HIKAYAT NEGARA PANCASILA - Yudhie Haryono


Ingin kukisahkan padamu apa yang senestinya. Soal kisah negara pancasila. Negeri elok amat kucinta. Ia yang pemerintahnya memeratakan kemenangan, kebaikan, kemakmuran dan keadilan. Satu prestasi yang bisa diraba, dilihat, dirasakan lewat: rasa indrawi, rasa emosi, rasa spiritual dan rasa intelektual.

Maka, mengenang dan mengisahkannya adalah kedalaman raga mulia. Mengingatnya adalah kebahagiaan jiwa pesona. Dari hikayatnya kubanyak tahu tentang keyakinan. Mereka adalah sejarah dahsyat yang selalu memberi dorongan. Walau ini bukan soal cinta dan keputusasaan. Tapi soal rasa dan harga diri. Saat tahajud dan subuh tiba.

Terkejut. Sebab negeri pancasila kuingat sebagai kenangan. Bagaimana kini saat hamil tua: ide tentang pancasila di mana? Masih atau hilang. Di ujung jalan ini. Aku masih ragu. Walau selalu aku menunggunya; menantinya di antara denting pengkhianatan kaum tua. Di tengah terik matahari; saat turun hujan; ketika rembulan purnama. Aku mengetik kisah dan pikiran tentang kita: pancasila, konstitusi dan nusantara.

Alunan pening dan gelisah suara hati. Bermilyar buku. Ratusan jurnal. Mengulas kembali jejak yang telah lalu. Punah. Terlego. Tergadai. Untaian makna yang tercipta buat indonesia. Kisah terbaik soal nusantara. Ilusi terlucu tentang atlantik. Aku abadikan di tempat terindah: di buku ini yang wajib kalian ziarahi. Terus dan terus. Tetapi. Ya tetapi...

Tuan-tuan petinggi di istana yth. Kenapa kalian makin bisu, tuli dan buta pada tanggungjawab negara? Subtansinya terorisme ekonomi. Kenapa yang dikerjakan terorisme buatan sendiri? Sekolahe opo toh awak panjenengan niku? Lebih parah lagi para agamawan "gadungan." Ikut latah dalam kejahiliyahan.

Rasanya almarhum Gombloh benar saat menyanyikan ini: "Bercadar sutera hitam/Terawang jauh di depan/Diiring doa-doa panjang/Mengiringkan kau pergi semayam/Putra terlahir dari bangsaku/Pencetus tekad penyatu/Putra terlahir dari kaumku/Membawa bangsa menuju/Tanah-tanah merdeka/Teriring genggam erat erat/Saudara-saudaramu/Kuingin jabat rapat-rapat/Jemari-jemarimu/Kau tatap mata mata bangsaku/Kau sentuh rasa dengan senyumu berbakti/"

INNALILLAHI WAINAILAIHI RAJI'UN. Telah mati akal sehat; nalar konstitusional; cita-cita proklamasi. Dibajak para penjahat yang kalap.

Akhirnya, kebohongan sistemik menghasilkan kekuasaan sistemik dan korupsi sistemik plus kehancuran sistemik. Inilah perjalanan reformasi yang diisi para plutokrat yang tak berinvestasi dalam revolusi Mei. Terkutuklah kalian semua klan Susi. Juga klan Juki. Juga vegundal Uhik. Kini kita distrus sesama anak bangsa.

Makanya, saat ulama menegara (tentu ikut pesta korupsi), para penggantinya adalah artis pendangkal agama. Apa fatwanya? Agamanya adalah ajaran kekonyolan yang dihayati sebagai kesalehan; kebodohan dianggap kesetiaan; kekerasan diyakini kepahlawanan; kelucuan dipersepsi kesubtansian; ritualisme dihukumi keabadian. Jatuhlah agama menjadi komoditi dan "sekedar kecap" bagi sayuran.

Kita bertanya, "jika semua sudah korupsi, siapakah yang bisa menghentikannya? Jika dulu, pasti ulama dan mahasiswa. Jika kemarin, pasti ketua Muhammadiyah dan NU. Jika hari ini, siapa yah? Alam rayakah via banjir dan bencana? Kita tak punya terobosan jika kebuntuan politik korupsi ini terus jadi tradisi. Semua lumpuh dan saling sandera. Yang lama mati, yang baru tak datang. Simulakra kejahatan."

Pada kalian. Padamu. Kamu. Ya kamu. Bukan dia. Atau yang lain. Kemari. Duduk di sampingku. Sepulang jamaah masjid. Sebab aku lemah tanpa revolusi pancasila. Selemah-lemah makhluk.

So, mari kita baca kitab suci. Yasin di subuh hari. Lalu berenang riang. Di samping rumah. Kolam indah berkah. Kini. Duapuluh tahun lewat sudah. Aku rentan karena kasih yang telah hilang. Ayok memberontak. Sepuasnya. Agar dunia tahu. Rindu ini tak berwaktu. Dari manusia-manusia yang mampu menista dan menyanjung kehidupan kita.

Terlebih negara pancasila bagai langit. Terlihat tapi tak tersentuh. Selama mata terbuka. Selama itulah sejarah berkata dan berkisah kepada kita. Ya. Berkata-kata. Bagai angin. Terasa tapi tak tertangkap. Sampai jantung tak berdetak. Bagai hantu. Ada tapi tak ada. Selama itupun aku tak mampu untuk mengenang dan mengukir plus merealisasikan negara pancasila.

Kalian memang bidadari. Yang bau kentutnya saja wangi dan memabukkan. Dari kalian kutemukan hidupku yang baru. Hidup kejuangan melawan angkara murka yang kentu di istana sambil foya-foya.

Kini. Biarkan. Agar tulisan ini jelas. Tegas. Bagiku kalianlah cinta enigma: tiada yang ada; ada yang tiada. Maka, bila yang tertulis untukku. Pastilah ajaib. Adalah yang terbaik untuk kalian berevolusi jadi publik. Semua kan kujadikan kalian ultima. Bahkan epik yang tragis. Dari kenangan yang terindah dalam hidupku. Sekaligus terburuk dalam sisa usia.

Biarlah teroris datang dan pergi. Teriakan jihad dan syorga. Namun takkan mudah bagiku meninggalkan jejak hidup perlawananku. Hidup yang getir dan membosankan. Terlebih, tak terukir abadi. Tak dikenang pasti. Tak ada patung atau buku. Hanya sebagai kenangan yang terindah dalam ingatan pendek seorang bocah. Kalian. Ya kamu. Ya mereka juga.

Taukah di sisi gelap masa depan. Ada yang kekal. Yaitu perasaan jujur bahwa dari kalian kutemukan hidupku. Bahkan, bagiku kalianlah cinta yang entah seperti apa. Sebab kalian buta, tuli dan bisu. Tentu sebelum kumati sebab setelahnya lalu jadi tuhan, hantu dan hutan.

***

0 comments:

Post a Comment