Cerbung#3 "KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN" - Yudhie Haryono


Purnama. Tak ada yang melebihi syahdunya. Kutatap malam ini dari pembaringan tua. Setelah jejak malam berdepa-depa. Mengumpulkan segelas air, sepiring nasi, sehektar mutiara dan segenggam berliana.

Aku ingat. Menemukannya di lautan media sosial. Ia, dengan tipu muslihatnya mengaku kagum dan rindu. Pada lelaki yang mewakafkan jiwa raga demi jayanya nusantara. Pada puisi dan lakon revolusi. Pada riset-riset masa depan atlantik: atalata.

Setelah bertrilyun waktu, sejarah makin parah. Semua doanya ditertawa. Akhirnya, makin lama kutahu itu semua fotamorgana. Ilusi kaum jahil. Delusi lelaki autis. Korban rezim pemuja hawa nafsu.

Menurut catatan TNI, ia bernama Beatrisyia. Anak libanon keturunan portugal. Gagap dalam bahasa Indonesia. Hanya mahir berpura-pura.

Pernah. Ya pernah. Aku menyayangimu seperti sayang awan pada hujan. Demikian sms dan surat yang diulang lima kali sehari dan diposkan via hantu blau padaku. Seakan-akan kaum arabis terputus nalarnya lalu ziarah dan menyerah kalah pada batu hitam entah dari mana.

Ya. Mirip-mirip vagina tentu saja. Beda bentuk dan rasa tentu saja. Tapi tak perlu dicoba dan diuji coba. Sebab itu bukan barang cobaan dunia.

Kini, sambil wirid dan baca asmaul husna kumengadu pada tuhan, hantu dan hutan. Sebab tawasul via habaib sudah setahun tak ada hasilnya. Mungkin karena habib kawe dua sehingga doanya ghairu mustajabah.

Mungkin juga karena Tuhan mulai bosan bersahabat dengan kita. Karena itu, coba kita evaluasi. Kekikiran adalah puncak kejahiliyahan; sifat pengecut adalah cacat seumur hidup; kemiskinan menggagalkan lelaki cerdas membela kekasihnya; orang melarat adalah orang asing di kotanya sendiri.

Sedang orang kaya adalah turis di kampungnya dan majikan di desa-desa.

Beatrisyia. Tahukah engkau bahwa ketidakmampuan adalah petaka; ketakutan adalah syaitan; kesabaran adalah keberanian; zuhud adalah kekayaan; pengendalian diri adalah perisai, dan sahabat terbaik adalah penyerahan dan pembrontakan.

Bukan menangisi dan menyalahkan apalagi hobi marah-marah. Jika engkau begitu maka filosofimu adalah: aku bayar maka aku ada. Menipu sebagai hobi dan air mata sebagai senjata.

Purnama. Kutulis cerpen ini tanpa data. Hanya gurau di akhir majas senja dan sejarah tengah malam saja. Tak kurang. Apalagi lebih.

Saat kekasihku meninggal, aku mati. Saat reinkarnasi, engkau tikam tepat di ulu hatiku. Seperti subuh yang tak bertaluh. Seperti gigil yang tak berkail. Tanah-tanah penjajahan tak sempat dimerdekakan. Menunggu pemberontakan kami dan kemenangan revolusi.

***

0 comments:

Post a Comment