Cerbung#19, KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN - Yudhie Haryono


Apakah aku kini. Hanya angin lalu. Apalah aku kemarin. Hanya air comberan. Apasih aku nanti. Hanya koran bekas. Bagimu, aku merasa hanya ingus yang dilupa. Bukan gerhana. Bukan kedaulatan sebuah peradaban. Ketika air mata menitik di pipi. Ketika engkau makin menjauh dan suci. Ketika engkau mengangkat telpon saja tak sudi. Saat-saat engkau perkasa dan masih peduli terhadap hidup dan masa emasmu. Tetapi pasanganmu tak lagi mempedulikanmu; meski engkau masih setia menantinya; tidur bersama dalam cita-cita yang berbeda; hati yang coba saling bergembira tapi sendiri-sendiri.

Kasih. Aku merindukanmu bagai rindu suara dengan telinga; bagai air sungai dengan pantai; bagai mendung dengan hujan. Tetapi, jangankan menulis namaku, mendengar suaraku saja engkau tak mau; tak peduli; tak mau tahu. Sampai aku mati berkali-kali. Menyebut indah namamu tak terperi.

Para rahib berfatwa, "jika kasihmu bertepuk sebelah kaki, lepaskan hatimu; ikhlaskan rindumu; jauhkan api kepemilikanmu; dinginkan nalar-nalar kegilaanmu."

Kini lakukan sesuatu. Terbanglah. Kepakkan sayapmu selebar angkasa biru. Ayunkan kakimu sejauh samudera biru. Taklukkan gunung dan ngarai. Arungi luas alam bebas. Jelajahi buku-buku dan tiduri perpus-perpus di pusat-pusat kegentingan. Hingga kau dapati tempat berteduh; bertanya dan bercerita kembali. Tuk tentukan arah, temukan ia yang pernah hilang.

Lalu, ukir kerinduan baru. Kasih baru. Cinta baru. Kehidupan baru. Buatlah waktu. Arsitekkan hari. Dirikan rumah bambu dan beton. Ikat tenda-tenda bermilyar tali kasih. Kreasikan menjadi satu hati yang terang saat gambaran jiwa yang terluka bagai langit meratap sendu kala bias cinta menghilang.

Maka, percayalah sakit itupun pergi tanpa permisi; nasib baik menghampiri;
rembulan tak menyisakan senyum; tapi kehilanganmu tetap seperti kiyamat yang kunanti. Kematian yang kugilai. Kejeniusan yang mentakdiri. Kesepian sehari-hari. Kesunyian kekasih hati.

Engkau sedang apa, kekasih pujaanku? Adalah tanyaku yang kau tulikan, kau butakan dan kau bisukan sampai tuhan benar-benar mengambil nyawaku dalam duka: maha duka seduka-dukanya.

Saat kematian tak sudi hadir, engkaupun menjadi keentahan yang kesekian kali. Seperti bahagia yang abstrak dan tak mendekat.

***

0 comments:

Post a Comment