Aku tahu persis piring makananmu dari para taipan dan begundalnya. Tapi kau tidak tahu bahwa para taipan itu merampok pribumi dengan bantuan wereng coklat, virus doreng dan seragam hitam.

Aku tahu napas buatanmu dari para tengkulak yang berniaga haram (prostitusi, judi, narkoba, sogok). Dan, untuk menutupi borokmu, kau serang agama pribumi, mental warganegara dan tradisi keluarga. Sebagian kawanmu membuat isu-isu ecek-ecek bhineka dan pancasila. Padahal intinya mengemplang pajak dan mengatur istana.

Aku tahu yang tak kau tahu bahwa gaya rezim yang melakukan perlindungan habis-habisan dengan berbagai cara terhadap kelompok bisnis asing-aseng sebenarnya hanya pengulangan dari cara-cara yang dilakukan oleh kolonialis-kumpeni Belanda dalam proses penjajahannya di Indonesia.

Aku tahu bahkan bajumu juga disogok kaum begundal kolonial. Lalu, kau buat keributan dan menyodorkan undang-undang perlindungan perampok atas nama demokrasi.

Kutahu apa yang kau ingkari. Bahwa, ilmuwan jenius, mencari solusi revolusioner. Ilmuwan tukang, melacurkan diri dan pengetahuan. Ilmuwan kolonial, membela yang bayar.

Kawan, kau mungkin lupa bahwa fundamentalisme pasar bebas itulah ibu kandung radikalisme agama dan fasisme sosial. Jika ingin tak ada radikalisasi (apapun), mudah kok: jalankan konstitusi.

Kawan, kau pasti tahu bahwa globalisasi dan pasar bebas itu mirip dengan Jokowi dan infrastruktur. Satu pasangan serasi penghisap darah kaum miskin. Dari sini, prestasi terbesar junjunganmu adalah merubah Indonesia dari nation-state menjadi corporate-state.

Kawan, wajah kalian boleh terlihat kismin dan ndeso tapi kebijakan kalian tak pro kaum miskin dan tak berbasis desa. Ingatlah bahwa, menggenggam kekuasaan dengan kesalahan itu batil. Sebaliknya, mundur atau berhenti
itu mulia.

Kawan, aku tidak percaya pada mereka yang mudah berjanji tetapi mudah mengingkari seperti kalian kini yang berkursi dan berkuasa.

Pengetahuanku dari studi postkolonial. Itu modalku menantangmu duel seru. Kan kutikam mati persis di jantungmu, walau nanti aku dikutuk santri pembelamu karena recehan yang kau tabur di pondok-pondok dan madrasah mereka!

#KAUM WARAS BERSATU

***



Begitulah. Yang tersisa dari islam hanya "rasa marah." Mereka tertinggal jauh sekali dari peradaban lain. Diskusi tak tertradisi. Temuan-temuan tekhnologi hanya mimpi. Karena itu, ketika Nasir Hamid melakukan kritik internal, semua karyanya dituduh melecehkan ajaran Islam, menghujat Muhammad, menodai Alquran dan menghina ulama purba.

Tokoh ini merupakan pemikir keduabelas yang kami diskusikan di Nusantara Centre. Seorang pemikir serius dan gelisah dengan berkembangnya fundamentalisme romantik pengubur peradaban muslim.

Nama lengkapnya Nashir Hamid Abu Zayd, Alhafidz (Mesir, 10 Juli 1943). Pendidikannya mulai S1-S3 di jurusan Bahasa dan Sastra Arab di Universitas Kairo dengan predikat Highest Honous. Ia pernah di Amerika selama 2 tahun (1978-1980), saat memperoleh beasiswa untuk penelitian doktoralnya di Institut of Midlle Eastern Studies University of Pensylivania Philadelphia USA. Di masa tua ia menjadi profesor tamu di Univ Leiden, Belanda.

Apa sih pikiran-pikirannya sampai ia dikafirkan dan dimusuhi ummat? Inti pemikirannya ada di hermeneutika. Dari yang inti ini kemudian kritiknya menjalar ke banyak bidang.

Nashir Hamid menggunakan metode analisis teks bahasa sastra (najh tahlil al-nusus al-lughawiyyah al-adabiyyah) ketika mengkaji Alquran. Dengan metode ini, manusia menjadi mungkin untuk mengkaji teks dan memahami Islam.

Hakikat teks merupakan persoalan mendasar dalam hermeneutika. Teks selalu berwujud dalam bahasa manusia, sehingga dapat dimengerti. Dus, taks tak berdimensi ilahi (divine dimension). Teks perlu mengadaptasi diri karena Tuhan ingin berkomunikasi kepada manusia. Jika Tuhan berbicara dengan bahasa Tuhan, manusia sama sekali tidak akan mengerti.

Jadi, dalam pandangan Hamid, Alquran adalah bahasa manusia (the Qur’an is human language). Singkatnya, dari teks Ilahi (divine text) menjadi teks manusiawi (human text) sejak awal kehadirannya.

Oleh sebab itu Alquran adalah produk budaya (muntaj thaqafi) dan produsen budaya (muntij li al-thaqafah), sehingga menjadi hegemonik serta menjadi sumber atau rujukan bagi teks yang lain.

Disebabkan realitas dan budaya tidak bisa dipisahkan dari bahasa manusia, maka Hamid juga menganggap Alquran sebagai teks bahasa (nas lughawi). Realitas, budaya dan bahasa merupakan fenomena historis dan mempunyai konteks spesifikasinya sendiri. Dus, Alquran adalah teks historis (a historical text).

Empat posisi (historisitas teks, realitas, budaya dan bahasa) menunjukkan bahwa Alquran adalah teks manusiawi (nas insani), diperuntukkan untuk manusia dan bekerja untuk semesta raya. Dus, tugas Alquran dan pecintanya adalah menumpas jahiliyah, melumpuhkan kebodohan.

Karya-karyanya sangat serius dan menusuk. Di antaranya adalah, "Al-Ittijah al-‘aqliyah fi Tafsir: Dirosah fi mafhum al-majaz ‘inda al-Mu’tazilah, Bairut, (1982); Falsafat al-Ta’wil Al-Qur’an ‘indi Muhyiddin inb Arabi, Bairut, (1983); Mafhum An-Nashsh: Dirosah  fi ulumul Qur’an, Cairo, (1987); Isykaliyyat al-Qiro’ah wa Aliyyat at-Ta’wil, Cairo, (1992);

Naqd al-khitab ad diniy, (1993); Al-Imam asy syafi’i wa Ta’sis Aidulujiyyat al-wasathiyyah, Cairo (1995); Al-Ittijah al-‘Aqli fi al-Attafsir: Dirosah fi Qodiyat al-Majas fi Al-Qur’an ‘inda Mu’tazilah, (1996); Falsafah al-’Takwil: Dirosah fi al-Ta’wil ‘inda Muhyiddin ibnu ‘Arabi, (1997)."

Memang, kajian teks menempatkan pola pembuatan dan posisi Alquran di mata ummat. Al-Zarkasyi dalam kitabnya Burhân fĂ® UlĂ»m al-Qur’ân menyebut tiga pendapat mengenai turunnya: Pertama, Alquran turun dengan lafal dan maknanya dari Allah;

Kedua, Alquran turun kepada Jibril hanya maknanya saja, kemudian Jibril membahasakannya dengan bahasa Arab ketika menyampaikannya kepada Muhammad;

Ketiga, Alquran turun secara makna kepada Jibril, lalu Jibril menyampaikannya kepada Muhammad juga secara makna, dan Muhammadlah yang membahasakannya dengan menggunakan medium bahasa Arab.

Sedang posisinya juga ada tiga. Pertama, Alquran adalah antitesa dari semua peradaban yang ada. Kedua, Alquran adalah tiruan belaka dari peradaban yang ada. Ketiga, Alquran adalah hibridasi dari peradaban yang ada dan pikiran-pikiran Muhammad dan para pengikutnya.

Di atas segalanya, Ramadan ini waktu tepat membaca ummat dengan cara Hamid agar bangkit memimpin dan memberi teladan: kejeniusan dan kecemerlangan dengan ilmu, amal dan tekhnologi.

***


Jika cara tuan-tuan berpancasila adalah berindividual, tentu belum mengerti makna pancasila. So, ini sekedar berbagi keresahan. Rasanya, kita harus sadar dulu bahwa hilir dari neoliberal hari ini adalah soal kurs. Setelah negara-negara kolonial dengan rakusnya memperkosa SDA dan SDM maka cara menstabilisasi kuasanya adalah dengan menciptakan kurs sebagai alat kolonial baru. So, bekerjalah dan jualah sesukamu, kubeli dengan semauku: inilah kredo jahat neoliberal. Maka sekaya (SDA) dan sepintar (SDM) dirimu tetap dalam genggamanku.

Lihatlah kini, TKI/TKW adalah takdir baru yang rela meninggalkan keluarga demi "nilai lebih mata uang tertentu terhadap rupiah." Wahai manusia suci. Tak akan hina di mata hantu dan alam raya. Engkau begitu mulia. Aku tahu engkau tak berpenis dan tak bervagina. Cintamu hanya untuk tuhan saja. Maka, orang seperti kami harus belajar mencintai tanpa memaksa dicintai; memahami tanpa memaksa dipahami; menyayangi tanpa harus dibalesi. Semoga waktu meningkatkan ikhlas hati kami. Itulah fatwaku kini buat TKW/I.

Dalam teori ekopol Pancasila, kita melawannya dengan teori kemandirian ekopol. Salah satu cabangnya "daulat mata uang." Rupiah harus tunduk dalam kinerja negara dan dalam rangka memanusiakan manusia. Karena itu intrinsik dan ekstrinsiknya harus sama. Ia alat tukar bukan alat yang lain. Karena itu, mata uang apapun dan dari manapun nilainya sama saat masuk teritorial negara (Indonesia). $1=Rp1 sebagai misal.

Soalnya adalah presiden dan menkeu serta gubernur BI gak paham. Gak mengerti kedaulatan. Bahkan mereka bagian integral dari neoliberal. Maka, rupiah ambruk adalah biasa dan disengaja. Kini, kita harus menemukan jalan keluarnya bukan?

Membincang republikmu seperti menulis kangenku. Betapa sulit tak menulis surat cinta buatmu. Walau kutahu tak mungkin kau baca. Sebab matamu buta. Tak mungkin kau tanggapi. Sebab nalarmu bisu dan tuli. Bagimu, aku dan tulisan-tulisanku hanya aksiden selintas. Manusia tak penting di zaman tak genting. Remuk. Busuk. Terkutuk.

Kini. Besok. Atau entah suatu hari nanti. Jika hatimu lapang. Aku mimpi, kita duduk di tepi pantai. Kau bercerita pengalaman-pengalaman spiritualmu, riset-risetmu, demonstrasi-demonstrasimu. Aku dengar dengan riang dan khidmat. Sambil memandang ombak di lautan yang kian menepi. Sambil kunikmati sisa senyummu yang hampir punah setrilyun tahun lalu. Sambil kubacakan sajak-sajak Rendra buatmu. Sambil kutepuk pinggangmu. Bukankah mimpi tak selalu menipu?

Sementara, burung-burung ababil terbang kian kemari. Memberi contoh bagaimana pacaran yang benar. Sambil bermain begadang di derunya ombak. Dan luasnya padang pasir. Terdengar suara alam syahdu yang hangatkan jiwa kita: nalar dan cita-cita. Para pencari Tuhan dan ilmu. Pengembang peradaban.

