Dari manakah politisi sekelas Joko Widodo dapat dana buat nyapres? Siapakah mereka yang menyodorkan dananya? Apa keuntungan sponsor pilpres? Adalah tiga pertanyaan yang mudah dijawab di zaman modern seperti sekarang. Kebebasan pers dan banjir alat cek dan ricek membuat hal krusial itu mudah didapatkan informasinya.

Di masa modern, jawaban itu tersimplifikasi dengan istilah oligarki. Yaitu genk bisnis konglomerasi yang menguasai dodolan hulu-hilir di berbagai komoditas. Lalu mereka disebut namanya satu persatu beserta gurita bisnisnya. Keuntungannya, mereka punya akses langsung ke istana dan taruh orang di kabinet serta dibuatkan beberapa undang-undang yang menguntungkan plus melindungi mereka.

Tetapi, jika tiga pertanyaan itu ditujukan ke politisi di awal kemerdekaan semisal Bung Karno, apa jawabannya kira-kira? Tentu tak mudah menjawabnya. Pertanyaan ini tak sempat diriset dan ditulis secara serius sehingga yang muncul adalah "dugaan dan tuduhan."

Lebih parah lagi, tradisi keilmuwan kita tidak sempat mempelajari teori-teori "who is behind the boy." Jika ada peristiwa mantenan, orang hanya sibuk bertanya: siapa mantennya, kapan dan di mana serta bagaimana acaranya. Tak ada pertanyaan: siapa sponsornya dan bagaimana mereka mendapatkannya.

Inilah problem besarnya. Karena itu, muncullah puluhan teori tuduhan terhadap "sponsor Bung Karno dan apa konsesinya." Tentu ada banyak teori yang berkelindan. Salah satunya, sponsor itu adalah para "mason" yang sudah lama bersekutu dengan para pejuang kemerdekaan.

Para mason (freemason) ini berserikat dengan tujuan membangun persaudaraan dan pengertian bersama akan kebebasan berpikir dan bertindak. Tujuan itu digapai dengan menghapus semua agama, menghapus sistem keluarga, menjadikan manusia di seluruh dunia dalam sebuah kesatuan dan menggelorakan revolusi.

Di kita, revolusi kemerdekaan disudahi oleh peristiwa BPUPKI dan PPKI. Kegiatan itu dibiayai oleh "dana revolusi" yang dikumpulkan para raja tersisa di Nusantara yang dikordinatori PBX. Raja ini menitipkan orangnya (Jatikusumo dan Julius Tahija) ke Bung Karno. Jatikusumo (pewaris dana revolusi) menjadi KSAD Pertama dan Julius Tahija (pengelola dana revolusi), konglomerat kompatriotnya yang menjadi Mensos Pertama dalam kabinet. Kalau kini seperti oligarki titip LBP dkk ke Joko Widodo.

Mereka kemudian menjadi komunitas epistemik intelektual sekaligus kapital dan bahkan spiritual yang ngopi-ngopi geguyon di loji yang mereka bangun di banyak kota. Beberapa loji itu dipinjam pakai untuk rapat perjuangan oleh para pendiri republik.

Salah satu loji paling terkenal adalah gedung Budi Utomo (kini jadi gedung Kimia Farma) yang menjadi lokasi digelarnya Kongres Pemuda Indonesia yang pertama yakni pada 30 April sampai 2 Mei 1926. Juga loji Adhuc Stat alias Loji Bintang Timur yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat, yang kini menjadi gedung Bappenas.

Tentu saja, di Kimia Farma gagasan penguasaan bisnis kimia (bukan herbal) ditradisikan untuk mengkoloni cara bersehat ala Timur yang herbalis sekaligus metascient. Sedangkan di Bappenas gagasan pembangunan menjadi salah satu kaki segitiga setan. Dua yang lain yaitu Kemenkeu dan BI. Ketiganya melindungi (dari ide kedaulatan negara) dan mencengkeram (dengan ide kemiskinan dan kesenjangan negara) istana.

