Natal ini mestinya adalah membebaskan bangsa dari dekapan pemimpin culun. Maka, maulid adalah memerdekakan negara dari tipu-tipu sembilan naga. Dan, yang mampu menikmati natal serta maulid subtantif adalah mereka yang berada di jalur kewarasan publik.

Selebihnya adalah mereka yang ilusif dan romantis. Saling fatwa dan berucap selamat tetapi nasib orang miskin masuk jurang krisis.

Dengan kewarasan publik, kita akan tahu problem publik. Kita tahu bagaimana menemukan solusinya. Lalu, apa problem publik terbesar dan solusinya?

Aku tahu. Bahwa problemnya adalah soal warisan kejahatan. Yaitu warisan terburuk yang kita punyai.

Warisan gigantik penjajahan adalah mental dan nalar kolonial. Inti nalar kolonial ada lima yaitu fasis, feodalis, fundamentalis, liberalis dan birokratis.

Dengan lima nalar itu, Indonesia menjadi: 1)Pemasok bahan baku, 2)Pemasok babu, 3)Pengimpor barang jadi, 4)Pengimpor ahli, 5)Produsen broker. 

Memahami hal itu, para pendiri republik berusaha merubahnya dengan sekuat tenaga. Yaitu dengan menggelorakan revolusi nalar.

Apakah itu? Yaitu gerakan berbasis gagasan dari mental konstitusional. Bernalar membuat kita mampu menempatkan dunia sebagai metoda dan bahan sehingga memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginannya.

Dengan gerakan ini maka lahirlah nalar indonesia: memberontak, hibrida, interdependen, multikultural dan adaptif. Jika diperas, nalar Indonesia itu adalah nalar pancasila. 

Revolusi nalar dengan demikian adalah jihad merealisasikan pancasila di manapun dan kapanpun serta oleh siapa saja dan dengan segala daya upaya.

Inilah gerakan besar sehingga melahirkan mental, rasa dan tindakan dahsyat demi tergapainya mimpi berbangsa-bernegara.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi nalar adalah menjadi manusia cerdas, jenius dan berintegritas. Ia harus bekerja keras, bekerja cerdas dan mentradisikan gotong royong.

Revolusi ini harus menjadi gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.

Kini, setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda.

Bukan hanya mengangkat senjata, menikam mati penjajah, tapi membangun jiwa bangsa: jiwa semua penduduknya.

Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Karena membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa.

Ya, dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa dengan nalar merdeka dan berdaulat.

Nalar yang crank; menyempal dari arus utama; mampu memaknai segala peristiwa dengan subtansinya adalah kurikulumnya.

Karenanya, ketika kini natal dan maulid menjadi rerasan dan festival tanpa perlawanan, ia mereaktualisasikan.

Saat natal dan maulud jatuh menjadi kegiatan harian tanpa dentuman, ia merehermenitika. Sebab ia tahu, itu dua peristiwa big bang. Yang membentuk karakter-karakter dan mental pilihan dan unggulan.

Dus, mari kita maknai ulang. Bahwa natal dan muludan adalah "kelahiran kesadaran trias revolusi: mental-nalar-konstitusional yang diarahkan ke elite."

Tanpa itu, natal dan maulid atau muludan hanya sekedar seremoni makan nasi bungkusnya NU dan Muhammadiyah: beratus tahun tak berdentum!

Hanya debat teks dan perulangan jahiliyah antar kiyai kuno dan ustadz televisi. Memuakkan dan menjijikkan. 

Ayok kita natalan. Ayok kita muludan, ayok kita revolusi. Kita tikam mati sembilan naga dan kompradornya yang jadi penghuni istana-dpr-kehakiman-kepolisian yang korupsi dan dungu tiap hari.

***

Jika tuan terlalu sibuk dengan ontanisme, utangisme dan infrastrukturisme maka tuan pasti abai terhadap keselamatan warga negara (human security approach). Rupanya prioritas pembangunan tuan bukanlah keamanan kehidupan manusia, alam raya dan masa depannya.

Masih ada waktu. Mumpung berkuasa. Waraslah. Tobatlah. Jika tidak, kita sebenarnya mengidap penyakit defisit kapasitas minus integritas. Dan, itu paling akut di elite Indonesia.

Kini. Aku masih belum tahu sejak kapan waktu dibagi-bagi. Apa pula fungsinya. Seperti sekarang: ujung tahun. Dimulai dengan senyummu; masakanmu; cinta kasihmu; gerimis pagi; kolam renang yang tumpah. Hujan dan petir yang menggelegar.

Menurutmu, apa yang akan terjadi jika waktu tak dibagi-bagi? Adakah agama dan negara masih berfungsi?

Kasih. Kawan. Handai tolan. Aku ingat pernah menulis soal waktu. Judulnya: Tentang Waktu~

Tak ada kepurbaan dan keentahan masa depan tanpa mengabsenkan waktu. Ia menunjukkan drama terakurat untuk memberitahu siapa yang paling kita cintai; apa yang paling berharga; apa yang dituju; siapa terbenci; di mana kita dikhianati.

