Anak kecil usia enam tahun, menunjuk dengan bangga dua gigi ompongnya yang lucu.
Enam puluh enam tahun berikutnya, ia tak mampu lagi bangga. (Buku Kumpulan Puisi- Lumut-2017)

Lumut-lumut tak sengaja tumbuh di lorong waktu sepi penghuni
Isyarat hati yang digantungkan pada kita

Lumut ditertawakan langit
Seolah pertemuan Niks dan Hemera
Singkat dipergantian siang dan malam

Lumut barangkali kita, tak dianggap barangkali ia.
Tapi, rindu menyusup diam-diam

Manisnya melekat pada lembar daun siap dipanggang matahari
Detak waktu bergegas mengingatkan rumah-rumah dengan pintu terbuka memanggil kita, begitu juga Tuhan

Walau matahari menjadikan kita sehebat-hebatnya
Tapi tempat kita hampa
Sepakat menghapus jejak, meletakkan hati jauh, menguap di udara
Pada lorong sepi tanpa cahaya
Kemudian ditenggelamkan oleh waktu

(Buku Kumpulan Puisi- Lumut- 2017)

***

Terus piye. Ngene tok akhire: kere. Maka, larut aku. Selarut larutnya. Tak tahu lagi harus bagaimana. Menapaki pancasila. Memijati indonesia. Menyelia riset-riset lapangan dan pustaka. Dalam kesendirian. Maka, saat kamu alpa. Tak terdengar lagi ceriwismu. Saat aku menyadari kau tak suka ilmu dan puisi. Tiada lagi dirimu dan pancasila kini.

Sampai kapankah. Indonesia begini. Kamu begitu. Hingga aku mampu bertahan hidup di sekitar kegilaan-kegilaan ini. Tak bersisa di lapis tertatih aku jalani. Semua kisah hidup dan revolusi yang mati muda. Maukah kalian mati miskin bersama? Seperti cita-cita elite yang kini berkuasa.

Tentu, ia terbuka tafsirnya. Tentu, ia akumulasi. Tentu, ia refleksi dan proyeksi dari warga pembacanya. Ia living ideologis yg menyejarah. Melupakan dan mencampakkannya adalah dusta peradaban: dosa terbesar sebagai negara. Bagaimana kita harus memperlakukan pancasila? Begini kisahnya.

Pancasila membentuk mental konstitusional yaitu tabiat, model adekuat dan sistem keyakinan serta kebiasaan yang mengarahkan tindakan sebuah negara dalam memenuhi cita-cita warganya.

Karena itu, jika pengetahuan mengenai mental konstitusional dapat diketahui, dipelajari dan ditradisikan maka dapat diketahui pula bagaimana negara tersebut akan bersikap untuk mengatasi ancaman, gangguan, hambatan serta tantangan yang hadir di masa kini dan zaman kemudian.

Di sini diperlukan revolusi mental jika warisan dan mental yang ada hanya yang destruktif dan khianat seperti hari-hari lalu.

Tetapi, "karena ini perang semesta maka ideologi kita bukan bagian dari penjajah. Sebaliknya ideologi ini antitesa dari yang ada (kapitalisme dan etatisme) agar kita selalu merdeka," kata Soekarno suatu kali. Id yang melawan, memerdekakan dan membebaskan. Dus, revolusi ini memberikan umat manusia secerah harapan, keyakinan dan kepercayaan akan hadirnya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama dan untuk semua.

Inilah jalan kemanusiaan yang mengarah pada kesederajatan, kemandirian, persaudaraan, kemodernan dan kemartabatifan. Lima cita dalam lima jalan. "Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri, tumbuh dan bersemilah sesuatu yang lain, yang sesuai, yang lebih cocok, yang kami namai Pancasila. Satu ideologi bernegara yang khas dan kulminatif dari ide dan gagasan besar di masa lalu, kini dan mendatang di seluruh dunia," demikian Hatta bicara suatu kali.

Satu ideologi hibrida karena menyatukan gagasan dan tindakan dalam berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi dan berkeadilan yang dikerjakan dengan melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan (untuk, oleh dan dari semua warganegara indonesia).

Inilah leitstar statis sekaligus leitstar dinamis yang akan menancapkan kesemesta peradaban Indonesia. Ia akan menjadi philosophy, weltanschauung, hudan, norma dasar yang integralis karena mengatasi partikularitas paham individualistik (liberalisme), golongan (SARA-tribalisme-fundamentalisme) serta komunalis (komunisme). Dengan begitu, Pancasila yang kita maksud adalah Declaration of Independence plus keadilan sosial dan Manifesto Communist plus ketuhanan yang esa.

Pancasila menghibridasi Barat dan Timur bahkan kapitalis dan komunis karena merupakan hogere optrekking (kenaikan kapasitas subtantif) yang memiliki lima kaki: spiritualis, intelektualis, kapitalis, sosialis, humanitas. Di dalamnya ada hasrat keyakinan, kepengetahuan dan kebertindakan secara serempak. Dunia barat berhutang dari Pancasila karena mencuplik sebagian untuk membangun negaranya. Pada sisi lain, kebanyakan kita lupa dan mengkhianatinya.

Hibridasi ini terkait pada sosio-religius, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ia berpijak pada tiga poros: theo-antro-eco centris (periketuhanan, perikemanusiaan dan perilingkungan yg resiprokal kritis). Dus, ia tidak khas dan genuin dari Indonesia pada awalnya melainkan hasil persemaian yang panjang sebagau taman saripatinya dunia. Sebagai taman dunia, apakah yang tak ada di Indonesia? Sebab segala sesuatu yang ada di dunia dapat ditemukan di sini.

Kita tahu, ideologi adalah ide atau gagasan waras nalar cerdas. Kata ini diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide." Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara pandang subtantif (weltanschauung) atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas dominan pada seluruh masyarakatnya. Tujuan utamanya adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.

Ideologi merupakan sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah publik sehingga menjadi inti politik-publik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.

Sedang hibrida adalah hasil persilangan (hibridisasi atau pembastaran) antara banyak sesuatu dengan genotipe awal yang berbeda. Hibrida, bastaran dan blasteran dengan demikian adalah pertemuan banyak peradaban yang menghasilkan satu barang/ilmu/sifat/sikap/spesies baru dengan ciri-ciri yang sama sekali baru. Mirip sambal. Ia awalnya kumpulan sesuatu yang membentuk barang baru setelah diblendid atau diulek.

Jika menilik isi subtansi Pancasila maka kini kita paham bahwa ia produk hibridasi (adonan) dari berbagai pikiran besar yang dikerjakan oleh nalar besar, cerdas dan dahsyat. Dari cara kerja ini mestinya melahirkan "mental, nalar dan konstitusi" dahsyat: peradaban atlantik yabg gigantik. Indonesia yang Raya.

Jika belum, ada baiknya kita berefleksi kembali untuk menentukkan proyeksi yang benar dan pener. Inilah tugas semesta kita. Sebab krisis yang kita hadapi tak cukup diobati pakai obat penahan rasa sakit atau minyak angin yang tambal sulam. Wajib menghadirkan revolusi pancasila sebagai diagnosa komprehensif sekaligus operasi besar demi sehatnya bangsa dan negara. Pahit dan perih dirasa tapi menyembuhkan. Kaliankah orang-orang itu? Yang mewakafkan diri demi nilai-nilai idealistik.

So, ini hal penting. Yaitu kelanjutan dari id pancasila. Ialah gagasan ekonomi pancasila. Memang soal lama tapi urgen. Kusampaikan kembali tanpa menggurui: jangan mengulang kembali kesalahan-kesalahan rezim Orba dan Neo-orba yang membuat pondasi liberalisme dan neoliberalisme. Rezim yang menyembah pasar penghasil dependensia (ketergantungan) dan ketimpangan (tidak mandiri).

Teori ekonomi dependensia pertama kali dicetuskan Paul Baran. Dalam buku On The Political Economy Of Backwardness (1952), Baran menjelaskan berbagai faktor penyebab keterbelakangan ekonomi di negara postkolonial, terutama di Amerika Latin. Dengan memusatkan perhatian pada hubungan kelas antara rakyat, elit internal dan investor asing, Baran melihat adanya kontradiksi antara imperialisme, proses industrialisasi dan ekonomi pembangunan umum di negara postkolonial tersebut.

Baran mengakui bahwa investasi yang dilakukan perusahaan multinasional dari negara penjajah (MNC) di negara terjajah di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan nasional, namun di sisi lain peningkatan pendapatan di negara postkolonial tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat miskin tersebut karena tingginya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Keuntungan yang dihasilkan oleh investasi perusahaan multinasional melalui eksploitasi sumber daya alam dan manusia (SDA&SDM) di negara postkolonial tidak dinikmati secara merata. Keuntungan ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik saja.

Baran menyimpulkan bahwa pada dasarnya "investasi asing tidak meningkatkan kesejahteraan negara postkolonial." Yang terjadi hanya perubahan kebiasaan sosial rakyat miskin serta perubahan orientasi dari kecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri menjadi orientasi produksi untuk memenuhi pasar luar negeri.

Dus, liberalisme dan kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin, tetapi sangat berhasil menstabilisasi semua ketimpangan ekonomi dan sosial yang melekat dalam sistem kapitalis negara postkolonial.