Merekalah peternak teroris sungguhan. Yaitu mereka yang berjumlah 1% orang terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Mereka juga mewarisi arsitektur "segitiga kuasa Indonesia": 1)Agensinya: neolibertarian. 2)Lembaganya: Kemenkeu, Bappenas dan Bank (di) Indonesia. 3)Konglomerasi: collateral dana revolusi.

Cek peta istana! Jika cermat, kita akan tahu peta segitiga itu. Kita akan tahu segitiga kuasa itu. Dan, dua segitiga jika digabung berlawanan akan menghasilkan "bintang segienam" yang menjadi lambang "golongan yang paling cerewet di dunia" menurut Alquran. Lambang yang diisi agensi dan enam lembaga itulah yang mencengkeram republik hingga presiden sejenius Gus Dur tak bisa merealisasikan ide-ide besar kemanusiaan yang diimpikannya.

Artikel ini tentu bukan resensi atas buku berjudul Freemason dan Teosofi karya Artawijaya. Buku bagus terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta setebal 432 halaman ini hanya informasi awal dari riset besarku untuk menelusuri pola sponsor pembangunan Indonesia yang makin paria nasib warganegaranya

Dus, tulisan ini justru awal dari riset serius soal, "siapa sesungguhnya penyumbang modal kemerdekaan dan bagaimana kisah itu di masa kini." Adakah mereka kini yang menjadi 100 konglomerasi aseng dan mencekik elite negara kita? Mereka yang memproduksi uang kertas dan didagangkan ke pemerintah, atau bagaimana. Silahkan ikuti terus penelitian ini sebagai kompatriot riset disertasi kami soal "genealogi neoliberalisme di Indonesia." Semoga bermanfaat.(*)

Tak ada yang lebih sadis dari kabar kepergianmu. Telponku berdering-dering kudiamkan karena tubuhku terantuk takdir di ICU. Sekilas, kuanggap suara telpon dari panggilan istana seperti biasa saat mereka telah merampok dan akan menipu warganegara. Ya, kisah-kisah istana dalam tujuh tahun terakhir hanya itu: khianat, komplotan jahat dan mentalitas bejat. Tak tahunya, berita dan kabar duka. Padahal seminggu lalu, engkau masih menelponku untuk bertemu di rumah karena garasi mobil sudah disulap jadi kantor Nusantara Centre. Kantor yang akan meneruskan program dialog dengan podkes dan virtual. "Nanti setelah operasi kecil, kita bertemu lagi," katamu meyakinkanku. Saat itu, kita ngopi di dunkin donats Mall Cinere. Sejak tahun 2006, hampir dua minggu sekali kita dialog di situ. Lahir 3 buku dari tempat yang hampir bangkrut karena pandemi. Kini tempat itu tinggal kenangan. Dan, buku babon berjudul, "Laut Masa Depan Kita," untuk sementara berhenti berlayar. Bonar Simangunsong itu nama guru. Ya guru kami di kampus dan lembaga. Bagi kami "tak ada yang lebih fasih dalam iptek laut dan komputer yang melebihi ide-ide briliannya." Engkau menginspirasi kajian tol laut yang kini surut. Darimu, kami belajar hidup dan hidup belajar. Bahwa di nusantara, kita tak mesti jadi juara. Dari dialog-dialog itu lahir konsep "modern maritime state civic nationalism." Konsep negara modern berbasis maritim yang berideologi nasional kemanusiaan, yang akan segera kita praktekkan saat berada di istana. Jiwa bopo sangat nasionalis. Tak pandang siapa di depannya, yang penting ide dan gagasannya. Bopo sering berkata, "jangan sibukkan pikiran kalian pada hal-hal yang tidak dimiliki, tapi fokus pada hal-hal yang dicita-citakan." Yah, cita-cita membangun yayasan telah kesampaian. Berikutnya membangun kampus nusantara. Sebuah kampus yang akan jadi rumah kejeniusan dan kepemimpinan. Ide-ide itu terus kita gemakkan. Ke kampus di Semarang, di kota Purwokerto, di Jogjakarta, di Bogor dan bahkan di Medan. Lalu kita sempat ke beberapa lembaga negara: lemhanas, menko maritim, bapenas, perpusnas, istana wapres dan markas tentara. Belum seberapa, tapi narasi kelautan lebih bergairah. Yayasan Membangun Nusantara Kita yang akan membangun Universitas Nusantara serta memproduk buku-buku berkwalitas kebangsaan dan keindonesiaan itulah warisan kita semua. Kami akan terus realisasikan. Dan, sambil nanti kita ngopi di altarNya, kusampaikan bahwa Bopo orang sangat baik dan berjasa buat kami. So, selamat jalan, bopo. Tentu kami sangat kehilangan. Kesedihan dan tangis hari ini semoga makin menambah amal baik kita. We love you, bopo guru. (*)

