INDONESIA EDU OUTLOOK 2020


Bambang Pharma (Ketua Tim Perumus Pendidikan di YSNB).
Achmad Rizali (Ketua Bidang Pendidikan NU Circle, Ketua Presidium Gernas Tastaka).

Warganegara unggul adalah warganegara berbudaya-berpendidikan. Tetapi tak sembarang budaya-pendidikan. Melainkan budaya-pendidikan yang mengakar kuat pada kebangsaannya, ideologinya dan kebijaksanaan lokal sambil terus mencipta budaya-budaya dan pendidikan baru yang kreatif, adaptif dan Indonesianis.

Karenanya, pembangunan kita bukan hanya memerlukan wujud fisik (infrastruktur). Tapi juga pembangunan kebudayaan dan kependidikan agar tujuan-tujuan besar Indonesia dapat tergapai dengan baik.

Kita tahu apa yang kita lihat, rasakan dan hasilkan sekarang adalah output dari sebuah kebudayaan dan pendidikan yang hidup di masyarakat.

Ketika seseorang lahir di dunia jadilah dia sebagai seorang penduduk sesuai dengan etnis, agama, ras atau sukunya. Melalui kebudayaan dan pendidikanlah dia akan dibentuk menjadi warganegara Indonesia unggul.

Warganegara Indonesia yang unggul pastilah memiliki keterikatan dan keterlibatan dibanding penduduk biasa. Maka, sebagai warganegara dia wajib mempertahankan tanah airnya, baik tanah air fisik (bumi tempat tinggal), tanah air formal (negara tempat dia memiliki identitas kebangsaannya) dan tanah air mental (tempat dia mengembangkan mindset).

Sayangnya kini kita sedang merasakan darurat kebangsaan utamanya pada tanah air mental. Misalnya saat dia dihadapkan pada pilihan apakah melakukan kebijakan impor hasil pertanian demi menekan harga ataukah melindungi petani sendiri dengan cara membeli dengan harga mahal dan menjual pada rakyatnya dengan harga murah, maka seorang yang membela tanah air mental sudah pasti melakukannya demi negara-bangsanya dengan melupakan keuntungan pasar.

Contoh lain adalah soal Pancasila. Karena ia adalah satu-satunya ideologi yang diakui di Indonesia, maka aneh jika Pancasila dan agama dipertentangkan. Bagi kita yang paham dan nasionalis, itu senyawa yang tinggal direalisasikan.

Sementara soal darurat tanah air fisik adalah hilangnya pengetahuan keindonesiaan dan kemaritiman dari pelajaran-pelajaran di kurikulum sekolah. Sedang darurat tanah air formal adalah banyaknya UU yang tidak sejalan dengan Pancasila (dan ini diakui berbagai pihak).

Tentu pertanyaannya, "Bagaimana mengajarkan UU jika ternyata yang diajarkan keterkaitan dengan kepancasilaannya masih harus diluruskan"?

Di luar itu, kita juga mengalami darurat tatakelola. Ini juga rumit karena terjadi kesemerawutan pengelolaan antara pusat dan daerah juga lintas kementrian. Tentu, semua itu mengganggu jalannya roda kebudayaan dan pendidikan: baik dalam kurikulum, guru, pelatihan-pelatihan, advokasi, anggaran, dll.

Kesemerawutan ini berbahaya karena kebudayaan dan pendidikan adalah satu-satunya kegiatan manusia yang paling banyak berurusan dengan masa depan. Dengan kesemrawutan ini, jalan pembangunan kebudayaan dan pendidikan sangat terganggu.

Akibatnya, kita mempertaruhkan masa depan anak-anak: masa depan bangsa. Tentu ini membahayakan masa depan kita semua. Sebab pembangunan kebudayaan dan pendidikanlah yang menyiapkan generasi penerus untuk bisa survive di masa depan, tempat setiap mahluk akan menjalani sisa hidupnya.

Jika kemenag yang sama-sama mengelola sekolah diijinkan sentralistik maka mengapa kemendikbud tidak? Ini juga pertanyaan penting mengingat pembangunan kebudayaan dan pendidikan itu perintah konstitusi.

Maka buat langkah, segera terbitkan SKB beberapa kementrian untuk mengurai kesemerawutan ini dan buat solusi kongkritnya. Jika perlu, terbitkan perpu karena darurat situasinya.

Tentu saja, pembenahan tatakelola menjadi salah satu kuncinya dalam perbaikan pembangunan kebudayaan dan pendidikan nasional.