Akibat tanpa pancasila, kita butuh satu orang jujur, tapi Indonesia memberi sepuluh orang munafik. Kita butuh sepuluh orang pemberani, tapi Indonesia memberi seratus orang penakut. Kita butuh seratus orang cerdas, tapi Indonesia memberi sejuta orang jahil. Kita butuh sejuta orang pemimpin, tapi Indonesia memberi semilyar penipu.

Rasanya hidup di indonesia kini yang ada hanya jiwa munafik, penakut, jahil dan penipu yg bangga dengan karakter-karakter buruk rupa. Apesnya mereka kini penghuni istana. Kerjanya kini ukur, gadai dan jual tanah di mana-mana. Tak peduli pikiran dan perasaan warganegara.

Sesungguhnya tanpa pancasila, para politisi kita (anggota dpr/d, presiden dan menteri, aktifis parpol) tidak bikin apa-apa. Juga tidak membangun apa-apa. Mereka hanya sales (tukang jualan). Itupun dengan model berjudi: kalah dan rakus. Dipertaruhkannya semua harta kita, dinikmatinya semua keuntungannya. Tapi kalau bangkrut, kita semua yang menanggungnya.

Terlalu lama kita membayar mereka mahal hanya untuk memperjudikan semua yang kita punya. Merekalah kumpulan manusia yang berjanji menanam pohon di atas jalan tol dan membangun gereja di perkampungan kaum Budha. Merekalah serigala Indonesia.

Kini, mari kita bersumpah kembali atas nama Pancasila dan rakyat miskin untuk merubah struktur ekopolsusbudhankam warisan rezim begundal dan pesolek. Agar semua, ya semua sejahtera dan berkeadilan.

***

Ini bulan Januari. Bulan awal tahun. Bulan yang baik untuk melakukan denunsiasi dan anunsiasi (refleksi dan proyeksi) atas lima problema akut warisan kolonial:

  1. Darurat politik--karena sangat liberal
  2. Darurat ekonomi--karena sangat neoliberal
  3. Darurat kebudayaan--karena sangat amoral
  4. Darurat agensi--karena individualis dan fasis
  5. Darurat agama--karena sangat fundamentalis.

Kelima darurat itu menghasilkan arsitektur ekopol kleptokrasi yang predatorian. Bagaimana kita melampaui keduanya? Dalam konteks postkolonial, adalah dengan menajamkan gagasan ekonom-politik strukturalis.

Apa itu ekonom strukturalis? Mari kita jeli mencandranya satu-satu dan pelan. Perlu kesabaran dan kejeniusan kebangsaan.

Gagasan ekonomi strukturalis adalah paham yang menolak ketimpangan-ketimpangan struktural sebagai sumber ketidakadilan sosial-ekonomi.

Paham ini mengungkapkan dan mengusut ketimpangan-ketimpangan struktural yang berkaitan dengan pemusatan peguasaan dan kepemilikan aset ekonomi, ketimpangan distribusi pendapatan, produktivitas dan kesempatan ekonomi.

Karena itu kaum strukturalisme menolak mekanisme pasar-bebas, karena secara inheren menumbuhkan ketidakadilan sosial ekonomi-politik dan melahirkan kejahatan kemanusiaan.

Lalu, sistem yang ditawarkan adalah koperasi. Dengan koperasi, kleptokrasi (oligopoli, monopoli dan kolusi) akan habis karena tunduk pada gotong-royong dan nalar bersama serta moralitas publik.

Dalam paradigma revolusi koperasi, yang tak berhingga itu pikiran, bukan Tuhan. Yang tak lekang itu cinta, bukan agama. Yang tak terperi itu dosa, bukan pahala. Yang tak riil itu kemerdekaan, bukan penjajahan. Karena riil, penjajahan harus dilenyapkan dengan ekonomi gotong-royong.

Beberapa ekonomnya adalah: Thurow, Heilbroner, Galbraith, Hans Singer, Paul Baran, Paul M. Sweezy, Joan Robinson, Gunnar Myrdal, Nicholas Kaldor, Dudley Seers, Jan Tinbergen, Irma Adelman, Michael Lipton, Paul Streeten, Amartya Sen, Douglas North, Joseph Stiglitz, Gustav Ranis, Susan George, Frank Ackerman, Andrew Hurrel, Ngaire Woods, J.W Smith, Kaushik Basu, Andre Gunder Frank, Samir Amin, Theotoneo Dos Santos.

Ada juga Hernando de Soto, Ranjit Sao, C.T Kurien, Vandana Shiva, Yudi Haryono, Celso Furtado, Fernando Henrique Cardoso, Raoul Prebisch, Kwame Sundaram, Suthy Prasartset, Renato Constantino, Soekarno, Mohammad Hatta, Mubyarto, Sritua Arief, Sri-Edi Swasono, Dawam Rahardjo, Subiakto Tjakrawerdaja, Revrisond Baswir, Henry Saparini, Dani Setiawan, Rizal Ramli dll.

Mereka memahami ekonomi global tetapi bervisi ekonomi pasar terkelola dan ekonomi nasionalis. Mereka mendukung ekonomi pasar terkelola, tapi ada tujuh hal yang tidak boleh diserahkan kepada pasar, yakni pangan, energi, pendidikan, kesehatan, militer, BUMN dan UKKM.

Karena itu visi-misi mereka adalah implementasi ekonomi konstitusi. Sebab, dalam UUD45 sudah jelas tercantum sistem ekonomi yang harus dianut Indonesia. So, mereka tinggal konsisten mengelaborasi UUD45 itu dalam UU dan peraturan lainnya, dari peraturan pemerintah hingga perda. Singkatnya, misi mereka adalah melawan ekonomi neoliberal.

Mengapa mereka mau membunuh neoliberalisme? Karena warisan neoliberalisme adalah mental dan artefak yang menindas plus menyiksa. Suatu situasi di mana karena dipimpin para pecundang, pada akhirnya "yang berjuang" kalah dengan "yang beruang." Karena dipimpin para pedagang, pada akhirnya "yang cerdas" kalah dengan "yang culas."

Akibatnya, agama tak berpengaruh pada kecerdasan. Gravitasi tak berpengaruh pada kejeniusan. Prestasi tak berpengaruh pada kekayaan. Kehormatan tak berpengaruh pada jabatan. Kitab suci tak berpengaruh pada moral. Menyedihkan bukan?

Reformasi berpuluh tahun sudah, bangsa ini memuja keuangan dan keculasan sambil memusiumkan kejuangan dan kecerdasan. Kini, kita harus pilih: merdeka 100% atau menjadi terkutuk 100%.

***

Secara sederhana, inilah lima hipotesa untuk kebudayaan dan pendidikan kita hari ini.

Hipotesa pertama. Jika kita cermati daftar negara-negara yang paling nyaman-bahagia di dunia, lalu daftar negara-negara paling makmur di dunia maka kuncinya sama: penegakkan hukum (keadilan) dan pengarusutamaan pendidikan untuk kemakmuran dan kenyamanan-kebahagiaan kini plus masa depannya.

Hipotesa kedua. Tetapi tepat di dua soal itulah, jantung persoalan kita. Hukum kita makin tajam ke bawah dan makin tumpul ke atas. Agensi dan kelembagaan hukum kita makin menjauhkan kita dari cita-cita bernegara. Munculnya lembaga KPK, KY dan MK menjadi bukti tak terbantahkan akan kenyataan tersebut.

Hipotesa ketiga. Maka, tak ada jalan lain kecuali bagi kita untuk merevitalisasi para penegak hukum (agensi dan kelembagaannya): polisi, jaksa, hakim, pengacara, KPK, KY, MK via pendidikan yang subtantif, komprehensif dan konstitutif.

Hipotesa keempat. Dus, kita juga perlu merevitalisasi para penanggung jawab pendidikan: guru, ustad, dosen, bikku, romo, pegawai sekolah, kurikulum, lingkungan dll. Artinya, baik agensinya ataupun kelembagaannya agar menghasilkan agensi dan kelembagaan hukum yang kredibel.

Hipotesa kelima. Perlu pertobatan nasional dari pendidikan "lama" yang ditengarai gagal ke pendidikan "baru" agar berhasil via turn around (balik arah) yang menempatkan proklamasi, pencasila dan konstitusi sebagai pondasi dan petunjuk.

Kita perlu revitalisasi model, modul dan modal. Kurikulum geneologi pemikiran dan tindakan para pendiri republik menjadi penting. Dari situ dikembangkan modulasinya. Baru diciptakan modalnya.

Biografi pikiran para pendiri negara ini menjadi sangat penting agar kita bisa punya alat ukur: dari mana, untuk apa dan sampai mana kita bernegara.

Lebih dalam dari itu, kita perlu mempertajam kemenhan agar punya divisi (markas) perang modern yang dipasok unsur polisi, inteljen, epistemik futurolog, dukun dan pakar-pakar simbologi, kriptologi dll. agar kepastian ketahanan dan pertahanan negara ini menyemesta. Dengan begitu, cita-cita nasional kita akan tercapai.

Tanpa usaha turn around, pendidikan kita akan mengkhianati konstitusi dan mencabut warga negara dari kodrat, komunitas dan negaranya.

