Dari manakah politisi sekelas Joko Widodo dapat dana buat nyapres? Siapakah mereka yang menyodorkan dananya? Apa keuntungan sponsor pilpres? Adalah tiga pertanyaan yang mudah dijawab di zaman modern seperti sekarang. Kebebasan pers dan banjir alat cek dan ricek membuat hal krusial itu mudah didapatkan informasinya.

Di masa modern, jawaban itu tersimplifikasi dengan istilah oligarki. Yaitu genk bisnis konglomerasi yang menguasai dodolan hulu-hilir di berbagai komoditas. Lalu mereka disebut namanya satu persatu beserta gurita bisnisnya. Keuntungannya, mereka punya akses langsung ke istana dan taruh orang di kabinet serta dibuatkan beberapa undang-undang yang menguntungkan plus melindungi mereka.

Tetapi, jika tiga pertanyaan itu ditujukan ke politisi di awal kemerdekaan semisal Bung Karno, apa jawabannya kira-kira? Tentu tak mudah menjawabnya. Pertanyaan ini tak sempat diriset dan ditulis secara serius sehingga yang muncul adalah "dugaan dan tuduhan."

Lebih parah lagi, tradisi keilmuwan kita tidak sempat mempelajari teori-teori "who is behind the boy." Jika ada peristiwa mantenan, orang hanya sibuk bertanya: siapa mantennya, kapan dan di mana serta bagaimana acaranya. Tak ada pertanyaan: siapa sponsornya dan bagaimana mereka mendapatkannya.

Inilah problem besarnya. Karena itu, muncullah puluhan teori tuduhan terhadap "sponsor Bung Karno dan apa konsesinya." Tentu ada banyak teori yang berkelindan. Salah satunya, sponsor itu adalah para "mason" yang sudah lama bersekutu dengan para pejuang kemerdekaan.

Para mason (freemason) ini berserikat dengan tujuan membangun persaudaraan dan pengertian bersama akan kebebasan berpikir dan bertindak. Tujuan itu digapai dengan menghapus semua agama, menghapus sistem keluarga, menjadikan manusia di seluruh dunia dalam sebuah kesatuan dan menggelorakan revolusi.

Di kita, revolusi kemerdekaan disudahi oleh peristiwa BPUPKI dan PPKI. Kegiatan itu dibiayai oleh "dana revolusi" yang dikumpulkan para raja tersisa di Nusantara yang dikordinatori PBX. Raja ini menitipkan orangnya (Jatikusumo dan Julius Tahija) ke Bung Karno. Jatikusumo (pewaris dana revolusi) menjadi KSAD Pertama dan Julius Tahija (pengelola dana revolusi), konglomerat kompatriotnya yang menjadi Mensos Pertama dalam kabinet. Kalau kini seperti oligarki titip LBP dkk ke Joko Widodo.

Mereka kemudian menjadi komunitas epistemik intelektual sekaligus kapital dan bahkan spiritual yang ngopi-ngopi geguyon di loji yang mereka bangun di banyak kota. Beberapa loji itu dipinjam pakai untuk rapat perjuangan oleh para pendiri republik.

Salah satu loji paling terkenal adalah gedung Budi Utomo (kini jadi gedung Kimia Farma) yang menjadi lokasi digelarnya Kongres Pemuda Indonesia yang pertama yakni pada 30 April sampai 2 Mei 1926. Juga loji Adhuc Stat alias Loji Bintang Timur yang terletak di Menteng, Jakarta Pusat, yang kini menjadi gedung Bappenas.

Tentu saja, di Kimia Farma gagasan penguasaan bisnis kimia (bukan herbal) ditradisikan untuk mengkoloni cara bersehat ala Timur yang herbalis sekaligus metascient. Sedangkan di Bappenas gagasan pembangunan menjadi salah satu kaki segitiga setan. Dua yang lain yaitu Kemenkeu dan BI. Ketiganya melindungi (dari ide kedaulatan negara) dan mencengkeram (dengan ide kemiskinan dan kesenjangan negara) istana.

Merekalah peternak teroris sungguhan. Yaitu mereka yang berjumlah 1% orang terkaya Indonesia menguasai 45,4% kekayaan nasional. Mereka juga mewarisi arsitektur "segitiga kuasa Indonesia": 1)Agensinya: neolibertarian. 2)Lembaganya: Kemenkeu, Bappenas dan Bank (di) Indonesia. 3)Konglomerasi: collateral dana revolusi.