 

Indonesia, sejak Reformasi Politik 1998, telah melalui 4 kali pemilihan umum yang demokratis dan damai. Tetapi akhir2 ini muncul gejala politik kurang baik. Banyak kritikus politik yang menggunakan hak kebebasan berekspresi di depan umum untuk mencaci maki Presiden. Mereka kalah dalam Pilpres, kemudian menderita penyakit aneh. Menghadapi apa saja yang terjadi di Republik ini, mereka gerakkan demonstrasi dengan serangkaian tuntutan, yang pada ujungnya menuntut Presiden mundur.

Analisa saya, berkali-kali kalah dalam Pilpres membuat mereka tidak percaya diri, dan selalu berusaha mengganggu kerja Presiden. Bahkan sebagian dari mereka tidak percaya lagi pada negara bangsa dan demokrasi. Mereka ini gembar gembor, bahwa segala kesulitan masyarakat sekarang ini hanya bisa diselesaikan dengan negara kilafah. Mereka menghasut masyarakat untuk menjatuhkan Presiden, meruntuhkan NKRI dan sebagai gantinya mereka akan mendirikan negara kilafah. Dalam negara itu nantinya yang menjadi warganegara hanya penganut Islam.

Kasak kusuk mau mendirikan negara kilafah adalah pengingkaran terhadap kontrak sosial Rakyat Indonesia sebelum mendirikan negara Republik Indonesia. Kontrak sosial Rakyat Indonesia adalah Sumpah Pemuda, Naskah Proklamasi dan Pembukaan UUD 1945.Melanggar kontrak sosial ini adalah membubarkan NKRI.

Selanjutnya kita kembali ke judul tulisan ini. Tesa nya adalah demokrasi prosedural, dan anti tesa nya adalah gerakan mengingkari demokrasi dan dengan rencana terselubung  menghancurkan NKRI dan sebagai gantinya mendirikan negara kilafah. Menghadapi rencana jahat dalam kekacauan berpikir ini kita harus mampu menentukan sintesa yang tepat, yang akan membuat Indonesia semakin maju dan semakin kuat. Mari kita mulai.

Pertama, tetap setia berjuang mewujudkan Cita-cita Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945, yaitu Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur. Kedua, berbagai gerakan jahat yang berniat menghancurkan NKRI harus segera dihancurkan. Karena kalau tidak dihadapi dengan tegas, akan banyak warga masyarakat yang gagal dalam hidupnya akan masuk perangkap jahat mereka, yaitu akan ikut rencana jahat tersebut, walaupun tidak mengerti apa yang mereka ikuti. Ketiga, demokrasi prosedural yang sedang berlangsung sekarang ini ditingkatkan menjadi demokrasi substansial. Wujudkan pemerataan ekonomi, pemerataan pendidikan dan pelayanan kesehatan, pemerataan penduduk, pemerataan kesempatan untuk maju bagi seluruh rakyat Indonesia, laki2 dan perempuan.