***


Ketika kita belum mampu mengenal diri kita sendiri. Selama itu pula kita tidak akan pernah mampu sampai, pada puncak kenikamtan-kenikamatan yang abadi. Kata-kata ini seperti tidak asing. Inilah kata-kata yang sering diucapkan oleh sebagian para Filosof dunia salah satunya Socrates.
Dengan demikian, ungkapan; “barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhanya” menjadi perdebatan yang panjang. Salah satunya pertanyaan di muka adalah apakah sebagian dari struktur individu manusia adalah sebagian dari entiti tuhan? Ataukah jangan-jangan manusia adalah satu realita dari zat tunggal di alam semesta? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini berangkat atas keterbingungkan yang dilontarkan ungapan diatas.  Jalaludin Rumi mengatakan, ungkapan itu berbicara tentang jiwa, tapi hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah. Jika kita menafsirkan ungkapan itu dengan jiwa, maka pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk pada jiwa tersebut karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. sebagai contoh, jika kamu memegang sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak sesuatu yang baik, kecil ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu adalah milik benda itu sendiri. kata- kata saja tidak bisa mengungkapakan pemahaman spiritual ini; kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal terhadap pendengarnya.
Sedangkan bagi Nietzsche dengan konsepsi yang terkenal bahkan viral di jagat eropa adalah bahwa “God Is dead”. Artinya “Tuhan Sudah Mati”. Kata-kata ini merupakan kata-kata metafora. Tuhan sudah lama mati dan manusia adalah pembunuhnya. ungkapan yang paling radikal ini mempunyai makna bahwa “sifat ke akuan, egoisme, merasa paling benar, hawa nafsu, banyak keinginan, dan yang bersifat merasa lebih. Menurutnya hal hasil manusia sengaja mematikan Tuhan dan menyembah berhala-berhala dalam diri mereka masing-masing. kesamaan dengan bahasa yang berlainan ini, mungkin kurang lebih sama dengan yang dimaksud oleh Jalaludin Rumi. Bahkan Rumi menyebutnya dengan sebutan “manusia adalah binatang yang berbicara”. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewananya di dunia yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan-harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusian berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kemampuan melihat Tuhan. Kecenderungan yang kedua inilah yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat kehewanan dalam diri manusia membuat pergi dari Tuhan, sementara sifat kemanusiaan dalam diri manusia menjauh dari dunia.
Maka itu kenalilah dirimu? Siapa aku? Siapa dirimu? Apa tujuanmu? Dan Siapa Tuhanku? Jawablah dihatimu dan temukan!
Pada intinya ketika kemauan dan harapan untuk menjadi seperti ini seperti itu. Sejatinya masih bisa disebut belum memahami makna dari kehidupan yang sejati, maka Tuhan tidak akan pernah kita temukan, dan solat hanya jadi gerakan olahraga bukan sebagai maknaan spiritual untuk menuju kerinduan sang ilahiah. Hal yang sampai saat ini belum saya pahami adalah “praktik” dari sebuah konsepsi yang disebut “Quantum Ihklas”. hakikat ikhlas secara ontologis itu sendiri seperti apa? Secara teori mungkin kita akan menemukan, namun secara praktik sulit untuk diterapkan. Dan ini harus kita pecahkan secara bersama. Kuat dugaan saya di dalam praktek ke-Ikhlasan adalah salah satu jalan untuk menuju kerhidoan Allah. (walahualam bi sowab).
Itulah mengapa seorang filsuf mengatakan bahwa pikiran tidak membutuhkan alat (tubuh). Seperti dikutip dari buku FIhi Ma Fihi, Jalaludin Rumi (142) kata-kata yang memecahkan teka teki didalam alam pikiran saya:
kamu adalah esensi, sementara dua dunia itu adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,dan esensi yang kamu carik dari aksiden sama sekali tak berharga. Tangisilah orang yang mencarik Ilmu dalam hati. Dan tertawalah pada orang yang mencarik akal dalam jiwa.”
Rhido Allah tidak mempunyai tentuan, namun “ke-ikhlasan menjadi tolak ukur untuk mencapai sesuatu yang kita rindukan. Disini pula didalam konteks yang berbeda akan teringat dengan kata-kata “rhido Allah terelatk pada Ibunda,ibunda, ibunda dan ayahnda”. Di dalam konteks yang beralianan ini tentu berbeda dengan konsepsi “praktik Quantum Ikhlas”, yang kita bahas diatas. Mungkin suatu waktu bila diberikan umur panjang dan mempunyai refrensi atas ijin Tuhan akan kita bahas. Menurut pandnagan cak nur;
Usaha kita untuk mengenal diri kita sendiri merupakan jawaban dari Tuhan itu sendiri melalui Quraan, sebagai alat untuk menuju ke-ilahiyah itu sendiri. Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini. (Nurcolis Majid : 5).
Sebagaimana ungkapan Cak Nur, Quraan adalah pekakas (alat) untuk manusia mengenal dirinya dan semesta. Tentu sebagai objek yang diinterpretasikan oleh subjek memunculkan ragam tafsiran yang berbeda ini dibuktikan dengan banyaknya aliran ditubuh Agama Islam itu sendiri. fenomena ini juga memicu perdebatan antar aliran yang panjang dari masa ke massa, antara kelompok yang mengatakan kamilah jalan kebenaran diluar dari aliran ini adalah bidaah/kafir dengan lawanya (aliran) sebaliknya. Tentu fenomena ini terjadi tidak hanya dikubu Islam itu sendiri bisa kita temukan juga diera gereja katolik yang melahirkan protestan dan juga agama lainya. Tentu pertentangan ini muncul dari yang irasional vs rasionalitas. 
Melihat pertentangan kelompok ini sangat tragis dan ironis pula dalam pandangan humanisme. Hal itu, menimbulkan ke-paradoks dari pengertian Agama itu sendiri. Pembantaian dan pembunuhan yang sangat keji atas nama “perintah tuhan” yang apologistik dari massa ke massa antar sesama sebagai manusia. Hal hasil, “moral agama” ini menjadi banyak pertanyaan bagi pandangan humanisme seperti yang diungkapkan, salah satunya oleh musisi ternama dunia Jhon Lenon lewat lirik lagunya  yang berjudul “Imagine”.
Kedekadensi akibat pertentangan oposisibiner antara yang baik/buruk,benar/salah, dan lainya juga. Sangatlah disukai oleh para bandit kepitalis dan politikus. Bagi mereka dengan cara-cara membenturkan kedua pertentangan ini bisa sangat membantu dalam bisnis mereka tanpa disadari. Seperti di Timur Tengah; minyak, penjualan alusista, serta utang baik paska kehancuran maupun sebelumnya. Maka itu bisnis Agama sangat menguntungkan, apalagi pemahaman global kita sangat sempit dalam artian keterbukaan (open mind) terhadap ragam ilmu pengetahuan. Untuk itu pentingnya memposisikan keseimbangan antara “iman dan ilmu pengetahuan (akal)” dengan metode yang sangat kritis dan tidak anti terhadap ilmu pengetahuan apa pun, guna membangkitkan realitas kesadaran dan kemajuan dimassa depan.
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. “. ( QS. Al-Mujadalah ayat 11)
***

Tak perlulah aku keliling dunia. Untuk tahu bahwa kita berkhianat pada masa lalu. Untuk mengerti bahwa kita merusak janji proklamasi. Untuk menyadari bahwa kita menghancurkan konstitusi.

Membunuh kaum miskin, melindungi kaum kaya. Memariakan kaum bodoh, membahagiakan kaum cendekia. Ya itulah republik kita kini.

Biarkan aku di sini. Menyaksikan kalian berkuasa dengan muslihat yang sama. Dari para pengkhianat dajjal di dunia. Dan, untuk semua penderitaan ini, tak perlulah aku keliling dunia. Sungguh tak perlu. Karena aku tak mau jauh dari Indonesia tanah pusaka. Aku tak sudi mengkhianatinya!

Dunia boleh mentertawa. Atas semua kebusukan kita-kita. Dunia tak ingin melihat kita bahagia. Dunia ingin kita terus berduka. Saat semua yang kita punya dirampasnya: diambil semena-mena, diperkosa seperlunya.

Indonesia kini melawan pancasila. Walau di tempat yang kalian anggap tak biasa. Walau di tanah kelahirannya. Walau di syorga purba saat dupa-dupa dan doa-doa diaurakan intensitasnya. Dalam pilu yang berulang kini biarkanlah aku bernyanyi. Biarkan aku berlari berputar menari di sini. Biarkan aku revolusi. Sampai mati. Agar teriakku lebih berdentum keras dari dalam kubur nanti.

***

Cinta itu kegelapan. Tepatnya sumber kegelapan. Tidak percaya? Lihat orang beragama dan orang berindonesia. Sebagian besar warga Indonesia digelapkan agamanya dan digelapkan para pemimpin pemerintahannya.

Begitu cintanya mereka ke agamanya, menuduh sesat dan gelap sesama manusia jadi tandanya. Begitu cintanya mereka ke elite pemimpinnya, mencaci bodoh dan jijik pada sesama warganegara jadi kebanggaannya.

Kegelapan adalah kurangnya cahaya atau bahkan ketiadaan cahaya yang datang dan menyinari sekitar. Ini menjadi keadaan dan kutub yang berlawanan dengan kecerahan dan keterangan-benderangan.

Akibatnya, penglihatan manusia tak dapat membedakan warna dalam kondisi kecerahan yang tinggi atau kegelapan yang tinggi. Penglihatan jadi kabur, meraba-raba dan sentimentil plus kebingungan.

Maka, hidup di sekitar kita kini adalah cinta dan kegelapan. Lebih gelap jika tanpa lampu pijar hasrat dan keinginan. Dan semua hasrat serta keinginan adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Dan pengetahuan adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Dan setiap pelajaran akan sia-sia jika tidak disertai cinta.