Kasih. Aku kangen padamu. Kangenku bagai sinar surya sepanjang masa. Sepanjang pagi. Tapi rasamu perlahan mulai tenggelam di dasar samudera. Lebih dalam dari dasar Atlantik asal muasal peradaban Nusantara.

Kasih. Aku merindukanmu. Sebab suara hatimu mengalunkan melodi tentang cinta ilahi. Cinta qurani. Tapi kutahu kau tak ada hati yang membara erat bersemi padaku. Apalagi berjuta getar seluruh jiwa. Ya. Jiwamu tak bisa lagi tercurah saat itu untukku. Sebab kini jiwa ragamu mati sebelum mati. Bersama rembulan dan sinar mentari di langit tak terjangkau lagi. Engkau bagai hantu yang perih. Bukan air yang jernih. Bukan laut bagi sungai serayu.

Kasih. Kuharap persahabatan ini selalu tumbuh. Berkembang lestari. Tidak cepat berlalu. Sebaliknya ingin kuingat selalu. Sepanjang hidupku. Sebab hatiku berdegup damai. Jiwaku tentram berkalang kerinduan di sampingmu: bersamamu. Walau jiwamu membatu. Hatimu membisu. Tanganmu beku. Dan tak pernah merindukanku apalagi mencintaiku. Kaulah indonesiaku. Negeri elok yang menolak tak sudi gemah ripah loh jinawi. Maka, data BPS per September 2016, total penduduk miskin Indonesia mencapai 27,76 juta orang atau 10,7 persen dari total populasi. Ngeri bukan? Tentu obatnya bukan vlusukkan!

I MISS YOU INDONESIA KITA

***


Ribuan tahun, kita tunduk pada skema orang luar: dari produsen ke konsumen. Dari atlantik ke arabis dan terjerembab dalam kubang chinis. Tentu bukan tanpa skema. Melainkan via proxy dan begundal lokal.

So, secara sistematis, massif dan terorganisir, kita masuk perangkap syorga eskatologis. Via road map, gold, glory, gospel and poverty, sempurna sudah kita dalam cengkraman arabis dan chinis. Makin hari, kita pasrahkan eskatologis ke kaum arabis. Makin hari, kita pasrahkan profanitas peradaban ke kaum chinis.

Kita tahu bahwa gold adalah perampokan kekayaan. Glory adalah perampokan teritorial. Gospel adalah perampokan ideologi. Poverty adalah perampokan mental dan kurikulum.

Dengan empat kunci inilah, bangsa yang mengalami kolonialisme dan imperialisme akan diskenariokan sebagai bangsa pinggir dan pemasok kebutuhan penjajah sampai kiyamat. Sadis bukan?

Bagaimana keluar dari dominasi arabis, yang mutannya adalah ontanis? Ada banyak jalan.

Pertama, kita harus tahu dulu ciri arabisme itu. 
  1. Mereka menjawab masa depan dengan masa lalu; 
  2. Menyembah teks; 
  3. Jurusannya akheratisme; 
  4. Truth claim~kita paling benar yang lain salah; 
  5. Monolitik; 
  6. Berkutat pada ibadahisme~saleh ritual; 
  7. Emosional dan tertutup; 
  8. Klanis~mengimani hubungan darah secara membabi buta; 
  9. Pusat gravitasinya di Makkah dan Madinah.
Kedua, memahami reduksi arsitektur arabisme menjadi ontanis. Menyembah identitas pariferal: jilbabos, hadisi, jenggotis, cungkringis, takfiris, jidatis.

Ketiga, sesungguhnya mereka tidak memiliki sesuatu yang baru. Yang ada adalah mereproduksi hal-hal lama. Makanya ide ibadah di planet lain dan penguasaan tekhnologi, misalnya, tak ada jawabannya. Nalar mereka masih di sini dan di masa lalu.

Keempat, medeskonstruksi kurikulum tersebut dengan mematrialisasikan kurikulum baru yang bertumpu pada lima hal: 
  1. Ruh al-istiqlal (freedom); 
  2. Ruh al-intiqad (criticism); 
  3. Ruh al-ibtiqaar (inovation); 
  4. Ruh al-ikhtira (invention); 
  5. Ruh al-idzati (interdependency).
Ilmu pengetahuan baru ini menempatkan metoda kebebasan, kritis, kreatifitas, progresif, gotong-royong sebagai tulang punggung (back bond). Tanpa revolusi nalar, kita akan membangun peradaban yang sama dengan para arabis.

Dus, kurikulum deskonstruksi ini menyadarkan kita bahwa tak ada ibadah lebih besar pahalanya melebihi ibadah menyelamatkan negara. Tak ada jihad lebih mulia jejaknya melebihi jihad melawan penjajah. Tak ada cinta lebih berdentang keras luar biyasa melebihi cinta warga pada negaranya (hubul wathan minal iman).

Kurikulum dari pikiran raksasa ini disemai di sekolah-sekolah atlantik yang gigantik guna melahirkan pasukan nusantara yang berkonsolidasi dalam lima tradisi: 
  1. Merealisasikan Sekolah-sekolah Postkolonial; 
  2. Mematrialisasikan Roadmap Indonesia Cerdas dan Bermartabat;
  3. Mereclaim the State; 
  4. Merealisasikan Janji Proklamasi; 
  5. Mentradisikan Negara Pancasila.
Kelima, menyadari bahwa era lama soal perampokan emas (gold) akan berkembang ke perang herbal dan hasil lautan. Perang teritorial (glory) akan berkembang ke perang currency, asimetriks, proxy, medical dan IT. Perang agama (gospel) akan meluas ke perang peradaban: clash of civilization. Huntington menulis dlm bukunya "The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order" (1996) yang dikembangkan dari tesis Albert Camus (1946); Bernard Lewis (1990) dalam "The Roots of Muslim Rage." Juga buku karya Basil Mathews: Young Islam on Trek: A Study in the Clash of Civilizations (1926). Tesis ini diambil dari konsep benturan budaya yang sudah pernah dipakai pada masa kolonial dan Belle Époque.

Hey, ayok bangun dari puasamu (badan) menjadi siyammu (jiwa). Dari abu jahil menjadi abdullah. Dari biladulfakir menjadi biladulfadil. Berhentilah jadi genk arabis yang meminum air kencing onta sampai kalian buta, tuli dan bisu. Merasa berinvestasi syorga padahal asuransi neraka.

Dahulu. Ya dahulu sekali. Saat mendung tanpa angin haluan. Saat matahari tanpa terik terperi. Kalian pasti ingat, kita terbiasa sendiri. Beratus hari. Bekerja sepenuh hari dan hati. Antara menunggu perintah dan kedatangan manusia dengan senyum dan tangan terbuka untuk menolong serta berbagi sepotong hari di masa depan.

Selalu menunggu terus menunggu. Sampai bertumpuk batu bata dan genteng berlumutkan kehampaan dan keceriaan dari zaman yang telah meremukkan. Berharap datang seseorang atau sekeluarga yang tak hanya senyumnya. Tetapi juga keluh kesahnya. Untuk melengkapi kisah hidup ini. Kisah-kisah yang belum terketikkan. Melewati takdir yang tak selamanya mudah dipahami.

Dan, kini kita di sini. Pada babak pertama yang telah berbulan kita jalani. Kawan-kawanku, jika ini peradaban batu, mari kita rubah menjadi zaman hati. Yang riang dan menyejukkan plus bergizi.

***


Wahid, tepatnya Abdurrahman Wahid (Jombang, 7 September 1940–30 Desember 2009) adalah tragedi terbesar kisah pembaharuan pemikiran Islam. Bersama Ahmad Wahib, ceritanya hampir mirip. Dan, bersama Nurcholish Madjid plus Djohan Efendi, mereka adalah kwartet neomodenisme Islam dalam bahasa Greg Barton.

Tentu saja, menulis tragedi itu berat. Sering kita membacanya tak kuat. Salah-salah bisa dikutuk para pengikutnya dan dihukum terlaknat.

Tetapi, mendiskusikan idenya di ujung Ramadan menjadi penting. Kami di Nusantara Centre mencoba meletakkan pikiran-pikiran Wahid sebagai upaya refleksi dan proyeksi ummat di Indonesia.

Wahid, adalah sufi terbesar di republik kita. Pengetahuannya tak lahir dari perpus semata. Melainkan dari dialektika burhani, laduni dan isyraqi yang dalam. Kemampuannya menangkap fakta secara definitif didasarkan atas upaya logis untuk mencipta narasi baru. Di sini hebatnya. Narasi ciptaannya menjadi pelecut emosi yang tidak tak terbantahkan.

Waktunya habis untuk melayani. Tenaganya habis untuk ceramah. Karena itu, ia tak pernah serius menulis buku. Ide dan pikirannya hanya dalam bentuk kolom dan artikel. Beberapa dijilid oleh komunitas pendengar dan pembacanya. Misalnya kumpulan karangan berjudul, "Kiai Nyentrik Membela Pemerintah (1997); Membangun Demokrasi (2000); Pancasila sebagai Ideologi dalam Kaitannya dengan Kehidupan Beragama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa (1991);  Prisma Pemikiran Gus Dur (1999); Tuhan Tidak Perlu Dibela (1999); Islamku, Islam Anda, dan Islam Kita (2006); Islam Kosmopolitan (2007)."

Seluruh ide dan pemikiran plus tindakannya dapat dirangkum dalam satu kata: kesetimbangan. Tak ada tindakan Wahid yang tak dilandasi teori kesetimbangan. Pembelaan pada wong cilik, kaum marjinal dan warga tersisihkan adalah aksiologi dari mizan yang ia yakini. Tentu tak selamanya benar. Karena itu, ia buat narasinya agar beyond the fact.

Tidak ada ide dominan yang berpengaruh membentuk pribadi dan pikiran Wahid. Semuanya melakukan dialog dalam dirinya. Inilah sebabnya mengapa Wahid selalu kelihatan dinamis dan suliit dipahami. Kebebasannya dalam berpikir-bertindak dan luasnya cakrawala pemikiran yang dimilikinya melampaui batas-batas Indonesia.

Karena luas, pemikirannya tentang pluralisme, toleransi, pribumisasi, dialog, negara-bangsa Pancasila, pesantren, humanitarinisme universal, antropologi kiai dan postradisionalis menjadi kunci untuk mendekatinya. Terlebih, ia sangat eklektik dan dinamis dalam semua ketikan dan tindakan.

Sebagai pewaris tradisi timur, penguasa diskursus islam, penikmat pengetahuan barat, Wahid kemudian mengembangkan satu pola yang bisa disingkat menjadi post-tradisionalisme Islam.

Postra ini menjadikan tradisi (kultur) sebagai basis epistimologinya. Ia kemudian ditransformasikan dengan meloncat guna membentuk tradisi baru yang berakar pada tradisi miliknya dengan jangkauan yang sangat jauh untuk memperoleh etos progresif dalam transformasinya.

Bagi Wahid, hidup dalam "islam" adalah konsensus, kemerdekaan, progresif, nyata, kedaulatan, serta kemandirian. Tetapi, kebanyakan kaum muslim di indonesia bangga sebagai arabis yang mendaku islam. Karena itu mereka layak disebut "mahjubul ummah" (kaum yang tertutup akalnya: buta, tuli dan bisu).

