AKAR PERMASALAHAN DAN LIMA PENYELESAIAN  (SETTLEMENT) MENDESAK

Sofah D. Aristiawan, peneliti junior Nusantara Centre (Tulisan ini merupakan penjabaran dari artikel saya yang sempat memenangkan perlombaan menulis esai nasional)

Pendahuluan

Dalam rilisnya, UNESCO (2020) menyatakan bahwa Covid-19 sangat memengaruhi keberlangsungan dunia pendidikan. Sebanyak 1,4 miliar siswa dan 60 juta guru dari semua tingkatan di 138 negara terdampak. Indonesia, tak terkecuali. Sekolah (dan universitas) terpaksa ditutup, peserta didik dan pendidik harus menyelenggarakan kegiatan pembelajaran jarak jauh.

Dengan pembelajaran online di rumah masing-masing menuntut siswa dan guru menjadikan teknologi sebagai sarana pembelajaran utama. Bukan lagi sekadar sarana pendukung seperti dalam situasi normal. Internet, komputer, atau telepon pintar dengan cepat menggantikan metode pembelajaran tatap muka guru-siswa di ruang kelas. Karena Covid-19, siap atau tak siap, para stakeholder pendidikan dipaksa untuk segera beradaptasi memasuki babak baru bagi dunia pendidikan. Perubahan revolusioner seperti pada masa pandemi ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Lutha dan Mackenzi (2020) mengatakan Covid-19 telah membuka lebih luas peran teknologi dalam menunjang pendidikan. Stakeholder pendidikan, misalnya, guru didesak secara tiba-tiba untuk dapat memanfaatkan teknologi yang tersedia dalam pembuatan konten untuk pembelajaran jarak jauh. Guru diberi keleluasaan yang lebih besar untuk mengubah modus interaksi pengajarannya.

Guru bisa membuat rekaman video ajarnya terlebih dahulu, lalu dikirim ke whatsapp group para siswa (baca: metode pembelajaran satu arah), atau guru dan siswa di waktu yang bersamaan dapat melakukan proses belajar mengajar melalui Zoom, Google Meet, Cisco Webex, atau aplikasi sejenis (baca: metode pembelajaran dua arah). Selain siswa tetap bisa bertatap muka secara virtual dengan gurunya, siswa juga dapat sesuka hati mengatur kecepatan video ajar sesuai kapasitas diri dalam menyimak dan menyerap materi pembelajaran.

Inovasi pembelajaran tersebut menjadikan proses belajar siswa menjadi lebih personal. Harapannya, karena siswa tak lagi diawasi guru, ia—dengan didampingi orang tuanya—didesak untuk mampu secara mandiri mengelola proses belajarnya. Kebiasaan belajar baru semacam itu, bagi Andreas Schleicher, ahli pendidikan untuk Badan Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dapat mendorong pendidik dan peserta didik berpikir lebih kritis dan berorientasi pada pemecahan masalah. Bahkan Schleicher berharap kebiasaan baru itu akan terus berlanjut setelah masa pandemi usai.

Praktis, digitalisasi pendidikan sedang berlangsung. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem A. Makarim, juga meyakini keniscayaan transformasi digital dalam dunia pendidikan. Bahkan, seperti Schleicher di atas, Nadiem menginginkan pembelajaran jarak jauh untuk dipermanenkan meskipun Covid-19 selesai (Kompas, 3/7/2020). Asumsinya, teknologi informasi dan komunikasi adalah instrumen utama untuk membantu guru dan siswa meningkatkan potensi terbesarnya dalam konsep pembelajaran yang fleksibel dan beragam.

Benar bahwa Covid-19 telah memberikan momentum perubahan yang berharga bagi dunia pendidikan. Tetapi, optimisme semacam itu mesti juga dibarengi sejumlah pertanyaan yang peka melihat realitas: apakah keharusan pembelajaran online atau pendidikan digital di masa pandemi ini akan menjadi kebutuhan utama sekaligus syarat baru bagi pendidikan formal pascapandemi?

Atau jangan-jangan, ia justru memberi tamparan keras buat kita karena dengan terang menelanjangi permasalahan yang telah lama ada dan berakar dalam tubuh masyarakat dan pendidikan kita?