Kegelapan itu cinta. Dan, cinta itu seperti mengayuh sepeda. Terus berulang-ulang, tekun dan fokus serta percaya sebab pada akhirnya akan sampai titik yang dituju. Walaupun yang dituju tak segemerlap bayangan awalnya.

Bersiaplah untuk gelap terasa. Dalam suasana negara para maling, hidup ini seakan terus mendung, banjir dan penyakitan. Sepanjang masa, makin panjang dan pengap.

Bersiaplah karena suram tak kunjung pergi dan lenyap. Setelah kuasa neoliberal, betapa suram hidup ini. Betapa gelap ekopol kita. Dan, bilakah sinar terang menghalau mendung ini? Menjadi teka-teki yang tidak tak terjawabkan.

Kegelapan itu cinta. Dan, cinta itu kegelapan. Dalam cinta gelap, orang tidak akan menilai kekurangannya, tidak peduli kelebihannya dan tidak mendengar pendapat orang lainnya. Nalarnya mati. Akalnya off. Ia tidak peduli dengan info dari selain yang dicintainya. Maka, ia akan tetap merasakan perasaan cinta untuknya: untung maupun rugi. Cinta yang menggelapkan.

Kegelapan yang datang dan terealisasi kini adalah fakta bahwa cinta warga Indonesia pada agama dan pada pemimpinnya menjadi racun yang mencandu melenyapkan akal sehat kebanyakan dari kita.

Bagi mereka yang cintanya gelap dan kegelapannya melahirkan cinta pasti berkata, "semilyar kali mencoba menghindari. Semilyar kali mencoba tak kembali. Namun langkah kita menjadi kian tak pasti.

Kegelapan dan cinta ini membuat kita menatap bayang-bayang republik dalam cinta yang semu. Sebab, semilyar kali menatap gambar negeri ini. Semilyar kali menyebut nama Indonesia. Hasrat padanya kian mendesak kalbu. Namun selalu kita merasakan tak mampu. Tumpul di semua tempat dan waktu."

Lalu, kami berteriak ke mana harus melangkah. Ke mana harus cari pertolongan. Sebab jejak negara ini samar-samar tak jelas tergambar. Di mana harus melangkah. Sebab cintanya gelap dan terlalu sulit untuk dinikmati.

***

Arabisme. Lebih pejoratif lagi adalah ontanisme. Itulah yang sedang umat islam alami. Dus bukan islamisasi. Bagaimana penjelasannya?

Mari kita lihat berdasar teks Alquran. Sebab, membaca dan mempelajari islam yang paling tepat adalah via agensi dan teks.

Bagaimana teks itu bicara soal bahasa dirinya dan umat? Ternyata, ia mengakui hibridasi. Yaitu pengakuan bahwa di dalam dirinya mengandung berbagai bahasa. Intinya, sumber bahasanya tidak tunggal. Apalagi bahasa tuhan, tidak sama sekali.

Karenanya, tiap umat mempunyai nabi (QS/Yunus: 47), yang berbahasa seperti umatnya (QS/Ibrahim: 4 dan Taha: 28). Dalam konteks Alquran, ia menggunakan bahasa arab (QS/Fushshilat: 44 dan Al-Syu'ara:198-199).

Bahasa arab sendiri merupakan salah satu bahasa Semit Tengah; Afroasiatik. Ia termasuk dalam rumpun bahasa Semit yang berkerabat dengan bahasa Ibrani dan Neo Arami.

Berdasarkan penyebaran geografisnya, bahasa Arab percakapan memiliki banyak variasi (dialek). Beberapa dialeknya bahkan tidak dapat saling mengerti satu sama lain.

Menurut para ahli modern, bahasa di dunia awalnya berasal dari daerah asal mula manusia pertama menetap, yaitu sekitar Asia dan Afrika. Bahasa yang lahir dari kawasan ini pada masa-masa berikutnya mencapai ratusan bentuk bahasa baru yang digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia.

Bahasa ini dinamakan Afro-Asiatic atau Afrasian atau Hamito Semitic, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Maurice Delafosse (1914). Bahasa ini memperanakkan sekitar 400 jenis bahasa yang beberapa di antaranya telah punah.

Salah satunya, ialah rumpun bahasa Semit yang menjadi tempat bernaung bahasa Arab dalam pohon klasifikasi bahasa.

Kata Semit diambil dari Sem (Syam) putra Nuh, nenek moyang Ibrahim dan Ismail. Rumpun bahasa ini diperkirakan telah ada di Timur Tengah sejak abad keempat SM, kemudian berkembang masuk ke kebudayaan Mesopotamia dan mencapai Suriah.

Rumpun ini juga menurunkan bahasa Akkadian (telah punah), Ibrani, dan Aramaik yang banyak digunakan dalam literatur-literatur kuno.

Jika dianalisis dari segi konteks klausa, terdapat banyak titik kesamaan antara bahasa Semit dan bahasa Arab kuno. Contohnya, dalam unsur fonologi, unsur-unsur fleksi (al-i'rab), dan pola bentuk jamak. Penelitian menunjukkan, bahasa Arab juga memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Ibrani, sesama rumpun Semit.

Bahasa arab modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dan berasal dari bahasa arab purba, satu-satunya anggota rumpun bahasa arab utara kuno yang saat ini masih digunakan, sebagaimana terlihat dalam inskripsi peninggalan Arab pra-Islam yang berasal dari abad ke-4.

Bahasa arab purba juga telah menjadi bahasa kesusasteraan dan peribadatan Islam sejak lebih kurang abad ke-6. Berbeda dengan bahasa latin, abjad arab ditulis dari kanan ke kiri.

Sementara itu, dalam riset Arthur Jeffery (1892-1959), sumber bahasa Alquran memang bahasa arab, tetapi sangat terpengaruh dan dipengaruhi bahkan disusupi berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani kono, Persia, dan bahasa lokal.

Akibatnya, kosa kata yang ada di dalam Alquran banyak mengambil istilah-istilah dari Yahudi, Kristen dan budaya lain.

Jika pengaruh kosa kata asing di dalam Alquran bisa dieksplorasi, Jeffery berharap kamus Alquran yang memuat sumber-sumber filologis, epigrafi, dan analisa teks akan bisa diwujudkan. Kamus tersebut nantinya dapat digunakan untuk meneliti secara menyeluruh kosa kata Alquran yang ada. Dalam benak Jeffery, kamus Alquran tersebut bisa dibandingkan dengan kamus (Worterbuch) yang sudah digunakan untuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kajian Jeffery mengenai pengaruh kosa kata asing di dalam Alquran diterbikan pada tahun 1938, dengan judul The Foreign Vocabulary of the Qur’an (kosa kata asing Alquran).

Dalam karya tersebut, Jeffery membahas sekitar 275 kata di dalam Alquran yang dianggap berasal dari kosa kata asing.

Salah satu tujuan yang ingin ditonjolkan oleh Jeffery dengan menggunakan pendekatan filologis terhadap Alquran adalah untuk menyimpulkan bahwa kosa kata dan isi ajaran Alquran tidak khas arab saja melainkan diambil dari tradisi kitab suci Yahudi, Kristen, dan budaya lain. Muhammad meminjam, mengubah, dan menggunakan istilah-istilah asing tersebut untuk disesuaikan dengan kepentingannya.

Analisa filologis Jeffery membuka jalan bagi pengkaji berikutnya untuk menggunakan metode filologis mendekonstruksi otentisitas Mushaf Usman. Dengan metode tetsebut, ditemukam bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa Syiria-Aramik. Bukan bahasa Arab sebagaimana diimani oleh banyak orang.

Karena itu Alquran hanya bisa dimengerti lebih baik dan lebih akurat kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syiria-Aramik, sebagaimana terungkap dalam bukunya yang berjudul, “Cara membaca Alquran dengan bahasa Syria-Aramik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Alquran."

Dari pengetahuan sumber-sumber bahasa dalam Alquran yang plural maka kita jadi tahu bahwa sejak awal ia bukan bahasa tuhan, bukan bahasa suci dan bukan bahasa langit. Ia bahasa sesama manusia yang profan dan hibrida serta digunakan sebagai media sosial, percakapan, sesembahan, peribadatan dan ekopolsusbudhankam.

Jika bahasa Alquran saja sumbernya plural, masak kita dalam berislam hanya terpaku pada mental cungkringis, jidatos dan jilbabos serta dari satu guru atau madzab saja?

Dus, mestinya berislam itu memerlukan keluasan nalar dan kejeniusan pikiran. Tidak sekedar membabi buta pada takfiri, sara dan eksklusifisme ideologi. Jika itu yang terjadi, ambyar dech keagamaan kita.

***

~jangan jadi presiden jika mau jadi pelacur; jangan melacur jika sudah jadi presiden (fatwa rakyat).

Saya kira fatwa tersebut mendapatkan momentum pembenarannya saat ini. Sebab, kita tidak tahu kapan presiden begundal berakhir dan kapan presiden sungguhan dimulai. Semua masih sumir.

Karenanya, dalam jejak republik omong kosong, kita tak punya tempat pijak yang kuat untuk menemukan pemimpin subtantif. Adanya petugas dan pesinetron plus ludruk.

Dus, hanya ada satu cara untuk memperbaiki Indonesia. Melalui tindakan mengganti presiden busuk dengan manusia pilihan yang pemberani mati plus jenius. Dan, tentu bukan melalui buku-buku tebal yang ditulis orang luar: juga bukan melalui pemilu yang boros dan curang; bukan pula lewat pelaksanaan kurikulum pencetak begundal lokal.