Dan untuk menjalankan ketiga strategi di atas, saya tawarkan Revolusi Indonesia Lanjutan, yang tdd Revolusi Ilmiah, Revolusi Industri dan Revolusi Kesadaran Kedua, yang dijalankan serempak dan terintegrasi. Tentang Revolusi Indonesia Lanjutan bisa dibaca dalam buku terbaru saya berjudul Revolusi Indonesia Menuntaskan Sejarahnya.

Sampai sekian dulu saudaraku, dan terima kasih atas perhatiannya. Dari saya Merphin Panjaitan, saudaramu sebangsa dan setanah air. Penulis buku Logika Demokrasi, Peradaban Gotongroyong dan Revolusi Indomesia Menuntaskan Sejarahnya. Tinggal di Jakarta Selatan, no hp wa 0813 1007 6366. Selamat Berjuang. MERDEKA.


Tsun Tzu, dalam “the art of War” merisalahkan sebuah ontology sekaligus aksiology Jalan Pedang, pukulan dan pelukan. Dua teknik itu sesungguhnya, sebuah tools. Jika diterapkan dengan tepat maka ia akan membekas. Kini, setelah dua tahun kita menghadapi pandemi, bahkan kini bergeser menjadi epidemi. Bahkan satu sisi, nyaris kita (Indonesia) tak menyadari bahwa ini adalah “the battle of medicine”.

Siasat pertempuran yang dirisalahkan Tsun Tzu, kini diterapkan oleh Intelejen China. Desas desus dari mana asal virus itu hadir pun mencuat. Rumor itu muncul jika virus itu diinjeksi oleh Tiongkok. Namun data dan informasi itu belum cukup. Terkecuali menggunakan teknik kontra intelejen. Siapa saja bisa menghembuskan issue. Smoke screen & Insurgency.

Di era dunia yang serba dilipat, Jalan Pedang,  Pukulan dan pelukan yang saya coba adaptasikan adalah anthropology of War Tiongkok. Perlakuan itu sangat membekas dan beresidu pekat.

Salah satu teknis operasinya adalah menggunakan Tik Tok sebagai media. Meminjam istilah Naipaul dalam The Mimic Men adalah “Cultural Displacement”, nyaris kita diminta bergeser.

Pergesaran itu meresonansi banyak hal. Pada gilirannya,  ia merusltan seperti apa yang disebut oleh Hommy K Bhaba sebagai hibriditas, mimikri dan ambivalensi.

Sebagai bekas negara jajahan, hadirnya Tik Tok meneguhkan trilogy yang disampaikan Bhaba. Semua tak menyadari sisi ini adalah sebuah teknis pertempuran yang serius dalam agenda mengkonstruksi “one belt one road”. Tentu saja, Tiongkok tidak salah. Ini merupakan kejeniusan bernegara.

Apa yang telah dirisalahkn para leluhur mereka teruskan melalui kerja-kerja raksasa.  Kesiap-siagaan  disiapkan secara sistematis.

Indonesia Raya

Meresapi judul lagu Indonesia Raya. kita akan menemukan energi tentang visi negara besar dan berpengaruh dimasa-masa yang akan datang sejak lirik lagu itu digubah dan di aransemen oleh Wage Rudolf Supratman.

Dalam  sisi “perang anthropologi” Pergerakan strategis hingga taktis untuk mengarus utamakan dari spirit lagu kebangsaan masih jauh api dari panggang.

Konsep “Indonesia raya” tak akan ber energi tanpa adanya karya & produk besar yang diciptakan. Kita akan menjadi negara konsumen. Menjadi obyek pasar atas produk-produk negara lain.

Sebab, nyaris semua yang kita sandang adalah buah karya negara lain. Dari pakaian dan penunjang kehidupan sehari-hari. (Teknologi dan informasi)

Sembari kita mengkhianatinya, ia akan lapuk oleh zaman. Selamanya akan menjadi ceremonial kosong saat bendera dikibarkan. Selalu tumbang dan tertatih dalam medan pertempuran.