Kesenjangan digital dan ketimpangan sosial-ekonomi Pendidikan digital memang meningkatkan peluang bagi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan. Namun, akses terhadap internet dan komputer merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kondisi semacam itu. Coba bayangkan, dalam waktu yang sangat singkat dan tanpa persiapan, pandemi telah mengubah model pembelajaran konvensional di sekolah menjadi pembelajaran online di rumah, dan tiap anak-orang tua harus menjalani model baru tersebut tanpa perlu tahu apakah kondisi ekonominya mampu untuk segera memiliki akses semacam itu atau tidak.

Jelas, bagi anak dari keluarga kelas menengah dan kelas atas, kuota internet, pulsa, dan komputer bukanlah masalah. Tetapi, bagi sebagian besar anak dari keluarga kelas bawah, apalagi di pelosok, teknologi masih menjadi barang mahal yang susah untuk dimiliki segera. Sehingga, kendati telah membuka lebih luas intervensi teknologi dalam dunia pendidikan, Covid-19 juga telah memperluas kesenjangan (Tam & El Azar, 2020). Artinya, perbedaan latar belakang ekonomi dan tingkat kesejahteraan keluarga sangat memengaruhi tajamnya ketimpangan akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi bagi tiap-tiap siswa. 

Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (2020) dalam surveinya pada April lalu menemukan bahwa anak yang tidak bisa mengikuti pembelajaran online adalah anak yang mayoritas orang tuanya bekerja sebagai petani (47 persen) dan berpendidikan SD (47 persen). Sedang anak yang memiliki akses, pada umumnya, orang tuanya berpendidikan minimal SMA (43 persen) dan S1 (34 persen), serta yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (39 persen) dan wiraswasta (26 persen). Untuk lebih jelas, lihat grafik 1 & 2 di lampiran.

Temuan tersebut menjadi kian teramini ketika desa sebagai tempat hidup para petani dan anak-anaknya tercatat tingkat kemiskinannya (12,85 persen) dua kali lipat dari kota (6,69 persen). Sehingga persentase penggunaan internet siswa perkotaan lebih tinggi dibanding siswa di perdesaan: 62,51 persen berbanding 40,53 persen. Sementara itu, persentase siswa yang menggunakan komputer di kota (31,37 persen) dua kali lipat dibanding siswa di desa (15,43 persen). Dan untuk penggunaan telepon seluler, siswa di perkotaaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan: 76,60 persen berbanding 64,69 persen (BPS, 2019).

Kesenjangan digital antara desa-kota tersebut segendang sepenarian dengan ketimpangan akses terhadap internet di pelbagai wilayah. Kendati lebih dari 171 juta orang telah terhubung dengan internet, 55,7 persen lebih akses internet masih di Pulau Jawa. Kontras dengan di Kalimantan yang hanya 6,6 persen; di Bali dan NTT 5,2 persen; di Sulawesi, Maluku, dan Papua 10,9 persen (APJII, 2018). Tak heran bila mayoritas guru dan siswa yang tinggal di luar Jawa, apalagi di pelosok desa, karena keterbatasan infrastruktur digital, lebih bersusah payah menjalankan proses belajar mengajar di masa pandemi ini.

Namun, bukan berarti guru dan siswa yang tinggal di kota-kota besar di Jawa terbebas dari kendala. Survei yang sama dari APJII (2018) menemukan, ternyata hanya sekitar 14 persen pengguna yang berlangganan internet tetap di rumah, sedang 79,5 persen yang tidak memiliki jaringan internet tetap di rumah, koneksi internetnya terhubung lewat telepon pintar. Artinya, keterbatasan kuota dan jaringan internet yang tak selalu stabil masih rutin mengganggu proses pembelajaran online.

Selain soal kesenjangan digital, yang menarik lainnya adalah temuan KPAI (2020) dalam surveinya bahwa, selama Covid-19, 95,4 persen anak mengikuti proses pembelajaran hanya dengan telepon pintar, 23,9 persen mengandalkan laptop, dan 2,4 persen memakai komputer. Alhasil, tidak hanya soal akses terhadap pembelajaran online, permasalahannya juga tentang sarana dan kualitas teknologi pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar dua arah dengan bertatap muka secara virtual akan lebih berkualitas bila menggunakan laptop atau desktop ketimbang lewat telepon pintar karena layarnya yang jauh lebih besar.

