HIBRIDASI BAHASA ALQURAN - Yudhie Haryono


Arabisme. Lebih pejoratif lagi adalah ontanisme. Itulah yang sedang umat islam alami. Dus bukan islamisasi. Bagaimana penjelasannya?

Mari kita lihat berdasar teks Alquran. Sebab, membaca dan mempelajari islam yang paling tepat adalah via agensi dan teks.

Bagaimana teks itu bicara soal bahasa dirinya dan umat? Ternyata, ia mengakui hibridasi. Yaitu pengakuan bahwa di dalam dirinya mengandung berbagai bahasa. Intinya, sumber bahasanya tidak tunggal. Apalagi bahasa tuhan, tidak sama sekali.

Karenanya, tiap umat mempunyai nabi (QS/Yunus: 47), yang berbahasa seperti umatnya (QS/Ibrahim: 4 dan Taha: 28). Dalam konteks Alquran, ia menggunakan bahasa arab (QS/Fushshilat: 44 dan Al-Syu'ara:198-199).

Bahasa arab sendiri merupakan salah satu bahasa Semit Tengah; Afroasiatik. Ia termasuk dalam rumpun bahasa Semit yang berkerabat dengan bahasa Ibrani dan Neo Arami.

Berdasarkan penyebaran geografisnya, bahasa Arab percakapan memiliki banyak variasi (dialek). Beberapa dialeknya bahkan tidak dapat saling mengerti satu sama lain.

Menurut para ahli modern, bahasa di dunia awalnya berasal dari daerah asal mula manusia pertama menetap, yaitu sekitar Asia dan Afrika. Bahasa yang lahir dari kawasan ini pada masa-masa berikutnya mencapai ratusan bentuk bahasa baru yang digunakan oleh sebagian besar penduduk dunia.

Bahasa ini dinamakan Afro-Asiatic atau Afrasian atau Hamito Semitic, sebuah istilah yang diperkenalkan oleh Maurice Delafosse (1914). Bahasa ini memperanakkan sekitar 400 jenis bahasa yang beberapa di antaranya telah punah.

Salah satunya, ialah rumpun bahasa Semit yang menjadi tempat bernaung bahasa Arab dalam pohon klasifikasi bahasa.

Kata Semit diambil dari Sem (Syam) putra Nuh, nenek moyang Ibrahim dan Ismail. Rumpun bahasa ini diperkirakan telah ada di Timur Tengah sejak abad keempat SM, kemudian berkembang masuk ke kebudayaan Mesopotamia dan mencapai Suriah.

Rumpun ini juga menurunkan bahasa Akkadian (telah punah), Ibrani, dan Aramaik yang banyak digunakan dalam literatur-literatur kuno.

Jika dianalisis dari segi konteks klausa, terdapat banyak titik kesamaan antara bahasa Semit dan bahasa Arab kuno. Contohnya, dalam unsur fonologi, unsur-unsur fleksi (al-i'rab), dan pola bentuk jamak. Penelitian menunjukkan, bahasa Arab juga memiliki banyak kesamaan dengan bahasa Ibrani, sesama rumpun Semit.

Bahasa arab modern telah diklasifikasikan sebagai satu makrobahasa dengan 27 sub-bahasa dan berasal dari bahasa arab purba, satu-satunya anggota rumpun bahasa arab utara kuno yang saat ini masih digunakan, sebagaimana terlihat dalam inskripsi peninggalan Arab pra-Islam yang berasal dari abad ke-4.

Bahasa arab purba juga telah menjadi bahasa kesusasteraan dan peribadatan Islam sejak lebih kurang abad ke-6. Berbeda dengan bahasa latin, abjad arab ditulis dari kanan ke kiri.

Sementara itu, dalam riset Arthur Jeffery (1892-1959), sumber bahasa Alquran memang bahasa arab, tetapi sangat terpengaruh dan dipengaruhi bahkan disusupi berbagai bahasa asing seperti Ethiopia, Aramaik, Ibrani, Syriak, Yunani kono, Persia, dan bahasa lokal.

Akibatnya, kosa kata yang ada di dalam Alquran banyak mengambil istilah-istilah dari Yahudi, Kristen dan budaya lain.

Jika pengaruh kosa kata asing di dalam Alquran bisa dieksplorasi, Jeffery berharap kamus Alquran yang memuat sumber-sumber filologis, epigrafi, dan analisa teks akan bisa diwujudkan. Kamus tersebut nantinya dapat digunakan untuk meneliti secara menyeluruh kosa kata Alquran yang ada. Dalam benak Jeffery, kamus Alquran tersebut bisa dibandingkan dengan kamus (Worterbuch) yang sudah digunakan untuk Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru.

Kajian Jeffery mengenai pengaruh kosa kata asing di dalam Alquran diterbikan pada tahun 1938, dengan judul The Foreign Vocabulary of the Qur’an (kosa kata asing Alquran).

Dalam karya tersebut, Jeffery membahas sekitar 275 kata di dalam Alquran yang dianggap berasal dari kosa kata asing.

Salah satu tujuan yang ingin ditonjolkan oleh Jeffery dengan menggunakan pendekatan filologis terhadap Alquran adalah untuk menyimpulkan bahwa kosa kata dan isi ajaran Alquran tidak khas arab saja melainkan diambil dari tradisi kitab suci Yahudi, Kristen, dan budaya lain. Muhammad meminjam, mengubah, dan menggunakan istilah-istilah asing tersebut untuk disesuaikan dengan kepentingannya.

Analisa filologis Jeffery membuka jalan bagi pengkaji berikutnya untuk menggunakan metode filologis mendekonstruksi otentisitas Mushaf Usman. Dengan metode tetsebut, ditemukam bahwa Alquran diturunkan dalam bahasa Syiria-Aramik. Bukan bahasa Arab sebagaimana diimani oleh banyak orang.

Karena itu Alquran hanya bisa dimengerti lebih baik dan lebih akurat kalau dibaca sesuai dengan bahasa asalnya, yaitu Syiria-Aramik, sebagaimana terungkap dalam bukunya yang berjudul, “Cara membaca Alquran dengan bahasa Syria-Aramik: Sebuah sumbangsih upaya pemecahan kesulitan memahami bahasa Alquran."

Dari pengetahuan sumber-sumber bahasa dalam Alquran yang plural maka kita jadi tahu bahwa sejak awal ia bukan bahasa tuhan, bukan bahasa suci dan bukan bahasa langit. Ia bahasa sesama manusia yang profan dan hibrida serta digunakan sebagai media sosial, percakapan, sesembahan, peribadatan dan ekopolsusbudhankam.

Jika bahasa Alquran saja sumbernya plural, masak kita dalam berislam hanya terpaku pada mental cungkringis, jidatos dan jilbabos serta dari satu guru atau madzab saja?

Dus, mestinya berislam itu memerlukan keluasan nalar dan kejeniusan pikiran. Tidak sekedar membabi buta pada takfiri, sara dan eksklusifisme ideologi. Jika itu yang terjadi, ambyar dech keagamaan kita.

***

0 comments:

Post a Comment