PANCASILA ADALAH IDEOLOGI HIBRIDA - Yudhie Haryono


Terus piye. Ngene tok akhire: kere. Maka, larut aku. Selarut larutnya. Tak tahu lagi harus bagaimana. Menapaki pancasila. Memijati indonesia. Menyelia riset-riset lapangan dan pustaka. Dalam kesendirian. Maka, saat kamu alpa. Tak terdengar lagi ceriwismu. Saat aku menyadari kau tak suka ilmu dan puisi. Tiada lagi dirimu dan pancasila kini.

Sampai kapankah. Indonesia begini. Kamu begitu. Hingga aku mampu bertahan hidup di sekitar kegilaan-kegilaan ini. Tak bersisa di lapis tertatih aku jalani. Semua kisah hidup dan revolusi yang mati muda. Maukah kalian mati miskin bersama? Seperti cita-cita elite yang kini berkuasa.

Tentu, ia terbuka tafsirnya. Tentu, ia akumulasi. Tentu, ia refleksi dan proyeksi dari warga pembacanya. Ia living ideologis yg menyejarah. Melupakan dan mencampakkannya adalah dusta peradaban: dosa terbesar sebagai negara. Bagaimana kita harus memperlakukan pancasila? Begini kisahnya.

Pancasila membentuk mental konstitusional yaitu tabiat, model adekuat dan sistem keyakinan serta kebiasaan yang mengarahkan tindakan sebuah negara dalam memenuhi cita-cita warganya.

Karena itu, jika pengetahuan mengenai mental konstitusional dapat diketahui, dipelajari dan ditradisikan maka dapat diketahui pula bagaimana negara tersebut akan bersikap untuk mengatasi ancaman, gangguan, hambatan serta tantangan yang hadir di masa kini dan zaman kemudian.

Di sini diperlukan revolusi mental jika warisan dan mental yang ada hanya yang destruktif dan khianat seperti hari-hari lalu.

Tetapi, "karena ini perang semesta maka ideologi kita bukan bagian dari penjajah. Sebaliknya ideologi ini antitesa dari yang ada (kapitalisme dan etatisme) agar kita selalu merdeka," kata Soekarno suatu kali. Id yang melawan, memerdekakan dan membebaskan. Dus, revolusi ini memberikan umat manusia secerah harapan, keyakinan dan kepercayaan akan hadirnya keadilan, kesejahteraan dan kebahagiaan bersama dan untuk semua.

Inilah jalan kemanusiaan yang mengarah pada kesederajatan, kemandirian, persaudaraan, kemodernan dan kemartabatifan. Lima cita dalam lima jalan. "Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri, tumbuh dan bersemilah sesuatu yang lain, yang sesuai, yang lebih cocok, yang kami namai Pancasila. Satu ideologi bernegara yang khas dan kulminatif dari ide dan gagasan besar di masa lalu, kini dan mendatang di seluruh dunia," demikian Hatta bicara suatu kali.

Satu ideologi hibrida karena menyatukan gagasan dan tindakan dalam berketuhanan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi dan berkeadilan yang dikerjakan dengan melindungi, mencerdaskan, menyejahterakan dan menertibkan (untuk, oleh dan dari semua warganegara indonesia).

Inilah leitstar statis sekaligus leitstar dinamis yang akan menancapkan kesemesta peradaban Indonesia. Ia akan menjadi philosophy, weltanschauung, hudan, norma dasar yang integralis karena mengatasi partikularitas paham individualistik (liberalisme), golongan (SARA-tribalisme-fundamentalisme) serta komunalis (komunisme). Dengan begitu, Pancasila yang kita maksud adalah Declaration of Independence plus keadilan sosial dan Manifesto Communist plus ketuhanan yang esa.

Pancasila menghibridasi Barat dan Timur bahkan kapitalis dan komunis karena merupakan hogere optrekking (kenaikan kapasitas subtantif) yang memiliki lima kaki: spiritualis, intelektualis, kapitalis, sosialis, humanitas. Di dalamnya ada hasrat keyakinan, kepengetahuan dan kebertindakan secara serempak. Dunia barat berhutang dari Pancasila karena mencuplik sebagian untuk membangun negaranya. Pada sisi lain, kebanyakan kita lupa dan mengkhianatinya.

Hibridasi ini terkait pada sosio-religius, sosio-nasionalisme dan sosio-demokrasi. Ia berpijak pada tiga poros: theo-antro-eco centris (periketuhanan, perikemanusiaan dan perilingkungan yg resiprokal kritis). Dus, ia tidak khas dan genuin dari Indonesia pada awalnya melainkan hasil persemaian yang panjang sebagau taman saripatinya dunia. Sebagai taman dunia, apakah yang tak ada di Indonesia? Sebab segala sesuatu yang ada di dunia dapat ditemukan di sini.

Kita tahu, ideologi adalah ide atau gagasan waras nalar cerdas. Kata ini diciptakan oleh Antoine Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18 untuk mendefinisikan "sains tentang ide." Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, cara pandang subtantif (weltanschauung) atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas dominan pada seluruh masyarakatnya. Tujuan utamanya adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran normatif.

Ideologi merupakan sistem pemikiran abstrak yang diterapkan pada masalah publik sehingga menjadi inti politik-publik. Secara implisit setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.