Akibat pelbagai keterbatasan itu, pembelajaran online dijalani jadi sebatas kegiatan berbalas pesan whatsapp antara guru dan siswa. Karena pendidikan digital dirasa tidak efektif, siswa jadi memandang metode baru tersebut hanyalah sarana penambahan tugas dari guru (Kompas, 27/4/2020).

Pada akhirnya, pemberlakuan pendidikan jarak jauh, dengan sendirinya, malah memperlihatkan kesenjangan digital yang besar, alih-alih momentum untuk transformasi digital besar-besaran dalam dunia pendidikan. Pandemi ini justru menjadi berharga karena ia mempertegas realitas, yaitu: lebarnya ketimpangan sosial-ekonomi yang telah lama mendekam dalam tubuh masyarakat kita.

Lima cara mendesak menyelamatkan pendidikan Bertungkus lumus bukanlah sikap yang mesti diambil. Karena itu, negara wajib mengambil peran lebih jauh (Pasal 31 UUD 1945). Dalam kajian ilmu administrasi publik, sebelum kebijakan diambil perlu melihat relevansinya dengan situasi, urutan, prioritas, dan waktu. Saat pandemi seperti ini tuntutannya bukan mencari kebijakan yang terbaik, melainkan yang paling tepat. Mencari penyelesaian (settlement) yang bersifat sementara, bukan solusi atau jawaban yang sifatnya permanen. Termasuk dalam merespon problem yang telah dipaparkan di atas. Karena pendidikan diyakini sebagai jalan utama menuju hidup yang lebih sejahtera, maka ada lima cara untuk bisa memastikan tidak hilangnya hak anak atas pendidikan di masa krisis Covid-19 ini:

Pertama, di tengah pelambatan ekonomi yang memukul penerimaan pemerintah, kebijakan yang berpotensi mendatangkan pemborosan harus dihentikan. Beban anggaran mesti dialokasikan pada prioritas. Program kartu prakerja dipandang sebagai pemborosan yang tidak memberikan manfaat di masa pandemi ini (Redjalam, 2020). Pemerintah perlu merelokasi segera dana pelatihan online sebesar 5,6 triliun—di mana sasarannya buruh dan pekerja yang terdampak krisis ekonomi akibat Covid-19—menjadi bantuan langsung tunai. Sebab dengan uang tersebut, tiap orang tua bisa menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk membeli pulsa atau kuota internet demi keberlangsungan pendidikan anaknya. Program kartu prakerja dapat dieksekusi kembali setelah krisis Covid-19 selesai.

Kedua, adanya Permendikbud No. 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOS Reguler memang memberi payung hukum bagi sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membeli pulsa dan/atau paket data internet. Namun, realisasi di lapangan ditemui ragam masalah. Misalnya, masih banyak sekolah yang tidak menyubsidi kuota internet bagi guru dan siswanya. Alasannya logis: untuk membeli buku pelajaran atau membayar honor atau membiayai operasionalisasi dan administrasi sekolah lainnya (Pasal 9). Logis belum tentu tepat. Di tengah keterbatasan dana BOS di masing-masing sekolah, urutannya mestinya menyediakan akses internet tersubsidi terlebih dahulu agar pembelajaran jarak jauh terselenggara sesuai Surat Edaran Kemdikbud No. 4 Tahun 2020 mengenai Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19. Maka, Kemdikbud dan PGRI harus memberikan arahan yang jelas akan pentingnya hal tersebut pada tiap-tiap sekolah.

Ketiga, membangun apa yang disebut RT-RW Net. Kemunculan Covid- 19 sesungguhnya menebalkan rasa solidaritas di antara kita. Masyarakat kembali menemukan makna kegotong-royongan dalam dirinya. Sehingga, menjadi mungkin bila tiap rumah di satu RT untuk seia sekata memberdayakan pemakaian internet secara bersama dalam satu jaringan internet. Seperti dalam Dial-up telepon, Leased Channel (LC), Wireless LAN (W-LAN), kabel modem, atau ethernet (Februariyanti, 2008).