Kita harus paham bahwa bakat begundal terbentuk dalam warisan mental kolonial di gelora gelombang kesunyian. Sedang watak begundal terbentuk dalam riak besar kejahatan dan penjajahan. Dus, bakat dan watak begundal yang menempel di penguasa hari ini, bukan barang sekali jadi; tapi sudah lama dipersiapkan. Ia menang. Mereka berpesta. Entah sampai kapan.

Seorang kawan bertanya, "bagaimana menyikapi kekalahan kaum idealis di peta ekopol Indonesia?" Sungguh buatku ini pertanyaan maha sulit. Sebab bagiku, lebih nikmat jatuh dan mati sebagai tumbal keadilan daripada berjaya karena kebohongan dan kebiadaban.

Karena itu, jika kita berjuang tak ada hasilnya, janganlah bersedih. Lihatlah semesta. Tataplah sejarah lebih luas. Bacalah dunia lebih detail. Tak semua orang besar berhasil saat hidupnya. Isa, Tan Malaka, Chairil Anwar, Gandi, Van Gogh adalah sedikit contoh yang namanya panjang bergelombang tanpa kesuksesan saat mereka hidup di dunia.

Dalam hidup ringkas dan keras ini, tidak peduli dari mana kita berasal serta apa agamanya. Yang terpenting adalah ke mana kita akan pergi dan apa yang akan kita wariskan. Kita harus bermetamorfosa, hijrah dalam subtansi bahwa perjalanan ini terasa sangat menyenangkan, menantang, menggairahkan.

Dalam kesadaran hijrah terkadang mereka (kawan-kawan kita) tak duduk di samping bangku kita. Ya. Lalu. Sendiri. Sepi. Sunyi. Gelap dan berduri.

Ada banyak kisah yang mestinya mereka saksikan. Ada tangis air mata yang dapat mereka usap. Terutama di tanah kering bebatuan. Di zaman kejahiliyahan.

Sering tubuhku terguncang. Oleng dan ambruk. Dihempas batu jalanan. Ditikam musuh. Diinjak kawan beda tujuan. Karena beda pendapat dan pendapatan. Hatiku tergetar menatap kering rerumputan. Tak ada makna. Alpa makanan dan absen minuman. Sia-sia. Kami berpisah sambil saling tikam.

Perjalanan hidup ini pun akhirnya jadi saksi. Para gembala kecil menangis sedih sekali. Sesedih-sedihnya. Tak paham lagi tujuan dewa jagatraya bekerja.

Kalian yang pernah bersamaku, memetik gitar di gunung-gunung; demontrasi di jalan-jalan; ribut di gedung-gedung pemerintah yang cabul bin amoral. Ayok coba dengar apa jawabnya. Jawaban para penguasa. Ketika kita tanya mengapa kalian KKN. Yah. Bapak ibunya tlah lama mati. Mati kelaparan dan ditindas. Ditelan bencana tanah ini. Bencana amoral dan tuna kuasa.

Kawan. Kini mari teruskan perlawanan. Kisah yang sesampainya di laut kita kabarkan kepada semuanya. Kepada karang. Kepada bumi. Kepada ombak. Kepada kekasih. Kepada matahari. Kepada para nabi.

Walaupun kita tahu, semua diam, semua bisu, semua buta. Tinggal aku sendiri. Ya. Sendirian dalam perlawanan tak bertepi. Terpaku menatap langit. Ngungun. Terguguk sepi kehabisan air mata. Kehilangan modal, model dan modul kehidupan.

Walau begitu jangan berhenti. Barangkali di sana ada jawabnya. Ada solusinya. Dari sebuah tanya: mengapa di tanah Indonesia terjadi banyak bencana; berjuta perselingkuhan penguasa-pengusaha; bermilyar kebodohan; bertrilyun pengkhianatan. Bahkan di rumah-rumah Tuhan.

Adakah karena Tuhan mulai bosan. Sehingga kirim ujian. Timpakan cobaan. Sebal melihat tingkah kita yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa. Atau nalar tumpul. Atau alam mulai lelah. Bersahabat dengan kita semua. Bercengkerama seperti sedia kala.

Mari kini kita bertanya pada hati, jantung, otak, nalar dan rumput yang bergoyang ditelan ketidakpercayaan.

Di atas segalanya, sejarah kita adalah sejarah kekayaan, perampokan, perlawanan dan kemiskinan. Menjadi pahlawan dengan demikian adalah keniscayaan. Sedang menjadi pengkhianat adalah kebodohan. Mari berbaris menjadi pasukan. Kita pastikan takdir kemartabatifan dan keberlimpahan sebagai ganti kemiskinan dan keterjajahan. Kini. Sekarang. Atau tidak sama sekali.

***

Sudah lama dalam bernegara, kita mengalami perang kecerdasan. Tak banyak yang tahu. Bahwa mempertahankan kekayaan negeri penjajah adalah merubah model penjajahan. Salah satunya, para penjajah itu menciptakan krisis berulang dan mengkreasi ludruk banyolan.

Dan, Jokowie adalah ludruk yang baru dimulai. Dan, sebagai presiden, ia adalah lelucon yang tak menghasilkan tawa. Mengapa? Karena ia tak tahu arti penting Indonesia yang tidak terletak pada apa yang diperoleh, melainkan apa yang sangat dirindukan untuk didapatkan.

Sejarah jokowie dan Indonesia kini seperti kisah dan mitologi pra-modern. Dengan tegap dan yakin mengingkari apa yang diucapkan sambil mengulang-ulang kejahatan rezim sebelumnya yang ia kutuk dan nistakan.

Karenanya, jika dipadatkan, Indonesia dan jokowie hanya sejarah dari kekayaan, perampokan dan penderitaan. Maka mengenalnya di masa purba adalah Atlantis, di masa jaya adalah Nusantara dan di masa menderita adalah Indonesia.

Inilah negeri yang cara mengatasi penderitaan dan kolonialisme harusnya belajar dari kegagalan Diponegoro. He was a freedom fighter who stood up to Dutch colonialism, and was betrayed and ended up in exile. Ia—bersama kawannya melawan penjajahan: terbuang dan kalah.

Bertumbuh perang Sumatra dan perang Jawa saat itu secara gagah dan diaspora. Tapi kekalahannya membuat para idealis menjadi oportunis. Para pemilik otoritas kecerdasan dan moral kapok karena kemiskinan dan penderitaan.

Maka, kebanyakan akhirnya menyerah, kalah dan bahkan menjadi kaki tangan penjajah. Inilah problem nalar dan mental kolonial yang kita warisi. Betapa berat. Tetapi bukan tidak ada jalan keluar.

Sekolah postkolonialah jawabannya. Sekolah ini akan jadi ajang besar persemaian kaum muda idealis perealisasi konstitusi. Memang, tak mudah menerima Indonesia. Separo lebih mata warganya bengkak. Air matanya habis.

Tak ada lagi kesedihan yang tersisa di wajah mereka. Makin hari, kulihat ribuan orang tuna aksara. Kupastikan puluhan ribu orang tak punya rumah. Kusaksikan ratusan ribu orang tak bisa makan. Kutangisi jutaan orang tak punya rumah. Kuperhatikan puluhan juta pengangguran tak bisa bekerja.

Setiap menit KKN merajalela. Tapi aku (dan kebanyakan kita) hanya bisa membaca, menulis, mengajar dan menunggu mati.

Maka, air mata apalagi yang bisa kutumpahkan?
Kesedihan apalagi yang kukandungkan? Kejahiliyahan mana yg bisa kita tertawakan?

Di saat sendu setiap hari, aku ingin mengajak kalian menemui mereka satu per satu. Memberinya solusi melalui dentuman besar; kerja raksasa. Revolusi Jiwa. Sebab negeri ini terlalu kaya jika hanya untuk selesaikan masalah mereka.

Terlebih, menurutku ini hanya soal ketersesatan jalan ekonomi-politik saja. Tapi, harus disadari bahwa makin jauh kita tersesat (dalam jalan ekonomi-politik) maka makin jauh kita dapati ketercerahan jalan.

Sebab ketersesatan itu memabukkan. Apalagi jika tersesat kaya, saat selainnya miskin. Tersesat pintar, saat selainnya bodoh.

Ya. Inilah yang sedang terjadi. Rezim makin tersesat kaya dan pintar, saat rakyat makin miskin dan makin bodoh. Maka, mereka bahagia dan tertawa saat rakyat berduka dan menangis tanpa air mata.

Kini kawan-kawan, aku bertanya, “cukupkah kita menerima ketersesatan sebagai keilmiahan dan takdir semata? Cukupkah kita hanya berdoa saat doa-doa ahli agama ribuan tahun lalu hanya sekedar doa? Cukupkah?"

Di mana lagi kita bisa temui air mata yang menggerakan perubahan?” Air mata yang marah karena cintanya kepada republik.

Mari sudahi tetesan air mata ini. Sebab, selama tigapuluh delapan tahun hidup di republik, kesimpulannya sederhana bahwa ”Indonesia is common sense made difficult.” Bahkan,
dengan jengkelnya, kita dapat mengatakan bahwa akal sehat pun dibuat sakit.

Makanya, pembangunan ekonomi-politik kita masih jargon. Beberapa indikasi menguatkan hal tersebut. BPN (9:2018), menyebut bahwa 7.1% penduduk menguasai aset nasional.

