WAYANG KEHIDUPAN - Yudhie Haryono


Ayok marah. Ayok memaki. Sebab bertanya makin tak berarti. Kalian kelola Indonesia seperti perusahaan, kok anggota-anggotanya kebanyakan gak dapat untung?

Kalian kelola Indonesia seperti negara, kok rakyat kebanyakan gak makmur dan sejahtera? Di mana kegoblogan ini bermula dan bagaimana mengakhirinya adalah dua tanya yang makin mengemuka.

Di gerimis pagi, Karmela menyanyi. Gugah soal harga diri dan posisi. Mengingatkanku soal kalian yang bisu. Hidup pada akhirnya adalah nyanyi buta sang penguasa. Bukan soal kesalahpahaman semata.

Bila sudah tak mungkin/Hasrat cinta menyatu/Walau rasa itu masih ada/Bahkan telah jadi bagian dalam hidupku/Jangan coba tanyakan/Ketulusan cinta ini/Hanya engkaulah satu harapan/Dan juga satu tujuan dalam hidupku kasih/

Kini. Kalian. Para politisi sudah tidak jujur kepada warganegara. Para ustad (agamawan) sudah tidak jujur kepada diri sendiri. Padahal, jujur dalam politik dan agama itu tiang negara. Maka, kini negara ada tanpa tiang. Ia akan roboh lebih cepat dari sangka semua orang.

Biarlah cintaku melayang jauh (tiada ragu)/Akan kuceritakan pada dunia/Rasa cinta yang ada/kepada indonesia bukan pada elitnya.

Di tanah-tanah lapang, aku membayangkan membangun rumah untuk kekasihku. Agar anak-anak kita bisa tumbuh kembang dengan wajar dan ceria. Asti, kau pasti tahu dan mengerti. Asal jangan bisu tuli dan buta saja.

Jangan coba tanyakan ketulusan cinta ini/Hanya engkaulah satu harapan/Dan juga satu tujuan dalam hidupku/Kasih/Biar badai datang dan mengguncang hatiku/Percayalah kasih tiada kan terhapus cintaku/

Dalam konstitusi, pendidikan dan kesehatan itu hak dasar setiap warganegara. So, harus menjadi tanggungjawab negara. Tapi di republik ini dibuat rente. Elite kita ini meres uang rakyat, lalu dipakai bancakan atau kalau diinvestasikan pun bukan untuk memperbaiki kwalitas pendidikan dan kesehatan warganegara. Tapi dirampok rombongan.

Kalian ini siapa sebenarnya? Perampok kok culun!

Maka mengenang pilu soal cintamu padaku dan pada republik seperti mengenang nasib organisasi Persatuan Perjuangan di mana Tan Malaka dan Soedirman sebagai pelaku utamanya.

Hari itu, Sabtu/13/01/1946. Dengan tangan mengepal, Tan dan Dirman berkata keras, "revolusi Indonesia, mau tak mau harus mengambil tindakan politik, ekonomi dan sosial serentak dengan cara merebut dan membela kemerdekaan 100%. Bukan revolusi berjuasi seperti hari ini yang suka praktek mengemis dan diplomasi."

Memang, kemerdekaan 100% sering datang terlambat dan kita telat menyambutnya. Itulah mengapa, kaum borjuasi (asing-aseng-asong) menyalip di tikungan; menggunting dalam lipatan; membajak masakan siap saji.

Kita paham. Pemenang peradaban itu penguasa tekhnologi. Lah kalian sibuk ngoceh haram halal. Lah kalian nyolong sambil duduk di kursi kekuasaan. Lah kalian ngelonte sambil habisin dana rakyat. Kalian khianat pada Tan dan Soedirman!

Besok, di bulan Januari, 2020 kami akan bertemu dan mencari tahu, apakah kemerdekaan 100% itu lucu, bermutu atau buntu. Sebab, di penjara milenial, kita masih punya kekuatan buat bunuh diri dan sianida buat bunuh para pengkhianat negeri.

Bagaimanakah para Tanis dan jaringannya menikmati kemerdekaan semu ini? Seperti apa wajah kaum "kalah" di republik gado-gado ini? Mau ngapain kini mereka mengenang dan menghidupkan pikiran-pikiran Tan? Itulah tiga pertanyaan yang akan mengemuka di tiap bulan januari.

***

0 comments:

Post a Comment