(Reseacher of Defense Postkolonial Studies Nusantara Centre)


Pada akhirnya semua diselesaikan dengan uang. Tetapi dalam konteks hubungan antar negara, uang itu bukan hanya alat bayar dan tukar tapi ia menjadi alat untuk melakukan apa yang disebut dengan jebakan hutang. Hubungan diplomasi yang seharusnya setara dan beradab bisa berubah menjadi diplomasi jebakan hutang. Ini adalah teori untuk menggambarkan negara atau lembaga pemberi pinjaman yang kuat dan berusaha membebani negara peminjam dengan hutang yang sangat besar untuk meningkatkan pengaruh (dominasi) terhadapnya.

Dengan demikian uang adalah alat tukar, investasi, dominasi, predatori sekaligus kolonialisasi yang bekerja untuk membuat "boom and bust" (resesi dan depresi) di negara peminjam dari pemberi pinjaman. Dalam urusan utang ini, Ichsanuddin Noorsy (2019) menyebut bahwa negara peminjam pasti mengalami 5i (intervensi, infiltrasi, intimidasi, invasi dan inflasi).

Berikut data terbarunya: Bank Dunia menyebutkan dalam laporan bertajuk International Debt Statistics (IDS) 2021, Indonesia masuk peringkat ke-6 negara berkembang dengan utang terbanyak di dunia. Sedangkan, Bank Indonesia (BI) mencatat Utang Luar Negeri (ULN) Indonesia per Agustus 2020 mengalami peningkatan menjadi USD 413,4 miliar, atau sekitar Rp 6.098,27 triliun (kurs 14.751 per dolar AS). Hebat betul presiden Joko Widoda dan menkeu Sri Mulyani.

Debt trap (jebakan utang) sesungguhnya merupakan manifestasi dari cicit neoliberalisme yang berkembang sejak mahzab Cambridge (1842) eksis. Madzab ekonomi ini mengembangkan teori penjajahan baru dengan alat uang. Tetapi berkembang lebih luas pada tahun 1970an oleh para ekonom dalam usaha melipatgandakan kekayaan negara dan (konglomerasi). Di sini dikenal dengan madzab monetaris yang mengembangkan posisi Bank Sentral untuk melakukan kebijakan moneter guna mempengaruhi jumlah uang beredar dan ketersediaan kredit dalam perekonomian. Implementasi bank sentral menggunakan beberapa instrumen, termasuk suku bunga kebijakan, operasi pasar terbuka, dan rasio cadangan wajib. Berdasarkan tujuannya, dua jenis kebijakan moneter: kontraksi dan ekspansif.

Beberapa buku yang mengulas tema ini antara lain, Studies in the Quantity Theory of Money (1956); A Program for Monetary Stability (1960); The Role of Monetary Policy (1968); The Optimum Quantity of Money (1969).

Sementara itu beberapa pola hubungan ekonomi perdagangan sebagai alas bagi geopolitik uang bisa dibaca pada buku-buku, The Pure Theory of Foreign Trade (1829); The Principles of Economy (1890); Industry and Trade (1919); Money, Credit and Commerce (1923).

Kita tahu kolonialisme Britania Raya ditopang oleh manusia dan senjata hingga saat tertentu mereka sadar bahwa itu akan membuat kehilangan penduduk dan kebangkrutan jika mengalami kekalahan perang. Tentu saja itu berbahaya bagi keberlangsungan Britania Raya. Inilah kolonialisme purba.

Kesadaran akan punahnya Britania Raya itulah yang membuat mereka mengkreasi kolonialisme baru tanpa penguasaan teritorial, tanpa pengiriman pasukan, dan tanpa akumulasi perangkat perang. Mereka mulai mencari cara untuk tetap menjadi kolonialis yang berkuasa di daerah koloni (jajahan).

