PERADABAN YANG LENYAP - Yudhie Haryono


Romo Imam Sutrisno yth. Aku mengingatmu kini seperti merapal khutbah seratus tahun lalu yang kuketik setelah lulus Gontor. Ya, tiba-tiba aku merasa engkau beragama saat aku sudah melewatinya. Engkau baru memeluk tuhan saat aku mulai menyetubuhinya: orgasme berkali-kali. Tetapi, hidup hanya soal pergiliran.

Ini aku kirim ketikan kecerdasan yang romo pasti kejang-kejang kalau membacanya. Karenanya, maafkan hamba yang terlalu jenius untuk generasi romo dkk.

Jika harimu ditundukkan pada masa lalu; yang purba dan menihilkan nalar; yang ilusif dan bersendi teks saja; yang lucu karena menggagahi batu hitam maka, sudahlah. Kalian bagai yang ditangiskan Iqbal, penyair besar penulis Javid Nama.

Dalam tangisnya ia menulis, "hampir tiada lagi di muka bumi islam subtansi; yang jenius menguasai tekhnologi. Bukan yang menyembah baju dan batu saja. Apalagi jenggot dan jidat palsu. Kini, mereka seperti umat yang lain: telah menganut paham dan kepercayaan lain. Syahadat mereka sekarang adalah kapitalisme liberal. Mengganti prestasi dengan angka. Menumpuk kuasa tanpa martabat. Membuang tekhnologi dan menggantinya dengan mimpi-mimpi. Di Timur, dalam kegelapan malam-malamnya yang pekat. Tak dijumpai lagi tangan Musa yang bersinar-sinar. Yang membuat kerajaan Firaun runtuh dengan cepat."

Sebab yang kalian sembah bukanlah yang Nabi Muhammad sembah. Yang kalian sembah lebih rendah dari sesembahan kaum jahiliyah. Maka yang berkembang bukan riset, tapi jidatisme. Maka yang lahir bukan rumus jenius, tapi jilbabisme. Maka yang diperdagangkan bukan masa depan, tapi teriakan pengkafiran sesama. Maka yang dibanggakan bukan keadilan, tapi ziarah dan istighosah bertahun-tahun.

Sekolah-sekolahnya menyembah kurikulum purba; memuja kertas; melahirkan mukalid-mukalud buta, tuli dan bisu; mentradisikan teologis palsu berseragam eskatologis.

Kota-kotanya kumuh dan membusuk. Kampusnya bermadzab neoliberal. Ulamanya melacur. Pesantrennya amis dan pesing. Masjidnya kotor dan dekil. Ummatnya korup dan lelet. Tetapi ziarah dan tangis berkembak biak. Baju dan nyanyian mendiaspora. Kutipan-kutipan kesabaran ada di mana saja.

Tapi tak satupun lahir penguasa-penguasa tekhnologi dan lahirnya inovasi-inovasi baru. Bumi, bulan dan matahari hanya dipuisikan. Sejarah muhammad hanya jadi samroh dan diba. Revolusi ekonomi islam tak diajarkan. Mental petarung diabsenkan. Membaca satu buku merasa telah memecahkan semua problem manusia. Bibliolatrik. Tekstualis. Juara menghapal, minus praktik.

Yang ada kini arabisme bin ontanisme. Yang tanpa malu memanfaatkan keberhasilan ilmiah kaum lain dan merayakan matrealisme primitif. Tanpa karya baru, intelek baru, mental baru, rumus baru karena terkuras oleh utilitas tandus dan vitalitas minus warisan kolonialisme purba.

Kini, tak ada lagi trias aktifitas: ijtihad, jihad dan syahid. Mereka mengaborsi masa depan dengan masa lalu. Mereka hidup hari ini dengan ilusi. Jadi jongosnya jongos dunia.

Romo Imam Sutrisno yth. Ingat lagu ini?
Kyai jalanan mulai beraksi/
Sejalan laraku kehilanganmu/
Merindu sepi sunyi sendiri/
Ditelan macetnya akal warasmu/

Romo Imam Sutrisno yth.
Jika engkau adalah ketan goreng/
Aku hanya minyaknya/
Tapi kutaktahu berapa banyak tangan/
Mata dan hasrat yang memandang/
Mengaku islam padahal pohon kurma/

Tuan-tuan yang mengaku muslim, apa kalian belum paham juga? Pasti makin tak paham. Pasti lebih suka marah-marah, memfitnah dan mengkafirkan.

***

0 comments:

Post a Comment