Cek peta istana! Jika cermat, kita akan tahu peta segitiga itu. Kita akan tahu segitiga kuasa itu. Dan, dua segitiga jika digabung berlawanan akan menghasilkan "bintang segienam" yang menjadi lambang "golongan yang paling cerewet di dunia" menurut Alquran. Lambang yang diisi agensi dan enam lembaga itulah yang mencengkeram republik hingga presiden sejenius Gus Dur tak bisa merealisasikan ide-ide besar kemanusiaan yang diimpikannya.

Artikel ini tentu bukan resensi atas buku berjudul Freemason dan Teosofi karya Artawijaya. Buku bagus terbitan Pustaka Al-Kautsar, Jakarta setebal 432 halaman ini hanya informasi awal dari riset besarku untuk menelusuri pola sponsor pembangunan Indonesia yang makin paria nasib warganegaranya

Dus, tulisan ini justru awal dari riset serius soal, "siapa sesungguhnya penyumbang modal kemerdekaan dan bagaimana kisah itu di masa kini." Adakah mereka kini yang menjadi 100 konglomerasi aseng dan mencekik elite negara kita? Mereka yang memproduksi uang kertas dan didagangkan ke pemerintah, atau bagaimana. Silahkan ikuti terus penelitian ini sebagai kompatriot riset disertasi kami soal "genealogi neoliberalisme di Indonesia." Semoga bermanfaat.(*)

Tak ada yang lebih sadis dari kabar kepergianmu. Telponku berdering-dering kudiamkan karena tubuhku terantuk takdir di ICU. Sekilas, kuanggap suara telpon dari panggilan istana seperti biasa saat mereka telah merampok dan akan menipu warganegara. Ya, kisah-kisah istana dalam tujuh tahun terakhir hanya itu: khianat, komplotan jahat dan mentalitas bejat. Tak tahunya, berita dan kabar duka. Padahal seminggu lalu, engkau masih menelponku untuk bertemu di rumah karena garasi mobil sudah disulap jadi kantor Nusantara Centre. Kantor yang akan meneruskan program dialog dengan podkes dan virtual. "Nanti setelah operasi kecil, kita bertemu lagi," katamu meyakinkanku. Saat itu, kita ngopi di dunkin donats Mall Cinere. Sejak tahun 2006, hampir dua minggu sekali kita dialog di situ. Lahir 3 buku dari tempat yang hampir bangkrut karena pandemi. Kini tempat itu tinggal kenangan. Dan, buku babon berjudul, "Laut Masa Depan Kita," untuk sementara berhenti berlayar. Bonar Simangunsong itu nama guru. Ya guru kami di kampus dan lembaga. Bagi kami "tak ada yang lebih fasih dalam iptek laut dan komputer yang melebihi ide-ide briliannya." Engkau menginspirasi kajian tol laut yang kini surut. Darimu, kami belajar hidup dan hidup belajar. Bahwa di nusantara, kita tak mesti jadi juara. Dari dialog-dialog itu lahir konsep "modern maritime state civic nationalism." Konsep negara modern berbasis maritim yang berideologi nasional kemanusiaan, yang akan segera kita praktekkan saat berada di istana. Jiwa bopo sangat nasionalis. Tak pandang siapa di depannya, yang penting ide dan gagasannya. Bopo sering berkata, "jangan sibukkan pikiran kalian pada hal-hal yang tidak dimiliki, tapi fokus pada hal-hal yang dicita-citakan." Yah, cita-cita membangun yayasan telah kesampaian. Berikutnya membangun kampus nusantara. Sebuah kampus yang akan jadi rumah kejeniusan dan kepemimpinan. Ide-ide itu terus kita gemakkan. Ke kampus di Semarang, di kota Purwokerto, di Jogjakarta, di Bogor dan bahkan di Medan. Lalu kita sempat ke beberapa lembaga negara: lemhanas, menko maritim, bapenas, perpusnas, istana wapres dan markas tentara. Belum seberapa, tapi narasi kelautan lebih bergairah. Yayasan Membangun Nusantara Kita yang akan membangun Universitas Nusantara serta memproduk buku-buku berkwalitas kebangsaan dan keindonesiaan itulah warisan kita semua. Kami akan terus realisasikan. Dan, sambil nanti kita ngopi di altarNya, kusampaikan bahwa Bopo orang sangat baik dan berjasa buat kami. So, selamat jalan, bopo. Tentu kami sangat kehilangan. Kesedihan dan tangis hari ini semoga makin menambah amal baik kita. We love you, bopo guru. (*)