MEMAKMURKAN BANGSA - Yudhie Haryono


Tak ada bangsa berniat paria. Tak ada negara bermimpi menderita. Tak ada manusia memuja lara. Sebaliknya, tiap-tiap bangsa, negara dan manusia memimpikan dan berusaha merealisasikan hidup sejahtera; makmur jiwa raganya, selamanya.

Dus, bangsa makmur, negara kemakmuran dan manusia sejahtera merupakan kondisi ideal. Ia dikonsepsikan sebagai kondisi purna sempurna. Bangsa dan negara bertindak sebagai penjamin bagi seluruh warganya untuk mendapatkan kebutuhan-kebutuhan dasar hidup mereka. Baik kebutuhan jasmani, rukhani, duniawi dan ukhrawi (intelektual, kapital, spiritual dan relasional).

Dengan pemenuhan kebutuhan dasar tersebut, warga negara diharapkan bisa hidup sehat, bahagia, toleran dan memiliki kemampuan melakukan gotong-royong dan fungsi sosial lainnya. Mereka yang lemah, cacat dan kekurangan akan mendapatkan perlindungan dari negara. Mereka tidak akan menjadi korban dari orang-orang yang jahat (oligarki predatorik).

Bangsa makmur dengan demikian bertugas memproduksi warga cerdas dan kritis. Tetapi, di atas segalanya, kritisisme lahir kokoh jika apa yang ia makan adalah makanan halal. "You are what you eat" kata para filusuf. Jika suara-suara kritis hilang, ada baiknya kita cek, makanan apa yang telah mereka telan. Jika seseorang sejak awal diam dan membebek apalagi menjilat, besar kemungkinan makanan haram telah lama ia telan dari orang tuanya, bahkan sejak dari perut ibunya.

Indonesia. Tanpa warga cerdas dan kritis, Aku selalu tergagap dengan sapamu. Hadirmu menjarah masa depanku. Jiwamu menghapus ejaan masa laluku. Akalmu melambatkan waktu kiniku. Tapi, ingin kufatwakan padamu bahwa betapa jahil menikmati keadaanmu kini dengan orang yang menyakitimu di semua tempat dan keadaan yang lapuk membatu: para fundamentalis, fasis dan begundalis.

Indonesia yang belum makmur. Aku menyanyi untukmu. Lagu karya Gesang berjudul Jembatan Merah. Dengan syahdu dan tak merdu.

Jembatan merah/Sungguh indah/Berpagar gedung megah/Sepanjang hari yang melintasi/Silih berganti/Mengenang susah hati patah/Ingat jaman berpisah/Kekasih pergi sehingga kini/Belum kembali/Biar jembatan merah/Seandainya patah/Akupun bersumpah/Akan kunanti dia di sini/Bertemu lagi.

Indonesia harus makmur. Indonesia wajib sejahtera. Dengan rakyat yang beradab dan sentosa. Kini. Jika belum makmur, maka rindu apa lagi yang kalian dustakan. Cinta apa lagi yang kalian sembunyikan.

Bukankah sudah kuketik dalam buku-buku bahwa sebaik-baik bangsaku adalah yang bersyukur atas cinta dan rindu yang kupraktekan. Dan, sejahil-jahil negaraku adalah yang mengingkarinya dengan hidup bersama tanpa cinta dan rindu dalam hidupnya: tanpa gotong-royong. Serta, seburuk-buruk warga negara adalah ia yang tak berjihad memakmurkan bangsanya.

Mengapa mereka jahil dan buruk takdir? Adalah karena keringat di Indonesia hanya dinilai "cuma" seharga piagam yang dipigura. Inilah sebab utama para warga kita berkhianat membela pengkhianat. Rakyat dan warga independen yang kritis menjadi defisit. Kitalah yang telah membunuhnya. Kitalah kini korban dari lingkungan yang kita ciptakan.

***

0 comments:

Post a Comment