Engkau pasti tak tahu. Tak ingin tahu. Bahwa kini aku terkapar lemah. Mata nanar tak tentu arah. Ditikam rindu yang menggebu. Engkau tidak akan peduli. Tidak mengerti.

Bagaimana tiba-tiba ketikan puisiku deras dan banjir. Mengobati sepiku yang kering. Mengobati lukaku yang bening. Sebab menghadapi cuekmu adalah kisah terbuka. Ada di semua rasa. Pertempuran semu. Peperangan bratayuda. Bukan kopasus; bukan kopasanda. Yang jelas aku merdeka. Tapi hanya kemerdekaan tiada cinta apalagi rindumu.

Wahai mentari. Mukjizat tak terperi. Putri dari segala bidadari. Perempuan teragung yang pernah kunikmati senyum angkuhmu. Juga sedikit waktumu saat itu. Engkau tak akan mengerti segala lukaku, dukaku, perihku, tangisku, doa dan harapku. Tak mau tahu. Tak akan sudi. Sebab telah engkau pilih takdirmu. Dengan lancang dan lugu. Terlebih rindu dan cintamu telah disembunyikan pisaunya, cakar-cakarnya.

Maka, membayangkan bokongmu saja kini jadi siksaan tanpa jawaban. Kerinduan tanpa pegangan. Kebosenan tanpa ujung. Kekangenan yang lapuk terbang ke got comberan busuk. Mati sebelum mati. Hidup tak bermakna. Perjalanan jadi mubazir adanya. Tanpa gila takdir.

Kasih, taukah engkau, ketika kiyamat hanya mitos para keparat. Ketika agama hanya ilusi para durja. Ketika hukum hanya igauan para alim. Sesungguhnya waktu tinggal sampahnya. Maka, jadilah nanti orang benar di tempat salah dan orang salah di tempat benar. Sempurna sudah kita hidup di zaman penjajah.

Dalam dekap keterjajahan inilah sepiku memuncak. Sebab kesepianku adalah ketakutanku dalam kelumpuhanku. Dalam ketiadaan energi. Menggelinding menikmati duri. Merayakan sakit tak terperi. Menghabiskan air mata dan darah kehidupan usia senja.

Dalam derap kreta sekarat uzur, engkau pun kini telah menjadi racun bagi darahku. Racun bagi cita-citaku. Racun bagi rindu dan matiku. Apabila aku berteriak, itu teriakan di dalam kangenku dan sepiku.

Apabila aku menangis, itu berarti aku bagaikan tangisan tungku tanpa api. Bagai malam tanpa pagi. Bagai sajadah tanpa si sujud. Bertepuk sebelah kaki. Merayakan takdirnya yang sering misteri. Karena akal dan rasa, terbatas adanya. Walau mereka anak-anak raja. Bahkan keturunan setan sekalipun.

Semilyar bulan purnama lalu, dunia purba. Saat bertemu, engkaulah bentuknya. Manusia yang menjumput bahagia lewat sedihnya.

Kasih, taukah engkau? Jika ada ide yang bergerak melebihi gagasan awalnya, itulah neoliberalisme. Jika ada istilah yang bercitra indah melampaui fakta aktualnya, itulah demokrasi.

Jika ada gagasan yang berdentum keras melampaui harapan pencetusnya, itulah revolusi kaum muda. Jika ada perempuan buta yang menolak bahagia, engkaulah argumentasinya. Tak mau lelaki dengan hapalan 30 jus, apalagi bulan madu di Tajmahal dan Sevilla.

***


Semula hanya kekalahan. Berawal dari ketaksanggupan menanggung takdir derita. Aku sedang menuliskan hal yang paling sederhana saat mengirim ketikan rindu ini padanya dan hantunya.

Tentu. Bersama tumpukan air mati di suatu senja, di suatu musim kecurangan tengah tahun ketika pemilu dan bunga-bunga deposito bermekaran. Di antara pasar Kratingdeng dan sungai Serayu.

Juga tentang ingatan tentang nalar perlawanan yang makin keemasan serta menua di kaki-kaki peradaban nusantara. Yang agensi begundalnya singgah di istana negara dan kita biarkan berkibar merampok SDA dan SDM anak-anak yang tak layak bekerja.

Lalu, kita saling bercerita tentang seorang pria dan seorang perempuan yang patah hati: putus harapan. Kemudian masing-masing menghabiskan sisa hidupnya untuk menulis dan menangis. Sebab kata para pujangga, cinta yang tertolak dan bertepuk sebelah kaki adalah kisah yang paling indah untuk diabadikan dalam sebuah kisah.

Maka, saat keduanya menjumlah luka-lukanya dalam kalimat atau air mata akan menjadi simbol sebuah judul dari yang pernah dikenang sebelum lekang. Enigma dan nostalgila. Epistema dari anarkhi kejumpaan berikutnya.

*

Engkau. Wahai penjungkirbalik hati. Ketikkan padaku, sekali lagi tentang takdir enigmatis itu dan symtom ini. Seperti puisi legenda para nabi yang berpoligami, dan tentu mampu mencinta dan bercinta dengan banyak tipe perempuan sehingga tak sanggup setia pada salah satunya saja. Digilir. Dipercundang. Dijadikan harap dan hempasan.

Dan, dua manusia itu yang sedang meminta mati itu, mungkin baru pertama kali jatuh cinta. Yang berjuta rasa. Tentu, pada lawan jenis yang mampu membuatnya menjadi seorang penyair, sastrawan besar mirip Kahlil Gibran. Bukan mirip penjudi pezina di istana negara.

Kini. Di saat gerimis saat tengah malam, di suatu musim bunga deposito tengah tahun ketika pilpres jadi awal revolusi: kekuasaan jadi bau amis. Kuasa yang melahirkan satu puisi perlawanan.

Dari sejumlah kelahiran dan kematian yang dititipkan pada bibir keduanya agar saling mengecup. Satu gairah yang dipenuhi sejarah masa lalu yang gemilang prestasi plus janji-janji.

Saat mendaras kitab, semua bagai senandung lirih lagu rindu penuh cemburu burung-burung ababil yang kembali ke sarangnya. Mereka yang hatinya patah dan memilih menulis kegundahan untuk menundukkan cinta di bawah laras sepatu polisi kolonial sebelum matahari yang keemasan menua di bawah umur tua: ditembak laras tentara hasil impor dan korupsi komandannya. Menunggu buka puasa. Atau bagaimana.

Sepertinya, keduanya jadi hantu yang meniduri taman batu guna menumbuhkan hutan dengan dupa dan doa.

***


Seperti terduga. Krisis dompetku datang lebih cepat dan dalam. Bahkan akut. Kini terkena hempasan yang ketiga secara berurut. Lahirlah penyakit akut: penyempitan pembuluh dompet.

Pengkhianat dan pemunafik itu kini di mana-mana. Dari profesi apa saja. Mengerikan.

Dan, tepat tegukan terakhir kopi pahit ini, suratmu datang menghujam ulu hati: jlebbb. Dalam. Aku limbung. Minta mati. Berharap tak jumpa ramadan kembali. Muak. Jijik. Pada takdirNya yang berulang.

Dear kekasihku yang tidak pernah mencintaiku, begitu awal ketikan suratnya. "Kamu tau? Bahwa sebenarnya menjadi yang kesekian adalah tidak enak. Pastinya menjadi beda.
Saya merasa berpura-pura dicintai. Jelas terasa perbedaannya. Perilaku dan tindakan. Menyebut namaku saja malu di antara sastramu. Jadi sudah kuyakini dengan kesungguhan bahwa aku hanyalah assisten peribadimu. Namun, aku akan tetap tersenyum menerimanya. Dan, kutahu cintamu kamuflase."

Kalau saja Muhammad yang menerima surat cinta ini, kupastikan beliau menangis sedu sedan. Apalagi aku, lelaki terhimpit penyempitan rizki dan duit.

Suatu kali, Muhammad mengetik risalah sebelum mati buat anaknya yang mau menikah. "Anakku, menikah itu mengajarkan keikhlasan. Bukan menyuburkan kebencian dan tuduhan. Hidup bersama itu bukan memupuk hobi menemukan salah pasanganmu, mencari-cari kekurangannya. Sebab, cinta itu menerima semua kekurangan pasangan, mendorongnya berkembang, memberinya kepercayaan, mengajaknya maju bersama mewujudkan cita-cita dengan tekun, sabar dan ikhlas."

Tentu saja, rindu itu berat. Sangat berat. Terlebih rindu dengan tepatnya para pengutang membayar tagihan, kawan melunasi utangnya, negara membayar tugasnya, bisnis dilunasi sebelum jatuh tempo. Kerinduan-kerinduan akan hal ini menguap sejak tiga tahun terakhir. Kini kutemukan daya bayar clientku anjlok.

Padahal, rinduku pada peristiwa itu meledak-ledak di antara subuh dan maghrib. Sesekali muncul bagai bara dalam hati saat isya dan dukha. Menerjang-terjang. Sebab, keluarga dan kebutuhannya tak bisa ditimang-timang.

Kalian para pengutang tak paham. Kalian tak mau mengerti. Eh, kalian menaruhnya di antara kuburan, peti mati, mikhrab dan tanah gersang.

Saat bersamaan, kini berlaku tata niaga negara super dungu. Mereka mengelola negara dengan mencari sensasi, bukan solusi. Inilah maqom pejabat pemerintahan di era liberal bin begundal. Berkembanglah kini realisasi dari tesis republik barter. Yang satu dilepas agar yang satu dilantik.

Lebih sedih lagi jika melihat politik kini. Dalam demokrasi kita, semua harus diwakili, bukan semua harus dipilih. Semua harus dimusyawarahkan, bukan semua harus divoting. Kalian tahukan yang terjadi?

Di seberang sana, orang ribut hal-hal cetek bin jelek. Sampai-sampai aku berseleloroh pendek, "jika yang kalian tulis soal baju, ibadah, makanan, tingkah laku sambil mengabsenkan ketikan tekhnologi, bagaimana mau maju ummat ini?"

Akhirnya kini semua mengalami defisit tulisan inspiratif dan tekhnologi. Surplus tulisan ngalor-ngidul dan jahiliyah. Aku, kekasihku, anak-anakku dan kalian kini jadi korban. Tega dan bengong melihat arabisme bersaing ketat dengan infrastrukturisme dan utangisme di liga Indonesia yang predatorik luarbiyasa.

Cintaku. Permaisuriku. Kini kita perlu merayakan kekalahan ekonomi ini dengan menghibur diri beli ikat pinggang. Itupun kalau kamu setuju. Atau apa pikiranmu? Masa cuma bisa nyari-nyari salah dan kurangku? Subhanallah. Maha suci yang layak suci.

Kekasihku, mencintaimu mengingatkanku dengan wasiat kawan baikku yang berkata, "Hidup bukan tentang mendapatkan apa yang kamu inginkan, tetapi tentang menghargai apa yang kamu miliki, dan sabar menanti takdir baik yang akan menghampiri."

Kini mari berdansa dan menari. Lagu cinta yang syahdu, "Ya Badrotim Minha zakula kamaalii/Madza yu'a Biru an'ulaa kama qaalii 

Antalladzi asyrak tafii Ufuqhil 'ulaa
Antalladzi asyrak tafii Ufuqhil 'ulaa

Famakhautabill Anwarikullaa dhallali
Sholla alaikallahu robbi Robbi daa iman
Abadan ma'al ibkariwal ashollii."