Singkatnya, mereka membuat ide negara-negara persemakmuran sebagai persatuan negara bekas jajahan Inggris yang kemudian diikat dengan tiga hal: 1)Penggunaan bahasa; 2)Penggunaan uang; 3)Penggunaan cita-cita bersama. Karena itulah bangsa Inggris dikenal sebagai penemu "jalur bahasa" untuk menguasai dunia sekaligus penemu "jalur uang" untuk menguasai jagad raya.

Dalam konteks penguasaan jagad raya inilah, mereka menemukan dan mengembangkan teori debt trap yang nanti dikopi oleh bangsa Cina menjadi diplomasi jebakan hutang. Satu dominasi baru hasil replikasi dan pelanjutan dari utang sebagai hilir kolonialisme modern.

Jika negara-negara jajahan Inggris, Spanyol, Belanda, Portugis dan Jepang pada awalnya dijajah dengan cara-cara teritorial, kini mereka dijajah dengan cara pelemahan kurs mata uang, utang yang menumpuk dan investasi (haram).

Pelemahan kurs ini tunduk pada teori hubungan mata uang secara bebas (kurs bebas) yang bergerak pada empat hal: privatisasi, liberalisasi pasar modal, iman pada fundamentalisme pasar, dan swastanisasi negara. Inilah roadmap WB, IMF dan MNC yang sudah lama bekerja.

Mempelajari kolonialisme modern dengan demikian harus dimulai dengan mempelajari sejarah uang, riba dan teori dept trap (jebakan utang luar negeri). Tanpa mengetahui sejarah uang dan debt trap maka kita akan mengalami rabun geopolitik dan geostrategis. Itu artinya, uang dan debt trap merupakan jalur-jalur keduanya.

Mereka yang mengalami rabun geopolitik dan geostrategis pastilah tidak mengerti teori souvereignity. Sebab uang dan debt trap dalam konteks ini adalah alat untuk menegakkan souvereignitas (kedaulatan) atau sebaliknya (koloni).

Singkatnya menegakkan Indonesia Raya adalah mengetahui pembangunan bangsa, untuk membangun negara kebangsaan, untuk menetapkan kedaulatan warga negara yang alatnya cuma dua yaitu: senjata dan uang. Artinya makin kuat persenjataan sebuah negara, makin kuat kedaulatan demikian pula sebaliknya. Makin kuat mata uang sebuah negara, makin berdaulat  negaranya. Begitu juga sebaliknya.

Dus, mata kuliahnya ada di geopolitik dan geostrategis hubungan international dan sejarah perang/damai. Pada kurikulum itu, kita akan paham bahwa uang itu alat tukar, alat investasi, alat dominasi, alat penyetatus, alat perang dan alat koloni para penjajah ke bangsa terjajah.

Dari situ kita paham bahwa bangsa/suku/ras/kerajaan/negara, selalu membentuk hubungan-hubungan (diplomatik) di antara mereka. Hubungan-hubungan itu posisinya ditentukan oleh dua hal: kongkrit dan abstrak. Yang kongkrit itu senjata dan uang. Sedang yang abstrak itu kecerdasan dan kejeniusan pemimpinnya.

Dus, makin tinggi kwalitas senjata dan uang sebuah negara, makin kuat dan dominan posisinya. Begitu sebaliknya. Makin cerdas dan jenius presiden sebuah negara, makin kuat dan dominan posisinya. Begitupula sebaliknya. Karenanya, jika kita mau kaya, bermartabat dan eksis di dunia maka milikilah yang kongkrit berupa senjata dan uang. Lalu milikilah yang abstrak berupa kecerdasan dan kejeniusan pemimpin.

Menarik tesis Albert Einstien (1879) buat orang-orang seperti kita yang berjuang menegakkan Indonesia Raya, "kantong kosong tidak boleh menghambat kemajuan kalian. Yang bisa menghambat kalian hanyalah kepala kosong dan hati kosong."