Lalu, di mana kini "islam"? Mereka tak ada di televisi dan tak ada di pemerintahan bahkan juga tak ada di masjid-masjid. Mereka punah dan mati tersapu arabisme: cungkring, jilbabos, berdoa, jual ayat, jenggotan, selebritis, poligamet dan koruptif.

Tentu saja, pada akhirnya sejarah agama adalah sejarah pemberontakan: bukan ritual apalagi identitas sosial. Sayangnya, yang dikurikulumkan adalah yang karitatif dan pinggiran.

Dalam logika postkolonial, agama tersebut jatuh menjadi brooker dari old colonialism: membungkuk pada penjajah, mentradisikan neofundamentalis yang bersekutu dengan neofasis. Dua setan berwajah manusia duafa.

Bagi agamawan pemberontak, sangat menakjubkan jika jarinya mulai menulis. Sangat menggairahkan jika mulutnya mulai menyapa. Sangat menentramkan jika senyumnya mulai tersungging. Sangat menggentarkan jika hatinya mulai berpaling. Sangat merindukan jika jiwanya mulai membaca puisi. Sangat memukau jika pidatonya mulai berhipotesa perlawanan.

Kapankah kalian duduk dan berlari memberontak bersama? Runtuhkan tiran yang menyekutukan Tuhan. Pastikan hancurnya elite yang menyembah setan. Kuingin tak hanya zaman yang mampu menjawabnya. Sebab kurasa hati, perkataan, nalar dan tindakan kalian yang mencintai masa lalu: adalah amis dan luka.

Sungguh. Kita harus yakin bahwa tugas agama adalah menjawab problem manusia hari ini dan ke depan. Dan, jawaban itu bukan sekedar dari masa lalu. Menjawab problem hari ini dengan masa lalu (semata) selalu dihindari para nabi. Sebab jika itu metodanya, romantisme dan bibliolatry sebutannya. Menundukkan nalar di bawah teks. Dan, itu segenggam kejumudan semata.

Wahid tak mau jadi jumud. Wahid tak ingin Indonesia defisit nalar. Sebaliknya, Wahid ingin ummat dan Indonesia maju, makmur, berdaulat dan bermartabat.

***


Peradaban besar punya lima ciri. Pertama, ada nilai-nilai (filosofi) yang dikonsensuskan. Kedua, punya agama tersendiri. Ketiga, punya bahasa dan aksara tersendiri. Keempat, punya penanggalan dan angka tersendiri. Kelima, punya arsitektur dan artefak tersendiri yang khas.

Djawa sangat lengkap. Kelimanya ada dan hidup. Dalam hal artefak misalnya ada batik, sanggul, resep kuliner/masakan, resep kesehatan (obat), resep tekhnik bercinta, seni dan beladiri, resep bercocok tanam dan bahkan senjata. 

Senjata keris misalnya, adalah bukti bahwa peradaban Djawa mengembangkan senjata (tradisional) yang khas dan dalam perkembangannya mengikuti perjalanan sejarah kita sampai tersebar hingga ke negara tetangga.

Keris adalah senjata tikam golongan belati yang berkelok serta berujung runcing dan tajam pada kedua sisinya. Bentuknya khas dan mudah dibedakan dari senjata tajam lainnya karena tidak simetris di bagian pangkal yang melebar.

Keris seringkali bilahnya berkelok-kelok dan banyak di antaranya memiliki pamor kesaktian. Jenis senjata tikam yang memiliki kemiripan dengan keris adalah badik. Senjata tikam lain asli Nusantara adalah kerambit.

Keris berfungsi sebagai senjata dalam duel/peperangan sekaligus sebagai tanda status plus benda pelengkap sesajian. Pada penggunaan masa kini, keris lebih merupakan benda aksesori (ageman) dalam berbusana.

Karenanya keris memiliki sejumlah simbol budaya, atau menjadi benda koleksi yang dinilai dari segi estetikanya. Tetapi, keris di setiap daerah memiliki kekhasan sendiri-sendiri dalam penampilan, fungsi, teknik garapan, serta peristilahan.

Dalam bacaan sejarah yang sederhana, awal mula terciptanya keris dapat ditelusuri pada prasasti batu di Desa Dakuwu, Grabag, Magelang, Jawa Tengah. Pada prasasti tersebut terdapat relief yang menggambarkan peralatan besi, tahun 500 ditulis dalam huruf Pallawa, bahasa Sansekerta. 

Seni mengolah logam di Jawa juga dapat dilihat dari relief sejumlah Candi Borobudur, Candi Prambanan Prambanan, dan Candi Singasari (1300), Candi Jawi, dan Candi Panataran.

Pada masa pemerintahan Hayam Wuruk dengan Gajah Mada sebagai mahapatih, keris tersebar luas hingga kawasan Nusantara, Malaysia, Brunei, Thailand, Filipina, dan Kamboja.

Di masa Sultan Agung, muncul dapur-dapur baru. Dapur keris bisa diartikan ragam bentuk keris sesuai dengan ricikan yang terdapat pada bilah berdasarkan jumlah lekukannya. Misalnya dapur keris Nagasasra, dapur keris Sabuk Inten, dapur keris Sengkelat, dapur keris Jalak Sepuh, dan dapur keris Tilam Upih.

Tradisi pembuatan keris terus berkembang pada era nusantara, terutama setelah Mataram terbagi menjadi dua, Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta pada tahun 1755 M.

Dalam filsafat persenjataan, orang Jawa wajib memiliki empat pusaka keris berdapur lurus. Pusaka keris itu adalah Brojol, Tilam Sari, Tilam Upih, dan Jalak Sangu Tumpeng

Empat keris tersebut mempunyai arti yang berbada-beda namun saling berkaitan. Keris Brojol merupakan lambang keluar dari sebuah permasalah. Tilam Sari melambangkan keluarga sakinah, mawadah warohmah.

Sedangkan, Tilam Upih adalah lambang jiwa pemikir dan menurut kepada guru. Sedangkan keris Jalak Sangu Tumpeng melambangkan sudah tidak kurang sandang dan pangan atau pakaian dan makanan.

Dalam filosofi Islam, empat lambang keris itu disebut doa sapu jagat. Jika orang Jawa sudah memiliki empat pusaka ini, sesuai dengan filosofinya maka ia akan sukses dalam hidupnya.

Kini, keris Indonesia telah terdaftar di UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia Non-Bendawi Manusia sejak 2005. Tetapi, merenungi keris itu seperti melihat pancasila. Mempelajari sejarah keris itu bagai menghidupi Indonesia. Dari keris, air mata ini menyadarkanku. Bahwa keduanya tak menjadi tabula rasa.

Keduanya takkan pernah jadi milikku. Keduanya bersatu untuk saling berpisah. Maka, air mata ini menyadarkanku. Sesadar-sadarnya. Bahwa kalian takkan pernah menjadi milikku.

Tentu saja. Aku tak pernah mengerti mengapa aku segila ini. Memikirkan, merenungi, menghidupi, merindukan. Sampai-sampai aku hidup untuk mereka, tetapi aku mati tanpa mereka. Sungguh. Sesungguh-sungguhnya aku tak pernah menyadari bahwa aku setolol ini. Setolol-tololnya. Sampai-sampai aku hidup untuk mereka, tetapi aku mati tanpa mereka. Aku menunggu mereka, tapi mereka mengkhianatiku. Aku mengundang mereka, tapi mereka tak mempedulikanku. Tak peduli. Tak pernah peduli.

Wahai keris dan pancasila. Kalian menjarah masa depanku tanpa punya nafsu/ Wahai kalian yang membekukan hari-hariku tapi tak berkalbu/Wahai kalian yang memporakporandakan cita-citaku tapi tak bergincu/Wahai kalian yang menikam jantungku tapi tak menutupnya dengan baju/
Wahai kalian yang menghancurkan imanku tapi tak mau tahu/Wahai kalian yang membunuh zamanku tapi tak memakamkanku/

Kini kukatakan tegas. Sungguh, "kekuasaan atas kapital dan cita-cita masa depan itu palsu untuk menjelaskan krisis hari ini. Sebab di masa depan kita pasti mati. Apa artinya kapital itu dan cita-citanya jika tak berguna mengarungi badai dan ombak yang demikian besar menghadang warganegara?" Sadarlah. Atau kalian memang bisu tuli dan buta.

***


Semalem hujan. Seperti air matamu yang tumpah ruah. Engkau memang tak pernah ikhlas hingga lelah. Menangis menunggu tehaer tak sudah-sudah. Tetapi yang didapat hanya ucapan maaf dan keluh kesah. Gaji ke-13 juga baru iklan. Selebihnya harapan-harapan entah.

Kau tak tahu filsafat bumi. Bahwa tangan di atas itu pemulia semesta. Penjaga marwah dan martabat manusia. Persis sikap mental Atlantik: they part of us. Atau minimal seperti karakter Nusantara: we live together.

Yang jelas bukan bak potret Indonesia: we part of them. Ya. Kamu memang indonesia banget. Senang mencari dan menemukan kesalahan sesama, pura-pura minta maaf padahal hatinya puas mentertawa sedikit memanipulasi.

Tentu saja menjadi sulit berkata-kata, "the best revenge for the people who have insulted you is the success that you can show them later."

Itu semua karena kau tak mengawini buku-buku. Dalam buku-buku yang mencerdaskan dapat kita temukan kalimat, "jika pemerintah sudah tak mampu melaksanakan tugas konstitusional dengan memberikan subsidi, itu artinya negara bangkrut." Lah makanya ngemis utang ke mana-mana kini. Jebule bangkrut.

Agar kau tahu. Semalam, aku mendapat tausiyah dari staf kantor tentang hadis di bawah ini. Tetapi aku tidak percaya subtansi kalimat bisa terjadi di Indonesia. Yakin tak ada kisah ini di buku, jurnal dan televisinya Indonesia.

"Barangsiapa berusaha melepaskan kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah Ta'ala akan melapangkannya dari kesusahan di hari kiamat. Dan, barangsiapa berusaha memberi kemudahan bagi orang mukmin yang kesusahan, maka Allah Ta'ala akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat" (HR. Muslim).

Kini, menemanimu menunggu hari yang tak ditunggu, aku sudah sampai hamzah umur jiwaku. So, kuucap sampai ketemu di altar tuhan yaaaa. Sebab mati itu kenikmatan yang tak tertandingi, tak tertolak, terbukti tak ada yang kembali.

Aku tak mau hidup sampai kiyamat. Saat gunung-gunung yang kukuh terpancang diterbangkan, luluh lantak menerjang. Saat gedung-gedung pencakar langit yang tinggi menjulang, hari itu akan ditumbangkan. Pukang lantang, patah arang. Saat cinta tak lagi bermakna. Saat uang tiada guna. Saat kuasa tak ada manfaatnya. Saat kerinduan hanya tinggal kerinduan. Saat semua manusia berat melangkah menanggung beban.

Tentu, aku berharap engkaulah Tuhan yang esa. Pengabul segala pinta. Pelindung segala duka. Penjawab segala resah. Maka, biarkan diriku memujamu hingga ujung waktu. Biarkan aku jadi hambamu yang utuh dan weruh.