Waktu juga yang menunjukkan pada kita (yang waras) soal dunia itu apa. Soal hidup yang hanya senda gurau dan sandiwara. Soal asmara yang kering mengering lalu jatuh menghilang. Soal hasrat dan kesenangan yang pada akhirnya bukan subtansi. Soal takdir yang menipu. Soal ilusi, delusi dan realitas yang selalu berganti. Soal tuhan hantu dan hutan.

Waktu itu abadi. Berdiam memotret semua kejadian. Demi waktu, kukirim cintaku buatmu kekasihku. Walau kutahu, takdir terbaik adalah tidak mengenalmu.

Dan, akhirnya engkau harus tahu bahwa Indonesia itu anti minorokrasi (minoritas penindas). Indonesia itu anti mayorokrasi (mayoritas penindas). Selanjutnya, Indonesia itu hibridasi (konsensus). Indonesia itu pancasila (mizan).

Tesis pertama adalah makar. Tesis kedua adalah mahar. Bedanya hanya satu huruf: k#h. Siapa melakukan tesis pertama, mereka makar. Siapa melakukan tesis kedua, mereka mahar.

Karena itu. Ada yang menampar kita untuk membuat sadar. Ada yang membelai kita untuk membuat lalai. Ada yang mencinta kita untuk membuat bencana.

Lalu, engkau mau membuat apa? Adakah yang lebih romantis dari menggendongmu di pematang sawah. Lalu, kita mancing ikan di empang pinggir sungai. Hasilnya dibakar dan dinikmati sambil bercerita tentang arkeologi candi-candi Nusantara.

Adakah waktu yang lebih indah dari menatap wajahmu yang rupawan, sambil masak sambal terasi dan cerita soal-soal postkolonial?

Kini. Mari mudik. Menceritakan satu-satu. Tentang kurikulum postkolonial. Di kampus tercinta. Universitas Nusantara. Dari hulu Nusantara Centre. Kini. Dan seterusnya. Biar sepi memagut. Biar sunyi senyap. Seruput kopi pahit. Dan, lukamu kubalut. Mesra. Sampai tak ada angkara. Hari ke hari kau nanti tahu. Ujung kita menjadi sejoli purnama. Bahwa hidup adalah revolusi sia-sia. Sebab, apa artinya bahagia tanpamu.

Kau seperti indonesia. Yang jika diceritakan, butuh trilyunan lembar kertas. Hingga seluruh langit dijadikannya buku, tak akan memfiniskan kisahmu. Apalagi jika tintanya dari air mata para janda. Tak akan seperlimanya. Tak ada yang sanggup mengkanfaskannya kecuali engkau yang memagutku sepanjang waktu. Sayangnya kok engkau tuli, bisu dan buta. Mungkin sudah dikebiri seperti para kasim yang tinggal di istana.

***


 

Arabisme, utangisme dan infrastrukturisme kini sedang berlaga di final liga Indonesia. 3 isme tanpa jeda dan kewarasan akal budi. 3 isme tanpa hati, tanpa nurani.

Lalu, waktu memberi kabar bahwa yang tersisa dari Islam kini tinggal arabisme bin ontanisme. Cirinya tiga: 

  1. Memastikan orang lain di neraka. 
  2. Merasa cukup membaca satu buku (alquran) bisa menjawab semua hal-ikhwal. 
  3. Berkeluh kesah soal-soal asesoris (sampul) bukan subtansi: jilbab, cungkringisme dan jenggotisme.

Ini menjengkelkan karena temuan Philip K Hitti (1886-1978) adalah sebaliknya: "islam adalah perdaban gigantik yang punya tiga warisan: lahir, jihad dan syahid."

Sesungguhnya daya tarik dari Arab adalah kemunculan agama Islam. Ya. Islam sebagai suatu agama, bukan hanya merubah pandangan ekopolsusbudhankam bangsa Arab, namun pengaruhnya begitu meluas ke berbagai aspek kehidupan. Arab, khususnya yang biasa disebut Jazirah Arab sebelum datangnya Islam adalah daerah yang sangat jauh dari unsur-unsur peradaban lain.

Hal ini terjadi karena bangsa Arab dianggap tidak potensial dari segi ekonomi, dan aksesnya sangatlah sulit plus berbahaya. Semua berubah secara drastis manakala Islam berkembang pesat, sehingga menjadi pondasi yang kuat dalam membangun peradaban baru.

Bahkan pada masa dinasti Umayah, Islam menjadi kekuatan dahsyat di dunia yang menimbulkan Pax Islamica dengan penaklukan hingga Spanyol. Kejayaan ini terus bertahan hingga terjadinya perang Salib. Lalu kejayaan Islam lambat laun terus menurun, hancur dan bersisa abunya. 

Kini islam tinggal romantisme dan mitos. Padanya yang dulu punya Tuhan, moral dan jihad, kini tinggal tangis, keluh dan abunya. 

Tak ada lagi teladan. Yang ada hanya kemarahan. Tak ada lagi pengetahuan. Yang ada hanya kejahiliyahan. Tak ada lagi inovasi apalagi penaklukan. Yang ada ribut sendiri dan mati sebelum mati. Maka, belajar islam modern adalah belajar teks (tulisan kehebatan masa lalu). Sedang membaca islam purba adalah mendengarkan kisah dan mitos yang melegenda. Teks dan mitos tentang jalan keselamatan: ummat unggulan, ummat teladan.

