REPUBLIK PANCASILA - Yudhie Haryono


Di republik pancasila, kita harus mulai dari fakta-fakta. Apa fakta hari-hari ini? Pertama, ada drama menarik. Judulnya, "banjir." Bagi si A, banjir jakarta biar dapat kursi yang lebih tinggi. Bagi si B, banjir jakarta biar dapat fulus reklamasi. Bagi si C, banjir jakarta biar dapat pengalihan atas gagalnya program kemanusiaan. Bagi si D, banjir jakarta biar dapat tambahan anggaran projek. Bagi si E, banjir jakarta biar terlihat ketololannya.

Dus, ABCDE itu sama saja: rombongan jahiliyah yang sok gagah. Ini kurikulum neoliberal awal: komersialisasi segala hal-ikhwal, termasuk banjir, penderitaan dan kemiskinan (sesama).

Makanya, di republik pancasila, ribuan kali banjir berulang. Yang datang karena diundang. Yang memproduk dan menumpuk manusia malang. Tetap satu kuncinya: kita (terutama para pemimpin) mempertahankan keburukan masa lalu dan tidak memproduksi kebaikan masa kini.

Sejarah telah menunjukkan bahwa manusia itu berkaitan dengan gua-gua kesadaran. Kalau kalian ada di gua kejahilan dan kegelapan, maka kalian sama sekali tidak paham indahnya mawar kenanusiaan.

Karenanya, saat kejahilan menjadi mahkota, kita pasti gagal melewati dan melampaui petaka yang datang berkali-kali tiap waktu dan bulan yang sama. Karena tak sempat baca tanda-tandanya. Alih-alih mendapat solusi, eh sebagian kita kini mengkomersilkan kepariaan itu demi perut dan kursi diri sendiri.

Sejak reformasi kami gaungkan, "akankah ada satu kasus saja yang diselesaikan?" Ternyata tidak ada. Karena sebenarnya pemimpin di Indonesia sudah tidak ada sejak pemilu liberal dilaksanakan. Semua kini hanya petugas dan boneka yang sesuai dengan kehendak bandar dan oligarki kolonial. Begitu juga dengan Presiden Joko Widodo.

Akhirnya, di republik pancasila, memimpin itu menipu. Kini itulah kredonya. Buah dari demokrasi liberal. Para pemimpin di zaman ini mengalami penyakit mythomania: munafik, pembohong dan kelainan jiwa.

Cirinya sering sembunyikan realitas dirinya, karena masa lalu yang buruk dan menyakitkan. Lalu, ingin diakui atau diterima oleh masyarakat sekitar agar khayalannya nyata. Puncak-puncak mythomania adalah sekarang.

Di republik pancasila kasus mega skandal Jiwasraya dan Century pasti bermodus sama. Siapakah otak di baliknya? Jika otak dan modusnya sama, Jiwasraya dan Century tidak hanya saudara kembar tapi kembar siam.

Jika saja 13.7 T tersebut digunakan untuk pengentasan orang miskin. Atau bayar hutang ke China, maka mestinya elite pemerintahan hari ini lebih hebat dari pemerintahan sebelumnya.

Tapi begini. Sebenarnya siapapun presiden kita (jika hasil demokrasi liberal) pastilah resultan dari interaksi di antara warganegara. Jika warganya sehat, kemungkinan dapat presidennya sehat. Demikian pula sebaliknya: jika warganya sakit, kita akan dapat presiden sakit (jiwa).

Nah, di kita kini semua sudah melacur. Mulai dari profesornya, pemuka agamanya, jendralnya, pedagangnya dan semua profesi kini berlomba-lomba jadi pelacur.

Karenanya, presiden tidak sepenuhnya merdeka dalam mengeluarkan kebijakannya. Ia yang sakit, dipengaruhi oleh sekitarnya yang sakit maka pastilah lahir negara sakit (jiwanya).

Banjirlah KKN di kita: jiwasraya, bpjs, garuda, ektp hingga banjir air sungguhan seperti di Bekasi dan Jakarta pagi ini.

Di republik pancasila kini, "daulat rakyat" tergusur oleh "daulat pasar." Tentu ini pelanggaran konstitusi. Tapi kudeta maupun impeachment sulit terjadi, karena Dewan Perwakilan Rakyat telah dirubah menjadi "Dewan Perwakilan Partai."

Di republik pancasila, para maling berfatwa bahwa, "money can buy hospitals, not health; can buy laugh, not happiness; can buy friends, not friendship; can buy obedience, not loyalty; can buy books, not knowledge; can buy experience, not wisdom." Tetapi tetap mereka nyolong uang. Sangat banyak lagi. Dan, sesama maling uang saling bersandiwara. Sinetron yang tak sudah-sudah.

Padahal, Joseph E. Stiglitz (4 Nov, 2019) sudah berfatwa, "The only way forward, the only way to save our planet and our civilization, is a rebirth of history. We must revitalize the Enlightenment and recommit to honoring its values of freedom, respect for knowledge, and democracy."

Maka, mesti keadilannya menguasai pemerataan. Dan, pemerataannya berdimensi keindahan. Dan, keindahannya melampaui kekuasaan. Dan, kekuasaannya memiliki kemartabatan. Dan, kemartabatannya menternak kearifan. Lalu, kearifannya bersendi keadilan sosial bagi seluruh, ya seluruh warganegara!

Sayang. Jika para revolusioner mendirikan negara dengan ide cemerlang, para pewaris menjualnya dengan ide kopi kolonial. Jika Tan Malaka memimpin rakyat miskin dengan gagasan-gagasan besar, elite hari ini memimpin kita dengan cengengesan dan blusukan.

Semboyannya "kaos oblong dan sandal jepit, kami berbohong agar kalian terjepit." Sedang Tan bersemboyan, "gerpolek." Dalam gerpolek, yang merupakan akronim dari gerilya, politik dan ekonomi, Tan Malaka membahas strategi militer yang seharusnya dan konsep pergerakan pada umumnya yang harus dilakukan oleh seorang gerilyawan.

Tan selalu mengingatkan rakyatnya untuk menjadi diri bangsanya sendiri; memahami tujuan sebenarnya negara Indonesia didirikan. Tan, setidaknya juga menjelaskan bahwa perang purba maupun modern bukan hanya milik para tentara, tetapi juga menjadi kewajiban bagi seluruh rakyat agar Indonesia tidak bergantung pada bangsa lain.

Maka mestinya, di fakultas ekonomi kita itu diajarkan bahwa Investasi Asing (IA) pastilah mengandung lima hal:

  1. Intervensi
  2. Intimidasi
  3. Infiltrasi
  4. Invasi dan 
  5. Inflasi. 
Bagi yang menghayati perang modern maka jelas putusannya: menolak investasi asing! Berdikarilah pilihannya. Bravo akal sehat, jiwa waras.

Di republik pancasila, mestinya para agensinya meniru para petarung Samurai yang memutuskan mengakhiri hidupnya dengan cara bunuh diri, agar tidak (lagi) dipermalukan akibat kegagalan saat melaksanakan tugas atau berbuat salah sehingga merusak kepentingan rakyat banyak.

Kesimpulannya kini. Di republik pancasila, makin banyak pekerjaan rumah yang harus kita lakukan. Sambil menikam mati para begundal proxy yang tumbuh subur bagai jamur di musim hujan.

***

0 comments:

Post a Comment