Pembiayaan pembangunan infrastruktur, operasional, dan biaya langganannya jadi jauh lebih murah karena ditanggung bersama. Rancang bangun RT-RW Net ini dapat didorong Karang Taruna yang berkoordinasi dengan Ketua RT/RW, juga perangkat desa/kelurahan setempat. Alhasil, akses terhadap internet menjadi murah, termasuk untuk keperluan pembelajaran online.

Keempat, mendesain pembelajaran jarak jauh khusus bagi guru dan siswa yang karena ketiadaan dan keterbatasannya dalam penguasaan teknologi tidak bisa mengikuti pembelajaran online. Program edukasi seperti “Belajar dari Rumah” hasil kerja sama Kemdikbud dan TVRI patut diapresiasi. Saluran TVRI yang mencakup semua provinsi di Indonesia dinilai mampu membantu kegiatan pembelajaran di pelosok. Tetapi, hal itu belumlah cukup. Lewat kanal TVRI daerah dan RRI perlu juga keterlibatan aktif dari dinas pendidikan daerah setempat dalam pembuatan konten pembelajaran.

Kelima, apabila digitalisasi pendidikan merupakan suatu keniscayaan, maka pengadaan infrastrukturnya pun sama. Sebab syarat mutlak pendidikan digital dapat berjalan efektif dan merata adalah tersedianya koneksi internet yang lancar dan stabil di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, Palapa Ring Project tidak bisa ditarik untuk segera tersedia. Maka, sesuai Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19, bagi sekolah yang berada di pelosok dengan zona hijau Covid-19 (enam persen) menjadi perlu pemerintah daerahnya berkolaborasi dengan komunitas literasi lokal dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) untuk terlibat bersama guru dan siswa dalam proses belajar mengajar dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan.


Penutup.

Melihat itu semua, digitalisasi pendidikan dalam uji praktiknya jadi tampak jauh panggang dari api di tengah disparitas sosial-ekonomi yang justru kian mencolok akibat Covid-19. Tetapi, tugas luhur konstitusi kita adalah memastikan setiap anak untuk tumbuh dengan bekal pendidikan di tangannya.

Sebab melalui pendidikan, setiap anak menjadi mungkin untuk melakukan mobilitas vertikal dan memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Karenanya, kendati dalam krisis pandemi, di samping sektor kesehatan, menyelamatkan pendidikan menjadi prioritas. Setidaknya, mengimplementasikan lima cara penyelesaian yang telah dipaparkan sebelumnya. Seminimalnya, guna menekan angka putus sekolah agar tak bertambah. Berat, tapi itulah pekerjaan mendesak dunia pendidikan kita hari-hari ini.


DAFTAR PUSTAKA

APJII, 2018, Laporan Survei Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Jakarta.

BPS, 2019, Potret Pendidikan: Statistik Pendidikan Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Februariyanti, Herny, 2008, Internet Murah dengan Membangun Jaringan RT-RW Net, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, XIII(2), 98-114.

INOVASI, 2020, Implementasi Kebijakan “Belajar dari Rumah”, https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534, 2 Mei 2020, diakses 5 Oktober 2020.

Kemdikbud, 2020, Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Salinan%20Permendikbud%20Nomor%2019%20Tahun%202020.pdf, diunduh 5 Oktober 2020.

Kemdikbud, 2020, Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Luthra, Poornima & Mackenzie, Sandy, 2020, 4 Ways Covid-19 Education Future Generations, https://www.weforum.org/agenda/2020/03/4-ways-covid-19-education-future-generations/, 30 Maret 2020, diakses 1 Oktober 2020.

Redjalam, Piter Abdullah, 2020, Setumpuk Catatan Kartu Prakerja, Media Indonesia, 6.

Tam, Gloria & El-Azar, Diana, 2020, 3 Ways the Coronavirus Pandemic Could Reshape Education, https://www.weforum.org/agenda/2020/03/3-ways-coronavirus-is-reshaping-education-and-what-changes-might-be-here-to-stay/, 13 Maret 2020, diakses 1 Oktober 2020.

UNESCO, 2020, 1.37 Billion Students Now Home as COVID-19 School Closures Expand, Ministres Scale Up Multimedia Approaches to Ensure Learning Continuity, https://en.unesco.org/news/137-billion-students-now-home-covid-19-school-closures-expand-ministers-scale-multimedia, 24 Maret 2020, diakses 1 Oktober 2020.