Untuk itu ke depan kita perlu modal, model, modul (3M) agar keterjebakan utang negara tak berulang terus menerus. Ataukah ada cara lain? Aku bertanya gundah-gulana.(*)

 



Jerry~
Di kotaku, Tuhan tuli. Maka ia diseru dengan pengeras suara. Keras sekali memekakkan telinga. Lima kali sehari. Jika subuh dan maghrib, lebih lama dan mendayu-dayu. Tetapi, tetap saja Tuhan membisu. Apalagi yang datang mencarinya di surau itu hanya satu dua nyawa. Lalu, puja-puji dikeraskan. Panggilan diteriakkan. Mereka pikir Tuhan akan dengar. Mereka merasa akan mendapat pahala. Mereka lupa itu tindakan kebodohan. Sebab makin sering diseru, Tuhan malu. "Aku kan tidak budek," kata Tuhan suatu kali padaku.

AQB~
Di hari minggu juga begitu. Sambil nyanyi khusuk, Tuhan diseru. Ia yang di syorga diminta kembali. Membantu manusia keluar dari sengsara. Mereka lupa, saat disalib Tuhan tak bisa apa-apa. Bagaimana mau bantu umat manusia, lah membantu diri sendiri kagak bisa. Tentu saja tuhan tak ada. Tapi manusia malu mengakuinya. Ia terlalu gengsi. Saat yang sama ia terlalu lemah. Maka ia merintih. Terpanggilah tuhan yang tak jelas alamatnya. Sebab jika jelas alamatnya, orang akan berbondong-bondong demo. Seperti guru-guru honorer yang tahu di mana jokowi yang dulu berjanji, berada. Jokowi saja menipu, apalagi tuhan yang tak ada. Maka istana, surau dan gereja sesungguhnya tempat pelampiasan manusia lemah tak berdaya. Saat di mana yang diseru tak ada. Kalaulah ada, ia bisu, tuli dan buta. Persis jokowi di Indonesia.

Alexander~
Dari kaki bumi aku berseru. Menyeruakan ratap tangis para dina. Biar raga sehat sentosa. Bukan berarti meminta. Apalah daya hamba sahaya. Melihat gelap tanpa cahaya. Hanya modal berani. Kami gigih teruji. Selayang pandang aku maju menghentak. Para penindas mencabik-cabik. Ragu tanpa peluru panas. Bukan muka berseri jika hati terbakar. Bukan cinta di hati bila nestapa membara. Akulah sang dina duka nista, namaku.

Soekarno~
Jangan kira revolusi Indonesia itu sama dengan revolusi Soviyet. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mesir. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Kuba. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi RRC. Jangan kira revolusi Indonesia sama dengan revolusi Mexico. Revolusi adalah milik dan tugas kewajiban bangsa dan kewajiban dari pada bangsa itu ialah mencari sendiri. Jangan menjiplak, oleh karena tidak bisa dijiplak. Ayok jiwa revolusi bangun. Bukan sujud dan tangis ngemis ke tuhan dan orang lain. Jihad itu antitesa dari kehinaan.

Hujan~
Jika sudi. Banjirilah kami. Sebanjir-banjirnya. Sebab kini ia bisu. Seperti air hujan yang tak berkata-kata. Menawarkan kedinginan dan kesyahduan. Sebab kini ia tuli. Seperti air bah yang tak berkalimat. Menawarkan kuyup yang tertatih. Sebab kini ia buta. Menawarkan keganjilan dan kemesraan yang tak ada. Nihil. Kosong belaka. Hening. Wening. Ning. Nong. Ning. Gung liwang-liwung.

Johan~
Sepertinya. Semesta mendukung. Sepertinya. Semesta mengkungkung. Dua yang satu dan satu yang dua. Menikah, bersetubuh tetapi tak beranak pinak. Pada tuhan, hantu, hutan dan antuh itu nalarmu melepuh, luruh tak punya pengaruh. Ada gemuruh dan marah tetapi lungkrah.