Sedang bagimu kekasihku, jika nanti kusanding dirimu, kuajari kamu menulis kritis. Studi nusantara. Hingga kamu miliki aku dengan segala kelemahanku. Bukan senang karena materi saja. Atau uang belaka. Sebab, bila nanti engkau di sampingku, aku tak pernah letih tuk mencintaimu. Hingga kiyamat tiba. Bukan hari esok yang kismin dan paria. Hari fitri yang tak kita tunggu bersama karena para kolega yang khianat tak putus-putus.

Atlantik: they part of us. Nusantara: we live together. Indonesia: we part of them. And, the best revenge for the people who have insulted you is the success that you can show them later.

Jika pemerintah sudah tak mampu melaksanakan tugas konstitusional dengan memberikan subsidi, itu artinya negara bangkrut!

Kawan, aku mendapat tausiyah dari staf kantor tentang hadis di bawah ini. Tetapi aku tidak percaya subtansi kalimat ini bisa terjadi di Indonesia.

"Barangsiapa berusaha melepaskan kesusahan seorang mukmin dari kesusahan-kesusahan dunia, maka Allah Ta'ala akan melapangkannya dari kesusahan di hari kiamat. Dan, barangsiapa berusaha memberi kemudahan bagi orang mukmin yang kesusahan, maka Allah Ta'ala akan memberi kemudahan baginya di dunia dan akhirat" (HR. Muslim).

Kini sudah sampai hamzah umurku. Sampai ketemu di altar Tuhan yaaaa.

***


Kesempurnaan. Inilah hulu belenggu. Hilirnya paria (kehinaan). Islam yang hari ini bermetamorfosis jadi arabis dan ontanis--diklaim telah sempurna. Tak ada cela. Tak ada cacat. Tak ada kurang. Tak perlu ada tambahan (bid'ah). Benarkah? Mari kita senyum. Orang waras pasti tahu ini mitos jahiliyah modern. Sihir kaum jenggotis. 

Bagaimana menjelaskannya? Kita buka satu-satu ternak kedunguan ini. Dungu penghasil belenggu. Jika kita cek teks, hulunya banyak. Tetapi akarnya dua. Pertama, firman yang berkata, "Pada hari ini telah kusempurnakan untukmu agamamu, telah kucukupkan kepadamu nikmatku, telah kuridhai Islam itu jadi agama bagimu" (QS Al-Maaidah/4:3). Kedua, Firman yang berkata, "Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam secara keseluruhan (kaffah) dan janganlah kamu ikuti langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu" (QS Al-Baqarah/2: 208).

Ayat-ayat itu kemudian melahirkan mutan yang demikian banyak. Banjir mutan itu dikunci dengan wasiat Muhammad saw, "Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam urusan agama Islam yang tidak ada dalilnya, maka perkara tersebut tertolak.” (HR. Bukhari dan Muslim). Lalu diakhiri dengan proklamasi, “Islam salih fi kulli zaman wal makan (Islam senantiasa baik dalam segala waktu dan tempat).

Singkatnya kemudian mereka berpesta dan menyanyikan lagu Ari Lasso berjudul Cinta (Islam) Terakhir. 
Sedalam samudra telah aku selami
Setinggi langit di angkasa telah kuarungi 
Sepanjang kehidupanku aku mencari
Sebentuk kelembutan hati cinta (Islam) sejati
Kini usai sudah segala penantian panjangku. 
Setelah temukan dirimu duhai kekasih (Islam) ku
Hanya di hati (Islam) mu akan kulabuhkan hidupku
Karena kaulah cinta (Islam) terakhirku. 
Berjuta kejora terangi gelap malamku.
Tetap tak seindah cahaya mata hati (Islam) mu. 
Kini usai sudah segala penantian (agama) ku.

Luar biasa belenggunya bukan? Tapi mari kita tanya satu persatu. Pertama, kalau ia sempurna, mengapa ummatnya paria dari percaturan dunia? Kedua, kesempurnaan yang dimaksud mengapa tidak diakhiri dengan kiyamat? Ketiga, Islam, Muhammad saw dan al-Qura’n hadir secara bertahap mengikuti perkembangan sejarah (sajjarah), tidak langsung jadi. Maka, di zaman mana kesempurnaan ini berlaku? Keempat, Jika ia menyempurnakan, mengapa sekarang belepotan dan marah-marah saja kerja pemeluknya? Terakhir, Jika Tuhan menghentikan ‘proyek nubuwah’, apa alasannya?

Lima pertanyaan tersebut sesungguhnya hanya usil-usul untuk mengembangkan konsep dialog-konstruktif. Sebab, dialog mengandaikan kerendahan hati, yaitu kemauan untuk belajar dari peradaban lain meskipun menurut perasaan kebudayaan mereka lebih rendah; memperlakukan peradaban lain sederajat; keyakinan bahwa peradaban lain dapat mengajar dan saling mengajari. Artinya bahwa tindakan dialogis selalu bersifat kooperatif (gotong-royong). Itu berarti adanya kesatuan-kebersamaan intra-antar peradaban dalam usaha memacu proses perubahan ke arah yang lebih baik.

Jika itu paradigmanya maka ‘kesempurnaan’ hanya mitos purba. Ia penyakit psikis yang dialami oleh manusia minder inlander. Mirip nyonya tua yang tak bisa percaya diri dengan keriput kulitnya lalu pergi ke salon dan operasi plastik. Atau mirip ibu yang ditanya anaknya tentang siapa lelaki terhebat dan tersempurna untuk ditiru, dan ibu itu menjawab, bapakmu. 

Dus, arti sempurna itu "saat itu dan waktu itu, bukan selamanya dan di mana saja." Sebab lelaki sempurna bukan hanya bapaknya. Sebab perempuan sempurna bukan karena operasi plastik kulit keriputnya. Sebab, Islam itu konsep, nilai-nilai dan sifat; bukan barang jadi yang statis. Singkatnya, konsep sempurna itu hadir sebagai gejala penyakit ketakutan (ditinggalkan) dan spekulasi (keberpalingan pengikut). Bukan sikap dewasa dan Islam yang sesungguhnya.

Menganggap Islam sempurna pada akhirnya seperti berzina dengan belenggu. Nikmat tapi sesat. Sebab Islam mestinya revolusi ruhani dan revolusi total, dari-oleh-untuk revolusi diri demi merevolusi dunia.

Sungguh. Jika kita berzina dengan belenggu, maka kitalah sesungguhnya sangkakala bagi agama; kiamat bagi Islam subtantif. Agar tidak berzina, agar tidak terbelenggu, agar tidak paria, agar tidak kiamat, maka itu hanya dapat dikerjakan jika kita punya paradigma bahwa kesempurnaan itu sementara dan kitalah yang harus mengusahakannya: lewat nalar jenius yang meraksasa. Mari revolusikan nalar.

***


Wahai warga negara Indonesia yang miskin. Derai airmata kalian bagai irisan perih yang membasahi hatiku. Betapa berat batu ujian kalian. Isak lirihmu bagai sesak yang menggulung jiwa. Betapa luas cobaan penderitaan kalian. Kini, doa tersampaikan terbata-bata dalam duka mengalir tanpa suara. Betapa tegar hati kalian saat semua ganti harga: tak terkejar isi dompet dan tak tertolong para dewan kampret.

Wahai kalian yang lemah. Jika agama tak menghasilkan kasih sayang sesama, kalian membutuhkan agama baru. Mirip agama kasih yang dikreasi Yesus guna mengganti Yahudi. Jika negara tak menghasilkan kesejahteraan dan keadilan, kalian membutuhkan negara baru. Mirip negara Madinah yang diciptakan Muhammad guna mengganti negara jahili. Jika kepemimpinan tak menghasilkan kepastian martabat, kalian membutuhkan pemimpin baru. Mirip kehadiran Soekarno yang mengganti model kepemimpinan gubernur jendral Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer. Si begundal itu.

Problemnya, kini kita sedang berhadapan bukan dengan salah satunya tapi tiga skondan keburukan sekaligus: "agama jahil, negara oligark dan pemimpin lugu." Persetubuhan tiga skondan yang menghasilkan prestasi besar tak berpreseden sebelumnya: kemiskinan meningkat, ketimpangan menajam, ketidakadilan mentradisi dan kejahatan membuncah. Aparatusnya makin begundal.

Inilah delusi negara liberal. Delusi atau waham adalah keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat. Diyakini tapi tidak memiliki dasar dalam realitas; kepercayaan yang bersifat patologis (penyakit) sehingga harus disembuhkan.

Itulah ilusi negara pasar. Ilusi berasal dari bahasa latin yaitu illusio; illudere yang bermakna mengaburkan dan menyesatkan. Sikap salah tafsir dari indra terhadap pengindraan sekitarnya.

KINI TAK ADA PENJELASAN LEBIH SAHIH DARI KEBERADAAN NEGARA NEOLIBERAL. 

Satu paham yang ilutif dan sudah dibunuh pada proklamasi 1945 oleh para pendiri republik. Tetapi, ia satu ordo yang kini diimani kembali oleh para begundal lokal. Para begundal itu tidur di istana, mabuk dengan para konglomerat hitam dan muntah kekenyangan uang rampokan APBN plus menandatangani hutang menumpuk seperti kerupuk.

Sebab, persis pada sejarah kini, yang terjadi mata sebagian besar rakyat bengkak. Air matanya habis. Kesedihan apalagi yang tersisa di wajah mereka? Makin hari, terlihat ribuan orang tak punya rumah. Tersaksikan puluhan ribu orang tak bisa makan. Terperhatikan jutaan pengangguran tak bisa bekerja.

Tapi elite hanya bisa memaki dan korupsi. Maka air mata apalagi yang bisa kita tumpahkan? Kesedihan apalagi yang kita kandungkan? Mestinya elite memberi mereka solusi melalui dentuman besar; kerja raksasa. Revolusi Jiwa. Revolusi Total. Sebab negeri ini terlalu kaya jika hanya untuk selesaikan masalah agama, negara dan kepemimpinan.

Sebaliknya, ini hanya soal ketersesatan jalan ekonomi-politik saja. Tapi, harus disadari bahwa makin jauh kita tersesat maka makin jauh kita dapati ketercerahan jalan. Sebab ketersesatan itu memabukkan. Apalagi jika tersesat kaya saat selainnya miskin. Tersesat pintar saat selainnya bodoh. Ya. Inilah yang sedang terjadi.

Karena itu, "hapalan teks, kapital dan cita-cita masa depan" itu palsu jika tidak mampu menjelaskan dan menyelesaikan krisis hari ini. Sebab di masa depan kita pasti mati. Apa artinya teks, kapital dan cita-cita masa depan (eskatologis/akhirat) jika tak berguna menundukkan badai dan ombak yang demikian besar menghadang warganegara?" Itu artinya, kuasa itu bisu tuli dan buta. Atau, kuasa ilusi dan delusi. Mimpi para pecundang.

Masih belum paham juga? Mari kita lanjutkan. Joseph E Stiglitz (2014) bertesis, "kebijakan pemerintah harusnya bukan hanya menjadi wasit tetapi juga menentukan kesejahteraan warga negaranya. Di negara yang pemerintahnya absen, sebaiknya warga negara menciptakan pemerintahannya sendiri demi memastikan kesejahteraan hidupnya." 

So, mari sadarkan Jokowi agar mengerti kondisi dan problem-problem negara! Caranya, kita mulai dari usaha tanpa kenal lelah. Yaitu merevolusi mitos kuno, logos kuno dan etos kuno menjadi mitos, logos dan etos baru. Dalam 3 yang lama isinya adalah "gagasan lama berselubung feodalisme dan fasisme."