Sungguhpun begitu, sejarah peradaban islam menyimpan dan mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme plus melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan ummatnya.

Pertanyaannya, sejauh mana kita bisa memanfaatkan teks dan mitos itu bagi tugas-tugas kemanusisan? Ini menjadi penting karena peradaban islam membawa cacat bawaan kesempurnaan: bibliolateri. Yaitu paham bahwa alquran sudah menjawab seluruh persoalan. Padahal, para ilmuwan membaca ribuan buku masih merasa belum bisa menundukan alam raya. Singkatnya, Islam mengembangkan sejenis penyakit "kutukan kesempurnaan." Hasilnya nir-inovasi dan tuna-industri.

Tesis di atas kini menjadi bukti terbalik. Jika di abad pertengahan dunia berhutang pada islam karena karakteristiknya yang mengajak kritis dan rakus membaca, kini terbalik: islam berhutang pada modernisme: nalar dan multikultural. 

Maka kini, tugas kaum muslim adalah beyond arabisme, beyond ontanisme. Tentu ini kerja raksasa untuk menelaah hubungan teks dan peradaban muslim serta solusi terbaik bagi tumbuh dan berkembangnya islam yang menzaman.

Tanpa kerja raksasa itu, islam tinggal arabisme bin ontanisme: sesuatu yang dulu ditikam mati oleh Muhammad karena fasis-feodalis-fundamentalis-rasis dan jahilis. Persis artis-artis di televisi yang digelari ustad pencari rating dan selebritis.

***

 

Perampokan itu menular. Berulang dan berkali-kali. Kalian ingat perampokan bank Bali, bank Indover, bank Century dan Jiwasraya? Itulah perulangannya. Modusnya sama. Pelakunya mirip. Korbannya serupa.

Perampok itu penyakit menular atau penyakit infeksius (infectious disease). Ini jenis penyakit yang dapat berpindah dari satu individu ke individu lain. Penyakit yang menulari dan membentuk komunitas "penyakitan" yang tak mudah mengobatinya.

Penyakit menular disebabkan oleh agen parasit bermental kolonial berkarakter begundal. Tentu, keberadaan penyakit yang di dalam atau di permukaan tubuh dapat mengakibatkan infeksi. Perpindahan agen infeksi atau parasit tersebut dari individu yang sakit ke individu yang sehat dapat menyebabkan menularnya penyakit.

Pada yang sakit dan duduk di kursi kekuasaan, kita bisa titipkan suara dan puisi Wiji Thukul yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput" (1997).

"Jalan raya dilebarkan/kami terusir/mendirikan kampung/digusur/kami pindah-pindah/menempel di tembok-tembok/dicabut/terbuang/kami rumput/butuh tanah/dengar/Ayo gabung ke kami/Biar jadi mimpi buruk presiden."

Seperti presiden Joko Widodo, kami memang orang miskin. Tak percaya? Lihat muka dan tubuhnya. Juga tutur katanya. Di mata penguasa, kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami. Mereka yang lupa juga karena penyakit menular. Dan, sumber penularan utama itu dari istana. Elite ekopol kalian adalah puncak-puncak dari pilihan penularan itu: perampok, penipu dan lugu.

Dalam keluguan itu, kadang-kadang kita mendengar walau samar celotehnya soal transformasi ekonomi-politik Indonesia yang lima: 

  1. Optimalisasi pemanfaatan infrastruktur
  2. Pemerataan ekonomi
  3. Usaha mengurangi ketergantungan terhadap modal asing
  4. Penciptaan dan peningkatan kualitas SDM
  5. Efisiensi pasar tenaga kerja dan konfigurasi investasi untuk mendukung program yang sudah ada.

Kelima pilar yang dibangun tersebut mestinya saling berkaitan untuk membentuk fondasi pembangunan yang berkelanjutan. Sayangnya kok hanya celoteh. Faktanya persis tahun sebelumnya: samar dan tak nyata. Hasilnya, masih dicoba untuk diraba-raba. Yang jelas, daya bayar warganegara tak ada.

Presiden juga punya cita-cita dan program infrastruktur yang bertujuan meningkatkan konektivitas, merangsang daya saing antardaerah dan implementasi mewujudkan pemerataan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


 

Dilihat dari tujuan kesatu dan kedua hasilnya relatif lumayan. Tetapi tujuan yang ketiga yaitu pemerataan ekonomi dapat disimpulkan tidak tercapai. Sebab, kontribusi pembangunan infrastruktur belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% selama lima tahun terakhir. 

Memang dampak ekonomi infrastruktur tidak langsung serta merta dirasakan karena karakteristiknya yang bersifat long term alias jangka panjang.

Yang perlu dievaluasi adalah bagaimana memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun tidak KKN dan pembagian risiko dapat terdistribusi secara adil plus dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh publik. Bukan melayani korporasi yang semakin mudah merampok milik warganegara.

Dus, proyeksinya adalah kita harus siap-siap menghadapi perampokan-perampokan baru yang bertujuan melanggengkan oliģarki.