***


Mulanya malas. Lalu, kemalasan jadi kebiasaan. Dicampur doa dan dupa, banyak orang berpikir, itulah jalan kemakmuran. Agama lalu jadi candu yang membuat pemeluknya tak perlu bekerja cerdas dan berinovasi.

Di sini, anarkhi kemakmuran dimulai. Seringkali atas nama takdir, manusia merasa mampu kaya dan makmur tanpa mengindahkan aturan dan moral serta habitus gotong-royong. Padahal kita sama-sama tahu bahwa kemakmuran tanpa kejuangan dan kejujuran pasti dikutuk alam raya; awal punahnya keadaban dan kemanusiaan.

Ujungnya: kemelaratan bin kemiskinan. Cucunya lahir kemudian, berupa kebodohan. Hilirnya, penjajahan yang tak berakhir. Padahal kata sang bajik, "barangsiapa bekerja keras, maka kemakmuran itu untuknya. Barangsiapa menumpuk malas, maka kemelaratan itu akan menjadi miliknya."

Mengapa kita melarat? Yang paling utama adalah karena kita tak mau membuang metoda hidup lama yang usang. Hidup kita aman di negara tanpa kreasi kecuali utang, gadai dan obral. Sedihnya, melarat jadi kunci dan syarat di negara produsen pengkhianat dan penjahat terbesar di dunia dan akherat.

Mencipta hidup baru itu mudah. Meninggalkan pola hidup lama itu yang susah. So, soal melarat adalah soal "kenyamanan" pada kejahiliyahan (bersama) yang diresmikan oleh negara via begundal kolonial yang berkuasa dan teks-teks ketikan mereka.

Itulah mengapa, pilpres (dengan pola lama) kita baru berhasil menegakkan demokrasi (para) pencuri yang menternak pencuri demokrasi. Resiprokal. Tak lebih. Tak kurang.

Maka, berhati-hatilah. Banyak kejahatan negara melarat dimulai dari kemelaratan ide dan pembagian sogok serupiah-dua rupiah. Kekerean dan kejahatan ini juga bisa berjejak pada ketiadaan sejarah perlawanan dan tanpa genealogi pemikiran serta ilusi yang dibesar-besarkan via media (pencitraan yang hiperrealitas).

MENINGGALKÀN DAN MENCIPTAKAN. ITU KUNCINYA. BUKAN YANG LAINNYA.

Sediakah kita merawat etos dan mental revolusi, inovasi dan progresifitas? Jika tidak, anarkhi kemakmuran akan terus berjalan. Dan, kemelaratan jadi keseharian. Kepicikan jadi keniscayaan.

Jika itu takdir kita, saya harus iba dan kasihan melihat Indonesia: melihat kita semua. Terutama para pribumi yang ksatria. Bangsa lain sudah membuat road map mengkoloni planet di jagat raya, kita masih belajar hitung manual; tipu-tipu dan sinetron rongsokan. Itupun tak lulus. Jadinya jahiliyah turun-temurun.

***


Di republik pancasila, kita harus mulai dari fakta-fakta. Apa fakta hari-hari ini? Pertama, ada drama menarik. Judulnya, "banjir." Bagi si A, banjir jakarta biar dapat kursi yang lebih tinggi. Bagi si B, banjir jakarta biar dapat fulus reklamasi. Bagi si C, banjir jakarta biar dapat pengalihan atas gagalnya program kemanusiaan. Bagi si D, banjir jakarta biar dapat tambahan anggaran projek. Bagi si E, banjir jakarta biar terlihat ketololannya.

Dus, ABCDE itu sama saja: rombongan jahiliyah yang sok gagah. Ini kurikulum neoliberal awal: komersialisasi segala hal-ikhwal, termasuk banjir, penderitaan dan kemiskinan (sesama).

Makanya, di republik pancasila, ribuan kali banjir berulang. Yang datang karena diundang. Yang memproduk dan menumpuk manusia malang. Tetap satu kuncinya: kita (terutama para pemimpin) mempertahankan keburukan masa lalu dan tidak memproduksi kebaikan masa kini.

Sejarah telah menunjukkan bahwa manusia itu berkaitan dengan gua-gua kesadaran. Kalau kalian ada di gua kejahilan dan kegelapan, maka kalian sama sekali tidak paham indahnya mawar kemanusiaan.

Karenanya, saat kejahilan menjadi mahkota, kita pasti gagal melewati dan melampaui petaka yang datang berkali-kali tiap waktu dan bulan yang sama. Karena tak sempat baca tanda-tandanya. Alih-alih mendapat solusi, eh sebagian kita kini mengkomersilkan kepariaan itu demi perut dan kursi diri sendiri.

Sejak reformasi kami gaungkan, "akankah ada satu kasus saja yang diselesaikan?" Ternyata tidak ada. Karena sebenarnya pemimpin di Indonesia sudah tidak ada sejak pemilu liberal dilaksanakan. Semua kini hanya petugas dan boneka yang sesuai dengan kehendak bandar dan oligarki kolonial. Begitu juga dengan Presiden Joko Widodo.

Akhirnya, di republik pancasila, memimpin itu menipu. Kini itulah kredonya. Buah dari demokrasi liberal. Para pemimpin di zaman ini mengalami penyakit mythomania: munafik, pembohong dan kelainan jiwa.

Cirinya sering sembunyikan realitas dirinya, karena masa lalu yang buruk dan menyakitkan. Lalu, ingin diakui atau diterima oleh masyarakat sekitar agar khayalannya nyata. Puncak-puncak mythomania adalah sekarang.

Di republik pancasila kasus mega skandal Jiwasraya dan Century pasti bermodus sama. Siapakah otak di baliknya? Jika otak dan modusnya sama, Jiwasraya dan Century tidak hanya saudara kembar tapi kembar siam.

Jika saja 13.7 T tersebut digunakan untuk pengentasan orang miskin. Atau bayar hutang ke China, maka mestinya elite pemerintahan hari ini lebih hebat dari pemerintahan sebelumnya.

Tapi begini. Sebenarnya siapapun presiden kita (jika hasil demokrasi liberal) pastilah resultan dari interaksi di antara warganegara. Jika warganya sehat, kemungkinan dapat presidennya sehat. Demikian pula sebaliknya: jika warganya sakit, kita akan dapat presiden sakit (jiwa).

Nah, di kita kini semua sudah melacur. Mulai dari profesornya, pemuka agamanya, jendralnya, pedagangnya dan semua profesi kini berlomba-lomba jadi pelacur.

Karenanya, presiden tidak sepenuhnya merdeka dalam mengeluarkan kebijakannya. Ia yang sakit, dipengaruhi oleh sekitarnya yang sakit maka pastilah lahir negara sakit (jiwanya).

Banjirlah KKN di kita: jiwasraya, bpjs, garuda, ektp hingga banjir air sungguhan seperti di Bekasi dan Jakarta pagi ini.

Di republik pancasila kini, "daulat rakyat" tergusur oleh "daulat pasar." Tentu ini pelanggaran konstitusi. Tapi kudeta maupun impeachment sulit terjadi, karena Dewan Perwakilan Rakyat telah dirubah menjadi "Dewan Perwakilan Partai."

Di republik pancasila, para maling berfatwa bahwa, "money can buy hospitals, not health; can buy laugh, not happiness; can buy friends, not friendship; can buy obedience, not loyalty; can buy books, not knowledge; can buy experience, not wisdom." Tetapi tetap mereka nyolong uang. Sangat banyak lagi. Dan, sesama maling uang saling bersandiwara. Sinetron yang tak sudah-sudah.

Padahal, Joseph E. Stiglitz (4 Nov, 2019) sudah berfatwa, "The only way forward, the only way to save our planet and our civilization, is a rebirth of history. We must revitalize the Enlightenment and recommit to honoring its values of freedom, respect for knowledge, and democracy."

Maka, mesti keadilannya menguasai pemerataan. Dan, pemerataannya berdimensi keindahan. Dan, keindahannya melampaui kekuasaan. Dan, kekuasaannya memiliki kemartabatan. Dan, kemartabatannya menternak kearifan. Lalu, kearifannya bersendi keadilan sosial bagi seluruh, ya seluruh warganegara!

Sayang. Jika para revolusioner mendirikan negara dengan ide cemerlang, para pewaris menjualnya dengan ide kopi kolonial. Jika Tan Malaka memimpin rakyat miskin dengan gagasan-gagasan besar, elite hari ini memimpin kita dengan cengengesan dan blusukan.

Semboyannya "kaos oblong dan sandal jepit, kami berbohong agar kalian terjepit." Sedang Tan bersemboyan, "gerpolek." Dalam gerpolek, yang merupakan akronim dari gerilya, politik dan ekonomi, Tan Malaka membahas strategi militer yang seharusnya dan konsep pergerakan pada umumnya yang harus dilakukan oleh seorang gerilyawan.

Tan selalu mengingatkan rakyatnya untuk menjadi diri bangsanya sendiri; memahami tujuan sebenarnya negara Indonesia didirikan. Tan, setidaknya juga menjelaskan bahwa perang purba maupun modern bukan hanya milik para tentara, tetapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat agar Indonesia tidak bergantung pada bangsa lain.

Maka mestinya, di fakultas ekonomi kita itu diajarkan bahwa Investasi Asing (IA) pastilah mengandung lima hal: 
  1. Intervensi 
  2. Intimidasi
  3. Infiltrasi
  4. Invasi dan
  5. Inflasi. 
Bagi yang menghayati perang modern maka jelas putusannya: menolak investasi asing! Berdikarilah pilihannya. Bravo akal sehat, jiwa waras.

Di republik pancasila, mestinya para agensinya meniru para petarung Samurai yang memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, agar tidak (lagi) dipermalukan akibat kegagalan saat melaksanakan tugas atau berbuat salah sehingga merusak kepentingan rakyat banyak.

Kesimpulannya kini. Di republik pancasila, makin banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan. Sambil menikam mati para begundal proxy yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan.

***


Merenungi pancasila. Menghidupi indonesia. Air mata ini menyadarkanku. Bahwa keduanya tak menjadi tabula rasa. Keduanya takkan pernah jadi milikku. Keduanya bersatu untuk saling berpisah. Maka, air mata ini menyadarkanku. Sesadar-sadarnya. Bahwa kalian takkan pernah menjadi milikku.

Tentu saja. Aku tak pernah mengerti mengapa aku segila ini. Memikirkan, merenungi, menghidupi, merindukan. Sampai-sampai aku hidup untukmu, tetapi aku mati tanpamu. Sungguh. Sesungguh-sungguhnya aku tak pernah menyadari bahwa aku setolol ini. Setolol-tololnya. Sampai-sampai aku hidup untukmu, tetapi aku mati tanpamu. Aku menunggumu, engkau mengkhianatiku. Aku mengundangmu, engkau tak mempedulikanku. Tak peduli. Tak pernah peduli.

Semalem aku membuka kembali naskah, risalah dan foto-foto masa lalu. Tua dan berdebu. Teronggok dan tak terawat. Umur dan nasibnya separah hatiku.

Dalam kelelahan perjalanan (passing over), aku tertidur dan bermimpi memberimu mukena dan berucap selamat menjumput ramadan. Kita berjalan melewati jembatan Deai-bashi di sungai Shokawa di kota Shirakawa, Jepang punya. Musim salju. Semua memutih. Tak ada masa depan. Tak ada masa lalu.