Dalam mitos kuno hiduplah nilai-nilai senioritas dan kejahiliyahan. Dalam logos kuno hiduplah nilai-nilai prosedur dan birokratisme. Dalam etos kuno hiduplah nalar budak dan ilusi. Ketiga paradigma kuno ini harus diganti dengan arsitektur baru yang cerdas berupa mitos baru: muda dan inovatif. Logos baru: subtantif dan progresif. Etos baru: merdeka dan konstitusional.

Inilah kurikulum pembudidayaan revolusi kebudayaan demi trias revolusi kini dan masa depan. Di tangan kaum muda, nalar, dan konstitusional maka nusantara bukan hanya jaya tetapi juga "raya." Dengan gagasan raya maka ekonomi politiknya menomorsatukan semua warga negara miskin, terpinggirkan dan kalah agar merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

***


Jika agama tak menghasilkan kasih sayang sesama, kalian membutuhkan agama baru. Mirip agama kasih yang dikreasi Yesus guna mengganti Yahudi.

Jika negara tak menghasilkan kesejahteraan dan keadilan, kalian membutuhkan negara baru. Mirip negara Madinah yang diciptakan Muhammad guna mengganti negara jahili.

Jika kepemimpinan tak menghasilkan kepastian martabat, kalian membutuhkan pemimpin baru. Mirip kehadiran Soekarno yang mengganti model kepemimpinan gubernur jendral Tjarda Van Starkenborgh Stachouwer.

Problemnya, kini kita sedang berhadapan bukan dengan salah satunya tapi tiga skondan keburukan sekaligus: "agama jahil, negara oligark dan pemimpin lugu." Persetubuhan tiga skondan yang menghasilkan prestasi besar tak berpreseden sebelumnya: kemiskinan meningkat, ketimpangan menajam, ketidakadilan mentradisi dan kejahatan membuncah.

Inilah delusi negara liberal. Delusi atau waham adalah keyakinan yang dipegang secara kuat namun tidak akurat. Diyakini tapi tidak memiliki dasar dalam realitas; kepercayaan yang bersifat patologis (penyakit) sehingga harus disembuhkan.

Itulah ilusi negara pasar. Ilusi berasal dari bahasa latin yaitu illusio; illudere yang bermakna mengaburkan dan menyesatkan. Sikap salah tafsir dari indra terhadap pengindraan sekitarnya.

KINI TAK ADA PENJELASAN LEBIH SAHIH DARI KEBERADAAN INDONESIA KECUALI SEBAGAI NEGARA LIBERAL. 

Satu paham yang ilutif dan sudah dibunuh pada proklamasi 1945 oleh para pendiri republik. Tetapi, ia satu ordo yang kini diimani kembali oleh para begundal lokal.

Sebab, persis pada sejarah kini, yang terjadi mata sebagian besar rakyat bengkak. Air matanya habis. Kesedihan apalagi yang tersisa di wajah mereka? Makin hari, terlihat ribuan orang tak punya rumah. Tersaksikan puluhan ribu orang tak bisa makan. Terperhatikan jutaan pengangguran tak bisa bekerja.

Tapi elite hanya bisa memaki dan korupsi. Maka air mata apalagi yang bisa kita tumpahkan? Kesedihan apalagi yang kita kandungkan? Mestinya elite memberi mereka solusi melalui dentuman besar; kerja raksasa. Revolusi Jiwa. Revolusi Total. Sebab negeri ini terlalu kaya jika hanya untuk selesaikan masalah agama, negara dan kepemimpinan.

Sebaliknya, ini hanya soal ketersesatan jalan ekonomi-politik saja. Tapi, harus disadari bahwa makin jauh kita tersesat maka makin jauh kita dapati ketercerahan jalan. Sebab ketersesatan itu memabukkan. Apalagi jika tersesat kaya saat selainnya miskin. Tersesat pintar saat selainnya bodoh. Ya. Inilah yang sedang terjadi.

Karena itu, "hapalan teks, kapital dan cita-cita masa depan" itu palsu jika tidak mampu menjelaskan dan menyelesaikan krisis hari ini. Sebab di masa depan kita pasti mati. Apa artinya teks, kapital dan cita-cita masa depan (eskatologis/akhirat) jika tak berguna menundukkan badai dan ombak yang demikian besar menghadang warganegara?" Itu artinya, kuasa itu bisu tuli dan buta. Atau, kuasa ilusi dan delusi. Mimpi para pecundang yang kini ngopi berak di istana dengan akal buntet dan mata rabun.

***


Multietnik adalah takdirnya. Ia ditempa dalam medan pertempuran. Ia runtuh dalam paregreg dan bencana plus kedatangan kolonialis purba. Padahal, Banten merupakan negara maritim yang kuat dengan armada modern sehingga menguasai perdagangan di sekitar negara-negara tetangga. Kini, kisah kebesarannya tinggal cerita.

Di masa itu (1526–1813), ia memonopoli perdagangan produk herbal seperti Lada, Kopi dan Gula yang menyebar sampai di Lampung, dengan menempatkan penguasa Banten sekaligus sebagai pedagang perantara. Dengan posisi tersebut, Banten berkembang pesat, menjadi salah satu pusat niaga yang sangat penting dan berpengaruh.

Kita paham, sejak jaman ribuan tahun lalu telah ramai berkembang lalu-lintas pelayaran dan perdagangan antara kerajaan-kerajaan di kepulauan Nusantara dengan kerajaan-kerajaan di dunia. Banten menjadi sangat penting dan centripetal karena ada Selat Sunda. Jalur laut tersibuk sampai kini.

Tetapi kini, Banten dan Serang (sebagai ibu kota) sedang mencari jati diri. Tentu ini pekerjaan raksasa. Agar tak berat, mari kita mulai dengan tanya. Siapakah investor terbesar dalam revolusi melawan kolonial? Kaum muslim. Bahwa mereka bernasib banyak kalah setelahnya sehingga dinistakan, itulah kenyataan yang tak bisa dibantah.

Itu juga yang membuat kyai di NU dan Muhammadiyah memilih jalan lain agar bisa mengisi periuknya. Pasca revolusi Jawa (kyai Diponegoro) dan revolusi Sumatra (kyai Bonjol) praktis hanya revolusi Banten (kyai Abdul Karim) yang menginspirasi revolusi nasionalnya para pemuda (Soekarno dkk).

Revolusi Banten tumbuh sejak Kesultanan Banten sebagai pemegang otoritas politik dihapuskan oleh begundal Herman Willem Daendels (1762-1818). Tercatat ada tiga kali pemberontakan terhadap kolonialisme Belanda yang terjadi di Banten.

Pertama, tahun 1850 dipimpin oleh kyai Wakhia. Kedua, tahun 1888 yang dilakukan oleh sebagian besar para petani di bawah komando kyai Abdul Karim dan kyai Tubagus Ismail. Ketiga, tahun 1926 di Menes, Kabupaten Pandeglang Banten dipimpin kyai Adarhi.

Semua pemberontakan ini lebih merupakan pertanda keinginan untuk bebas dari cengkraman kolonialisme. Karena itu Banten pantas disebut kota Revolusi Purba. Kota yang melahirkan kenistaan sekaligus kesadaran, kata sastrawan Max Havelar.

Banten juga layak disebut sebagai tempat persemaian dan gelanggang pemberontakan nusantara. Pemberontakan terbesarnya terjadi pada 9 Juli 1888 yang disebut sebagai Pemberontakan Santri-Petani Banten.

Revolusi ini dipimpin langsung oleh kyai Abdul Karim, ulama besar dan orang suci di mata rakyat. Ia pemimpin dan guru tarekat Qadiriah. Beliau dibantu oleh kyai Tubagus Ismail, seorang bangsawan Banten yang merakyat. Ia juga ulama yang jaringannya melampai batas-batas keagamaan. Sayangnya, kalah.

Karena kalah, kini revolusi berbasis agama (Islam) tinggal kenangan. Kesadaran postkolonialisme dalam tradisi islam hanya cungkringisme dan auratisme. Bahasannya hanya jilbab dan poligami. Nista sekali.

Kekalahan memang menjijikan. Revolusi fisik nasionalis dilupakan. Revolusi kejumudan diagamakan. Kyai-kyai dadakan buatan media dipuja dan dibayar mahal hanya untuk melawak dan membodohi kita.

Sayangnya, kyai-kyai NU dan Muhammadiyah juga banyak yang sibuk korupsi via politik recehan. Zaman kejahiliyahan ini memang sedang melegenda. Mengapa hal ini terus terjadi? Mari kita temukan solusinya.

Harus diakui, kita kini defisit agensi pancasilais sehingga gagal panen tulisan inspiratif. Lebih jauh juga mengalami defisit ketikan tekhnologi dan industri. Sebaliknya, kita surplus tulisan ngalor-ngidul dan jahiliyah. Banjir di mana saja dan kapan saja tulisan soal baju, ibadah, makanan, tingkah laku sambil menghadirkan romantisme, hoax dan takfiri.

Di sini, jika ingin digdaya kembali, kota dan desa kita perlu revolusi pancasila untuk merubah hal buruk menjadi dahsyat. Yaitu trias revolusi yang keren: Revolusi Mental, Revolusi Nalar dan Revolusi Konstitusional.

Maknanya berupa perubahan cepat dan tepat dari mental kolonial ke mental pancasila; dari nalar fundamentalis bin fasis ke nalar kemanusiaan progresif; dari konstitusi parsialis ke konstitusi keadilan subtantif.

Dengan revolusi itu, program raksasa berikutnya bisa kita kerjakan. Di wilayah Banten dan kota Serang, ada baiknya membuat dua hal fundamental. Pertama, ciptakan smart city (kota cerdas).

Projek raksasa ini merupakan visi pengembangan daerah/wilayah untuk mengintegrasikan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) dengan teknologi Internet of things (IoT) dengan cara yang aman untuk mengelola keseluruhan aset-asetnya.

Aset ini meliputi sistem informasi instansi pemerintahan lokal, sekolah, perpustakaan, sistem transportasi, rumah sakit, pembangkit listrik, jaringan penyediaan air, pengelolaan limbah, penegakan hukum, dan pelayanan masyarakat lainnya.

Projek kota cerdas ditujukan untuk penggunaan informatika dan teknologi guna meningkatkan efisiensi pelayanan. TIK memungkinkan para pejabat berinteraksi langsung dengan masyarakat dan infrastruktur kota serta memantau apa yang terjadi di kota, bagaimana kota berkembang, dan bagaimana menciptakan kualitas hidup yang lebih baik.

Melalui penggunaan sensor (cctv) yang terintegrasi dengan real-time monitoring sistem, data yang dikumpulkan dari warga dan perangkat dapat diolah dan dianalisis. Dus, informasi dan pengetahuan yang dikumpulkan adalah kunci untuk membuat solusi; mengatasi inefisiensi, kemacetan, banjir, kemiskinan, pengangguran dan ketimpangan.

Kedua, membangun universitas maritim banten (UMB). Kampus ini menerjemahkan visi Indonesia sebagai poros maritim dunia. Kita tahu, Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi menjadi peradaban maritim (poros maritim dunia).