Tentu saja, resesi dan krisis ekopol akan datang. Sebab, pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia akan melambat. Hal ini dikarenakan perang dagang AS versus Cina yang berlangsung lama.

Tiap negara yang berhubungan dengan keduanya terpaksa memperlambat pertumbuhannya untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan leverage yang berlebihan. Saat bersamaan pasar negara kita yang sudah rapuh akan terus merasakan aksi dari proteksionisme dan pengetatan kondisi moneter di AS. Dan, kita juga belum punya protokol krisis yang jenius.

Maka, bersama elite yang rakus, kita akan merasakan pekatnya ekonomi dan berdebar menunggu perubahan struktur politik baru. Akankah arsitektur ekopol kita tahan ataukah berubah? Mari kita cermati bersama.

***

 


Ke Purwokerto. Meringis dan menangis. Mengutuki takdir. Ya. Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia.

Ke Semarang. Baca buku dan riset. Sesak napas. Maka, peradaban, peraduan dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah arsitekturnya. Lalu, mati. Ditendang harga diri.

Ke Jakarta. Makin terang kini. Tetapi tetap sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi.

Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama; di setiap sekulah dan zaman; di altar-altar kebiadaban yang tak semenjana.

Di kota ini, ribuan skandal diproduksi berulang kali. Setelah skandal PLN, muncul skandal Garuda, muncul skandal Jiwasraya lalu disusul skandal BPJS dan seterusnya.

Di kota ini. Mental kolonial yang jadi pejabat berwatak penjahat banjir di semua lembaga negara. Rakyat menjerit. Hanya menjerit. Akibatnya, skandal tidak akan pernah berhenti. Inilah potret saat negara dikuasai mafia dan pemburu rente, pasti korupsi-kolusi-nepotis cara hidupnya.

Kapan rakyat marah dan membakar mereka? Mengarak bugil di istana dan melempar sambal pedas ke kelaminnya? Tuhan, aku menunggu kuasaMu!

Ke Depok. Berkeluarga. Bahagia. Mati dan tumbuh. Dalam. Bercabang. Anak pinak. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya.

Ke Carolina. Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan.

Ke Makkah. Ketemu hal lucu. Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. 

Di Indonesia. Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi.

Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil paduka yang mulia.

***


 

Di antara gunung Selamet dan sungai Serayu, takdirku lahir tanpa kupinta. Adakah ini sesaji alam raya untuk menjadi manusia yang menyelamatkan sesama? Hanya enigma air Serayu yang tahu jawabannya.

Kemranjen~

Pada akhirnya bukan masa depan. Pada hilirnya hanya tempe mendoan. Kita tak saling berpura-pura. Sesal setelah tua. Kenapa saat itu kita saling curi pandang dan membuat prestasi yang tak ada hubungannya dengan Indonesia? Demi waktu tak terukur angka. Seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri. Ditelan deru desa. Kini kau telah pergi tak kembali. Namun desamu hadirkan senyummu abadi. Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi. Bila hati mulai sepi tanpa terobati. Sambil sebal pada nasib yang dikangkangi. Engkau kini di mana setelah "salafi" merajalela. Engkau kini sedang apa saat "jokowi" makin tak waras mengurus warganegara.

Banyumas~

Melihat mereka yang hidup demi gaji semata. Atas nama tuhan. Atas nama masa depan. Tak ada kemuliaan karena tidak memuliakan inovasi dan industri. Jika itu terjadi, sungguh tak ada jalan dan festival yang layak dirayakan. Tuhan, aku tak ingin hidup seribu tahun seperti penyair itu. Sekali mati. Sebab takut bercinta, revolusi saja. Bukan lek mad. Bukan lek karno. Mereka bedua bapak para revolusi nyambi bercinta. Jemarimu begitu lentik. Senyummu melirik. Kan kusebut namamu dalam tiap jengkal perlawananku. Bermilyar kawan datang dan pergi. Engkau tetap di hati. Sambil membenci begundal yang terus menang. Di republik ini.

Gontor~

Nalarnya tunduk pada hapalan. Dan, sesungguhnya itulah sebodoh-bodoh masa depan. Karnaval masa yang purba. Perayaan kesia-siaan. Hidup segan mati bosan. Tolong ambilkan bulan, saat kalian suka kopi susu. Tak ketemu. Inilah ontologi minus epistemologi. Sejarah tanpa kreasi. Hanya angka-angka dan kode buntut. Walau tak ada kemenangan, gita cita tetap diperdendangkan. Pesantren-pesantren kita yang purba, adalah peradaban gigantik dan tua di muka bumi yang menyebut dirinya dengan syorga: santri yang ditaburi ustad-ustad membentuk kejahiliyahan semesta. Ialah ibu dari mula pendidikan besar nusantara. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya. Tetapi tetap: merasa menang dan masuk syorga. Entah menang apa dan syorga seperti apa.

