentang negara besar yang pernah ada di Nusantara, dan negara besar yang ditulis didalamnya itu adalah MAJAPAHIT.

Kebesaran Majapahit itu kemudian mulai runtuh pada tahun 1478 oleh konflik internal; perebutan tahta, perang saudara dan ketiadaan penerus yang mumpuni. Konflik internal tersebut ditambah oleh mulai menguatnya pengaruh Islam di Nusantara.

Sisa-sisa kerajaan Majapahit bergeser ke Bali pada abad ke-16 setelah Majaphit benar-benar dihancurkan oleh negara-negara Islam di wilayah pesisir Jawa.

Akhir dari semua yang ku baca, kesimpulan bermuara pada kesadaran bahwa moyangku adalah history maker. Mereka telah menuliskan sejarahnya pada artefak-artefak besar yang tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh hujan. Candi-candi Megah yang ada di Nusantara adalah warisan moyang ku yang hebat, maju dan keren.. bangunan-bangunan itu telah menjadi situs warisan dunia.. Sejarah tentang Nusantara yang pernah besar dan megah. Nusantara, sebelum hadirnya orang Arab atau dibawah dominasi pengaruh Islam, penduduknya BUKAN PENYEMBAH POHON !

 


Kawan, Hidup kita adalah bagaimana menikmati dan belajar memecahkan masalah di sela-sela pengkhianatan.

Kasih, Hidup kita adalah bagaimana belajar dan senyum terus untuk menari di saat hujan badai menjadi-jadi.

Teman, Hidup kita adalah bagaimana terus melawan di tengah elit pemerintah dan negara yang khianat pada konstitusi.

Tuan Saafroedin Bahar bertanya, "mengapa kehidupan kita berbangsa dan bernegara terasa semakin runyam? Karena bangsa dan negara ini dirancang dan diperjuangkan oleh kaum idealis dan negarawan yang mempunyai wawasan filsafat yang bersifat mendasar dan berjangka panjang; tetapi direformasi oleh para politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam."


Kita lahir di wilayah pertanian. Tapi tak satu mata ajarpun soal tani kita dapatkan. Kita hidup di antara gunung dan lautan. Tapi tak satu kurikulumpun soal maritim kita bahas dan kunyah-kunyah.

Tiap hari kita kedatangan tamu bernama bencana alam. Tapi tak satupun pengetahuan bagaimana melewatinya kita baca. Semua pelajaran kita tak ketemu argumennya sehingga tak akan menolong menjadi warganegara yang tangguh dan unggul.

Pendidikan kita membuat pandangan hidup yang lucu walau berasal dari buku. Bacaan yang tidak dari kehidupan. Ilmu yang tidak terlatih dalam metode. Sebab hanya penuh hafalan, ulangan dan kesimpulan.

Produk pendidikan kita kini hanya dua: begundal sekuler dan begundal agamis. Fundamentalis sekuler sibuk ngemis uang ke "yang lain" sedangkang fundamentalis agamis (ontanis) bersimpuh ngemis uang ke Tuhan.

Keduanya kurang piknik karena begitu miskin sehingga kerjanya saling memfitnah. Lihat saja, kini keduanya sibuk soal "ucapan selamat natal, kopar-kapir, radikal-radikul, intoleran, cungkring dan hitam jidat."

Ternyata, kita semua hanya terlatih sebagai pemakai. Kita kini kurang latihan bebas berkarya. Tak banyak terobosan kita coba ujikan. Pendidikan kita telah memisahkan nasib dan takdir dari kehidupan sesungguhnya. Pendidikan jadi lahan pembodohan dan bisnis ecek-ecek tanpa dentuman.

Budayawan besar WS Rendra (1989) bertanya, "Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalanya." Tentu ini gugatan serius di tengah banyak produk sekolah kita gagal bekerja apalagi mencipta pekerjaan.

Disfungsi bahkan malpraktek ini perlu segera dicari solusinya. Oleh kita semua. Atas beberapa masalah tersebut, kita memandang perlu mengusulkan rasionalisasi kurikulum dengan mengajukan konsep Trimatra (Etika, Logika, Kebangsaan) pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Sehingga kurikulum inti di Indonesia adalah etika-logika-kebangsaan. Sedang mata ajar yang lain hanya instrumental dan penguat kurikulum inti.