Lalu kuselipkan kembang Kyoto di tanganmu yang gigil dan keriput. Sungguh mulia menjadi tua dan berguru plus bergurau padamu denganmu. Kau yang tua tetapi selalu merasa benar. Menjadi ontanis padahal arabis. Menjadi arabis padahal iblis.

Membaca balasan-balasan ketikanmu seperti membaca kitab Negarakertagama. Penuh simbol dan teka-teki. Gambar-gambarnya adalah doa. Optimisme dan keyakinan. Teruslah menjadi hantuku. Sebab sudah kau putuskan tak sudi jadi bintangku.

Tuhan. Kini kutahu. Teman-temanku terlalu miskin untuk memberontak/terlalu lemah untuk berbaris/terlalu pragmatis untuk berjuang/terlalu bodoh untuk revolusi/terlalu fokus beribadah/terlalu jauh tersesat/

Kini kutahu. Tak ada harapan/membunuh kejahiliyahan/mengusir penjajahan/menikam mati neoliberalisme/membuang mental kolonial/

Ke mana dan kepada siapa kini aku harus bercerita tentang gelapnya dunia dan jahatnya zaman? Tak ada yang menarik hati kecuali mati. Tak ada kejuangan di republik ini kecuali pergundalan, perbudakan dan pergundikan. Kasih, lelahku kini tak berbahu.

Hantu, ada apa sih kamu dengan Hutan dan Tuhan? Jika kaum mudanya tidak berontak saat kaum tuanya khianat, apa yang akan terjadi?

Saya iba dan kasihan melihat Indonesia. Bangsa lain sudah membuat road map mengkoloni planet di angkasa, kita masih belajar hitung manual; tipu sani-sini; KKN tak henti-henti. Itupun tak lulus. Jahiliyah turun-temurun.

MENGULANG. Kini mereka mengulang kejahatan purba. Berkhianat untuk sebuah kursi. Ya. Memang semua orang mampu menanggung kekalahan, seperti mereka yang oposan selama berpuluh tahun. Tetapi, jika kita ingin melihat mental sesungguhnya dari seseorang, beri dia kursi saja (tahta, harta dan sex). Kita akan segera tahu watak aslinya yang rakus dalam menumpuk kejahiliyahan dan menternak kedunguan.

Maka, tanpa memproduksi warganegara unggul yang bertradisikan iptek-industri, peradaban kita akan makin tertinggal dan punah. Terlebih, dalam Indeks Inovasi Global 2019, Indonesia hanya berada di peringkat 85 dari 129 negara. Bahkan di ASEAN kita berada di urutan ke-7 atau dua terendah. Negara Singapura (8), Malaysia (35), Thailand (43), Vietnam (42), Filipina (54) dan Brunei (71). Selamat hari kebangkitan nasional.

***


Tahukah engkau? Jika ukuran jumlah umur seperti umur Muhammad (60), maka sisa umurku tinggal 18. Sesungguhnya, umurku terlalu panjang dan membosankan. Sebab sejak remaja, pinta doaku mati muda. Tapi, di sisa umurku, kini baru kutahu bahwa, "sebaik-baik waktu adalah saat pagi-pagi bersamamu. Bercerita soal-soal ganjil dan lucu-lucu. Berkabar soal yang telah berlalu.

Salah satunya di antara Mijen dan Ngalian. Di antara Permata Puri dan Simpang Lima.

Dan, seindah-indah kesadaran adalah kesadaran sore mengingatmu. Ingat dan mengetahui bahwa hidupmu berkah, berprestasi dan menjumput impian diiringi gelisah dan cobaan yang begitu gigantik.

Plus, segembira-gembira nasibku adalah saat tahu bahwa engkau pernah mengingatku; pernah mencintaiku; pernah merindukanku. Sebagaimana kisah dan sejarah umum yang tak tertulis di kitab-kitab suci."

Apalagi yang bisa kita dustakan? Tanya langit pada dunia. Taukah engkau dari apa hewan dibuat? Tanya malaikat pada muhammad.

Taukah engkau? Aku bersujud. Aku menangis. Aku melayang ke angkasa. Karena sudah mau memberi waktu buatku. Sejuta malam aku bahkan tidak bisa tidur membayangkan bertemu idolaku: cinta masa remajaku. Aku pikir pasti pingsan bertemu denganmu. Begitu melihatmu, masih terlihat auramu. Kharismamu besar sekali buatku. Dejavu.

Maka, ditemani ngobrol olehmu mengingatkanku dengan Albert Enstein yang berkata, "Jika kau tidak bisa jelaskan apa itu cinta, maka kau belum cukup mengerti apa itu rindu dan cemburu."

Wajahmu manis, cantik, sempurna dan indah sekali. Terlihat sisa kesedihan dan sangat sederhana. Andai aku bisa membuatmu bahagia di umur sisa. Kini sedih dan kisahmu sudah jadi sejarahku. Semoga segera berakhir agar sisa hidup kita tak paria. Aamitabhaaa.

Sesungguhnya, betapa hebat alam raya membuat takdir; betapa sempurna Tuhan menciptamu; betapa sial nasib mentakdirkanku. Dan, sebaik-baik mukjizat adalah makan Soto Sokaraja, ngemil Mendoan buatan ibuku. Plus, sedahsyat-dahsyat bertetirah adalah menggendongmu di Baturaden. Bukan di Makkah apalagi Madinah.

Salam sayang, penuh hormat. Arupadatu. I love you, hantuku.

***


Pada tahum 2015, The Legatum Institute mengeluarkan daftar indeks kemakmuran negara-negara sedunia. Berdasarkan data indeks kemakmuran tersebut, Indonesia berada di urutan ke-69 dari 142 negara. Meski demikian, posisi Indonesia naik 21 peringkat dibanding tahun sebelumnya.

Lumayan! Yang jadi soal adalah, mengapa kemakmuran kita belum maksimal di tengah keberlimpahan SDA? Mungkin jawabannya karena kita mengalami kutukan sumber daya alam dan kutukan keberlimpahan.

Tetapi, di luar dua hal tersebut, kita juga terperangkap pada konsepsi "kesejahteraan individual." Dus, bukan kesejahtetaan negara (welfare state) apalagi kesejahteraan warga (welfare society) yang jadi matriks dan tujuan. Konsep kesejahteraan individu ini didesain dari matriks iklan dan tipuan. Artinya, tiap individu diperangkap oleh pasar untuk hidup dari, oleh dan untuk dirinya. Jadilah individu serakah.

Lahirlah masyarakat iklan. Bukan masyarakat sejahtera. Inilah konstruksi ralitas kehidupan yang terjadi sekarang di Indonesia. Realitas masyarakat konsumeris yang hidup berdasarkan angka-angka.

Dalam masyarakat (ber)konsumen, konsumsi tidak mendapatkan tempat sebagai pemenuhan kebutuhan. Tapi, ia hadir sebagai prestise sosial belaka. Kesejahteraan dan kemakmuran bersama tak jadi ontologi. Apalagi epistema dan aksi-aksi.

Kehidupan konsumerisme ini disebabkan oleh iklan yang mendominasi kehidupan. Iklan produksi pasar, juga kreasi individu serakah yang berbentuk oligark. Iklan yang menyajikan sebuah realitas non-riil yang kamuflatif bin sorgawi. Lahir dan berkembanglah "komodifikasi apa saja via iklan yang memanipulasi masyarakat penikmat iklan."

Para penikmat ini mengembangkan dan mentradisikan balik, arus iklan awal yang mereka terima. Jadilah pusaran resiprokal. Mereka tak bisa lagi keluar dari cengkraman itu. Bahkan berpikir solusi saja tidak. Apalagi mencipta "jalan keluar."

Tentu, akibat berputar-putar di seputar negeri iklan; konsumsi iklan; resiprokal iklan maka lahirlah hiperrealitas yang berbentuk galaksi simulakra. Selebihnya, kita tak lagi hidup bersama, apalagi menempuh kemakmuran bersama.

Kemakmuran menjadi ilusi. Kemakmuran bersama menjadi mati. Terkubur bersama ketiadaan kesadaran diri. Tentu ini pekerjaan besar kita semua. Sebab, kemakmuran bersama itu cita-cita utama kita dalam bernegara.

***


Engkau datang dengan kepahitan masa lalu. Aku menjemputmu dengan cemerlang masa silam. Di masa kini, sambil bercinta kita berhipotesa: sebaik-baik pemikiran tentang Indonesia adalah pikiran-pikiranku. Sejenius-jeniusnya ketikan republik ini adalah ketikanku. Dan, sebaik-baik cinta adalah cintaku padamu.

Kasih. Taukah engkau bahwa seburuk-buruk kebencian adalah kebencian pada konstitusi? Mengertikah engkau bahwa sejahat-jahat perbuatan adalah perbuatan neoliberalisme? Keduanya kini jadi tradisi. Dihidupi dan dikurikulumkan di mana-mana: pasar, negara, agama dan civil society.

Itulah akhir negara bangsa. Itulah kebenaran pasar. Itulah oligarki senyata-nyatanya.

Dan pada akhirnya, demokrasi kita kini dibuat bukan untuk membebaskan rakyat dari problemnya tapi disengajakan buat memastikan para rakusian tetap menikmati kerakusannya. Pada akhirnya negara kita kini dihuni para begundal kolonial yang bersengaja menternak kemiskinan dan ketimpangan, bukan hadir untuk memastikan terealisasinya keadilan dan kebahagiaan.

Kasih. Taukah engkau jika harga kebutuhan pokok naik lebih cepat dari pendapatan rakyat, solusinya kudeta: bukan pemilu. Apalagi ganti presiden? Ya. Kudeta lebih efesien.

Juga, engkau harus tahu, jika seseorang hanya bisa mengkayakan beberapa orang sambil memiskinkan banyak orang, seseorang itu sangat tak layak jadi presiden! Juga menjijikan jika jadi elite negara. Ia hanya layak jadi warganegara biasa.

Kasih. Ingin kusampaikan pada handai tolan. Bahwa mereka kini hanya mewarisi kerakusan-kerakusan. Mereka yang mendapati kehancuran dan kenestapaan. Mereka yang mewarisi kedengkian-kedengkian. Para teroris yang berbaris. Para pelawak yang terbahak. Aku tidak tahu nanti nasib dunia mereka bagaimana. Biar tuhan, hantu dan hutan yang takdirkan.

Kasih. Kini kentutmu telah membunuh jiwaku. Sinismu telah mencabut nyawaku. Kecut aroma tubuhmu makin memusingkan kepala dan fikiranku saja. Ketikan-ketikanmu membuat muntahanku makin bau. Kok bisa, ada manusia sepertimu. Apa maksud Tuhan memberimu begitu banyak kehidupan beku? Subuh ini air mataku bertanya-tanya kembali.

Tanya soal air mata hasil sedih atas bom yang menyalak memangsa nyawa manusia. Tetapi, seorang kawan cerdas memberi argumen bahwa teror(isme) di Indonesia itu ghost protocol yang bisa dibeli dan digunakan siapapun asal bayar kontan. Ngeri.