Sedangkan 92.9% penduduk mendapat sisanya. Tentu, dengan komposisi yang demikian timpang, sebaran kesejahteraan tak akan terwujud, pertumbuhan ekonomi yang rendah menjadi mubazir, kesenjangan ekonomi meningkat dan kerusuhan sosial akan tampak di depan mata.

Laporan itu menjadi indikator bahwa pembangunan selama ini tidak hebat karena yang tumbuh hanya dinikmati 7.1% penduduk. Angka 5% pertumbuhan ekonomi tahun 2015-2016 menjadi pertumbuhan yang tidak berkualitas dan tidak bermakna karena hanya segelintir orang yang menguasainya.

Bukankah jumlah kemiskinan 56.72%=133 juta warga Indonesia adalah buktinya? Mau bukti yang mana lagi. Ludruk baru dimulai. Sayang, kelucuannya tidak hasilkan tawa.

***

Apa dosa terbesar pemerintahan Indonesia terhadap warganya sejak Orde Baru? Adalah beragama "pertumbuhan." Iman pada pembangunan berdimensi pertumbuhan inilah "dosa asal dan dosa induk" yang tak banyak dipahami presiden-presiden kita.

Ilusi pertumbuhan itu memabukkan. Ia jadi mantra sakti para agen kolonial saat merampok suatu negara. Ia jadi azimat kurap para begundal saat menipu suatu bangsa. Mereka berfatwa, "hanya dengan pertumbuhan" suatu bangsa bisa sejahtera!

Pertumbuhan ekonomi pada awalnya diartikan sebagai proses kenaikan kapasitas produksi suatu perekonomian yang diwujudkan dalam bentuk kenaikan pendapatan nasional. Dus, pertumbuhan ekonomi merupakan indikasi keberhasilan pembangunan ekonomi. Tetapi, dalam perkembangannya, teori pertumbuhan ini menikah dengan matematika sehingga melahirkan anak haram ekonometrika. Satu kurikulum baru di mana semua hal ikhwal pembangunan diukur dengan sendi angka-angka minus kemanusiaan.

Karenanya, roadmap pertumbuhan adalah penanaman modal asing dan penciptaan hutang luar negeri. Akibatnya terjadi serbuan investor asing-aseng yang tak peduli dengan nilai-nilai lokal. Tanpa disadari, kebijakan penarikan investor ini mengakibatkan undang-undang Indonesia (yang mengatur arus modal) menjadi paling liberal di dunia internasional. Saat yang sama juga menghasilkan intensifikasi pertanian dan deindustrialisasi nasional plus penggadaian murah aset strategis (BUMN).

Hilirnya adalah pemerintahan sentralistik yang buas, lahirnya kota-kota baru, urban, kemacetan, kebusukan, banjir dan keruwetan tiada tara. Yang dikejar adalah akumulasi angka, deret ukur, grafik-grafik yang ilusif dan cenderung manipulatif. Orientasinya kapital. Yang dipuja harta benda. Yang dipeluk gengsi dan citra.

Akibatnya, pemerintah absen di mana saja. Pemerintah lupa membangun tata kelola yang bersih, efektif, demokratis dan amanah yang memberikan prioritas pada upaya memulihkan kepercayaan publik pada institusi-institusi demokrasi dengan melanjutkan konsolidasi demokrasi melalui reformasi sistem kepartaian, pemilu, dan lembaga perwakilan.

Pemerintah lupa membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Lupa memeratakan pembangunan. Mereka lebih sibuk melayani seponsore dan pendukung sambil mengkhianati konstitusi.

Dengan pertumbuhan itu, memang ada prestasi besar tiap rezim di Indonesia. Dan, prestasi terbesarnya adalah mewariskan ketimpangan. Inilah penyebab stabil dan bertahannya kemiskinan, kebodohan, kesakitan, konflik, kemandulan inovasi, konflik, kepunahan dan ketergantungan plus ketidakmandirian/ketidakdaulatan yang kita nikmati bersama (10K).

Ketimpangan itu bisa diukur dalam banyak metoda. Salah satunya rasio gini dan prosentase pendapatan. Riset kami menunjukkan bahwa 0.8% rumah tangga terkaya di Indonesia menguasai 60% dari total kekayaan negeri ini. Itu artinya kekayaan 9000T yang ada maka hampir 5000T ada di tangan 2 juta orang saja.

Dan 10% konglomerat menguasai 80% total kekayaan republik. Itu artinya 100 konglomerat menguasai hampir 7000T di semua lini bisnis mereka. Para konglomerat itu mengakumulasi uangnya via bisnis legal (25%) dan illegal (75%). Legal artinya bisnis yang berhubungan dengan APBN dan bayar pajak. Illegal artinya bisnis haram (narkoba, pelacuran, judi, penyelundupan dll) dan tak bayar pajak. Kini, nilai konsumsi 10% konglomerat sama dengan 55% warga miskin. Dan, konglomerat asli Indonesia hanya 0.7%. Sisanya asing dan aseng.

Dari data ini, kita mau apa? Sibuk lempar kursi, berziarah, kutip-kutip kitab suci, mimpi dana revolusi dan mengkader kriminal begundal muda sambil membiarkan begundal tua mencopet di gedung-gedung dewan atau bagaimana?

Yang jelas, ide pemerataan raib. Musnah ditelan keluguan dan blusukan. Mereka, sambil mengaku berpancasila dan berindonesia tetapi sejatinya menjadi begundal lokal dan proxy mamarika dan antek tjina. Aduhhhhh. Ini dosa siapa dan dari mana kakek moyangnya!

Karenanya, kita kini masih menunggu solusi cerdas dari kalian sambil mari bergandengan tangan melawan dan mengubur pokok penyebab gagalnya kita menjadi pahlawan warganegara, perealisasi pancasila.

***

Ilmu keindonesiaan, revolusi, postkolonial dan kedokteran tak berkembang lagi pasca kemerdekaan. Jebakan finansial menjadi lebih utama daripada idealisme yang pernah terjadi pada masa pra kemerdekaan. Kini, elite Indonesia merubah frasa dari "menjadi Indonesia yang progresif" lalu frasanya "menjadi pencari kapital yang oportunis."

Padahal, Indonesia adalah negara yang sangat besar, baik ukurannya maupun potensinya. Kini berpenduduk lebih dari 240 juta. Tetapi, problemnya begitu melimpah. So, harus lahir dan hadir pemimpin besar dengan kualitas terbaik dan "menyempal" untuk memimpin negara ini demi kebaikan dan keadaban bersama.

Menyempal itu crank. Cirinya ada tiga:

  1. Anti libidinal atau tak menyembah lawan jenis; 
  2. Anti kapital atau tak menyembah duit/harta; 
  3. Anti status quo atau tak menyembah kemapanan dan masa lalu. Dus, pribadi crank itu sangat keren: ia enigma yang diburu; ilusi yang dimengerti dan jiwa yang dipelajari serta gagasan yang dipenjara tetapi memberontak melewati batas-batas kuburan sekalipun.

Ia jenius, progresif, solutif plus revolusioner. Karenanya, ia memisahkan secara tegas masa lalu dan masa depan. Ia membebaskan pikiran kita dari penjajahan dalam arsitektur yang paling canggih sekalipun.

Maka, kita mestinya bertengger di atas mental mereka yang punya perlawanan. Di tindakan mereka yang crank, kita akan berhenti. Ya berhenti membuang dan melepas akal kolonial. Akal yang dimiliki dari warisan kolonial. Lalu kita membebaskan jiwa. Berjuang dan revolusi atas cinta negeri dan sisa umur.

Inilah waktunya. Jika telat, zaman edan makin cepat meluas. Zaman ini lahir dari medsos: tanpa kepastian masa lalu, tanpa keyakinan hari ini dan tanpa kejelasan masa depan. Zaman ini membuat orang Indonesia menjual semuanya, bahkan dirinya sendiri. Mereka tak akan menabung, mereka tak mau untung.

Zaman ini kita surplus pemimpin bertampang pribumi bermental kompeni. Kerjanya memalak teman sendiri. Bahagia menjalankan agenda anti Pancasila. Zaman ini membuat negara absen di mana saja dan kapan saja. Padahal, saat negara alpa, warganya berlari ke tribus dan berlindung ke doa serta bermimpi kedatangan ratu adil yang ilutif.

Zaman ini membuat kita kehilangan jiwa kesetiakawanan sosial; defisit gotong-royong; minus kemanusiaan semesta. Sebab, tak ada lagi yang bisa disumbangkan, kecuali doa. Tak ada sisa bahagia kecuali duka.

Tetapi, zaman edan ini harus dihentikan. Dan, cara penghentiannya tak perlu kerumunan besar. Kita tak harus pusing tujuh keliling untuk meluruskan kiblat bangsa. Tak perlu gerombolan canggih untuk memastikan kesejahteraan bersama suatu negara. Tak perlu parpol besar untuk menegakkan moral pejabat pemerintah.

Cukup pasukan kecil yang bergerak rapi dan memiliki ide-ide jenius dalam tagline: pamit pejah. Lahir, jihad, zuhud, syahid. Jika itu kita punya, kita pastikan keadilan dan kesejahteraan serta martabat seluruh penghuni peradaban Indonesia akan tertradisikan.

Aku siap makmum. Sudah kuwakafkan jiwa ragaku untuk republik. Kawan, pimpin pasukan ini. Kita akan pastikan peradaban baru: Kerja keras, kerja cerdas, kerja trengginas, kerja tuntas!