Jogjakarta~

Antara mesir dan jogjakarta. Aku jatuh cinta. Soal sekolah yang tumpah. Merana bertepuk sebelah. Mirip kisah cinta tiga malam yang kuingat selamanya. Kini seakan mimpi yang buruk. Sepi dalam kesunyian. Bodoh dalam kebodohan. Kualami setiap hari. Kisah yang sudah tiada lagi. Tertelan sejarah perlawanan 98. Ya. Tinggal memori membawa kebusukan kembali. Adakah waktu tersisa. Menjaga kita tetap sekapal perlawanan.

Kediri~

Kota tahu. Kota santri. Dari kerajaan purba yang tak lagi kita temukan reniknya. Aku menetes. Mengayuh becak. Lari dari deru debu kota dan desa. Menanak nasi dan mengurapi kitab-kitab purbakala yang membuat ummat paria. Saat kubelajar, bab taharah. Saat kutidur, bab wudu. Diulang semilyar kali. Lalu saling tikam. Masuk dan selamat sendiri. Di sini ketemu perawan muda. Tak tahu namanya tapi menikmati semalam romansa. Di antara rintik hujan dan rokok-rokok peradaban.

Purwokerto~

Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia. Yah. Kini mereka sedang bahagia saat aku terluka; terjatuh dan sulit bangkit lagi; tenggelam dan tergopoh menelan air setelan-telannya; mabuks. Maka, setiap pulang ke kotamu adalah pulang pada keperihan, menjejer luka-luka. Tapi di sini juga kutemukan perkawanan sejati.

Semarang~

Peradaban dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah bentuknya. Lalu, mati. Ditendang harga diri. Beginilah keadaan diriku. Semangat membara. Tetapi, ini aku yang bukan aku. Hanya aku yang menyejarah lumrah. Dengan hitam legam kulit punggung dan nasibku. Masih mungkinkah pintu hatimu kunikmati. Dengan hati yang pernah kuremukkan. Dengan niat yang pernah kuabsenkan. Dua tiga perempuan tua menjadi nenek-nenek pulang dan menasib di desa masing-masing. Nggelosot melihat Indonesia makin nelangsa.

Jakarta~

Sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Dehumanisasi. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi. Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama. Tetapi, melalui revolusi nalar, selama masih ada lautan yang bisa dilayari; selama masih ada kewarasan agensi; selama masih ada tanah yang bisa ditanami; selama masih ada nilai-nilai yang bisa disemai, selama itu pula masih ada cinta dan harapan. Sebuah harapan dan cita-cita untuk menjadi bangsa berdaulat total: merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Kita harus meretas jalan kedaulatan. Hal yang lama dilupakan para begundal lokal hasil proxy penjajah internasional.

Depok~

Tumbuh. Dalam. Bercabang. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya. Kadang, kepadamu yang mungkin mencintaiku perlu ditulis. Ada yang tak termanai kutengarai. Ada yang tak sanggup kupahami. Ada yang tak terucap dalam hari-hari. Dan semua adalah tentangmu, kekasihku. Selamat berusaha menjaga hati. Selamat berusaha menjadi istri. Selamat berusaha menjadi ibu. Tetaplah semangat menjadi kekasih, istri dan ibu yang terbaik bagi kami dan keluarga kita. Tapi, tuhan dan alam raya berkehendak lain. Air mata ini habis tiada tara.

Carolina~

Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan. Begitulah keadaannya semilyar tahun lalu. Pilu. Keriting berlumur debu. Penuh luka najis dan bau got. Berlari dan berdiri gemetar depan kampus. Gentar. Seingatku, tidak ada hal lain yang terjadi. Hanya menunggu pergantian takdir berlaku saat semua lepas berlalu. Yang lama hampir mati; yang baru tak kunjung menjelma.

Makkah-Madinah~

Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. Jejak kakiku dan kakimu bersimpuh di kota tua dan purba dengan gigil dan jijik tak berkesudahan. Aku muak padamu; denganmu; bersamamu: tuhan, hantu dan hutan.

Indonesia~

Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi. Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil yang mulia.

Cileduk~

Jika kami bersyukur atas cinta dengan pesta kecil dan membagi cindera mata berupa buku, adakah kalian sudi datang? Dari sini untuk yang kesekian kali hidup dimulai kembali. Menanak nasi, merebus air, merumuskan kampus dan mengajari diri sendiri.

Di Hati Kasih~

Hadis paling lucu saat belajar islamic studies sejak dari gontor sampai mamarika adalah yang berbunyi, "doa kaum tertindas dan kaum miskin itu terkabulkan." Abu Hurairah berkata, rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya (HR Abu Daud dan al-Tirmizi).

Lah piye? Kalau makbul berarti gak ada orang tertindas dan gak ada orang miskin lagi dunk. Sebab orang tertindas berdoa agar merdeka dan orang miskin berdoa agar kaya. Nyatanya kaum tertindas dan kaum miskin tetap banyak terutama di ngindonesia.

Jadi jika ada fatwa bahwa setiap doa dikabulkan Tuhan (di dunia), jelas itu ilusi kaum jahiliyah purba.

***

 

HOS TJOKROAMINOTO DAN AKAR-AKAR INDONESIA

104 tahun yang lalu, tokoh ini dengan sangat berapi-api bicara soal subtansi bernegara. Begini kalimatnya, "Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini harus berani mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri. Supaya kita lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur).