Tetapi, dengan cintamu akan kupastikan karyaku untuk menyingkirkan ketimpangan dan kemiskiñan sambil menikam mati begundal kolonial. Dengan cintamu pula kan kuhabisi semua kaum jahat dan rakus di republik ini. Aku perbaiki semua mental buruk dan malas di negara ini. Aku pastikan semua kesakitan dan kependeritaaan punah di semua zaman bangsa ini. Aku jaga sampai mati warisan keadilan dan kebahagiaan semua warga negara di wilayah teritori kita.

Lalu, aku mati. Mewariskan peradaban baru yang gigantik. Lalu, mengisi dan menginspirasi alam raya, jagad ini. Kemudian, mati di sisimu manisku.

***


Engkau. Ya engkau. Bukan yang lain. Perempuan terjahat yang lahir di peradaban tua. Sebab menumpuk mukjizat hanya untuk menipu dan menyiksa. Berpuluh-puluh purnama. Di antara perahu dan kupu-kupu. Di dentang sisa umurku.

Kini. Begitu banyak hal yang kualami. Bermilyar duka yang kutemui. Bertrilyun pahala kujumpai. Saat mengenalmu sejak kuliah sarjana dulu. Kurasa senang. Kurasa sedih. Kurasa sedap. Kurasa perih.

Air mata ini menyadarkanku. Bait-bait kitab suci ini membangunkan diriku. Teks-teks kuno memaksaku jadi jenius. Bahwa kau takkan pernah jadi milikku. Bahkan sekedar jadi sesuatu yang perlu dikenang. Kau mukjizat palsu. Syorga penguat luka. Pahala penajam duka. Air mata ini menyadarkanku. Keluh bibirku menakdirkanku. Kau takkan pernah menjadi milikku.

Sungguh. Tak pernah kumengerti aku segila ini. Aku sehina ini. Sejak kau tampik kaki kiriku. Sejak kau injak harga diri yang tak berharga ini. Walau sumpahku. Aku hidup untukmu. Aku mati tanpamu. Tak pernah kusadari. Aku sebodoh ini. Aku hidup untukmu. Aku mati tanpamu. Hidup dan matiku tak berurusan pagi. Tak berkorelasi denganmu.

Air mata ini menyadarkanku. Keringat dingin ini mendemamkanku. Kau takkan pernah menjadi milikku. Kau takkan pernah ada untukku. Dan, aku tetap tak mengerti betapa durhaka aku pada selainmu. Yang menungguku bagai batu dan paku. Dengan seikat mawar yang wanginya diimpor sorga. Didatangkan dari Yugoslavia.

Engkau. Ya. Engkau. Penjahat purba yang menjelma jaelangkung. Hadir tanpa kitab suci. Pergi tanpa datang bulan. Keduanya produk tuhan yang menyesatkan. Rasanya kini aku perlu mengutip Yesus yang berfatwa bahwa, "bukan cinta yang memberikan jawaban kepada kita, tapi kitalah yang harus memberikan jawaban kepada cinta." Dan, penjahat hanya punya cinta pada kejahatannya. Bukan padaku, apalagi untukmu.

Subuh. Kentutmu telah membunuh jiwaku. Sinismu telah mencabut nyawaku. Kecut aroma tubuhmu makin memusingkan kepala dan fikiranku saja. Ketikan-ketikanmu membuat muntahanku makin bau. Kok bisa, ada manusia sepertimu. Apa maksud Tuhan memberimu begitu banyak kehidupan beku? Subuh ini air mataku tumpah bertanya-tanya kembali.

***


Aku menemukannya di sela-sela para pria tampan penggemarnya. Ia tak suka buku. Apalagi puisi. Hobinya, kerja kerja dan kerja. Tetapi, kantongnya tetap tak kaya.

Ia marah kalau kuajak dialog tentang Indonesia. Baginya, negeri ini hanya perlu dicintai dengan dijual, digadai dan diobral. Maka, dijuallah yang ada. Sisanya digadai. Kalau masih ada, diobral.

Tak heran utangnya menumpuk. Tetapi, ia cuek saja. Tokh para penggemarnya makin fundamentalis. Para pemujanya makin teroris. Makin ke mari, ia makin tak tahu betapa centrifugal dirinya. Para oligark menjulur-julur lidahnya ke semua tubuhnya. Ia kegelian dan sangat menikmati. Terbukti, sering kudengar ia melenguh orgasme.

Sayang, kuasanya begitu besar. Kuasa yang tak ia baca dari buku-buku. Bukan dari puisi. Entah dari langit. Jika betul, betapa paria aku yang menemukannya.

Kemarin, kudengar ia bergumam lirih, "sebentar lagi kutandatangani keppres tentang hari kecurangan nasional dan hari kebohongan dunia." Ini keren. Mengingatnya dalam sujud adalah mengingat nama yang bila kulafadkan menggigil seluruh jiwa ragaku. Sobahal khair ya Indonesia.

Pilihan keppres itu katanya menjawab pertanyaan wartawan, "bagaimana keluar dari jebakan kultur kebohongan dan kecurangan?" Transformasi struktural. Itu jawabannya. Dan, keppreslah ujungnya.

Tentu ini buah revolusi mental yang mental-mentul. Mungkin, ia tak sadar bahwa revolusi meniscayakan keringat, air mata, darah, pekikan suara dan dentuman kata-kata. Di atas segalanya, butuh penjahat dan komplotannya. Jika absen salah satunya, kalian bukan revolusionaris sejati (Ernesto "Che" Guevara: 1928-1967).

Kasih. Saat hatimu menjadi petruk dan sengkuni, bolehkah aku kritik keras mental dan perilakumu agar jiwa ilmiahku tak merana oleh dosa dan kutuk alam raya pada kita. Kukira, makin ke mari wasumu makin menjadi-jadi.

Kasih. Masih ingatkah kau bahwa, "tak ada yang bermartabat dari anak muda, kecuali dua hal: bekerja untuk melawan penindasan dan melatih dirinya untuk selalu melawan kemapanan-kejumudan (Ernesto "Che" Guevara: 1928-1967)."

Seperti Zasqi Rachman yang jelita bak putri raja Syakira Jelita yang luarbiyasa, ada hal penting perlu dipetuahkan sekarang. Di sini. Rasanya kita perlu menulis testimoni yang hakiki untuk direnungkan: "pada akhirnya cinta adalah keikhlasan dan rindu adalah pertapaan."

Tentu. Manusia datang atas nama cinta. Tetapi, di republik ini banyak elite pergi bercinta tanpa asmara. Semoga kita tidak. Semoga ada waktu bertobat. Aamitabha. Aamiin.

***


Aku masih sering bermimpi memelukmu di Danau Ateh. Tentu, sambil bercerita soal novel-novel Dan Brown yang luwar biyasa itu. Tetapi, kegelapan zaman ini terus menunda mimpi itu. Kita lelap dalam kejaran rizki yang tak pasti.

Danau ini terletak di Nagari Alahan Panjang, Kecamatan Lembah Gumanti, Kabupaten Solok, Provinsi Sumatera Barat, Indonesia. Danau ini bersama-sama dengan Danau Bawah, yang dikenal sebagai Danau Kembar.

Dan Brown adalah novelis lulusan Universitas Amherst. Sebelum menjadi penulis, ia pernah berprofesi sebagai guru bahasa Inggris. Saat ini bertempat tinggal di New England. Ia menulis banyak novel: 1997 Digital Fortress, 2000 Angels and Demons, 2001 Deception Point, 2003 The Da Vinci Code, 2009 The Lost Symbol, 2013 Inferno dan tahun 2017 Origin.

***


Mengapa kita melarat? Yang paling utama adalah karena kita tak mau membuang metoda hidup lama yang usang. Ekopol kita usang: hanya saling mencuri dan merampok.

Hidup kita aman di negara tanpa kreasi kecuali utang, gadai dan obral. Sedihnya, melarat jadi kunci dan syarat di negara produsen pengkhianat dan penjahat terbesar di dunia dan akherat.

Mencipta hidup baru itu mudah. Meninggalkan pola hidup lama itu yang susah. Pada pola lama, inovasi diabsenkan, kreasi dinihilkan, produksi dan industri diharamkan, kecerdasan dan kejeniusan dipenjarakan.

So, soal melarat adalah soal "kenyamanan" pada kejahiliyahan (bersama) yang diresmikan oleh negara via begundal kolonial yang berkuasa dan teks-teks ketikan mereka.

Di negara bermental kolonial, banyak kebijakan tidak berlandaskan ilmu pengetahuan. Akhirnya semua malas mengembangkan ilmu dan pengetahuan. Padahal, ilmu pengetahuan adalah alat kemandirian.

Itulah mengapa, pilpres (dengan pola lama) kita baru berhasil menegakkan demokrasi (para) pencuri yang menternak pencuri demokrasi. Resiprokal. Tak lebih. Tak kurang.

Maka, berhati-hatilah. Banyak kejahatan negara melarat dimulai dari kemelaratan ide dan pembagian sogok serupiah-dua rupiah. Kekerean dan kejahatan ini juga bisa berjejak pada ketiadaan sejarah perlawanan dan tanpa genealogi pemikiran serta ilusi yang dibesar-besarkan via media (pencitraan yang hiperrealitas).

MENINGGALKÀN DAN MENCIPTAKAN. ITU KUNCINYA.

***



Cerita ini benar. Dan, benar cerita ini. Kalau salah, tolong anggap benar. Ya. Cerita ini 30 tahun yang lalu sudah diketik. Saat itu, kawanku (salah satu konglomerat China) pernah berkata sambil bercanda, tapi mimiknya sangat serius.

Doi bergurau dan berkata sambil senyum tipis : "Apa artinya perusahaanku berlogo ular melingkar?" Kami diam tak menjawab. Lalu, doi jawab sendiri, "lama-lama Indonesian pasti punya Ooy."

Mengapa? Doi melanjutkan pertanyaannya. Kami diam. Doi menjawab sendiri ; "Olang Indonesia pintar, tapi malas bisnis, pingin uang banyak. Tinggal kasih uang, mereka baik ke kita. Sering-sering kita undang mereka makan, kita kasih angpau, tapi jangan minta apa-apa dulu. Saat mereka butuh uang untuk sekolah, kasih saja. Apa mereka mau, kasih saja.

Kalau mereka senang, kita minta apa, pasti dibantu. Nanti kalau kita sudah kuat, kuasai polri dan TNI. Kuasai aturan dan UU untuk keperluan kita. Makin kuat lagi, kuasai media. Makin kuat lagi, kuasai politik. Kalau ada yang protes, suruh habisi oleh pejabat pribumi yang sudah punya pangkat yang selalu kita bantu.

Pejabat indonesia itu (birokrat, politisi maupun TNI/Polri) suka sekali menjilat dan balas budi. Mereka tak akan lupa sama kita yang telah membantunya naik pangkat. Mereka akan tega menyiksa bangsanya sendiri kalau kita minta. Mereka lebih senang membunuh pribumi daripada melawan kita. Itulah indonesia. Maka logo naga ini akan jadi nyata."

Ini kisah lama. Kini nyata. Entah dari siapa. Entah siapa yang mengetik. Entah siapa yang memulai. Entah. Tapi nyata. Atau mata batin kita tak bisa membaca. Mirip tuan-tuan marhaen dan en.oe yang rabun sejarah.

