DI BAWAH BENDERA NEOLIBERALISME - Yudhie Haryono


Mestinya, dalam politik Pancasila diatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah). Jika hari ini cuma dua (liberal dan komunal rasa liberal--dpr dan dpd) maka politik kita rabun konstitusi dan khianat cita-cita proklamasi.

Itulah neoliberal kampungan. Maka, kuta berkutat dalam soal utang negara. Utang luar negeri. Warisan APBN minus. Bahwa tingginya utang masa lalu kita adalah juga kreasi dik Sri (SMI) yang menjabat Menteri Keuangan era Sebeyeh. Berdasarkan data dari Dirjen Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan (2011), total penerbitan Surat Berharga Negara/SBN (bruto) sejak tahun 2006 hingga tahun 2010 adalah sebesar Rp 473,3 triliun.

Dengan bunga SBN yang tinggi di tangan SMI (Sebeyeh), total utang luar negeri dalam bentuk SBN di akhir 2016 mencapai Rp 2.700,82 triliun, maka sumbangan SMI mencapai 40%-nya.

Tentang bunga SBN yang tinggi ini, SMI memiliki sejarah keserakahan. Karena kegilaan hatinya pada investor, SMI diganjar berbagai penghargaan internasional dan tak pernah absen masuk ke dalam tokoh yang berpengaruh di dunia. Padahal dalam catatan Direktur CEDeS Edy Mulyadi, pada 2008 SMI menerbitkan global bond dengan bunga sebesar 6,95%, menjadi yang tertinggi di antara negara-negara ASEAN.

Sebab saat itu Malaysia hanya memasang bunga 3,86%, Thailand 4,8%, bahkan Filipina (yang saat itu dikatakan sebagai The Sick Man of Asia) memasang bunga sebesar 6,5%. Kemudian, pada 2009 SMI kembali menerbitkan global bond dengan bunga super tinggi, mencapai 11,75%. Padahal saat itu Filipina hanya pasang bunga 8,5%. Bunga Indonesia saat itu hanya kalah sedikit dari Pakistan, negara yang setiap hari diguncang bom, yang memasang 12,5%.

Kesimpulannya, SMI sebenarnya adalah bagian dari masalah negeri ini. Dirinya tidak pernah menjadi bagian dari solusi, apalagi terobosan. Sayangnya kini SMI disetubuhi setiap pagi oleh rezim baru. Mereka kini duo-i yang sama-sama begundal neoliberal di istana pengundang bencana: pencipta utang, penggadai asset, pengobral warisan, kreator ketimpangan, penggila kemiskinan.

Dengan berbagai kondisi di atas, aku berangan-angan. Jika dan jika saja tuan Pramoedya Ananta Toer adalah Marx, sayalah Leninnya. Sebab, saya adalah revolusioner. Pada mimpi, angan, tulisan, dan pembrontakan-pembrontakan plus demonstrasi-demonstrasi. Sedang tuan Lenin adalah revolusioner, politikus, dan penggagas teori politik berkebangsaan Rusia; pendiri Uni Sovyet dan penghapus segala ketertindasan. Nama Lenin sebenarnya adalah nama samaran yang diambil dari nama Sungai Lena di Siberia. Ia menjabat sebagai pemimpin RSFS Rusia sejak tahun 1917, lalu Perdana Menteri Uni Soviet sejak tahun 1922 hingga kematiannya.

Lenin berhaluan politik Marxis dan telah ikut menyumbangkan gagasan politiknya dalam pemikiran Marxis. Mental dan tindakannya disebut sebagai Leninisme. Gagasannya itu bila digabung dengan teori ekonomi Marx dikenal dengan sebutan Marxisme–Leninisme.

Sedang gagasan-gagasan saya merentang jauh dari desain manusia atlantis, agensi konstitusi, trias-ekonomika, psiko-hermeneutika, pribadi pancasila, modern maritime state civic nationalism, kitab kedaulatan, theori kemandirian, agama hibrida, post-islam liberal, postkolonialisme republik, beyond islam, mental kolonial, restrukturalisasi negara dan kaum muda memimpin.

Jika tuan Lenin merealisasikan negara dan revolusi via komunisme, saya sedang merealisasikan negara dan revolusi via pancasilaisme. Yaitu negara yang didesain secara nalar kejeniusan bergelombang sehingga punya cetak biru politik Pancasila yang mengatur tentang kewajiban dan hak individu (liberal) yang diselaraskan dengan kewajiban dan hak komunal (utusan golongan) plus kewajiban dan hak teritorial (utusan daerah).

Gagasan politik pancasila menjadi penting karena riset Kahin dalam buku Revolusinya bertesis bahwa kolonialisme menjadikan Indonesia: 1)Punya watak sewenang-wenang dalam pemerintahan, 2)Anti kewirausahaan, 3)Membutakan warga dari pasar, 4)Mentradisikan korupsi, 5)Merubah gaya pertanian jadi "kepegawaian." 6)Mencintai bisnis sewa-menyewa dibanding riil. 7)Keinginan cepat kaya para ambtenarnya, 8)Senang mengkayakan diri di tengah kemiskinan rakyatnya. 9)Lupa diri saat berkuasa.

Begitulah kini. Lupa diri. Maka, saat ulama berbondong-bondong menegara (ikut KKN), para penggantinya adalah artis pendangkal agama. Apa kerjanya? Mengajarkan kekonyolan yang dihayati sebagai kesalehan, kebodohan dianggap kesetiaan, kekerasan diyakini kepahlawanan, kelucuan dipersepsi kesubtansian, ritualisme dihukumi keabadian. Jatuhlah agama menjadi komoditi dan "sekedar kecap" bagi sayuran.

Karenanya, kita memerlukan kecerdasan melimpah untuk memahami kompleksitas agama. Kita juga memerlukan kejeniusan sistemik untuk memahami kebrutalan neoliberalisme.

Tanpa kecerdasan yang melimpah dan kejeniusan yang sistemik, warga negara jadi korban pertamanya: mereka asyik masuk ritual ilusif dan terbangun saat tangan dan kakinya terbergol kemiskinan dan ketimpangan.

Agama yang mencandu. Fundamentalisme yang meracun. Kolonialisme yang merusak. Neoliberalisme yang menjajah. Keempatnya bersekutu memariakan kita semua.

Padahal, jauh hari Karen Armstrong (1993) sudah menulis, "Manusia yang tidak bisa menanggung beban kehampaan dan kenestapaan; mereka akan mengisi kekosongan itu dengan menciptakan fokus baru untuk meraih hidup yang bermakna.

Tetapi, berhala kaum fundamentalis (ontanis maupun sekuleris) bukanlah pengganti yang baik untuk Tuhan. Dus, jika kita mau menciptakan gairah keimanan yang baru untuk abad keduapuluh satu, mungkin kita harus merenungkan dengan seksama sejarah Tuhan dan agama demi menarik beberapa pelajaran dan peringatan.

***

0 comments:

Post a Comment