Dengan mendirikan kampus maritim, Banten menjejak masa lalu dan menguasai masa depan. Sebab, projek itu bertujuan menjadikan Indonesia sebagai negara maritim yang besar, kuat, dan makmur melalui pengembalian identitas Indonesia sebagai bangsa maritim, pengamanan kepentingan dan keamanan maritim, memberdayakan potensi maritim untuk mewujudkan pemerataan sekaligus pertumbuhan ekonomi.

Untuk menuju peradaban maritim kita wajib membangunan budaya maritim dari aspek infrastruktur, kampus, kurikulum, jaring politik, sosial-budaya, hukum, keamanan dan ekonomi. Juga penegakkan kedaulatan wilayah laut NKRI, revitalisasi sektor-sektor ekonomi kelautan, penguatan dan pengembangan konektivitas maritim, rehabilitasi kerusakan lingkungan dan konservasi biodiversity, serta peningkatan kualitas dan kuantitas SDM kelautan.

Di sini, kita perlu komitmen besar, pikiran jenius dan kesabaran revolusioner serta visi seribu tahun ke depan. Dan, tak ada pilihan lain. Atau bagaimana menurut kalian?

Singkatnya, kita jangan sampai bernasib tak bernasib baik seperti ketikan kecemasan penulis besar Yudi Latif (2019) yang berjudul "Senjakala Indonesia." Menurutnya, Indonesia tak bisa memenangkan masa depan karena memang tak ada usaha mempersiapkan masa depan.

Budaya sebagai jantung spirit kemajuan tengah memasuki musim gugur. Dalam ungkapan "Oswald Spengler", di sini seni tak lagi menemukan bentuk dan gaya terobosan yang  orisinil; terperangkap dalam banalitas eklektik. Pemikiran mengalami pengeringan. Politik jadi pergelaran kuasa uang dan permainan uang. Warga hidup dalam barak-barak pemukiman yang padat semerawut.

Kekuatan agama tidak memancarkan spirit pembebasan dan etos amal saleh; memfosil menjadi ritual pemujaan para demagog. Aparatur negara tidak memacu daya saing dalam peperangan antarbangsa, tetapi disibukkan oleh urusan memanipulasi rakyat dalam penghambaan terhadap 'kaisar-kaisar' baru penguasa uang. Nangudzubillah mindzalik. Subhanallah.

***


Apa lagi yang bisa kuteteskan? Saat kutahu kedua orangtuanya telah lama tiada. Punah tertelan bencana. Juga, ibu angkatnya telah lama mati ditelan penyakit yang tak tersembuhkan. Ujian hidup datang bagai gelombang lautan. Tak sempat berhenti, siang maupun malam.

Duka selalu menghadirkan waktu sakit dan kekurangan untuk dirinya. Nestapa selalu datang bak mobil angkot permisi di terminal. Kegetiran begitu rindu mendekap tangisnya setegas datangnya KRL di tiap stasiun. Namun, kesehatan dan takdir selalu membuang-buang waktu dan kesempatan hidup yang mempat.

Engkau seperti dikutuk alam raya dan dinikahi kesialan-kesialan plus ujian kesakitan yang tak terselesaikan. Maha duka. Maha sengsara. Maha miskin. Maha gelap. Tergelap dari kisah mahabarata. Hernawan Mahabrata bukan namamu. Juga bukan Falicia Maharani, apalagi Dzikrina Aqsha Mahardika, Mahadewi, Ieda Maharani, Umay Maharani, Ivana Maharani Benz, Prima Maharani Putri, Rhany Maharani, Tengku M A Mahara. Jelas bukan semuanya.

Sesampainya di hari raya kukabarkan semua deritanya. Kukeluhkan duka laranya. Kulaporkan semua sakitnya. Kupuisikan tangisnya. Kepada tuhan, kepada hantu, kepada hutan dan kepada gendurwo. Tetapi semua diam, membisu dan membuta. Doa-doa seperti sia-sia. Keluh kesah tak berguna. Negara absen seperti biasanya.

Kini rumah sakit menjadi kaffe langganannya. Merintih dan terjepit doa: antara sisa hidup yang tak lagi punya makna. Tinggal aku sendiri terpaku menatap manusia mudik beriringan dan mabuk di rumah-rumah ibadah.

Ilalang berkibar. Hujan mulai menyapa. Kemacetan di semua ruas jalan. Tukang parkir panen. Daya juang pemudik menipis. Kabar bahagia makin mahal dan langka.

Kisah perjalanan beberapa manusia terasa sangat menyedihkan. Menusuk dan membingungkan kita yang di sekitarnya. Terlebih bagi mereka yang tak berkawan: tanpa banyak teman.

Banyak cerita yang mengerikan. Membuat teriris dan jumpalitan. Memang, mestinya kita saksikan agar belajar beneran. Ya. Belajar dari peradaban anyir yang tandus duka di tanah kering bebatuan. Kisah kalah. Sekalah-kalahnya.

***


Kekasihku, masa depan gelap jika caramu menghadapi hari ini dengan iri dan dengki. Terlebih sesungguhnya saat engkau mulai tak percaya manusia. Lalu tak percaya negara. Lalu tak percaya agama. Lalu tak percaya Tuhan. Bagimu, tuhan, hantu dan hutan hanya fotamorgana. Bagimu manusia, negara dan agama hanya ilusi alam raya.

Istriku, "dalam perjalanan sejarah agama yang sangat panjang, ada agama yang bisa pulih dari gempuran fundamentalisme dan fasisme (jahil murakkab); tapi tak pernah ada agama yang bisa benar-benar sukses berulang menaklukan dua hal itu dalam sejarahnya kemudian. Kini kita sedang kalah dan terjajah oleh persekutuan keduanya. Mustahil keluar dari alam yang marah karena kejahilan kita semua (YH: 2016)."

Kekasih hatiku. Kukirim fatwa Kahlil Ghibran yang dahsyat dan mewakili pikiranku kini, "Hidupku adalah kegelapan jika tanpa hasrat dan keinginan. Gelap tanpamu. Semua hasratku serta keinginanku adalah buta, jika tidak disertai pengetahuan. Ilmu tentangmu. Kumpulan pengetahuanku adalah hampa jika tidak diikuti pelajaran. Matakuliah kasih sayang. Setiap pelajaranku akan sia-sia jika tidak disertai cinta. Tentang cinta kini dan masa depan, bukan yang lalu-lalu serta lalu lalang. Dan, cintaku adalah cinta mati jika tak disertai ciuman bibirmu yang menggairahkan itu."

Kasih. Biar puasamu tak letih, kuhadiahi joke. Bacalah dengan santai. Sebab kurasakan hari-harimu seperti hari perbudakan nasional. Mirip setrika, kerja ke sana ke mari tanpa honor memadai. Begini jokenya, "Ketua ibu PKK yang dikenal sangat agamis, sms broadcast ke anggotanya berbunyi: "Wahai para istri yang solehah, hendaklah ingatkan para suami untuk tidak lupa memberikan zakat bagi yang membutuhkan."

Eh ladalah. Pagi-pagi terjadi kegemparan karena sesaat setelah sms, ibu ketua pingsan karena dia pada saat ketik kata "zakat" seharusnya huruf "T" jarinya kepleset ketik huruf "R". Mosok zakar dibagi-bagi? Itu salah satu keajaiban dunia kok. Mentah saja rasanya nikmat, apalagi kalau digoreng.

***


Hidup kita kini hidup di zaman kalabendu. Di zaman gila, semua kewarasan tidak berharga; semua kenalaran tidak ada. Sudah lama kita semua tersesat dalam logika pembangunan yang menyembah pertumbuhan, menuhankan utang dan beriman pada prifatisasi. Tak seorang presidenpun mampu merubah haluan sesat itu. 

Maka kini, pemimpin yang pancasilais itu adalah pejabat yang menghindari masalah sambil menciptakan masalah serta mewariskannya! Akhirnya yang serakah yang menjajah. Yang kereng yang menang. Yang jahat jadi pejabat. Yang bajingan mudah mangan. Tak percaya? Mari kita cermati pikiran, pidato dan tindakan sekitar elite Indonesia.

Mereka berfatwa, "aku Indonesia, aku Pancasila." Aku, bukan kita. Individu, bukan bersama. Norma individualistik, bukan norma bernegara.

Maka, jika cara elite berpancasila adalah berindividual; berabu; berdebu, tentu belum mengerti makna pancasila. Sebab, berpancasila itu bersama, bergotong royong, bernegara, berperadaban.

Apa akibatnya? Saat bernegara merasa berindividu, bukan bersama. Saat berperadaban melakukan praktik keluargaisme, bukan seiya sekata dalam semua. Kaya sendiri. Kuasa sendiri. Jaya sendiri. Coba lihat cara mereka menangani kebijakan publik.

Rasanya, kita harus sadar dulu bahwa hilir dari neoliberal hari ini adalah soal kurs. Setelah negara-negara kolonial dengan rakusnya memperkosa SDA dan SDM maka cara menstabilisasi kuasanya adalah dengan menciptakan kurs sebagai alat kolonial baru. So, bekerjalah dan jualah sesukamu, kubeli dengan semauku: inilah kredo jahat neoliberal. Maka sekaya (SDA) dan sepintar (SDM) dirimu tetap dalam genggamanku.

Lihatlah kini, TKI/TKW adalah takdir baru yang rela meninggalkan keluarga demi "nilai lebih mata uang tertentu terhadap rupiah."

Dalam teori ekopol Pancasila, kita melawannya dengan teori kemandirian ekopol. Salah satu cabangnya "daulat mata uang." Rupiah harus tunduk dalam kinerja negara dan dalam rangka memanusiakan manusia. Karena itu intrinsik dan ekstrinsiknya harus sama. Ia alat tukar bukan alat yang lain. Karena itu, mata uang apapun dan dari manapun nilainya sama saat masuk teritorial negara (Indonesia). $1=Rp1 sebagai misal.

Soalnya adalah presiden dan menkeu serta gubernur BI gak paham. Gak mengerti kedaulatan. Bahkan mereka bagian integral dari neoliberal. Maka, rupiah ambruk adalah biasa dan disengaja. Kini, kita harus menemukan jalan keluarnya bukan?

Membincang republikmu seperti menulis kangen dan rinduku. Betapa sulit tak menulis surat cinta buatmu. Walau kutahu tak mungkin kau baca. Sebab matamu buta. Tak mungkin kau tanggapi. Sebab nalarmu bisu dan tuli. Bagimu, aku dan tulisan-tulisanku hanya aksiden selintas. Manusia tak penting di zaman tak genting.

Kini. Besok. Atau entah suatu hari nanti. Jika hatimu lapang. Aku mimpi, kita duduk di tepi pantai. Kau bercerita pengalaman-pengalaman spiritualmu, riset-risetmu, demonstrasi-demonstrasimu. Aku dengar dengan riang dan khidmat. Sambil memandang ombak di lautan yang kian menepi. Sambil kunikmati sisa senyummu yang hampir punah setrilyun tahun lalu. Sambil kubacakan sajak-sajak Rendra buatmu. Sambil kutepuk pinggangmu. Bukankah mimpi tak selalu menipu?

Sementara, burung-burung ababil terbang kian kemari. Memberi contoh bagaimana pacaran yang benar. Sambil bermain begadang di derunya ombak. Dan luasnya padang pasir. Terdengar suara alam syahdu yang hangatkan jiwa kita: nalar dan cita-cita. Para pencari Tuhan dan ilmu. Pengembang peradaban.