Bila kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya, artinya bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya bersama-sama memelihara kepentingan bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa maupun agama (17 Juni 1916, di Gedung Pertemuan Concordia-sekarang Gedung Merdeka)."

Mengajak merdeka, mengajar merdeka, memimpin merdeka, meraih kemerdekaan negara dan merealisasikan kemerdekaan pikiran plus tindakan merupakan lima ciri utama HOS Tjokroaminoto.

Maka, Tjokroaminoto merupakan guru bangsa. Guru bagi tokoh-tokoh yang kelak sangat berpengaruh di pra maupun pasca-kolonial, seperti Sukarno, Semaoen, Musso, hingga Maridjan Kartosoewirjo. Maka, tidak berlebihan jika Tjokroaminoto boleh disebut sebagai bapaknya bapak bangsa Indonesia.

Tentu saja, ia lahir untuk melawan. Hidupnya hanya tiga hal: lahir, jihad dan syahid. Walau bisa jadi ningrat, Tjokroaminoto tak ingin menghabiskan jalan hidupnya dengan menikmati fasilitas yang ia dapatkan sebagai keturunan bangsawan. Ia memilih sebaliknya: bersama kaum miskin dan terjajah.

Dari mana ia mendapat amunisi perlawanan itu? Dari agama via kitab sucinya dan dari literasi dunia. Adalah kenyataan bahwa para bapak bangsa Indonesia merupakan pembaca serius karya-karya Karl Marx (1818-1883). Begitu juga dengan tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto (1882-1934), Bung Karno (1901-1970), Bung Hatta (1902-1980), dan Sutan Syahrir (1909-1966) yang membaca dengan sangat teliti sampai menemukan antitesanya.

Dari literasi terhadap Marx, Tjokroaminoto menulis karya penting yang berjudul "Islam dan Sosialisme." Di buku ini, nampak Tjokroaminoto sangat wasis menganalisis, menyetujui serta mengkritisi pemikiran Marx sambil membandingkan ide-ide sosialisme dengan kehidupan Nabi dan para sahabat.

Tentu saja, sebagai orang muslim taat, Tjokroaminoto membaca prinsip materialisme dalam ajaran Marx sebagai penentangan terhadap Tuhan dan agama.

Untuk meyakinkan diri dan pengikutnya, Tjokroaminoto sampai mengutip langsung dari buku Marx, “Agama ialah kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan beban hidup yang sukar ini, agama itu candunya rakyat.”

Dus, bagi Tjokroaminoto ajaran Marx ini bukan saja memungkiri adanya Allah, tetapi juga menegasikan peran utama agama sebagai basis perlawanan pada ketidakadilan.

Dengan antitesa itu, Tjokroaminoto sampai pada kesimpulan bahwa, “Bagi kita orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lainnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar dengan Islam.”

Dengan sosialisme islam yang mengindonesia, republik ini akan tegak berdiri. Dus, akar-akar utama dalam negara Indonesia adalah sosialisme, islam dan perlawanan pada kolonialisme yang berupa warna.

Bagi tokoh bangsa sekaliber Tjokroaminoto, hidup kita adalah bagaimana menikmati dan belajar memecahkan masalah di sela-sela pengkhianatan teman-teman. Hidup kita adalah bagaimana belajar dan senyum terus untuk menari di saat hujan badai menjadi-jadi. Menaklukan keterbatasan-keterbatasan. Tentu saja, tafsir lanjutan dari tesisnya menjadi hidup kita adalah bagaimana terus melawan di tengah elit pemerintah dan negara yang khianat pada konstitusi dan Pancasila.

Singkatnya, kita boleh bertanya, "mengapa kehidupan berbangsa dan bernegara kita terasa semakin runyam?" Karena bangsa dan negara ini dirancang dan diperjuangkan oleh kaum idealis dan negarawan yang mempunyai wawasan filsafat yang bersifat mendasar dan berjangka panjang; tetapi direformasi oleh para politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam." Di sini, mengenang Tjokroaminoto menjadi sangat penting.

***

 


Kegiatan ini bernama Nusantara Writers and Readers Festival (NWRF). Ini adalah sebuah festival literasi tahunan yang diadakan di kota hujan romansa Bogor, Indonesia. Festival ini digagas oleh lembaga Nusantara Centre, yang fokus bekerja dalam ranah budaya, pendidikan dan sastra. Kurikulum nusantara studies dan universitas nusantara adalah beberapa produknya.

Kertas kerja ini bertujuan untuk mempromosikan gagasan nusantara dan pembentukan pusat seni, pendidikan, sastra dan budaya nusantara, mengumpulkan penulis-penulis muda dan pameran karya mereka di panggung internasional, serta menyediakan beasiswa riset budaya, pendidikan, sastra dan budaya.

Kegiatan utama dari NWRF adalah diskusi dan pemutaran film, pentas seni budaya, temu penils dan peluncuran buku serta pelatihan dan lokakarya riset kebudayaan.

