Refleksi Ekopol 2019 Proyeksi Ekopol 2020 "ACADEMIC POVERTY" - Yudhie Haryono


Berbondong-bondong via hoax, kita banjir kemiskinan akademik. Gejala ini berlangsung stabil, masif, terstruktur dan berkesinambungan. Kemiskinan ini mengacu pada sikap seseorang yang tidak mau berusaha untuk memperbaiki tingkat kecerdasan, pengetahuan dan literasinya, meskipun ada usaha dari pihak luar untuk membantu membuatnya lebih cerdas.

Tak percaya? Cek skripsi, tesis, disertasi dan jurnal-jurnal kita. 75% referensi mereka asing-aseng dalam merujuk, menganalisa dan memberi solusi atas apa yang terjadi di Indonesia. Referensi kita di masa lampau absen. Apalagi di masa kini dan masa depan. Itu artinya: problem kita diselesaikan dengan metoda orang lain.

Dus, ciri academic poverty dua: defisit literasi dan defeisit referensi.

Tentu tak semua!

Mereka yang mengalami academic poverty pasti tidak tahu bahwa nusantara adalah visi untuk mengubah dunia: dari oligarki bin kartel ke keadilan bin kesejahteraan (bersama). Dari konsepsi we part of them menjadi they part of us. Revolusi paradigmatik.

Hulunya, kita menghadapi warganegara
yang rabun konstitusi dan buta cita-cita proklamasi. Kita memang sedang memanen ternak dari kegagalan melahirkan generasi literasi yang adekuat.

Hilirya, reformasi politik kita meneguhkan formasi politik yang oligarkis; Reformasi ekonomi kita meneguhkan formasi ekonomi yang kartelis; Reformasi agensi kita meneguhkan formasi agensi hitman yang rente.

Dalam limbo akibat academic poverty, kita panen generasi defisit literasi. Dalam kelangkaan ini, lahirlah pemikiran dan produk lainnya yang kopi paste (imitasi), menghindari hibridasi, jauh dari inovasi. Apalagi produsen!

Generasi yang tak percaya akan (kemampuan) dirinya, akan akalnya, akan cita-citanya dan akan hadirnya berbagai jalan alternatif. Pada titik ini, sarjana kita (kebanyakan) bukan pencipta tapi penurut; bukan kreator tapi manipulator.

Bagi pengidap kemiskinan akademik, kaum jahiliyah dan pemuja poto kopi, ada baiknya membaca tesis Ali bin Abi Thalib, "Tiada kekayaan seperti akal, tiada kefakiran seperti kebodohan, tiada warisan seperti adab sopan santun, dan tiada penolong seperti musyawarah." 

Singkatnya, kebodohan pangkal penjajahan. Kecerdasan pangkal kemerdekaan. Dan, kemerdekaan Indonesia telah dicapai lewat revolusi, bukan diplomasi. Revolusi yang bagaimana? Yang dibuat, dipercaya dan dihadirkan oleh diri-diri merdeka, mandiri dan berdaulat dalam pikiran dan tindakan mereka.

Di lain hal, Tan Malaka menjawab, dengan kerja sama antara kaum proletar dan kaum terpelajar. Dua agensi tersebut tetap merupakan syarat mutlak yang harus dipertahankan agar ada progresifitas dan inovasi dalam alam kemerdekaan nantinya.

Bila kerja sama antar agensi ini sampai terputus, ia memperkirakan kondisi terciptanya perbudakan nasional, yaitu penjajahan bangsa sendiri oleh satu agensi yang berkuasa.

Maka, revolusi Indonesia bagi Tan Malaka, haruslah bermata dua: keluar untuk menghapuskan imperialisme, fundamentalisme dan oligarkisme. Kedalam harus membabat habis feodalisme, fasisme dan tribalisme.

Tanpa konsepsi tersebuat, terciptalah nasib sedih: republik swasta, pamong jongos, peternak babu dan elite maling yang tak habis-habis.

***

0 comments:

Post a Comment