REPUBLIK YANG MENUNGGU - Menunggu Republik - Yudhie Haryono


Problem utama negara-bangsa postkolonial itu banyak sekali. Setidaknya, jika dikelompokkan ada lima. Pertama, menentukan garis batas waktu (Proklamasi). Kedua, menentukan garis batas teritori (Wilayah). Ketiga, menentukan garis batas tempat kuasa (Istana dan Kota). Keempat, menentukan garis batas iptek (Kurikulum dan Pengetahuan). Kelima, menentukan garis batas mental (Kedaulatan dan Konstitusi).

Bagaimana menjelaskannya? Mari kita bahas satu per satu. Sebagai garis batas waktu, proklamasi adalah klaim dahsyat bahwa kita merdeka. Secara hukum, proklamasi merupakan pernyataan berisi keputusan politik tertinggi bangsa Indonesia untuk menghapuskan hukum kolonial (penjajah) dan diganti dengan hukum nasional (Indonesia), yaitu lahirnya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dengan demikian, semua produk hukum bangsa penjajah diganti dengan produk hukum bangsa Indonesia.

Secara historis, poklamasi merupakan titik akhir sejarah penjajahan di Indonesia sekaligus menjadi titik awal Indonesia sebagai negara merdeka, bebas dan berdaulat. Secara sosiologis, proklamasi menjadikan perubahan dari bangsa yang terjajah menjadi bangsa yang merdeka. Proklamasi memberikan rasa bebas dan merdeka dari belenggu penjajahan. Jiwa rakyat Indonesia berubah jadi rakyat yang bebas membangun kembali bangsa yang setelah sekian lama dijajah dan porak poranda akibat peperangan, khususnya jiwa mengisi kemerdekaan dengan yang bermanfaat.

Secara kultural, proklamasi membangun peradaban baru dari bangsa yang digolongkan pribumi (pada masa penjajahan Belanda) menjadi bangsa yang mengakui persamaan harkat, derajat, dan martabat manusia yang sama. Kita menjunjung tinggi nilai kemanusiaan setelah pada masa penjajahan begitu banyak pemaksaan yang dilakukan oleh penjajah. Secara politis, proklamasi menyatakan bahwa bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berdaulat dan mempunyai kedudukan sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia; bangsa Indonesia dapat menentukan sikapnya tanpa ada yang memaksa.

Secara spiritual, proklamasi yang diperoleh merupakan berkat rahmat Tuhan Yang Maha Esa yang meridai perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah. Proklamasi mencerminkan tekad kemandirian bangsa Indonesia untuk terlepas dari penjajahan bangsa asing. Sebagai negara yang merdeka dan bebas, Indonesia ingin mengantarkan dirinya ke gerbang kehidupan yang adil dan makmur. Kemerdekaan merupakan jembatan emas untuk mewujudkan cita-cita bangsa dan negara.

Proklamasi memuncaki perasaan senasib dan sepenanggungan akibat belenggu penjajahan yang berabad-abad, serta kesengsaraan lahir batin; memuncaki kesadaran bangsa Indonesia tentang hak kemerdekaan setiap bangsa; memuncaki nilai-nilai luhur agama yang menjiwai dan memengaruhi kehidupan bangsa Indonesia, seperti persamaan harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan serta hak dan kewajiban sesama umat manusia sebagai ciptaan Tuhan; memuncaki keinginan luhur budaya bangsa Indonesia supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas dalam rangka mencapai cita-cita bangsa dan tujuan negara.

Adakah garis batas waktu dipahami dan diresapi oleh pejabat dan elite kita? Rasanya makin dilupa dan dikhianati.

Soal garis batas teritori. Sampai kini kita gagal memastikannya. Begitu banyak pulau, laut dan udara kita dikuasai oleh asing. Untuk sementara catatan resmi negara di Bappenas, luas wilayah Indonesia (daratan dan lautan) adalah 5.193.250 km. Tetapi fakta dan faktualnya abu-abu. Tidak ada dalam konstitusi. Tidak ada usaha mempertahankannya dengan persenjataan yang canggih. Tidak dibangun. Tidak diperhatikan. Sungguh, inilah garis batas teritori yang dialpakan, dilupakan dan dibiarkan.

Soal garis batas kuasa. Sampai kini, istana dan kota kita merupakan peninggalan kolonial. Dibuat dengan selera dan iptek kolonial. Karenanya, yang selalu terjadi adalah "ekonomi di Indonesia." Yang sedang berlangsung adalah "pembangunan di Indonesia." Hasilnya berupa pembangunan ekonomi oleh orang luar, dari orang luar dan untuk orang luar. Kita jadi penonton dan jongosnya para jongos. Lembaganya lembaga dengan modus dan strategi asing. Sehingga tidak kompatible dengan suasana dan hati warga negara Indonesia. Impor semuanya: ilmu dan kelembagaan. Jika begini, bagaimana mau merdeka 100%?

Soal garis batas iptek. Kini, praktis semua kurikulum dan pengetahuan lokal, habis. Yang ditulis, diajarkan, dihapal dan diiklankan tiap detik adalah ilmu luar. Bahkan ide, logos, konstitusi absen semua. Akhirnya, di negeri ini, kita lahir dan merdeka sampai mereka berkuasa: Tanah kita sewa, air dibeli, udara dicicil. Hingga miskin kapital, budak mental, alpa tauladan. Taukah kalian derita penjajahan pengetahuan? Sebab pengetahuan adalah kekuatan dan kekuasaan.

Singkatnya, kini kita butuh ilmu psikohermeneutika sebagai pedang tajam pemenggal fundamentalisme dan feodalisme. Juga ilmu triasekonomika sebagai keris sakti penikam neoliberalisme dan kolonialisme. Jika dua ilmu itu bersekutu dengan ilmu postkolonial, ilmu konstitusi dan ilmu ideologi pancasila, mereka akan jadi panca-nuklir maut revolusi kemerdekaan nusantara ketiga.

Terakhir soal garis batas mental. Kita mewarisi mental kolonial yang berciri ambtenar, inlander, malas dan jalan pintas. Tentu ini memabukkan sehingga jalan mundur. Yang bagus berkurang; yang buruk bertambah. Yang miskin makin paria; yang kaya makin digdaya.

Cara mengobatinya, kita harus melakukan “gempuran nilai” (value attack) agar publik segera sadar. Kita harus ganti mental kolonial dengan mental konstitusional. Tanpa gerakan itu, jika kita cari mukjizat di Indonesia, yang didapat hanya keparat dan bangsat. Maka, kiyamat sudah dekat. Kita dilaknat. Tak punya martabat.

Kawan. Melampaui itu semua, sekarang mari mulai dari menyehatkan nalar dan mental diri sendiri. Sebab, orang bernalar dan bermental sehat akan melihat Indonesia sebagai spirit kehidupan; modal revolusi. Indonesia memberi energi kesejahteraan, kebenaran dan keadilan pada setiap aspek kehidupan sosial, ekonomi, politik, kebudayaan, pengetahuan, teknologi bahkan peradaban. Jika sehat nalar dan mental kita, ada setitik harapan di tengah pekat kegelapan.

***

0 comments:

Post a Comment