Kasih. Aku kangen padamu. Kangenku bagai sinar surya sepanjang masa. Sepanjang pagi. Tapi rasamu perlahan mulai tenggelam di dasar samudera. Lebih dalam dari dasar Atlantik asal muasal peradaban Nusantara.

Kasih. Aku merindukanmu. Sebab suara hatimu mengalunkan melodi tentang cinta ilahi. Cinta qurani. Tapi kutahu kau tak ada hati yang membara erat bersemi padaku. Apalagi berjuta getar seluruh jiwa. Ya. Jiwamu tak bisa lagi tercurah saat itu untukku. Sebab kini jiwa ragamu mati sebelum mati. Bersama rembulan dan sinar mentari di langit tak terjangkau lagi. Engkau bagai hantu yang perih. Bukan air yang jernih. Bukan laut bagi sungai Serayu.

Kasih. Kuharap persahabatan ini selalu tumbuh. Berkembang lestari. Tidak cepat berlalu. Sebaliknya ingin kuingat selalu. Sepanjang hidupku. Sebab hatiku berdegup damai. Jiwaku tentram berkalang kerinduan di sampingmu: bersamamu. Walau jiwamu membatu. Hatimu membisu. Tanganmu beku. Dan tak pernah merindukanku apalagi mencintaiku. Kaulah indonesiaku. Negeri elok yang menolak gemah ripah loh jinawi.

Saat menolak makmur bersama, kita bisa bertanya sedih, "Apa masih ada moral dan etik di antara kita?" Aku sangsi. Di tengah sangsi itu, kurindu percakapan yang mencerahkan soal kondisi ekonomi, ketimpangan, keadilan, kebebasan, kemakmuran di antara kita saat bernegara.

Aku tahu persis piring makananmu dari para taipan dan begundalnya. Tapi kau tidak tahu bahwa para taipan itu merampok pribumi dengan bantuan wereng coklat, virus doreng dan seragam hitam.

Aku tahu napas buatanmu dari para tengkulak yang berniaga haram (prostitusi, judi, narkoba, sogok). Dan, untuk menutupi borokmu, kau serang agama pribumi, mental warganegara dan tradisi keluarga. Sebagian kawanmu membuat isu-isu ecek-ecek bhineka dan pancasila. Padahal intinya mengemplang pajak dan mengatur istana.

Aku tahu yang tak kau tahu bahwa gaya rezim yang melakukan perlindungan habis-habisan dengan berbagai cara terhadap kelompok bisnis asing-aseng sebenarnya hanya pengulangan dari cara-cara yang dilakukan oleh kolonialis-kumpeni Belanda dalam proses penjajahannya di Indonesia.

Aku tahu bahkan bajumu juga disogok kaum begundal kolonial. Lalu, kau buat keributan dan menyodorkan undang-undang perlindungan perampok atas nama demokrasi.

Kutahu apa yang kau ingkari. Bahwa, ilmuwan jenius, mencari solusi revolusioner. Ilmuwan tukang, melacurkan diri dan pengetahuan. Ilmuwan kolonial, membela yang bayar.

Pengetahuanku dari studi postkolonial. Itu modalku menantangmu duel seru. Kan kutikam mati persis di jantungmu, walau nanti aku dikutuk santri pembelamu karena recehan yang kau tabur di pondok-pondok dan madrasah mereka!

Indonesia. Rinduku padamu meledak-ledak di antara subuh dan maghrib. Sesekali muncul bagai bara dalam hati saat isya dan dukha. Menerjang-terjang.

Tetapi, engkau tak paham. Kau tak mau mengerti. Engkau menaruhnya di antara kuburan, peti mati, mikhrab dan tanah gersang. Sejak kemari, engkau mengelola negara kita dengan mencari sensasi, inilah maqom pejabat pemerintahan di era liberal yang tak pernah ingin baik, tak rindu bijak.

Karena itu merindukan Indonesia, seperti kerinduan pada keinginan. Seperti ketikan Djaya Siahaan (Ciganjur, 20/06/2017). "Indonesia, inginnya sih bangsa dan negara ini maju seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini makmur seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini sejahtera seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini cerdas seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini hebat seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini sehat seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini canggih seperti bangsa-bangsa lain. Inginnya sih bangsa dan negara ini super seperti bangsa-bangsa lain. Tapi apa hendak dikata, hanya sebatas ingin belaka."

Tetapi, hidup di kalabendunya Indonesia pada akhirnya adalah, perjuangan manusia melawan penjajahan, perjuangan manusia melawan kesepian dan perjuangan manusia melawan kebodohan. Tak lebih. Tak kurang.

***


Aku tahu persis piring makananmu dari para taipan dan begundalnya. Tapi kau tidak tahu bahwa para taipan itu merampok pribumi dengan bantuan wereng coklat, virus doreng dan seragam hitam.

Aku tahu napas buatanmu dari para tengkulak yang berniaga haram (prostitusi, judi, narkoba, sogok). Dan, untuk menutupi borokmu, kau serang agama pribumi, mental warganegara dan tradisi keluarga. Sebagian kawanmu membuat isu-isu ecek-ecek bhineka dan pancasila. Padahal intinya mengemplang pajak dan mengatur istana.

Aku tahu yang tak kau tahu bahwa gaya rezim yang melakukan perlindungan habis-habisan dengan berbagai cara terhadap kelompok bisnis asing-aseng sebenarnya hanya pengulangan dari cara-cara yang dilakukan oleh kolonialis-kumpeni Belanda dalam proses penjajahannya di Indonesia.

Aku tahu bahkan bajumu juga disogok kaum begundal kolonial. Lalu, kau buat keributan dan menyodorkan undang-undang perlindungan perampok atas nama demokrasi.

Kutahu apa yang kau ingkari. Bahwa, ilmuwan jenius, mencari solusi revolusioner. Ilmuwan tukang, melacurkan diri dan pengetahuan. Ilmuwan kolonial, membela yang bayar.

Kawan, kau mungkin lupa bahwa fundamentalisme pasar bebas itulah ibu kandung radikalisme agama dan fasisme sosial. Jika ingin tak ada radikalisasi (apapun), mudah kok: jalankan konstitusi.

Kawan, kau pasti tahu bahwa globalisasi dan pasar bebas itu mirip dengan Jokowi dan infrastruktur. Satu pasangan serasi penghisap darah kaum miskin. Dari sini, prestasi terbesar junjunganmu adalah merubah Indonesia dari nation-state menjadi corporate-state.

Kawan, wajah kalian boleh terlihat kismin dan ndeso tapi kebijakan kalian tak pro kaum miskin dan tak berbasis desa. Ingatlah bahwa, menggenggam kekuasaan dengan kesalahan itu batil. Sebaliknya, mundur atau berhenti
itu mulia.

Kawan, aku tidak percaya pada mereka yang mudah berjanji tetapi mudah mengingkari seperti kalian kini yang berkursi dan berkuasa.

Pengetahuanku dari studi postkolonial. Itu modalku menantangmu duel seru. Kan kutikam mati persis di jantungmu, walau nanti aku dikutuk santri pembelamu karena recehan yang kau tabur di pondok-pondok dan madrasah mereka!

#KAUM WARAS BERSATU


Siapakah dia? Sengaja lari di saat kita terjatuh habis. Sengaja lupa di saat kita di bawah kalah. Sengaja amnesia di saat kita tak punya apa-apa. Sengaja diam di saat kita menderita. Sengaja tak ada di saat kita sedang butuh-butuhnya. Sengaja mencatat dirinya saja sebagai pelaku sejarah satu-satunya.

Di ambang kehancuran yang berulang, akibat kalah dan pengkhianatan, aku bergumam, "Wahai kalian ekonom-ekonom konstitusi, di mana kini berada? Adakah sisa napas itu masih ada? Adakah sisa semangat masih tersisa?"

Semalam di rumah Ali Wardana (menkeu 68-83) para neolibertarian ngerumpi, konsolidasi dan pesta atas kemenangan mengkangkangi republik: atas hilangnya kurikulum revolusi, atas punahnya mata kuliah kemandirian, atas matinya kesadaran ideologi dan konstitusi.

Wahai kalian yang berkerumun, masih sanggupkah melawan pasukan kejahatan? Apakah perang ini akan kita akhiri dengan menyerahkan diri? Agar lengkap kekalahan ini.

Kawan-kawan, masih ingatkan diskusi kita saat kampanye kemarin? Kini mulai jelas hasilnya di lapangankan? Lihatlah, kita kini sendirian. Team ekonomimu sangat pro-pasar. Mereka punya illusion of invulnerability (rasa sempurna), benar terus, moralis, anti ilmu/alternatif lain, anti kritik, oportunis, bersekutu dalam ketamakan, koruptif, saling melindungi, sesat dari konstitusi. Kalau masih ada kesempatan, gantilah mereka secepatnya dan kirim ke neraka.

Teman-teman. Begitu banyak warisan ternak yang kita dapatkan. Tapi ternak kebohongan. Begitu banyak buah yang kita simpan. Tapi buah keculasan. Begitu banyak pahala yang kita banggakan. Tapi pahala kebodohan. Begitu banyak ilmu yang kita pelajari. Tapi ilmu ilusi: tipu sana, tipu sini. Sehingga ilmu pengetahuan kita tak seberapa, kuliah kita tanggung dan silsilah kita kerdil. Jadi kini kita bingung dan mencari kompensasi sambil tak bisa memahami.

Coba baca yang ini. Tekor karena mematahkan Perang Jawa sebesar 2T, kumpeni Belanda membuat Tanam Paksa sehingga mendapat 75T. Dengan duit sebanyak itu, kumpeni membangun rel kreta, benteng, sekolahan, istana, bayar utang negara dan pajak rakyat diturunkan karena devisa naik berlipat. Sejarah ini terus berulang di tiap pemilu. Dengan modal 10-50T, pemenang pemilu akan panen 75-150T. Inilah demokrasi uang, pemilu borjuis. Tentu bukan populisme seperti yang digembar-gemborkan itu. Bukan!

Teman-teman, tahukah kita soal populisme? Katanya bermakna membela kaum miskin. Itu terjemahan subtantif dari politik populis. Bagaimana Jokowi sebagai presiden terpilih merealisasikan politik membela kaum miskin jika: 
  1. Dia bukan ketum partai, 
  2. Dia bukan ketua ormas petani, buruh, nelayan, kaum miskin kota. 
  3. Dia tak punya ide apapun tentang populisme. 
  4. Dia angkat kabinet pro pasar dan anti rakyat. 
  5. Dia tak punya rekam jejak pengetahuan dan gagasan nasionalisme. 
  6. Dia tak pro gerakan anti KKN. 
  7. Dia tak punya pengalaman melawan oligarki dan kartel--nasional dan internasional.
Itulah pertanyaan-pertanyaan dalam dialog Kompas-Murdoch Univ. Lalu, mereka menjawab sendiri bahwa: Jokowi membuat pesta nikahan anaknya dan kampanye blusukan plus citra sederhana. Sebab metoda kritis sudah terang menunjukkan bahwa program "nawacita" jadi nawaparia. Ya, sebab ide itu ide buatan kawan-kawan yang kasihan dulu atas keluguannya.

Kawan-kawan yang ditipunya demi kursi yang tak seberapa. Demi sego lan rupo. Bubrah sudah jika kacang makan kulitnya.