Menghadirkan NWRF adalah mencoba memahami Nusantara sebagai jejak purba peradaban yang hampir punah. Ketika menjadi Indonesia, rerumputan kering dan mati. Pohon-pohonnya layu. Moralitas dan akhlaknya ambruk. Sepeninggal para pendirinya, rumah-rumah ibadah ramai tapi sangat sepi dari nilai. Persisnya, senyap tak berpenghuni gagasan. Pohon mangga berbuah, tapi generasi kita tak sudi menyantapnya. Mereka lebih bahagia bersama komoditas asing-asengnya. Ceria jadi milenial tak bernalar revolusi, apalagi inovasi.

Kolam ikan kering. Kolam renang berdebu. Perpusnya mati. Mereka berkata lirih, "buat apa membaca buku kembali? Tokh pejabat kita goblok-goblok sekali." Gitar dan piano terbujur kaku. Lalu mereka berujar, "buat apa bernyanyi kembali jika sedih juga akhirnya."

Padahal semilyar bulan lalu dunia tak ada. Ketika terbentuk, kitalah rupanya. Kita yang pernah mimpi revolusi. Kita paham betapa beratnya meruntuhkan firaun suharto dan kurikulum neoliberalisme.

Kita tentu sangat mencintai ilmu. Lama sudah kita menunggu benih pengetahuan bersemi; tekhnologi beranak pinak. Tetapi kini hampir mati habis nafas semua penghuni. Tak ada lagi seutas harapan tulus cinta kehidupan. Sesuci bidadari.

Tak pernah lupa kita impikan. Bercanda sastra. Kita sadar betapa beratnya meruntuhkan penjajahan. Setelah hampir mati ditelan romusa. Lama sudah kita menunggu terbukanya hati. Tersandranya nalar. Seutas harapan tulus cinta kemerdekaan.

Takkan kita temui. Problema seperti Indonesia. Takkan kita dapatkan. Rasa cinta pada negeri. Takkan kita pedulikan. Rasa penasaran pada penjajahan. Kita bayangkan bila kalian datang kembali. Kita peluk bahagiakan sejarah. Kita serahkan seluruh hidup kembali menghentakkan. Menjadi penjaga hati nusantara. Penjaga cita dan cinta yang suci. 

Kawan. Sering kali kita temukan. Mahkota bertabur intan permata. Meski kita telah terbiasa. Tambatkan hati. Pada takdirNya. Kini kita hanya mayat sepi penikmat kesunyian tak bertepi. Teman kedunguan. Tak berseri.

Kawan pejuang. Pada indonesia kita berjanji. Padanya kita berbakti. Dalam kesenyapan tak bertepi. Kesedihan tak terperi. Yang para malaikatpun tak kan sanggup memanggulnya. Yang jeniuslah yang akan menemukan solusinya. Mereka yang bersetia kerja raksasa: merealisasikan pancasila. 

***

 


Untuk ia yang menggentarkan jika kueja namanya. Bahagia tanpa bertemu. Suka cita tanpa pesta. Yang tahu bahasa cina pasti memahaminya. Engkau yang kemarin ikut membahas: 

  1. Diskursus Atlantik
  2. Diskursus Nusantara
  3. Diskursus Indonesia
  4. Diskursus Pancasila
  5. Diskursus Konstitusi
  6. Diskursus Geneologi Pendiri Republik
  7. Diskursus Rempah, Herbal, Emas dan Nuklir
  8. Diskursus Ekopol Mutakhir
  9. Diskursus Kolonialisme dan Neoliberalisme
  10. Diskursus Orientalisme dan Oksidentalisme
  11. Diskursus Arsitektur Indonesia Modern.

Untukmu yang belum mengerti bahwa jihad akbar adalah memerdekakan bangsa dan kaumnya secara terus menerus dari kolonial internasional dan anarki lokal.

Atlantis;

Punah sudah. Kami mencarimu seperti pencarian siang kepada malam. Ada. Dirasa. Tapi tidak bertemu. Saat banjir tiba, engkau bagai perahu. Saat kemarau datang, engkau embun yang tertegun. Belajar tentangmu jadi tindakan subversif. Kini, apa yang sedang kau diskursuskan?

Nusantara;

Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala pernama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati. Kusebut nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya kini tak melambai. Sungainya kering kerontang. Cintanya kini tanpa pantai. Apa yang sedang kau hadirkan?

Indonesia;

Apa yang akan kau lakukan kini. Saat semua senyum tinggal keputusasaan. Setelah sayap-sayapku terpatahkan olehmu. Setelah jiwa-ragaku terkhianati olehmu. Setelah air mataku tergerus habis tak bersisa kecuali darah kesunyian. Saat arti sebuah perasaan yang terdalam dan harga diri sebuah pengorbanan tanpa batas menjadi sia-sia belaka. Dicampakkan sendirian. Apa yang sedang kau rasakan?

Kekasihku;

Aku tau kau kurang-ajar. Sebab lakumu batu. Niatmu tipu-tipu. Mentalmu kuntilanak hantu. Persis nusantara dan indonesia terhadapku. Kini aku versus nusantara. Kini aku melawan indonesia. Dan, hanya bisa tersenyum masam. Sambil menghela nafas dalam-dalam. Sebelum semua tenggelam. Oleh pekat malam dan sejarah kelam. Apa yang sedang kau takdirkan?