***


Di zaman modern, perang adalah tidak tak terelakan. Mukidi yang membuatnya jadi banyolan. Di zaman global, akal dan kejeniusan adalah modal. Mukidi yang membuatnya jadi sampah dan kedunguan. Sungguh, pemimpin sejatimu takkan pernah sanggup untuk menyakitimu. Tetapi, kesejatian pemimpin itu mirip iman: yazid wa yangkus.

Pemimpin sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu. Tetapi, kelupaan pemimpin itu momen kritis bersendi akal: sihah wa marid. Pada jantung ini banyak manusia Indonesia menjejer luka dan kecewa untuk sakit dan menggigil secara berulang: mukidi penyebabnya.

Mukidi blusukan di antara siang dan malam. Maka, yang tertinggal hanya kesepian, kepapaan dan kepedihan. Mukidi menimpuk akal sehat menjadi bejat: bohong berulang-ulang. Kalian tak sadar bahwa kebohongan yang berulang akan menjadi kebenaran. Ini firman tidak tak terbantahkan.

Kita bernyanyi di antara sungai dan gunung. Tetapi yang terdengar hanya puisi Mukidi. Maka, tinggallah kedunguan-kedunguan. Alih fungsi kemanusiaan. Saat eksekutif menjadi komentator dan pemilik rumah, bayar kontrakan (pakai duit utangan). Kok bisa mengambil alih hak milik sendiri dengan cara membayar?

Mukidi berfatwa di antara rumah dan pagar beton. Media-media terhipnotis mirip anjing lapar menerkam tulang. Akhirnya, yang ada hanya kegaduhan, drama dan telenovela. Kini semua telah pergi, semua tergadai, semua terjual murah. Ada yang diwariskan ke gundik. Banyak yang bosan hidup. Sebab, secerdas apapun prestasi sekolahnya, kemungkinan besar ia hanya jadi tukang ojek online.

Keren. Mukidi membuat dunia, tinggal kita dan Tuhan. Lalu, kita bertanya, buat apa kehidupan, buat apa penciptaan. Sebab, tak ada lagi beda antara sedih dan bahagia. Yang tersisa hanya hampa hambar dirasa. Sepi tak mati, tetapi Mukidi membuatnya jadi damai tak hidup.

Zaman mukidi berkuasa, berpancasila menjadi mengkoloni dan memperbudak warga negaranya sendiri dan bangga akan hal ituh. Bangga sekali, sekaligus lupa diri.

Zaman mukidi duduk di kursi kuasa, berpancasila menjadi sinergi yang mendorong kita semua untuk rakus, utang, berbohong, gotong-nyolong dan mendendam pada sesama. Luwarbiyasa ini kurikulumnya.

Zaman mukidi melukis namanya, berpancasila menjadi berkorupsi, berkolusi dan bernepotisme ria di mana saja dan kapan saja. Percayalah. Kerjakanlah. Hanya itu tafsirnya terhadap pancasila. Badan negara pengelolanya sempat dibuatnya demi citra belaka. Kepada ulama muda dan tuhan, ia mengemis fatwa.

Tuhan dan mukidi, apa mau kalian kini. Zaman dan peradaban, apa target kalian kini. Sejarah dan masa depan, apa fungsi kalian kini. Sebab, Indonesia rindu mati, Mukidi membuatnya jadi bosan hidup. Hidup aslinya itu rajin. Mukidi membuatnya jadi malas. Untuk yang kesekian kali, Mukidi ingin kursi yang kedua. Bukan untuk perang, tapi untuk sesuatu yang Mukidi tak tahu.

Hidup itu bahagia. Mukidi yang menjadikannya terpenjara. Hidup itu tertawa. Mukidi yang membuatnya menangis. Hidup kita kaya. Mukidi yang membuat kita miskin. Hidup itu sehat. Mukidi yang membuat kita sakit. Kini, ujian terbesar kita adalah "fundamentalisme mukidi." Ia menjadi virus yang diupacarakan dengan denting suara gitar di rumah bordil dan tower judi, serta rumah keren lainnya.

***


Demi ikan asin. Atas nama keilmuwan. Kini, ikan asin menjadi hambar. Begitupula ilmu pengetahuan. Kedua heningnya membuat angan kecilku tentang masa depan tergambar lucu. Sebab, kau tak tertidur berbaring dalam dekapku. Masih kuingat paras wajahmu menegang menyimpan sesuatu.

Luwuk. Kutatap bulan pandang terawang malam seakan membisu. Setelah sekian buku dan jurnal teronggok di kasurku. Demi air putih yang sebentar lagi menjadi kopi, adakah larimu dari derita itu telah berlalu?

Di sini aku bertanya gundah pada keentahan, "mengapa kalian memuja orang, bukan pikiran dan program serta tindakan? Karena kalian tak punya pikiran jugakah?" Subhanallah.

Kini. Di kota Luwuk aku mengingatmu seperti mengingat teori ketergantungan yang sudah klasik tetapi dilupakan banyak pihak. Teori ini berkembang di negara postkolonial untuk menjelaskan lima gejala:

Pertama, negara postkolonial mengalami ketergantungan model pendidikan dan pengetahuan. Hal ini ditandai dengan hadirnya institusi pendidikan internasional yang tak ramah pada tradisi lokal wisdom dan kejeniusan pengetahuan negara postkolonial.

Kedua, negara postkolonial mengalami ketergantungan model perdagangan kolonial. Hal ini ditandai oleh bentuk perdagangan luar negeri era kolonial yang bersifat monopoli dan oligopoli yang dikopi paste oleh pemerintah postkolonial.

Ketiga, negara postkolonial mengalami ketergantungan kebudayaan. Hal ini ditandai oleh dominannya budaya-budaya (bahasa, film, musik dll) negara maju yang diimpor serta mental mimikri yang mentradisi di masyarakat postkolonial.

Keempat, negara postkolonial mengalami ketergantungan industrial-finansial. Hal ini ditandai oleh dominasi investasi asing untuk produksi bahan mentah primer yang ditujukan untuk konsumsi di negara penjajah.

Kelima, negara postkolonial mengalami kergantungan tekhnologi industri. Hal ini ditandai oleh hadirnya perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan investasi di semua bidang tekhnologi.

Luwuk. Kota pantai. Aku menyesap asap dupa bakar ikan yang matinya sekali. Di sini, tetap mengira senyummu untukku walau bayang jiwamu telah purba seribu purnama berlalu. Masih kuingat indah puisimu yang selalu membuatku menyesal hidup. Terbawa aku dalam perihku, tak sadar kini kau telah pergi. Tentu, engkau masih yang terhebat di dalam hatiku.

Karenanya padamu kubagi tesisku: kini kita menapaki jalan buntu dalam berpancasila sebab yang paham tidak punya keberanian. Yang berani tidak punya barisan. Yang punya barisan tidak paham.

Luwuk. Biarlah waktu yang mengurai. Berat. Biarlah aku saja. Sebab engkau takkan kuat. Tokh keputusan terbaik yang pernah kita ciptakan akan ada jawaban alam via kreasi tuhan, hantu, hutan dan kegelian.

***


Demokrasi Maling yang sedang berlangsung adalah jeda mengisi kekosongan dan kehampaan hidup di republik blusukan tanpa ujung sambil menghibur diri semoga masih ada esok.

Mestinya waktu kita hentikan. Pastinya zaman kita tuliskan. Agar segala angan jadi kenyataan. Agar segala cita-cita tergenggam di tangan. Meleburkan semua batas. Mencipta hibridasi. Antara kau dan aku. Gotong-royong. Sebab aku cinta kamu. Dan, kamu cinta aku. Dalam gelak tawa samudra. Serta puisi-puisi Rumi. Plus celoteh Ghibran di ujung kampus dan tikungan.

Aku menulis puisi dan kidung untukmu. Engkau tetap diam. Aku kirim cinta dan rupiah untukmu. Engkau tetap membisu. Padahal, surat-surat cintaku jika dijilid akan lebih tebal dari kitab suci manapun. Sebab di dalamnya ada tulang dan air mata yang teradon dalam setrilyun kerinduan.

Menulis buatmu itu mengetik masa depan. Separonya harapan, sisanya kepahitan. Dua yang satu tetapi berkelindan. Terbagi antara kutukan dan takdir; prestasi dan kesetiaan. Maka perlu hentakkan jibril agar kita siuman. 

Tetapi, pada suhu apa cinta kita mendidih kembali? Bukan tungku dan listrik, tentu saja. Tapi dalam hati dan nalar semesta.

Mungkin karena pustaka buat warisan!

Jika ada tragedi yang tak cukup ditulis dengan seluruh pohon di dunia yang dijadikan pena, itulah sejarah tragedimu. Jika ada kerinduan yang tak cukup ditulis dengan seluruh air di alam raya sebagai tinta, itulah kisah rinduku padamu. Kau tau? Tetap diam.

Antara kecerdasan dan keajaiban. Yang terentang lapuk dan terkejam kikuk. Tentang udara yang tak lagi sejuk. Jiwa-jiwa tercerabut dari nostalgia. Di kala terbang, hati meradang. Di kala tidur, nalar mendengkur. Ya. Engkau hilang di antara ampas peradaban dan batu arang. Tak ada di musium. Dikhotbahkan sekaligus dicomberkan.

Merindukanmu seperti merindukan Tuhan. Hanya dogma dan mukjizat saja. Tak bertemu baunya walau di rumah ibadah dan bakar dupa.

Merindukanmu seperti rindu subuh pada ashar. Hanya kejauhan dan kekosongan. Ada fotamorgana yang bisa dilukis membentuk asa.

Beberapa kali menulis namamu di lembaran kertas uang seratus ribu. Beberapa kali di nisan kuburan. Beberapa kali di gemuruh ombak lautan.

Maksudnya agar hantumu keluar dari hutan. Tapi yang diceritakan hanya tinju pada udara: kosong dan pataka. Merindukanmu menumpuk duka. Sesal tiada guna.

***


Di banyak kampus, sudah banyak sekali ilmuwan yang berkata bahwa "kita tidak tahu ke mana negara ini mengarah." Sebab, apa acuannya makin tidak konsisten. Jika acuannya pasar, kita hanya pasar segmented. Jika acuannya konstitusi, kita hanya mengkhianati. Jika acuannya klasik (PDB, Rasio Gini, Pertumbuhan, Kemajuan dan Utang), praktis angka-angkanya tidak mengorgasmekan. 

Jadi, apa sesungguhnya yang dipakai elite hari ini dalam "mengelola pemerintahan" dan menjalankan "mandat kemenangan pemilu"? Satu-satunya jawaban yang pas adalah "indeks kekuasaan diri dan segmentasinya."

Dengan indeks itu, praktis semua sesat pikir, perbuatan setan, buta-tuli-bisu nasib warganegara, terjelaskan dengan sendirinya. Sebab seluruh hal-ikhwal perbuatannya ternyata hanya untuk diri dan kelompoknya saja.

Maka, ilustrasi yang meminjam tulisan Khalil Gibran (Turki: 1912) menjadi relevan bahkan penting. "Betapa kasihan, bangsa yang mengenakan pakaian tetapi tidak ditenunnya sendiri; memakan roti dari gandum yang tidak ia panen sendiri, dan meminum susu yang ia tidak memerasnya sendiri.

Kasihan bangsa yang menjadikan orang dungu sebagai pahlawan dan menganggap penindasan penjajah sebagai hadiah. Kasihan bangsa yang meremehkan nafsu dalam mimpi-mimpinya ketika tidur, sementara menyerah padanya ketika bangun.

Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat senjata kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan, tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak memberontak kecuali ketika lehernya sudah berada di antara pedang dan landasan.

Kasihan bangsa yang negarawannya serigala, filosofnya gentong nasi, dan senimannya tukang tambal plus tukang contek.

Kasihan bangsa yang menyambut penguasa barunya dengan terompet kehormatan, namun melepasnya dengan cacian, hanya untuk menyambut penguasa baru lain dengan terompet lagi.

Kasihan bangsa yang orang sucinya dungu menghitung tahun-tahun berlalu; sedang orang kuatnya masih dalam gendongan. Kasihan bangsa yang terpecah-pecah, dan masing-masing pecahan menganggap dirinya sebagai bangsa merdeka padahal dijajah.

Kasihan bangsa yang alamnya indah, sawahnya hijau sepanjang masa, tapi banyak penjahat dan orang bodoh dan lugu dijadikan elite negara.

Kasihan bangsa yang hasil laut, tambang dan hutannya seperti sorga di dunia tapi banyak rakyatnya menderita karena kejujuran dan keadilan telah sirna.

Kasihan bangsa karena tempat-tempat ibadahnya penuh puja dan puji selalu menggema; dibangun dari hasil korupsi, sehingga para pencuri tertawa-tawa karena mereka bebas semaunya. Kasihan negara itu. Ya. Kasihan warganegaranya."

Lalu, bagaimana agar bangsa itu tak terjerumus jadi bangsat; aparatnya tak jadi keparat; pejabatnya tak jadi penjahat? Tentu tak cukup bertobat. Terlebih, pengetahuan tidaklah cukup, kita harus mengamalkannya. Niat tidaklah cukup, kita harus melakukannya.

Kita memerlukan lompatan kesadaran dan proyeksi kecerdasan di atas rata-rata. Sebab, kini siapa yang berharap bahwa demokrasi membawa kesejahteraan, mereka bermimpi. Siapa yang beriman bahwa arabisme membawa keadilan, mereka berkhayal. Siapa bersikeras bahwa neoliberalisme menciptakan kemandirian, mereka sedang mabok.

Demokrasi, arabisme dan neoliberalisme ini setali tiga uang: candu dan nikotin kehidupan; penyakit kaum lemah nalar; janji para durja; alat penghisapan tersempurna.

Dengan trias-revolusi yang berdentum, kita wajib menjawab problema negara maling ini dengan membuat indeks kemakmuran negara-warga yang implementasinya terukur dan terstruktur. Makmur karena sembilan kategori (kebebasan, kesehatan, pendidikan, lingkungan, lapangan kerja, kesejahteraan, sosialitas, kemerataan dan kemandirian) berada pada ekuitas dan likuiditas terbaik.

Indeks kemakmuran dengan demikian adalah hitungan keadaan di mana kita mampu memenuhi kebutuhan primer, sekunder dan tersier dengan mudah.

Kemakmuran berarti mendapatkan semua kebutuhan tersebut tanpa adanya tekanan; kita mampu mengatur keadaan finansial, waktu dan tenaganya; memiliki waktu untuk bersosialisasi, menjalankan hobi dan rekreasi. Jika hidup makmur maka kita akan lebih mudah dalam meraih kebahagiaan dan kesenangan hidup.

Tetapi, indeks ini akan jadi barang mati jika kita semua tak mengimplementasikan. Sebaliknya, indeks ini akan bermakna jika kita mematrialisasikan di lapangan. Tentu ini pekerjaan raksasa. Yang hanya bisa dikerjakan oleh pemikir dan pemimpin raksasa. Siapkah anda semua mengerjakannya? Ayok kita praktekkan segera kini.

***


Adakah seseorang terpilih jadi presiden tanpa uang yang berlimpah? Tak ada. Adakah seseorang terpilih jadi rektor tanpa uang? Tak ada. Adakah seseorang terpilih jadi ketua umum ormas keagamaan tanpa uang yang cukup? Tak ada. Adakah seseorang menjadi pejabat birokrasi tanpa uang sogok? Tak ada. Adakah seseorang terpilih jadi anggota DPR/D dan DPD tanpa uang (money politic)? Tak ada.

Jadi, adakah hal publik yang dihasilkan via idealisme, gagasan dan rekam jejak prestasi agensi? Praktis tak ada. Semua dibeli dengan uang dan uang: jadilah kini "keuangan yang maha kuasa."

Pesannya jelas, "kalau tak punya uang, jangan coba-coba berebut jabatan publik." Sebab, semua jabatan itu dibeli dengan uang. Kuasa uang ini disebut zaman edan (versi kuno), zaman jahiliyah (versi arab) dan zaman sinetron (versi modern). Artinya, "kini semua kehidupan hanya guyon dan profan tanpa nilai." Jean Baudrillard menyebut dengan kalimat, "all that is real becomes simulation” (semua yang nyata kini menjadi simulasi).

Bagi Jean Baudrillard, cara terbaik untuk menggambarkan realitas politik dewasa ini adalah tertradisikannya "hiperrealitas dan nihilisme." Tak ada subtansi, alpa nilai-nilai, nir kesucian.

Anehnya, zaman gila ini dipeluk ramai-ramai beberapa agamawan juga. Tentu, agamawan miskin yang tergila-gila dengan uang (pendapatan). Artinya, mereka beragama untuk mencari dan mengakumulasi uang. Jabatan dan profesi kyai, pastur, bikku atau romo hanya kamuflase saja.

Uang atau angpau inilah yang akhirnya membuat kebebebasan (freedom) menjadi ideologi di semua kehidupan kita. Manusia merasa memiliki kekuasan mutlak atas semuanya jika punya uang. Dan, orang tak lagi bertanya status asal uang tersebut (halal atau haram). 

Akibat lanjutnya, manusia berlomba-lomba untuk mengeksploitasi semuanya demi kekayaan pribadi: dari uang, demi uang, oleh uang dan untuk uang. Akibatnya, zaman dekade keserakahan dengan ontologi uang tidak bisa dihindarkan lagi.

Di sinilah titik paling berbahaya dalam kehidupan bersama. Hidup bersama itu takdir. Tapi, takdir atas penguasaan wilayah publik yang didesain dengan uang hanya mengakibatkan pemiskinan secara sporadis bagi banyak pihak dan kaya untuk satu-dua pihak saja. Tak percaya? Silahkan lihat dan cermati saja peristiwa mutakhir di sekitar kita.

***


#Petaka besar jika kami yang membela kalian kalah oleh pembela dan pelindung penjajah cina#

Kawan-kawanku yang baik, pertajam kecerdasanmu. Agar nanti bisa digunakan menikam tepat di ulu hati begundal kolonial. Sebab hari ini dan ke depan, yang terjadi adalah "perang kecerdasan." Yaitu sebuah perang bukan hanya kemampuan merancang strategi; mencipta senjata; menembakkan nuklir; dan berani mati; tetapi juga soal menjahit kalimat dan menyulam gagasan.

Ya. Perang Kecerdasan. Itulah arsitektur geopolitik mondial terbaru. Tanpa kecerdasan, rakyatmu hanya akan jadi buih yang berbuah kepapaan. Paria saat yang lain berkuasa. Tak percaya? Cermati kasus pilprus curang sebagai sinetron kejahiliyahan bersama.

Cara memupuk kecerdasan adalah via pendidikan. Sebab, pendidikan hakekatnya adalah mendisain masa depan; mencipta peradaban. Maka, kita sebetulnya sedang merancang masa depan; mewariskan peradaban. Di sini, kita niscaya menternakkan kurikulum yang menzaman; memenangkan pertempuran; menyempurnakan kemenangan; tentang apa yang akan diajarkan dan dididikkan kepada generasi setelah kita.

Kurikulum ini harus diajarkan di semua jenjang pendidikan: formal, informal dan nonformal. Terutama di pesantren-pesantren. Sebab, lembaga pesantren adalah simbol ketakutan pada dunia luar. Mereka menutup dan inward looking. 

Pesantren adalah simbol kekalahan dari kolonial. Mereka lari ke pedalaman dan mentradisikan akheratisme. Setelah kalah merebut dunia, mereka mimpi jumping merebut syorga.

Dus, ada jihad raksasa buat tuan. Yaitu mematrialisasikan kurikulum postkolonial yang bertumpu pada lima hal: 
  1. Ruh al-istiqlal (freedom); 
  2. Ruh al-intiqad (criticism); 
  3. Ruh al-ibtiqaar (inovation); 
  4. Ruh al-ikhtira (invention); 
  5. Ruh al-idzati (interdependency).
Kurikulum postkolonial ini menyadarkan peserta didik memahami bahwa tak ada ibadah lebih besar pahalanya melebihi ibadah menyelamatkan negara. Tak ada jihad lebih mulia jejaknya melebihi jihad melawan penjajah. Tak ada cinta lebih berdentang keras luar biyasa melebihi cinta warga pada negaranya (hubul wathan minal iman).

Ingat. Ini kerja raksasa. Perang kecerdasan. Yang cungkringan dan bodoh, makmum saja.

Maka, kalian harus tahu. Musuh kalian, modal sesungguhnya cuma satu: nafsu serakah. Karena itu Gandi mengatakan, "dunia diciptakan cukup untuk semua orang tapi tak cukup untuk satu orang yang serakah."

Keserakahan ini dalam bentuk riilnya menjadi oligarki, kartel dan kleptokrasi. Akumulasi, intensifikasi dan masifikasi modal dan kekuasaan dikurikulumkan di kampus dan media. Semua dikerjakan dengan topangan senjata dan negara. Ecopol with guns and state. Lahirlan hit-man di semua lini. Orang kaya tumbuh (sedikit) tapi orang miskin membuncah (berlipat).

Kini, kalau kalian miskin, inilah saatnya melawan madzab neoliberal. Kalau kalian kaya, saatnya bertobat sebelum arus balik melanda. Kalau kalian diam, generasi berikutnya pasti di neraka: mati sengsara sebelum waktunya.

***


Limbo. Yang lama sekarat; yang baru tak kunjung mendekat. Tetuko. Sing tuku rak teko-teko; sing teko rak tuku-tuku. Inilah buah busuk reformasi berbasis asing-aseng. Buah ini terkadang melihat keberhasilan dan kebahagian dalam pencapaian hidup selalu diukur dengan melihat ukuran bangsa lain dan pandangan orang lain. Bukan karena keberhasilan dan kebahagian yang sesuai dengan impian kita sendiri; sesuai dengan suatu hal yang membuat diri kita bahagia.

Setelah ajal mengabsen, kita baru menyadari. Sayang waktu telah lewat. Sering kali kita melupakan bahwa hidup telah digariskan oleh Tuhan melalui tanda-tanda darinya dan kita sering kali tidak peka atau tidak mau memahami dan membaca tanda-tanda yang diberikan olehNya kepada kita.

Jatidiri kita telah merdeka pada tahun empat lima. Lalu, para pewarisnya menggadaikan. Harganya murah. Pegadaiannya dimulai dari pikiran dan sekolahan.

Padahal, pikiran dan sekolahanlah yg akan pertajam kecerdasan. Piranti kecerdasan ini digunakan untuk menikam mati tepat di ulu hati para penjajah dan begundal kolonial. Itulah mengapa, hari ini dan ke depan, yg terjadi adalah "perang kecerdasan."