Dalam tata kelola ini, kurikulum inti hendaknya disederhanakan menjadi Trimatra Pendidikan Dasar dan Menengah (Kebangsaan-Etika-Logika). Realisasi trimatra pendidikan bukan sebatas tugas pemerintah, namun partisipasi aktif masyarakat juga harus dilibatkan secara terus menerus dan sistematis. Itulah tugas kita semua sebagai warganegara. Ini juga membuktikan bahwa kewarganegaraan perlu lebih ditonjolkan dibanding kewargaan.

*

World Bank (WB) pada awal tahun 2019 menerbitkan review yang merujuk ke hasil PISA 2015 yang menyatakan bahwa bangsa Indonesia tidak siap menghadapi era Revolusi Industri (RI) 4.0 bahkan 2.0.

Terbukti, hasil uji Indonesia National Assesment Program (INAP) yang kemudian disebut Asesmen Kompetensi Siswa Indonesia (AKSI) menguatkan kecemasan berbagai pihak karena 78% siswa SD kelas 4 memiliki kompetensi Matematika, Sains dan Membaca yang buruk.

Hasil PISA 2018 yang dirilis awal Des 2019 semakin menguatkan kecemasan itu. Ketrampilan membaca siswa Indonesia di usia 15 tahun kembali ke-18 tahun yang lalu dan ketrampilan matematikapun menurun. Meski ketrampilan sains sedikit naik, tetapi rerata total menurun dan tak satupun yang mencapai target RPJMN 2014-2019.

Dengan kompetensi dasar nalar (matematika, sains dan membaca) seperti itu, kita skeptis bahwa Indonesia akan mampu menjemput bonus demografi dan sangat sulit menggapai PDB peringkat 4 sedunia pada tahun 2050.

Dengan data ini, kemungkinan manusia Indonesia hanya  akan menjadi buruh di negeri sendiri. Mengapa? Sebab, pada saat kondisi nalar (logic) buruk, ternyata tak bisa dipungkiri pula bahwa apresiasi bangsa Indonesia terhadap  budaya dan kearifan lokal Nusantara semakin menurun dan cenderung abai.

Permainan, lagu dan bahasa  tradisi menghilang lebih cepat daripada upaya penyelamatan dan serbuan budaya dari luar. Selain itu, permusuhan budaya tradisi nusantara yang dianggap tak cocok dengan keyakinan agama juga mempercepat punahnya identitas keIndonesiaan kita.

Maka, selain upaya memperbaiki nalar membaca, matematika dan sains, upaya mendorong apresiasi seni budaya dan kriya harus pula diperhatikan, termasuk apresiasi terhadap etika umum.

Sungguh tepat anjuran Howard Gardner (5 Minds for The Future,  2011) agar warga sebuah bangsa wajib memiliki nalar agar menumbuhkembangkan "discpline mind" dan seterusnya akan berlanjut ke "creative dan synthetic mind" lalu menjadi "emphatic mind" yang akan menumbuhkan dasar-dasar karakter kemanusiaan (humanisme) sejak dini.

Ketika keempat minds ini sudah mendarah daging di usia muda, maka "ethical mind" akan bertumbuh di jenjang SMA/MA/SMK dan Perguruan Tinggi.

Pada titik itulah kita harus mendorong Kemdikbud fokus bekerja di jenjang SD/MI dan mendorong Presiden untuk membuat Inpres SD/MI yang mengintruksikan semua jajaran agar "mengeroyok" jenjang SD/MI dengan acuan 8 (delapan) SNP (Standar Nasional Pendidikan) dan SKL (Standar Kompetensi Lulusan), SI (Standar Isi) dan SP (Standar Proses) serta SE (Standar Evaluasi) SD/MI dikoreksi agar menopang pencapaian tujuan Pembangunan Manusia Indonesia Tahun 2050.

Standar Mutu Guru SD/MI pun wajib dikoreksi, sejak "Pre Service" hingga "In Service." Fokuskan "Pre Service" pada mutu Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD) dan "In Service" pada pelatihan yang tepat guna langsung bisa diterapkan di kelas. Dengan Inpres SD/MI  ini semua pemangku kepentingan akan dihela bergotong-royong memperbaiki mutu kompetensi murid SD/MI.

Bertepatan dengan berakhirnya tahun 2019 dan hadirnya tahun baru 2020, mari kita duduk bersama solusikan masalah pendidikan nasional dengan komprehensif berbasis Pancasila dan Konstitusi karena masa depan Indonesia tergantung di sektor ini. Singkatnya, jangan main-main dengan pendidikan kita!

***

0 comments:

Post a Comment