Untuk nama yang penuh pesona. Diimpikan sepanjang masa. Kini, semua mati. Menangis tapi tak ada air mata. Sesunggukan tapi tak ada suara. Sedih tapi tak ada guna.

Tentu, aku bahagia mengenal tuan putri. Bunga revolusi yang mencinta Indonesia. Teman berbincang yang sangat baik untuk mentertawakan takdir.

Bermilyar hari memberitahu kita bahwa republik ini bunuh diri. Telah lama kita duduk tertegun. Kagum dan ngungun. Kok bisa begitu banyak agama hidup di sini, tapi penjahat panen tiap detik. Peristiwa anomali. Membuat kita merenungi dan menghayati semua peradaban yang chaos.

Di penghujung senja yang merah menguning. Di penghabisan air wudu di waktu subuh. Yang ada adalah hanya bayang mayat-mayat. Tebarkan keranda. Juga penyakit tak tersembuhkan. Tapi, itu hanya membuat hatiku gelisah resah tak menentu. Buntu.

Semua pasti sirna kecuali ilmu dan amal, katamu suatu kali saat kita lempar tai ke istana. Tapi nujummu itu kini tak faktual. Sebab yang abadi kini hanya keculasan dan pengkhianatan.

Sayank. Sudah seratus tahun saya tak percaya pada usaha cerdas, kejeniusan, hantu, hutan, harapan-harapan, cita-cita, mimpi-mimpi, ilusi-ilusi dan perjumpaan-perjumpaan jaringan. Aku juga sudah tak percaya pada nasib baik dan mukjizat. Makanya kucukupkan diriku jadi tukang ketik.

Aku bisa apa sebab noktah ini kini cuma bergurau ceria menunggu kepunahan.

***


KATA INI TAK PAS BENAR. Tapi mau bagaimana lagi. Terjadi deindonesianisasi dalam arti "asingisasi" yang identik dengan proses pencabutan pemikiran dan tindakan lokal-nasional.

Dan, hampir semua kita mengalaminya. Karenanya, bila tidak melakukan perlawanan secara sungguh-sungguh maka dapat dipastikan kita sudah ditelan mentah-mentah oleh proses itu. Defisit. Lalu, habis. 

Sederhana mengukurnya, bisa dengan perlahan menghitung ulang pengetahuan tentang tokoh-tokoh dunia. Siapa yang lebih kita kenal dan kagumi secara sadar maupun tidak, tokoh-tokoh itu. Siapa yang lebih punya pengaruh kepada diri kita dari mereka.

Apakah kita lebih lancar menghapal Adam Smith, Thomas Aquinas, Archimedes, Thomas Alfa Edison, Winstone Churchill, Montesquieu, Einstein, Hegel, Sigmon Fraud (Barat), Al Kindi, Al Biruni, Ar Razi, Al Farabi, Al Kwarizmi, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Al Kattani, Ibnu Tufail, Ibnu Al Haitsam, Al Zahrawi, Al Ghazaly, Al Fatih, Salahuddin Al Ayubi, Al Makassari, Al Minangkabawi, Al Fansuri, Al Banjari, Al Bantani, Ar Raniri, Al Falembani (Islam), dibanding tokoh Nusantara macam Ratu Syima, Arok, Gajah Mada, Ronggowarsito, Pattimura, Diponegoro, Cut Nyak Din, Hamengkubuwono, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, Soedirman dll?

Harus diakui, generasi kita tidak begitu mengenal dengan baik nama-nama dan pikiran tokoh-tokoh Nusantara.

Sepanjang hidup kita di bangku sekolah sudah dicekoki dengan sosok-sosok asing. Kalaupun ada nama-nama tokoh Nusantara, maka itu hanya sekilas saja, tidak dengan konsep, teori dan banyak hal tentang mereka.

Sumber informasi tentang tokoh dan ilmuwan Nusantara itu disembunyikan dan hilang sejak lama. Padahal kita tahu, merekalah sebab kita di Indonesia: menjadi seperti sekarang. Dus, ilmu dan mental mereka tak kalah dari tokoh-tokoh asing.

Kiranya. Naif dan malang sekali nasib kita yang mengaku warganegara Indonesia ini, tetapi tak berterimakasih pada para pembuatnya: pahlawan putra bangsa.

Lihatlah hari ini, apa yang terjadi pada generasi muda, apakah ada perbaikan? Hasilnya mereka lebih kenal tokoh yang mana? Sudahkah mereka lebih mengenal pikiran, gaya hidup dan teori-teori jenius dari ilmuwan kita?

Saya kira belum ada yang berubah, bahkan semakin parah. Anak-anak lebih hafal dan lebih kenal artis film, artis sinetron, tokoh kartun dan hal-hal yang menjauhkan mereka dari Indonesia. 

Kita sudah terasingkan di negeri sendiri: dari para tokohnya; dari pikiran, ucapan, tulisan dan tindakan mereka. Hampir sempurna. Tidak heran begitu banyak yang gigih berpendirian dan menjadi sosok yang liberalis, sekularis, humanis, feminis, arabis, ontanis dan cungkringis!