Ya. Perang Kecerdasan. Itulah arsitektur geopolitik mondial terbaru. Tanpa kecerdasan, warganegara hanya akan jadi buih yg berbuah kepapaan. Paria saat yg lain berkuasa.

Cara memupuk kecerdasan adalah via pendidikan. Sbb, pendidikan hakekatnya adalah mendisain masa depan; mencipta peradaban. Maka, kita sebetulnya sedang merancang masa depan; mewariskan peradaban. Di sini, kita niscaya menternakkan kurikulum yg menzaman; memenangkan pertempuran; menyempurnakan kemenangan; tentang apa yang akan diajarkan dan dididikkan kepada generasi setelah kita.

Kurikulum ini harus diajarkan di semua jenjang pendidikan: formal, informal dan nonformal. Terutama di pesantren2. Sbb, lembaga pesantren adlh simbol ketakutan pada dunia luar. Mrk menutup dan inward looking. 

Pesantren adalah simbol kekalahan dari kolonial. Mrk lari ke pedalaman dan mentradisikan akheratisme. Setelah kalah merebut dunia, mrk jumping merebut syorga.

Dus, ada jihad raksasa buat kita semua. Yaitu mematrialisasikan kurikulum postkolonial yg bertumpu pada lima hal: 
  1. Ruh al-istiqlal (freedom); 
  2. Ruh al-intiqad (criticism); 
  3. Ruh al-ibtiqaar (inovation);
  4. Ruh al-ikhtira (invention);
  5. Ruh al-idzati (interdependency).
Kurikulum postkolonial ini menyadarkan peserta didik memahami bahwa tak ada ibadah lebih besar pahalanya melebihi ibadah menyelamatkan negara. Tak ada jihad lebih mulia jejaknya melebihi jihad melawan penjajah. Tak ada cinta lebih berdentang keras luar biyasa melebihi cinta warga pada negaranya (hubul wathan minal iman).

Kurikulum dari pikiran raksasa ini disemai di sekolah-sekolah atlantik yang gigantik dan melahirkan pasukan nusantara yang berkonsolidasi dalam lima tradisi: 
  1. Merealisasikan Sekolah-sekolah Postkolonial; 
  2. Mematrialisasikan Roadmap Indonesia Cerdas dan Bermartabat; 
  3. Mereclaim the State; 
  4. Merealisasikan Janji Proklamasi; 
  5. Mentradisikan Negara Pancasila.
Ingat. Ini kerja raksasa. Perang kecerdasan. Yang cungkringan, lugu, lucu dan bodoh, makmum saja.

***


"Berapa orang jahat di dunia ini?" Tanyamu sambil melirik padaku. Aku gelagapan dengan pertanyaan yang tak tertebak sebelumnya. Ini jenis ujian tak genting di saat tak penting. Makanya kujawab seenaknya saja. "Ada dua, jawabku sambil melihat mukanya yang matanya meneteskan air mata."

"Dua? Tanyamu." Kamu terdiam dan kembali meneruskan. "Kok dua. Siapa sajakah itu?"

"Yang berjanji hidup denganku dan memilih menikah dengan temanku; serta yang kedua, kamu." Mendengar jawabanku, kamu melotot dan mendesir kaku, "kok aku?"

"Sebab, kamu mencintaiku tetapi tak pernah mengucapkannya padaku," jawabku seenaknya saja sambil menyelonjorkan kaki yang kaku; rentangkan tangan yang pilu.

Bergetar mulutmu bergumam, "kamu ngawur dan asal berpuisi. Kamu seenaknya saja memfitnah, padahal fitnah lebih kejam dari pengkhianatan dan ciuman."

Tiba-tiba, setelah bertrilyun detik bercakap, kamu menyanyi. Di depanku, di bawah gemuruhnya hati, di antara jagat galaksi, dan menuju keentahan yang mana yang tak ada dalam kitab suci. Lirik lagu yang sering kudengar di Hummer mobilku berkumandang, "Aku yang lemah tanpamu/Aku yang rentan karena/Cinta yang telah hilang/Darimu yang mampu menyanjungku/

Selama mata terbuka/Sampai jantung tak berdetak/Selama itu pun aku mampu/Untuk mengenangmu/Darimu kutemukan hidupku/Bagiku kaulah cinta sejati/

Bila yang tertulis untukku/Adalah yang terbaik untukmu/Kan kujadikan kau/Kenangan yang terindah dalam hidupku/Namun takkan mudah bagiku/Meninggalkan jejak hidupku/Yang telah terukir abadi/Sebagai kenangan yang terindah/Darimu kutemukan hidupku/Bagiku kaulah cinta sejati/

Mendengarnya menyanyi, aku terduduk; menangis terguguk; begitu kikuk walau tak ngantuk. Sebab, berjuta tahun lalu, kuberharap dia crank (menyempal). Tak romantis apalagi nostalgis. Tapi, kini hariku terbunuh oleh nyanyiannya yang sendu. Mengingatkanku pada kawan yang kini jadi presiden lugu dan lucu. Ia yang hidup terjajah dalam desain besar ekonomi bersendikan neoliberalisme: menyembah pasar yang mentah bahkan busuk. Mendesain politiknya tidak deliberatif apalagi demokrasi subtantif. Cenderung moneycrazi. Desain hukumnya semakin membela oligarki, kartel dan begundal. Desain tradisinya metropolis dan irasional kecuali minatnya pada industri lendir. Tidak berangkat dari akar-akar kejeniusan lokal. Desain agamanya psudo-fundamentalis. Bukan agama pembebasan yang membela si miskin dan marjinal.

Aku tidak minat pada cinta semu. Aku anti pada kecantikan palsu. Sebab, yang kuminati adalah pertarungan ide dan gagasan. Sehingga, aku horny dengan kecerdasan dan luasnya pengetahuan.

Jadi yang kutuju bukan polesan ataupun salon; bukan citra dan tipu-tipu belaka.

*
Hidup pada akhirnya hanya festival perjalanan yang sering tak terpahami kecuali setelah terlewati. Hidup memang berkonsekwensi pilihan dan perlawanan. Pilihan untuk menjalani dengan siapa dan perlawanan demi sekeping kebahagiaan. 

The pursuit of happyness, kata paman mamarika. Tapi, ada satu tesis yang sulit dilupa soal bahagia ini. Yaitu kalimat singkat dari Bob Dylan (1998), "kesuksesan bukanlah kunci dari kebahagiaan. Sebaliknya kebahagiaan adalah kunci dari kesuksesan. Bila kau menyintai apa yang kau lakukan dan merasa bahagia melakukannya, maka kau pasti sukses." Pertanyaannya adalah, "apakah kita mengerjakan yang kita cintai atau menyintai yang kita kerjakan."

Lalu, kupeluk ia sambil berbisik lembut di kuping kanannya yang wangi bak kasturi, "kasih, hidup cuma sekali. Betapa bodohnya orang yang menjalani tanpa orang yang dicintainya. Betapa bodohnya orang yang mati tanpa di sisi orang yang mencintai dan dicintainya. Hidup cuma sekali. Ayok rayakan agar kita bahagia."

Dan, bahagia itu sederhana: misalnya saat membaca surat cinta dari teman remaja yang kita taksir tapi tak sempat mengucapkannya; ternyata ia mengalami hal yang sama, cintanya tak sempat terkatakan karena dikejar mata pelajaran.

***


Corona. Mahkluk yang kita punya. Bergerak di antara korupsi dan ketakutan. Bersembunyi dengan wiridan. Antara kecerdasan dan keajaiban. Yang terentang lapuk dan terkejam kikuk. Tentang udara yang tak lagi sejuk. Jiwa-jiwa tercerabut dari nostalgia. Di kala terbang, hati meradang. Di kala tidur, nalar mendengkur.

Ya. Engkau yang hilang di antara ampas peradaban dan batu arang. Tak ada di musium. Tapi dikhotbahkan sekaligus dicomberkan.

Merindukanmu seperti merindukan Tuhan. Hanya dogma dan mukjizat saja. Tak bertemu baunya walau di rumah ibadah dan bakar dupa. Kosong. Zonk. Sepi. Hampir mati.

Merindukanmu seperti rindu subuh pada ashar. Hanya kejauhan dan kekosongan. Ada fotamorgana yang bisa dilukis membentuk asa.

Beberapa kali menulis namamu di lembaran kertas uang seratus ribu. Beberapa kali di nisan kuburan. Beberapa kali di gemuruh ombak lautan.

Maksudnya agar hantumu keluar dari hutan. Tapi yang diceritakan hanya tinju pada udara: kosong dan pataka. Merindukanmu menumpuk duka. Sesal tiada guna.

***


Aku menemukanmu seribu tahun lalu. Temuan langit. Temuan semesta. Seperti bunga yang mendekap keharumannya. Seperti hujan menampakkan tetesan airnya. Seperti bulan menyinari langit malamnya. Seperti matahari menerangi galaksi-galaksi. Seperti Tuhan yang iri pada ciptaannya.

***


Engkau. Adalah ketika aku menitikkan air mata tetapi kamu membalasnya dengan bergalon hujan air tuba. Engkau. Adalah ketika aku mencintaimu tetapi kamu tak peduli lagi pada kisah-kisah manusia. Engkau. Adalah ketika kamu tidak mempedulikan aku tetapi aku masih menunggumu dengan setia.

Kesadaran bumi ini kuketik saat kamu menjadi proksi teroris di rumah-rumah ibadah. Setelah tak sunggup urus ekonomi; setelah gagal menguatkan kurs rupiah; setelah menumpuk hutang; setelah takut munculnya mahatirisme; setelah bingung mencegah kekalahan. Engkau membuat teror dengan harapan.

Engkau. Adalah sang petaka besar jika aku yang membela rakyat miskin dikalahkan oleh pembela dan pelindung cina, konglomerasi hitam dan begundal kolonial.

Engkau. Adalah produsen negara plonga-plongo sehingga minus negarawan. Adanya cuma ternak penipu. Yang satu menipu via agama. Yang satu menipu via media. Kelasnya sama rendahnya.

Engkau. Adalah teror yang saat negara absen, warga berlari ke tribus dan berlindung ke doa serta bermimpi ratu adil. Atau pasang lotre dengan sejuta dupa.

Engkau. Adalah rindu rendah angin yang berkalam, "Jika tuan-tuan jadi rentenir yang panik dollar naik, kirim teroris dan buat drama di mako Brimob dan kota-kota lain. Kelar."

Minggu ini diledakkan. Ini hanya antara, kutahu. Jika nafsumu tak berhenti, engkau pasti berkhianat kembali dan kembali.

***


"Tidak semua orang beragama masuk sorga. Dan, tidak semua penghuni sorga beragama. Sebab, agama adalah penyakit yang ditularkan lewat dogma dan upacara." Semoga kalian tahu. Tidak sombong dengan agama. Tidak ribut soal agama.

Terlebih, subtansi agama hanya moral lima: 
  1. Apabila dipercaya, ia tidak berkhianat; 
  2. Apabila berbicara, ia tidak berdusta; 
  3. Apabila berjanji, ia tidak ingkar; 
  4. Apabila bermusuhan, ia tidak menelikung; 
  5. Apabila sukses, ia tidak takabur. 
  6. Apabila gagal, ia tidak mengeluh.
Tentu setiap agama itu luar biyasa. Karena itu dalam sejarah yang sangat panjang, nabi-nabi tidak hanya bicara hidup/mati/agama/ideologi/tuhan. Nabi-nabi selalu bicara keadilan dan kesejahteraan via revolusi struktur ekopolotik. Ya. Revolusi Sistemik ekonomi-politik yang gigantik.