Kawan-kawan semua/Di atasmu/Bersamamu/Aku akan berhenti/melepas akal/yang tak kumiliki/membebaskan jiwa/atas cinta dan sisa umur.

***

Residunya makin terasa. Pahit dan membuat muntah tak sudah-sudah. Kini, semuanya datang bagai air bah: bercampur lumpur dan sampah. Apa sampah tercanggih dari postkolonial? Seni dan tradisi menipu.

Di negara postkolonial, semua bisa berfatwa bahwa, "aku lahir untuk ditipu, sekolah untuk menipu dan memimpin dengan tipu-tipu." Padahal, di negara di mana pemimpin menipu sekali, warganya meniru menipu seratus kali. Pepatah mengatakan, "guru kencing berdiri, murid kencing berlari."

Dus, di negara di mana warganya hobi menipu, mereka memilih penipu untuk ditipu. Warga, elite, tamu dll membentuk tradisi menipu secara sirkular sampai kita tak tahu ujung pangkalnya.

Pasca kemerdekaan, problem besar kita memang kehadiran a state of distrust. Selanjutnya berkembanglah distrust society. Semua, tidak dapat dipercaya, tidak saling percaya, tidak ingin saling percaya. Rusak kepercayaan sesama: kapan saja dan di mana saja.

Ya. Urusan tipu-menipu menjadi salah satu bencana kemanusiaan kita bersama. Tentu ini berat sekali. Sebab, kita hidup di atas intaian tiga bencana sekaligus. Yaitu bencana kemanusiaan, bencana penjajahan dan bencana alam.

Mengingat distrust adalah membaca Francis Fukuyama (1995). Ia menyadarkan kita bahwa basis ekonomi yang kuat dan tahan lama dari suatu bangsa tidak bisa hanya menyadarkan pada kekayaan alamnya dan modal uang pemerintah atau pajak semata.

Ia juga harus berpijak dari social capital atau modal sosial yang dimilikinya. Tetapi, di samping aset SDM yang berkualitas, elemen pokok dari modal sosial adalah kuatnya sifat dan sikap untuk saling percaya dan bisa diberi amanat secara baik dalam bentuk relasi vertikal maupun horizontal.

Dus, trust atau sikap amanah merupakan salah satu modal utama yang penting untuk menciptakan kehidupan politik dan ekonomi yang kokoh dan tahan lama bagi sebuah negara maupun peradaban.

Saat semua menipu, tentu menjadi tak mudah menangkap masa depan. Apalagi memenangkan kehidupan. Menjadi tak ringan merealisasikan konstitusi. Sebab, di antara para penipu, selalu ada feodalisme dan fasisme plus fundamentalisme yang berurat berakar.

Kini, mari bertobat. Berubah dari generasi penipu menjadi generasi pancasila. Generasi yang berani menggenggam bumi sebelum bumi menggenggam kita. Generasi yang praktik memeluk bumi sebelum bumi memeluk kita.

Generasi yang memperjuangkan hidup kita di bumi sebelum bumi memperjuangkan hidup kita (mati). Karena itu menjadi lebih baik hari ini dan besok adalah membuat karya mulia dengan menyelamatkan kehidupan bumi dan kita bersama-sama.

Mari kita hidup dan bersemboyan, "aku sering dikhianati tetapi aku bukan pengkhianat; aku sering dibohongi tetapi aku bukan pembohong." Inilah upaya membuat warisan cerdas bin jenius buat anak cucu kita: generasi Pancasila.

***

Purnama. Tak ada yang melebihi syahdunya. Kutatap malam ini dari pembaringan tua. Setelah jejak malam berdepa-depa. Mengumpulkan segelas air, sepiring nasi, sehektar mutiara dan segenggam berliana.

Aku ingat. Menemukannya di lautan media sosial. Ia, dengan tipu muslihatnya mengaku kagum dan rindu. Pada lelaki yang mewakafkan jiwa raga demi jayanya nusantara. Pada puisi dan lakon revolusi. Pada riset-riset masa depan atlantik: atalata.

Setelah bertrilyun waktu, sejarah makin parah. Semua doanya ditertawa. Akhirnya, makin lama kutahu itu semua fotamorgana. Ilusi kaum jahil. Delusi lelaki autis. Korban rezim pemuja hawa nafsu.

Menurut catatan TNI, ia bernama Beatrisyia. Anak libanon keturunan portugal. Gagap dalam bahasa Indonesia. Hanya mahir berpura-pura.

Pernah. Ya pernah. Aku menyayangimu seperti sayang awan pada hujan. Demikian sms dan surat yang diulang lima kali sehari dan diposkan via hantu blau padaku. Seakan-akan kaum arabis terputus nalarnya lalu ziarah dan menyerah kalah pada batu hitam entah dari mana.

Ya. Mirip-mirip vagina tentu saja. Beda bentuk dan rasa tentu saja. Tapi tak perlu dicoba dan diuji coba. Sebab itu bukan barang cobaan dunia.

Kini, sambil wirid dan baca asmaul husna kumengadu pada tuhan, hantu dan hutan. Sebab tawasul via habaib sudah setahun tak ada hasilnya. Mungkin karena habib kawe dua sehingga doanya ghairu mustajabah.

Mungkin juga karena Tuhan mulai bosan bersahabat dengan kita. Karena itu, coba kita evaluasi. Kekikiran adalah puncak kejahiliyahan; sifat pengecut adalah cacat seumur hidup; kemiskinan menggagalkan lelaki cerdas membela kekasihnya; orang melarat adalah orang asing di kotanya sendiri.

Sedang orang kaya adalah turis di kampungnya dan majikan di desa-desa.

Beatrisyia. Tahukah engkau bahwa ketidakmampuan adalah petaka; ketakutan adalah syaitan; kesabaran adalah keberanian; zuhud adalah kekayaan; pengendalian diri adalah perisai, dan sahabat terbaik adalah penyerahan dan pembrontakan.

Bukan menangisi dan menyalahkan apalagi hobi marah-marah. Jika engkau begitu maka filosofimu adalah: aku bayar maka aku ada. Menipu sebagai hobi dan air mata sebagai senjata.

Purnama. Kutulis cerpen ini tanpa data. Hanya gurau di akhir majas senja dan sejarah tengah malam saja. Tak kurang. Apalagi lebih.

Saat kekasihku meninggal, aku mati. Saat reinkarnasi, engkau tikam tepat di ulu hatiku. Seperti subuh yang tak bertaluh. Seperti gigil yang tak berkail. Tanah-tanah penjajahan tak sempat dimerdekakan. Menunggu pemberontakan kami dan kemenangan revolusi.

***

Sebagai contoh, di Israel, perusahaan Mobileye sedang membangun navigasi kendaraan tanpa pengemudi yang akan menghapuskan pekerjaan pengemudi kendaraan berbayar.

Di Tiongkok, Baidu bersama King Long Motor Group sedang menyiapkan bis-bis otonom tanpa pengemudi. Sberbank, bank terbesar di Rusia, menggunakan AI dalam pengambilan 35 persen keputusan di bidang pinjaman, serta menggunakan “pengacara robot” untuk menggantikan 3000 personalia di bidang legal perusahaan, jumlah karyawan back-office akan menyusut dari 59.000 pada tahun 2011, menjadi 1.000 pada tahun 2021.

Ant Financial, perusahaan fintech asal Tiongkok, memilih menggunakan big data untuk menilai kesepakatan pinjaman daripada menggunakan jasa ribuan petugas pinjaman atau pengacara.

Pemerintah tentunya memiliki peran vital dalam mengantisipasi dampak negatif dari perkembangan teknologi ini. seringkali kebijakan politik dapat digunakan untuk menghadang kemajuan teknologi, demi menyelamatkan pekerjaan, automasi dan AI tentunya dapat dibatasi.

Namun, sebagaimana sejarah berpihak pada masyarakat industrial yang memiliki kekuatan menentukan terhadap masyarakat agrikultur, di masa depan negara yang memanfaatkan automasi dan AI kelak akan memiliki kekuatan menentukan terhadap negara yang tidak.

Mengabaikan manfaat besar automasi dan AI sehingga menyebabkan Indonesia tertinggal dari negara lain, demi menyelamatkan lapangan pekerjaan, tentunya menjadi langkah yang lebih buruk. Posisi pemerintah Indonesia sekarang ini, ditandai dengan pernyataan Presiden Jokowi beberapa waktu yang lalu dari saat artikel ini ditulis, terlihat mulai mengarah pada pilihan yang lebih baik, yaitu pemanfaatan automasi dan AI.

Di sisi lain, konsep welfare state yang dianut Indonesia belum mampu mengentaskan kemiskinan. Merujuk pada angka kemiskinan absolut, angka orang miskin di Indonesia mencapai 25,95 juta orang per Maret 2018. Dalam perspektif yang lebih luas, bahkan terdapat 72 juta orang dalam kelompok yang rentan jatuh ke dalam kategori kelompok miskin.

Separuh dari penduduk kelas menengah, yang disebut aspire middle class, juga masih belum kuat karena rentan jatuh miskin saat menghadapi guncangan, misalnya ketika kehilangan pekerjaan, sakit berkepanjangan, atau mengalami bencana.

Banyak orang berasumsi, bila pasar bebas tidak mampu memecahkan berbagai problem sosial, maka pemerintah mampu. Seperti bisnis privat yang dilakukan untuk mengejar keuntungan pribadi, maka pemerintah seharusnya merepresentasikan kepentingan publik secara utuh.