Kekasih~
Jika saja tanganmu sudi mengusap pipi dan punggungku. Jika saja tanganmu sudi membuang peluh lelahku. Jika saja tanganmu sudi memeluk tubuh lemahku. Jika saja. Ya jika saja. Sebab hari-hari ini begitu panjang dan menyebalkan.

Tuhan~
Jika semua buntu, bisu dan harapan wagu, apa yg harus kami lakukan? Ya Allah, mohon petunjukMu. Aamiin. Tapi aku tahu, sekelilingku cuma penipu, pemberi harapan palsu, berlagak dan berlagu ada ini dan itu. Setelah dilakukan, zoonk dan prank semata. Aku tak tahu motif mereka melakukan itu. Cari makankah? Dendamkah? Cari kepuasankah? Menjadi ilusi dan gilakah karena jokiwi? Cari sensasikah Akalku tak paham dan tak tahu.

Kawan-kawan~
Kini, kalau tidak dapat melakukan sesuatu yang berharga untuk dicatat, tulislah sesuatu yang berharga untuk diketik dan dikenang. Kalau tak mampu menjadi pahlawan, jadilah sejarawan.(*)


Kuntilanak. Aku menemukanmu saat sore menelan seluruh jiwa ragaku. Saat kuminta bill pada penjaga syorga, tertera angka yang tidak tak terbayar oleh kantongku.

Kunti. Memilih melihatmu, ziarah ke Tajmahal atau menjadi dubes, adalah memilih yang tak begitu sulit. Sebab, aku langsung memilih mengulum pikiran dan ide-idemu tentang nusantara, atlantik dan studi psiko-hermeneutik.

Karena rindu yang meluber, kukirim kamu semua novel karya Dan Brown: Digital Fortress, Angels and Demons, Deception Point, The Da Vinci Code, The Lost Symbol dan Inferno. Tetapi, jangankan menyukainya, berterimakasihpun tidak.

Aku menemukanmu saat pagi menjejak mataku. Saat kesunyian meluruhkan air mataku. Saat jenuh sudah kubersujud meminta mati yang tak sudah-sudah. Saat kupinta tataplah mataku ini dan akan kau dapati seulas harap kehidupan yang tak mati.

Kan kubagi seberkas keraguan sekaligus kehangatan. Ini tentangmu yang harus kuakui kharisma di dirimu. Pesonamu bak langit yang memeluk bintang gemintang. Soal-soal yang lengah dan banyak yang mendambakan cintamu: senyummu dan tubuhmu.

Aku menemukanmu saat aku cemburu pada yang telah mati. Pada pahlawan-pahlawan baru. Ya. Terlalu kucemburu bahkan. Rasa yang menjejer ini tak dapat kusimpan sendiri. Harus dikisahkan. Walau pada batu nisan. Sebab novel-novel tak sudi memuatnya.

Aku menemukanmu saat tuhan, hantu dan hutan tak sudi disembah. Saat mereka murka seperti sampah. Saat kegelapan datang tak sudah-sudah.

Lalu, aku ke perpus. Menceritakan satu-satu. Tentang kurikulum postkolonial. Di kampus tercinta. Universitas Nusantara. Dari hulu Nusantara Centre. Kini. Dan seterusnya. Biar sepi memagut. Biar sunyi senyap. Seruput kopi pahit. Dan, lukamu kubalut. Mesra. Sampai tak ada angkara. Hari ke hari kau nanti tahu. Ujung kita menjadi sejoli purnama. Bahwa hidup adalah revolusi sia-sia. Sebab, apa artinya bahagia tanpamu.

Kau seperti indonesia. Yang jika diceritakan, butuh trilyunan lembar kertas. Hingga seluruh langit dijadikannya buku, tak akan menfiniskan kisahmu. Apalagi jika tintanya dari air mata para janda. Tak akan seperlimanya. Tak ada yang sanggup mengkanfaskannya kecuali engkau yang memagutku sepanjang waktu. Sayangnya kok engkau tuli, bisu dan buta. Mungkin sudah dikebiri seperti para kasim yang tinggal di istana.(*)