Dus, yang bicara hidup/mati/agama/tuhan/ideologi baru sekelas romo dan kyai.

Sebelum mati, karena ditikam rindu yang luarbiyasa, izinkan kukirim surat cinta buatmu.

"Tidak penting bagiku apa agamamu. Bahkan aku tak peduli, kamu beragama atau tidak. Yang betul-betul penting bagiku adalah perilakumu di depan kawan-kawanmu, keluarga, lingkungan kerja, negara juga dunia.

Kasih, "jagalah pikiranmu, karena akan menjadi perkataanmu. Jagalah perkataanmu, karena akan menjadi perbuatanmu. Jagalah perbuatanmu, karena akan menjadi kebiasaanmu. Jagalah kebiasaanmu, karena akan menjadi karaktermu. Jagalah karaktermu, karena akan menjadi nasibmu."

Mengapa kondisi kita makin tak menemukan momentum menjadi negara sejahtera lahir batin? Ternyata, jika melalui jalur meta scient, kita dapat menganalisa lebih jauh kenyataan (ipoleksosbudhankam) yang terjadi di Indonesia dan direfleksikan untuk diarahkan kembali ke arah yang benar (sesuai tujuan dan cita-cita pendirian negara).

Singkatnya, lewat jalur meta scient ini kita berkesimpulan telah terjadi "salah resep" atas semua produk bernegara karena cita rasa asli Indonesia diselesaikan dengan ilmu-ilmu dan pengetahuan luar yang tak universal. Missinglink ini sangat parah dan tak disadari untuk jangka waktu lama.

Negara postkolonial menikmati missinglink paling panjang. Hal ini karena penjajah memaksa dan mengganti ipoleksosbudhankam kita dengan tradisi mereka yang fraktal bin fakultatif yang tentu saja sempit. Kita jadi tercerabut dari budaya kita yang sesungguhnya.

Tak percaya? Lihat kasus korupsi. Betapa kita tangkap pelakunya via KPK, maka akan tumbuh pelaku berikutnya. Itu artinya pola penegakkan hukum ala Barat yang fraktal tak membuat korupsi surut dan tak membuat koruptor kapok bin tobat. Pola-pola lain terjadi di semua dimensi kenegaraan. Misalnya dalam politik pencapresan dll.

Mengatasi hal itu, kita perlu meta scient dan sadar budaya pada diri dan warisan budaya yang evolutif dari ribuan masa silam yang diproyeksilan untuk ribuan tahun masa depan. Di sini, kejeniusan menjadi niscaya.

***


Janji proklamasi selalu dilawan dua pihak: musuh eksternal dan pengkhianat internal. Realisasi revolusi selalu dihambat dua musuh: kolonialis dan brokeris.

Milyaran waktu, manusia mampu bertahan dan menaklukan dunianya karena bahasanya yang unik dan nafsunya yang serakah.

Kawan. Aku pasti ikut lomba lari keliling dunia dan revolusi kaum muda. Asalkan indonesia baru yang jadi garis finish-nya adil dan sejahtera.

Sebab, janji proklamasi selalu dilawan dua pihak: musuh eksternal dan pengkhianat internal. Realisasi revolusi selalu dihambat dua musuh: kolonialis dan brokeris. Kasih, mengingat duka, menulis surat cinta tapi tidak tahu dikirim ke mana dan buat siapa.

Kau selalu bilang takut dan minder padaku karena tak punya apa-apa. Kau tak tahu bahwa menjadi kekasihku tak perlu punya segala. Sebab, kau adalah segalanya bagiku.

Izinkan aku menjadi guide perjalanan hidupmu. Sekali saja jika kau tak sudi berkali-kali. Agar arwahku nanti tak penasaran di kuburan.

Dalam pekat zaman dan kejar dollar, ada yang tak kau tahu bahwa setiap masa depan, engkaulah bentuknya. Sebab setrilyun masa lalu, aku mati. Saat revolusi terjadi, engkaulah martirnya: sebentuk pikiran yang sangat mempesona.

Tapi kau tetap bisu, tuli dan buta. Taukah kau bahwa pemerentah kita mati? Nek mati ora obah. Nek obah medeni bocah.

KKN tambah subur. Elite tambah fasis. Orang tua-tua tak memberi teladan. Lembaga negara saling serang dan perang. Birokrasi melayani "asingisasi." Satu-satunya prestasi pemerentah kini adalah: masih dianggap oleh rakyatnya di mana rakyat masih mau bayar pajak padahal rakyat tahu pajak itu tak ada manfaatnya buat rakyat.

Kawan. Kita butuh kesatria dieng. Yang hidupnya adalah tentang rindu yang menabahkan dan menubuhkan. Tabah dari siksa masa lalu dan kelamnya hari. Tumbuh dari kecemasan masa depan dan cerianya kehidupan. Tuhan kini mengirimi kita anugerah dan warisan peradaban. Maka, jaga dan sayangilah serta didiklah secerdasnya.

***


Aku pensiunan. Bisaku caci maki. Sebab demokrasi mengajarkanku memilih mereka untuk mencacinya jika dungu, dan mendukungnya jika jenius.

Jangan terlena. Sebab lena adalah binasa. Kamu tahu, sudah lama bangsa ini dibuat terbungkuk-bungkuk. Menyembah kejahiliyahan. Diperkosa ramai-ramai. Ribuan tahun kirim tekawe. Sampai bangku-bangku kuliah membeku memble. Yang duduk di atasnya jadi koruptor dan pezina. Sebab alumninya berprofesi sebagai: polisi, dpr, dokter, pengacara. Jangankan masuk sorga. Melihat saja mereka tak bisa. Itu profesi berbahagia saat yang lain menderita. Maka kamu jangan begitu. Ya. Kamu. Bukan yang lain. Kecuali kamu menjiplak mereka.

Coba baca, salah satu hasil riset kami tentang prospek dan tantangan kemandirian bangsa adalah: 
  1. terjadi konsolidasi keserakahan, 
  2. masifikasi kekuasaan, 
  3. intensifikasi kekayaan. 
Lewat media, MNC dan partai politik, konsolidasi oligark itu mendominasi. Kita hanya sekrup korporasi dan keluarga oligark. Lahirlah zaman tanpa hukum (tajam ke bawah, tumpul ke atas). Tradisinya moneykrasi. Kesenjangan melebar. Darurat nasional terjadi (disfungsi negara dan distrust society). Kita yang tahu harus bagaimana? Anda yang mengerti mau apa?

Kawan. Tanpa ingatan, tak ada masa lalu. Tanpa gagasan, tak ada masa kini. Tanpa harapan, tak ada masa depan. Manusia Indonesia dan negara-negara postkolonial kini menghadapi punahnya ingatan dan hancurnya harapan. Padahal, tanpa hadirnya ingatan dan harapan, negara bagaikan tubuh tanpa nalar. Goyah dan tak tentu arah.

Di sini, subtansi kemerdekaan akan menemukan relevansinya jika kita menghadirkan "politik ingatan" dan "politik harapan." Sebab tanpa keduanya, kemerdekaan menjadi irrelevan: pekik paria dan nestapa; takbir tanpa kebesaran; yesus tanpa roma.

Politik ingatan yang hadir akan memberikan waktu kebersamaan dan kesatuan tujuan serta kebermaknaan. Karena itu, kita jadi ingat bahwa Indonesia adalah negara yang dilintasi garis khatulistiwa dan berada di antara Benua Asia dan Benua Australia serta antara Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Negeri Bahari terkaya SDAnya.

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari kurang lebih 17.000 pulau. Oleh karena itu, Indonesia disebut juga sebagai Nusantara. Bagi Indonesia, tujuan negara terdapat dalam alinea keempat pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yaitu: 
  1. Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia; 
  2. Memajukan kesejahteraan umum; 
  3. Mencerdaskan kehidupan bangsa; 
  4. Melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. 
Dengan kesadaran itu, model pembangunannya dari pinggiran, menyeluruh, merata, lautan-daratan-udara, keberlanjutan dan pelestarian lingkungan, bhineka, multikultural, serbuksari, serta hibrida. Inilah nalar sadar waktu karena kita mewarisi Sriwijaya dan Majapahit sebagai bangsa bahari. Tetapi, itu semua tak akan digdaya di zaman global kecuali tumbuhnya prakarsa modernitas. Sebuah prakarsa hidup yang bersendikan iptek dan imtak hingga menjadi wordview. Satu peradaban rasionalistis yang humanis dan humanis yang rasionalistis. Singkatnya, politik ingatan itu membawa konsekwensi bagi terbentuknya negara kelautan modern, poros maritim dunia, jalur rempah nusantara, sehingga dunia bagian dari Indonesia: bukan sebaliknya. 

Sementara politik harapan mendesain kita pada upaya raksasa menghadirkan ideologi dunia yang akumulatif. Pancasila; keadaban publik; civilitas agnostik, subtantif-progresif; nasionalisme berkeadaban. Satu ide yang mengerjakan lima dentuman peradaban agung: 
  1. Mengelola hasrat untuk mencapai konsensus; 
  2. Mencapai kedaulatan bersama; 
  3. Memelihara dan mengembangkan keaslian budaya; 
  4. Mentradisikan kemandirian dan kerjasama; 
  5. Mencapai kehormatan dan kemartabatan bersama.
Kita tahu bahwa Indonesia ada karena revolusi; hadir karena melawan; terlahir karena perjuangan. Karena itu semangat para pejuang melawan kolonialisme adalah dasar terlahirnya nasionalisme di negeri ini. Tanpa itu, Indonesia absen.

Sejarah telah mencatat betapa gencarnya perlawanan para pribumi melawan ketidakadilan dan kedzaliman penjajah di kala itu. Sejak abad ke-15M, rakyat bersama para elit pemimpin dan priyayi menentang para penjajah dengan melakukan perlawanan secara terus menerus hingga kini. Tanpa itu, kalian tak ada.

Itu artinya, aneh jika membangun pulau buatan di negeri kepulauan. Pasti ini program kaum buta sejarah. Aneh jika membangun tanah air via pertumbuhan dan utang. Pasti ini program alpa dan rabun konstitusi. Aneh jika membangun warganegara dengan menggusur mereka. Pasti ini program kompeni, para bajingan dan begundal peradaban. Aneh jika menghormati para koruptor dan pengemplang pajak. Pasti ini program pelacur dan pengibul kemanusiaan.

Jika tak paham juga, mari menyanyi lagu maritim karya Ibu Sud. Sebagai cara mengingat dan mengharap:

Nenek moyangku orang pelaut/Gemar mengarung luas samudra/Menerjang ombak tiada takut/Menempuh badai sudah biasa/Angin bertiup layar terkembang/Ombak berdebur di tepi pantai/Pemuda berani bangkit sekarang/Ke laut kita beramai-ramai/

Baca yang keras bait keempat! Itulah negara kelautan yang modern karena berprinsip berkeadaban semesta. Negara Pancasila. Kaliankah para penghuninya? Harus.

***