Karenanya, nampak logis untuk percaya bahwa problem sosial skala besar merupakan wewenang pemerintah.  Karena itu, penting bagi pemerintah untuk mempersiapkan sebuah social safety net sejak dini dalam rangka mempersiapkan diri menghadapi tantangan ini.

Destinasi akhir dari road map Indonesia adalah adil dan makmur,  dan kemakmuran dinilai melalui manusia sebagai subjeknya, bukan pada pekerjaan yang merupakan objek semata. Karenanya upaya perlindungan harus diberikan pada manusia, bukan pada pelestarian jumlah pekerjaan.

Universal Basic Income (UBI) merupakan salah satu alternatif dalam perspektif perlindungan pada manusia yang dapat dipertimbangkan dalam menghadapi tantangan automasi dan AI. UBI juga merupakan gagasan yang didukung tokoh-tokoh dunia dari berbagai kalangan, baik ilmuwan, pengusaha, hingga politisi.

Dua orang pemenang Nobel Ekonomi, Peter Diamond and Christopher Pissarides; CEO Tesla dan SpaceX, Elon Musk; CEO Facebook, Mark Zuckerberg; hingga salah satu kandidat presiden Amerika Serikat tahun 2020 dari Partai Demokrat, Andrew Yang, merupakan beberapa tokoh yang mendukung gagasan UBI.  Artikel ini selanjutnya akan membahas pengertian UBI beserta kelebihan dan kekurangannya.

***

Cukup dalam. Apanya? Kesadaran akan apa yang segera kita wariskan buat anak-cucu. Tentu bukan hanya nama baik. Yang lebih dalam dan lebih panjang adalah pusat studi dan sekolahan terbaik.

Ya. Sekolah dan universitas terbaik merupakan kulminasi dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat serta doa anak-anak salih.

Sebab sungguh, kita tidak melihat dunia sebagai senda gurau belaka. Sebaliknya, kita telah meyakini, bahwa dunia pendidikan menjadi surga dan tulang punggung terbaik untuk dikurikulumkan di masa sesudah kita tiada.

Kehidupan itu, adalah kekalnya amal, ilmu, iman dan kurikulum yang tertradisi guna membimbing mata, hati dan pikiran untuk terpaut pada peradaban yang membebaskan, mendaulatkan dan memartabatkan.

Dus, kampus ini akan menjalankan kejuangan sebagai jalan umum dan terbiasa mengesampingkan pedihnya dunia agar sampai pada cita-cita mulia: memanusiakan manusia.

Akankah kita bersedia bergotong-royong ke arah sana? Batu uji ini adalah tapal batas pertama untuk membedakan kita dari mereka yang lupa dan alpa. Mari menusantara. Mari mengantlantik. Mari mewariskan hal-hal jenius dan gigantik.

Sungguh. Kita sadar. Takdir zaman ini adalah tragedi profanisasi atau desakralisasi. Banyak tokoh besar Indonesia mengalami, pinjam istilah Ben Anderson dalam, “Exit Soeharto: Obituary For a Mediocre Tyrant” on New Left Review edisi 50 (Maret-April 2008), “historical erasure” alias penghapusan sejarah.

Banyak sosok-sosok dalam zaman interupsi  mengalami “penghapusan” dalam narasi sejarah akibat penulisan sejarah rezim disrupsi. Legenda ditiadakan; jasa dilupakan; warisan pengetahuan dialpakan; citra subtansi pahlawan diselewengkan.

Di Universitas Nusantara dilakukan sebaliknya. Sebab kejuangan hari ini ada karena tokoh dan jasa mereka. Nama dan pikiran; tindakan dan warisan akan dipelajari dan dikembangkan. Agar kita tak buta sejarah; tak rabun konstitusi; tak khianat pada asal-usul; sehingga gagah memecah masa depan.

Kami ingin ilmu mereka, dedikasi mereka dan jasa mereka berkembang senapas dengan peradaban baru yang makin civilian di mana para pewarisnya menjadi tulang punggung kemanusiaan.

Kami akan buat BUKU INDUK PERADABAN INDONESIA dan guru-guru pendiri republik menjadi sumber utama penulisannya. Semoga alam restu. Semoga tuan sudi: berbagi dan bersenda.

Terlebih, yang menulis dan yang mati adalah yang abadi. Tubuh dan jiwa boleh termakan cacing dan dihilangkan rezim apapun. Tapi, pikiran dan warisan tulisan akan jadi hantu yang berseru. Memburu kita menuntaskan cita-cita. Jasa, pikiran dan ilmu kita akan tumbuh peluh dalam muda tubuh. Tak menyerah walau kalah. Tak jumawa walau juara.

***

Sudah lama dalam berbangsa dan bernegara, kita mengalami perang kecerdasan. Tak banyak yang tahu. Sebab, yang banyak adalah sibuk mencari kebutuhan dasar yang tak mudah didapatkan. Itu menjebak. Bahkan menjerumuskan.

Dalam perang kecerdasan disebut bahwa mempertahankan kekayaan negeri penjajah adalah merubah model penjajahan. Salah satunya, para penjajah itu menciptakan krisis berulang.

Tulisan yang menjadi buku kecil ini kuberi judul protokol krisis negara buat kita semua. Ini penting agar jika saya mati tak menjadi arwah penasaran bin gentayangan. Sebab, sudah mewariskan pengetahuan terdalam guna mengatasi dan memenangkan pertempuran kejeniusan di masa kini dan selanjutnya.

**
Buku ini kuanggap penting karena makin ke sini, hidup makin tak pasti. Awalnya, stagnasi. Lalu, terjun pelan-pelan. Kadang menukik tajam. Turbulensi ini tantangan kecerdasan. Krisis itu tantangan kejeniusan. Tapi itu tak cukup. Perlu keajaiban semesta. Maka menang, utamanya memenangkan masa depan itu pilihan. Bukan sekedar takdir yang ditimpakan.

Tetapi tak begitu mudah ditangkap. Ya. Sebab masa depan tidak seperti rumah ibadah: sejuk dan menentramkan. Masa depan mirip lautan luas: penuh gelombang dan ketidak terjangkauan. Kalaulah bisa dimengerti, pasti itu penyederhanaan. Bukan sesuatu yang detil dan peta yang kongkrit.

Jika kondisi makin tak pasti, rasanya kita butuh manusia berkuasa yang berkata, "aku ingin menjelma menjadi makanan bagi mereka yang kelaparan dan menjadi pekerjaan bagi mereka yang menganggur serta menjadi obat bagi mereka yang sakit." Sebab, kelaparan, pengangguran dan kesakitan itu segitiga setan urban yang tak mudah ditundukkan.

Tentu saja, tugas terberat manusia berkuasa itu bukan hanya mengerjakan yang benar sesuai konstitusi dan kepentingan nasional, tetapi juga harus mengetahui apa yang benar menurut landasan negara dan filosofinya. Di sini, ia perlu kejeniusan yang meraksasa sebab di kursinya kendali perang modern dimenangkan atau kalah karena minus pengetahuan.

Dengan begitu, kita butuh para penguasa negeri dengan P besar agar berpikir dan bertindak besar. Jika kita punya penguasa dengan P kecil maka yang terjadi adalah negara ini merasa seolah-olah merdeka. Tetapi merdekanya seolah-olah. Dalam negara seolah-olah, kesuksesan sekulah kita adalah panen ternak begundal kolonial bermental kolonial yang membela pembayar.

Sekulah kita kiranya punya kwalitas lucu dan purba karena berkurikulum "surplus memori tetapi minus intelegensi." Banyak menghapal dan menghitung, tak banyak menganalisa dan inovasi. Akhirnya, kita surplus sarjana dan akademisi, tetapi minus nurani. Itulah mengapa banyak akademisi kita korupsi. Menjadi santri KPK bersama penjahat negara lainnya.

Dalam sekulah berkurikulum seperti itu, akhlak terbaik dari agensinya adalah sikap ngadalin bin ngibulin. Ia represi dan menang sendiri.

Bagi agensi seperti ini, hipotesa besar soal mengerjakan tugas kenegaraan pasti absen. Padahal, hipotesanya sangat sederhana: 1)Makin konstitutif ekonomi sebuah negara maka makin adil-makmur warganya; sebaliknya, 2)Makin menjauhi konstitusi ekonomi sebuah negara maka makin senjang kekayaan warganya.

Penguasa dengan P besar menyadari kita hidup di samudra maha luas. Dus, kejeniusannya mampu mencipta keluasan. Proyeksinya mencipta pelangi dan kebhinekaan yang tunggal ika dalam persatuan. Kesendiriannya menciptakan metoda-metoda perealisasian konstitusi.

Dalam mental penguasa dengan P besar, kehilangan masa lalu harus menciptakan sejarah perlawanan pada penjajah baru di masa kini dan datang. Perjalanan ke depan mencipta roman legacy yang dikenang semilyar tahun oleh anak cucu.

Dus, dalam hatinya, ia selalu bertanya, "apa warisanku untuk negeri ini?" Tentu bukan berapa yang sudah kurampok dari bangsaku.

Penguasa dengan P besar akan mengerti yang paling berharga yang tak bisa dimiliki sendiri. Yaitu kemartabatan, kedaulatan, keadilan dan kemakmuran bagi seluruh warga negaranya, serta harga diri bangsanya di mata dunia. Ia adalah jalan sekaligus solusi dari krisis dan turbulensi negeri.

***