VIP INDONESIA "MUSSO SANG JENIUS INDONESIA" - Yudhie Haryono


Aku menulisnya bukan karena PKI yang disandangnya. Aku menuliskannya karena pembantaian ribuan warga negara oleh bangsa sendiri. Juga sebanyak 36.000 orang dipenjarakan tanpa pengadilan. Sungguh merupakan kejahatan kemanusiaan tak termaafkan yang tak boleh diulang.

Dan, di antara yang terbunuh adalah Musso pada tanggal 31 Oktober, ketika rombongannya bertemu dengan pasukan TNI yang memburu mereka atas pesanan asing (Belanda dan Amerika). Sudah lama rupanya kita jadi produsen proxy dari asing, aseng dan asong.

Ya Muso. Sipil jenius pertama yang head to head melawan penjajah. Musso atau Paul Mussotte bernama lengkap Muso Manowar atau Munawar Muso adalah tokoh besar PKI yang hanya dapat dibandingkan dengan Tan Malaka. Baik pikiran, ucapan dan jangkauan jaringannya.

Ia memimpin PKI pada era 1920-an dan selalu melawan kolonial sampai 1948 tapi kalah dan dipenggal di akhir kekalahan yang menyakitkan. Kekalah republik untuk tegak terbaik di antara bangsa tengik penjajah.

Musso dilahirkan di Kediri, Jawa Timur 1897. Ia putra seorang kiai besar di Kecamatan Pagu, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Kiai besar itu adalah KH Hasan Muhyi alias Rono Wijoyo, seorang pelarian pasukan Diponegoro.

Karena anak orang berpengaruh, tak sulit baginya menjadi pengurus Sarekat Islam pimpinan HOS Tjokroaminoto. Selain di Sarekat Islam, Musso juga aktif di ISDV (Indische Sociaal-Democratishce Vereeniging atau Persatuan Sosial Demokrat Hindia Belanda).

Saat di Surabaya Musso kos dan jualan buku di Jl. Peneleh VII No. 29-31 rumah milik HOS Tjokroaminoto, guru sekaligus bapak kosnya. Selain Musso di rumah kos itu ada Soekarno, Alimin, Semaun, dan Kartosuwiryo. Musso, Alimin, dan Semaun dikenal sebagai tokoh kiri Indonesia yang radikal anti kompromi. Kartosuwiryo tokoh Islam yang memiliki ummat luas dan gerilyawan ulung. Sedangkan Soekarno adalah playboy yang memproklamirkan kemerdekaan Indonesia, bersama Hatta.

Membaca pikiran dan tindakan Musso adalah membaca mantra di bumi nusantara, "pemberani yang sebenarnya adalah mereka yang tak lekas patah hati, tetapi bertahan dengan menghadapi setiap ujian, cobaan, cercaan dan hinaan. Itulah mental merdeka, mandiri, daulatif, modern, martabatif dan menzaman. Akankah kita menuju stasiun yang sama? Mari bergerak terus tak putus."

Bagi Musso, jika ada cita-cita, maka ada usaha sekuatnya. Jika ada harapan di masa depan, maka ada kekuatan untuk mencapainya. Karenanya, tragedi terbesar warganegara adalah saat tak punya cita-cita dan harapan.

Di sinilah kita harus terus bangun politik harapan dan lanskap cita-cita. Politik harapan dan cita-cita akan solid jika ada ideologi. Maka, mendasari semua perjuangan dengan ideologi adalah keniscayaan.

Dari Musso kita belajar arti kekalahan. Tapi, satu hal yang pasti bahwa usaha besar untuk melawan hegemoni kolonialisme lama maupun baru adalah membangun diskursus perlawanan.

Maka, tak ada ikhtiar jenius untuk membangun jejak perlawanan yang terbebas dari jerat kolonialisme purba dan modern kecuali dengan terus memperbaharui pengetahuan, ideologi dan iptek yang memakmurkan, membebaskan dan mensejajarkan.

***

0 comments:

Post a Comment