Sedang hibrida adalah hasil persilangan (hibridisasi atau pembastaran) antara banyak sesuatu dengan genotipe awal yang berbeda. Hibrida, bastaran dan blasteran dengan demikian adalah pertemuan banyak peradaban yang menghasilkan satu barang/ilmu/sifat/sikap/spesies baru dengan ciri-ciri yang sama sekali baru. Mirip sambal. Ia awalnya kumpulan sesuatu yang membentuk barang baru setelah diblendid atau diulek.

Jika menilik isi subtansi Pancasila maka kini kita paham bahwa ia produk hibridasi (adonan) dari berbagai pikiran besar yang dikerjakan oleh nalar besar, cerdas dan dahsyat. Dari cara kerja ini mestinya melahirkan "mental, nalar dan konstitusi" dahsyat: peradaban atlantik yabg gigantik. Indonesia yang Raya.

Jika belum, ada baiknya kita berefleksi kembali untuk menentukkan proyeksi yang benar dan pener. Inilah tugas semesta kita. Sebab krisis yang kita hadapi tak cukup diobati pakai obat penahan rasa sakit atau minyak angin yang tambal sulam. Wajib menghadirkan revolusi pancasila sebagai diagnosa komprehensif sekaligus operasi besar demi sehatnya bangsa dan negara. Pahit dan perih dirasa tapi menyembuhkan. Kaliankah orang-orang itu? Yang mewakafkan diri demi nilai-nilai idealistik.

So, ini hal penting. Yaitu kelanjutan dari id pancasila. Ialah gagasan ekonomi pancasila. Memang soal lama tapi urgen. Kusampaikan kembali tanpa menggurui: jangan mengulang kembali kesalahan-kesalahan rezim Orba dan Neo-orba yang membuat pondasi liberalisme dan neoliberalisme. Rezim yang menyembah pasar penghasil dependensia (ketergantungan) dan ketimpangan (tidak mandiri).

Teori ekonomi dependensia pertama kali dicetuskan Paul Baran. Dalam buku On The Political Economy Of Backwardness (1952), Baran menjelaskan berbagai faktor penyebab keterbelakangan ekonomi di negara postkolonial, terutama di Amerika Latin. Dengan memusatkan perhatian pada hubungan kelas antara rakyat, elit internal dan investor asing, Baran melihat adanya kontradiksi antara imperialisme, proses industrialisasi dan ekonomi pembangunan umum di negara postkolonial tersebut.

Baran mengakui bahwa investasi yang dilakukan perusahaan multinasional dari negara penjajah (MNC) di negara terjajah di satu sisi dapat meningkatkan pendapatan nasional, namun di sisi lain peningkatan pendapatan di negara postkolonial tidak dinikmati oleh sebagian besar rakyat miskin tersebut karena tingginya ketimpangan dalam distribusi pendapatan.

Keuntungan yang dihasilkan oleh investasi perusahaan multinasional melalui eksploitasi sumber daya alam dan manusia (SDA&SDM) di negara postkolonial tidak dinikmati secara merata. Keuntungan ini lebih banyak dinikmati oleh segelintir elit politik saja.

Baran menyimpulkan bahwa pada dasarnya "investasi asing tidak meningkatkan kesejahteraan negara postkolonial." Yang terjadi hanya perubahan kebiasaan sosial rakyat miskin serta perubahan orientasi dari kecukupan dan pemenuhan pasar dalam negeri menjadi orientasi produksi untuk memenuhi pasar luar negeri.

Dus, liberalisme dan kapitalisme telah gagal memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin, tetapi sangat berhasil menstabilisasi semua ketimpangan ekonomi dan sosial yang melekat dalam sistem kapitalis negara postkolonial.

Akibat tanpa pancasila, kita butuh satu orang jujur, tapi Indonesia memberi sepuluh orang munafik. Kita butuh sepuluh orang pemberani, tapi Indonesia memberi seratus orang penakut. Kita butuh seratus orang cerdas, tapi Indonesia memberi sejuta orang jahil. Kita butuh sejuta orang pemimpin, tapi Indonesia memberi semilyar penipu.

Rasanya hidup di indonesia kini yang ada hanya jiwa munafik, penakut, jahil dan penipu yg bangga dengan karakter-karakter buruk rupa. Apesnya mereka kini penghuni istana. Kerjanya kini ukur, gadai dan jual tanah di mana-mana. Tak peduli pikiran dan perasaan warganegara.

Sesungguhnya tanpa pancasila, para politisi kita (anggota dpr/d, presiden dan menteri, aktifis parpol) tidak bikin apa-apa. Juga tidak membangun apa-apa. Mereka hanya sales (tukang jualan). Itupun dengan model berjudi: kalah dan rakus. Dipertaruhkannya semua harta kita, dinikmatinya semua keuntungannya. Tapi kalau bangkrut, kita semua yang menanggungnya.

Terlalu lama kita membayar mereka mahal hanya untuk memperjudikan semua yang kita punya. Merekalah kumpulan manusia yang berjanji menanam pohon di atas jalan tol dan membangun gereja di perkampungan kaum Budha. Merekalah serigala Indonesia.

Kini, mari kita bersumpah kembali atas nama Pancasila dan rakyat miskin untuk merubah struktur ekopolsusbudhankam warisan rezim begundal dan pesolek. Agar semua, ya semua sejahtera dan berkeadilan.

***

0 comments:

Post a Comment