FIRAUN ABAD INI - Yudhie Haryono


Apakah sesembahan manusia kini pada umumnya? Tiga. Menyembah duit (kapital), kursi (jabatan) dan sex (lawan jenis). Tak ada sesembahan baru.

Dan, ini sesungguhnya refiraunisasi. Sebab hanya mengulang apa yang di masa purba sudah terjadi.

Epistemologinya membela yang bayar; membanggakan kekuasaan; memamerkan kebejatan. Aksiologinya adalah menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal.

Kini kawan, taukah kalian bahwa pemerentah negara kita mati? Padahal, nek mati ora obah. Nek obah, medeni bocah. Akibatnya KKN makin subur, bahkan dilindungi. Elite tambah fasis. Orang tua-tua tak memberi teladan. Lembaga negara saling serang dan perang. Birokrasi melayani "asingisasi."

Satu-satunya prestasi pemerintah kini adalah: masih dianggap oleh rakyatnya di mana mereka masih mau bayar pajak padahal rakyat tahu pajak itu tak ada manfaatnya buat mereka.

Sisanya: mengulang Orba. Di mana seluruh pengisian jabatan publik dilalui via sogok-menyogok. Karena itu pula isinya koruptor. Karena koruptor maka mereka bersekongkol dengan koruptor: sistemik, gotong-nyolong, oligarkik.

Kita lihat sekarang. Sejak MK (Mahkamah Konstitusi) memutus untuk mengabulkan permohonan uji materi Pasal 7 huruf g Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 Tentang Pemilihan Kepala Daerah. Dalam pasal itu diatur tentang ketentuan bahwa mantan narapidana dilarang ikut pemilu.

Namun MK memutuskan bahwa para eks narapidana bisa mendaftarkan diri menjadi calon kepala daerah. Baik itu mantan narapidana kasus narkoba, terorisme, maupun korupsi.

Dalam amar putusannya, MK menyatakan bahwa Pasal 7 huruf g UU Pilkada itu bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945. Inilah tafsir hakim yang buta kontitusi, bermotif koruptif dan bau aroma sogok menyogok.

Inilah buah haram demokrasi liberal. Para maling, rampok, pezina dan bajingan yang jelas-jelas sudah merusak bangsa, ternyata dilindungi UU untuk meneruskan kejahatannya.

Maka, presiden kitapun berkata, "agensi boleh ganti. Haluan pasar tetap diikuti. Presiden boleh baru. Madzab liberal jangan diganggu."

Gelap. Senyap. Kalah berkali-kali. Sedih. Pedih. Remuk redam berulang kali. Tetapi, ada jalan keluarnya. Ada cara memutus rantai firaunisme ini. Satu kata:

REVOLUSI RUHANI.
RUHANI YANG REVOLUSIONER.

Revolusi yang digerakkan oleh mereka yang menyembah Tuhan. Mereka yang crank dan menyempal. Mereka yang hidup tak lazim. Karena mereka mencintai keadilan; menciptakan kemakmuran bersama; mempraktekkan Pancasila.

Karena itu jika jiwa revolusi memanggilmu, ikutilah. Meski jalan yang kau tempuh licin dan terjal; berliku dan mematikan. Dan, apabila sayap-sayapnya merangkulmu, tegarlah. Tegak gagah berani. Meski pedang yang tersembunyi di ujung sayapnya melukaimu; menciderai dan membunuhmu.

Sebab, jika kau tak mengikutinya, sungguh jiwamu palsu atau engkau akan menyesal seumur hidup. Sesal yang tiada guna.

Tetapi ingat satu hal. Ini soal perang kecerdasan. Tanpa itu, kita mengulang kekalahan yang sama. Dengan alasan itu, hendaklah bersuka hati kalian yang mencintai revolusi (trias revolusi: mental, nalar dan konstitusional).

Sebab kalian yang melawan firaun abad ini adalah kalian yang mendapatkan wahyu dan tercerahkan. Kalian nabi-nabi abad ini. Musa modern. Rasul teladan. Dus, jangan diam. Sebab diam adalah pengkhianatan.

***

0 comments:

Post a Comment