***


Detik-detik pembakaran jiwa di bulan Ramadan akan berakhir. Ini saat yang baik mengenang Asghar Ali Engineer (India, 10 Maret 1939-14 Mei 2013). Sebab ia adalah tokoh besar yang terkenal dengan kontribusinya pada studi Islam dan gerakan progresif serta peletak dasar teologi pembebasan islam.

Tokoh ini merupakan pemikir kesembilan yang hadir di Nusantara Centre dan meninggalkan banyak buku yang membahas berbagai topik: dari sejarah Islam, teologi pembebasan, studi konflik etnis dan komunal, analisa gender, studi pembangunan dan progresifitas islam.

Asghar Ali Engineer bagi kita adalah pelita. Bersinar karena gagasan dan meninggal dengan reputasi cinta pada pengetahuan.

Kebebasan apa yang diperjuangkan Asghar? Adalah kemerdekaan ummat dari penjajahan agensi (elite) dan kitab (norma purba). Menurutnya, kemalangan terbesar dari sebuah bangsa adalah saat pemuka agama lebih memihak pada kaum kapitalis dan memberikan legitimasi atas kondisi dan sistem ekonomi yang ada.

Akibatnya, agama (penganut dan normanya) terkooptasi oleh kepentingan para penjajah dan para birokrat yang tak merakyat. Ilmunya terjerembab pada madzab spekulatif dan ilutif; tak punya kehendak bebas dan berputar-putar dalam ketundukan pada takdir.

Ini mencemaskan. Sebab islam bagi Asghar adalah elan produktif yang membebaskan, memerdekakan dan memartabatifkan manusia. Padanya melekat praktik pembebasan dari diskriminasi ras, dari takhyul, dari ketertindasan posisi perempuan, dari asosial, dari tiran yang serakah.

Rupanya, problem ummat itu di mana saja dan kapan saja serupa walau tak sama. Dalam mencari solusinya, Asghar sampai menulis lebih dari 50 buku dan ratusan artikel.

Beberapa karya Asghar Ali Engineer yang terkenal dan sudah mendunia antara lain: Islam and Revolution (New Delhi: Ajanta Publication, 1984); Islam and Its Relevance to our Age (Kuala Lumpur: Ikraq, 1987); The Origin and Development of Islam (London: Sangam Book, 1987); The Shah Bano Controversy, ed. Asghar Ali Engineer, (Hyderbad: Orient Longman Limited, 1987); Status of Women in Islam (New Delhi: Ajanta Publication, 1987);

Ia juga menulis buku, "Justice, Women and Communal harmony in Islam (New Delhi: Indian Council of Social Science Research, 1989); Islam and Liberation Theology: Essays on Liberative Elements in Islam (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1990); The Right of Women in Islam (Lahore: Vanguard Books, 1992);

Islam and Pluralism (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999); Islam the Ultimate Vision (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999); The qur’qn, women and modern society (New Delhi: Sterling Publishers Private Limited, 1999); Reconstruction of Islamic Thought (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999)What I Believe (Mumbay: Institut of Islamic Studies, 1999); Problems of Muslim Women in India, 1994."

Di kami, yang paling sering dibahas adalah Islam dan Theologi Pembebasan dan refleksi pikirannya soal pluralitas.

Karena itu, ia juga aktif mempromosikan penghargaan atas keberagaman (pluralitas) masyarakat di dunia. Atas dedikasinya terhadap perubahan sosial, ia dianugerahi Rights Livelihood Award pada tahun 2004, yang juga disebut sebagai hadiah Nobel alternatif.

"Jika Muhammad hanya mengajak salat dan sujud, ia tak akan diperangi dan dimusuhi. Muhammad diperangi dan dimusuhi karena merubah struktur ekonomi," demikian tesis utama teologi pembebasan dalam islam menurut Asghar. Dus, kedatangan Islam adalah untuk merubah status quo yang korup serakah serta mengentaskan kelompok tertindas, miskin dan bodoh.

Menurutnya, negara yang sebagian anggotanya mengeksploitasi anggota lainnya yang lemah dan tertindas, tidak dapat disebut sebagai masyarakat Islam, meskipun mereka menjalankan ritualitas islam. Tidak layak juga disebut negara adil, negara kemanusiaan walau diisi oleh manusia.

Negara memang dapat bertahan hidup walau di dalamnya ada kemiskinan, namun tidak boleh dipertahankan jika di dalamnya terdapat penindasan. Singkatnya, penindasan (perbudakan dan penjajahan) serta kemuskinan plus kebodohan adalah musuh islam yang harus dilenyapkan.

Jika cara kita beragama belum jihad melenyapkan tiga penyakit kemanusiaan itu, jangan berharap keislaman kita paripurna. Islam kita baru artifisial dan blusukan.

Membaca elit keagamaan hari-hari ini adalah memahami mereka yang sengaja lari di saat kita terjatuh habis. Mereka sengaja lupa di saat kita di bawah kalah. Sengaja amnesia di saat kita tak punya apa-apa. Sengaja diam di saat kita menderita. Sengaja tak ada di saat kita sedang butuh-butuhnya. Sengaja mencatat dirinya saja sebagai pelaku sejarah satu-satunya. Mereka begundalnya para begundal yang hidup dari, oleh dan untuk pergundalan.

***


Yang ada kini hanya janji dan pengkhianatan. Yang tersaji kini hanya pengusiran dan kemiskinan. Yang terberitakan kini hanya korporasi dan kebohongan. Yang diomongkan kini hanya kesombongan dan kepalsuan. 

Inikah janji luhur demokrasi paling mahal se Asia Tenggara? Inikah kreasi para begundal liberal yang ditopang tentara dan konglomerat serta dibenarkan terus-terusan oleh media dan mafia?

Sungguh inilah zaman edan. Ketidaktahuan dan limbo tak berkesudahan. Bagaimana mengakhirinya? Buka sejarah dan pahami maknanya. Karena itu, jika ingin tahu "gagasan Indonesia" yang subtantif, bacalah teks lagu Indonesia Raya karya WR Soepratman. Kita tahu, ia adalah pejuang tangguh pengusir penjajahan Belanda. Kritik dan revolusinya dituangkan dalam buku "Perawan Desa." Sayangnya, buku itu disita, dilarang dan dibakar oleh pemerintah Belanda. 

Saking seringnya bergerilya, W.R. Soepratman tidak beristri, serta tidak pernah mengangkat anak. Sewaktu tinggal di Makassar, ia memperoleh pelajaran musik dari kakak iparnya yaitu Willem van Eldik. Akhirnya pandai bermain biola dan kemudian bisa menggubah lagu.

Ketika tinggal di Jakarta, ia membaca karangan dalam majalah Timbul yang menantang ahli-ahli musik Indonesia untuk menciptakan lagu kebangsaan. Lalu, ia tertantang dan mulai menggubah lagu. Pada tahun 1924 lahirlah lagu Indonesia Raya, saat berada di Bandung, pada usia 21 tahun. Dan, pada malam penutupan Kongres Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928, ia memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental di depan peserta umum.

Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan kongres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan.

Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Lagi penuh filosofis dan ekspresif.

Sesudah merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Roedolf Soepratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. Hal ini karena ia meninggal umur 35 tahun pada 17 Agustus 1938 karena sakit akibat penjara oleh Belanda.

Pesannya sangat jelas: Bangunlah Jiwanya (mental, karakter, kepribadian) baru Bangunlah Badannya (infrastruktur, struktur, fisik).

Sayang, elite kita tak paham gagasannya. Gak mengerti idenya. Tak hirau pesannya. Mereka hanya tahu indonesia tapi tak mengerti "raya."

Elite hari ini taunya uang dan uang. Keuangan maha kuasa. Padahal kekuatan uang akan memangsa bangsa-bangsa di masa damai dan akan menentang adanya kedamaian di saat sulit. Uang lebih lalim dari monarki, lebih kurang ajar dari kleptokrasi, lebih egois dari birokrasi. Tapi mau bagaimana lagi? Sedih pedih.

***


Tak jemu-jemu aku menuliskanmu. Seperti sore yang ingin menjumpai malam. Terpisah sebelum bertemu. Pertemuan yang direncanakan. Pembacaan yang dilakukan. Pembrontakan yang dikerjakan. Engkaulah tuan Ali Syariati. Tokoh kedelapan yang kami bahas di Nusantara Centre setelah Karen, Dawam, Hitti, Hauroni, Hanafi, Rahman dan Syahrur.

Jika kyai-kyai purba sibuk menjual doa dan menjadi politisi busuk, kyai-kyai dulu sibuk poligami dan korupsi, kyai-kyai modern sibuk berfatwa haram dan bermimpi, kyai-kyai debutan sibuk selfi dan masuk tivi maka kyai Ali Syariati justru berkata, “Saya memberontak maka Saya Ada."

Jejak kepeloporannya luar biasa. Dapat diteladani kita semua. Salah satu ungkapan lainnya yang sangat terkenal adalah, “Setiap hari adalah Assyura dan setiap tempat adalah Karbala.” 

Kyai ini lahir di Kahak, Razavi Khorasan, 23 November 1933. Ia meninggal di Southampton, Inggris 19 Juni 1977 pada umur 43 tahun. Sepanjang hidupnya didedikasikan untuk pengetahuan dan kemerdekaan ummat. Zuhud dan jihad menjadi cirinya.

Sebelum mati, ia menjadi sosiolog revolusioner Iran yang terkenal dan dihormati karena karya-karya dan sikapnya dalam bidang sosiologi agama. Pengetahuan yang dalam, sifat yang terpuji, sikap yang istiqamah serta visi-misi besar pada bangsa-negaranya membuat doi jadi 'ideolog' Revolusi Iran. 

Adakah kita temukan kyai seperti itu kini di republik kita? Kyai yang berkarya dan zuhud serta melawan neokolonialisme dan neoliberalisme. Kyai yang satunya kata dan perbuatan. Rasanya kita defisit kyai-kyai seperti Syariati.

Menurut Syariati, menjadi merdeka itu penting. Tetapi lebih penting lagi adalah memerdekakan islam. Dan, islam yang merdeka harus punya basis epistemologis, filosofis, historis dan sosiologisnya. Ini penting agar semuanya tumbuh dari dialektika pengamalan dan pemikiran terus-menerus demi kebebasan dan kedaulatannya.

Dari basis itu Syariati menulis, "berpikir benar adalah pengantar kepada pengetahuan yang benar. Pengetahuan yang benar menjadi pengantar kepada iman. Dan, iman yang benar menghantarkan kita pada revolusi." Dus, jika kita tak melakukan revolusi, jangan harap iman dan pengetahuannya sudah benar.

Tentu saja bagi Syariati, iman yang dangkal mudah berubah menjadi fundamentalisme, fasisme, fanatisme dan takhyul. Semua itu akan menghambat jalan pembangunan sosial-projek nasional. Dus, iman harus kokoh. Sebab, tanpa iman yang kokoh, tak tumbuh ideologi yang dahsyat. Tanpa keduanya, tidak akan mungkin ada perubahan sosial yang berarti.

Singkatnya, reformulasi ideologi dan rekapitalisasi intelektual yang mendalam teramat diperlukan sekarang: setiap saat. Terutama, di dunia modern, dunia global dan dunia profan yang serba tunggang langgang.

Terlebih jika penguasa umat sudah mengambil alih, memonopoli dan mengarahkan serta membunuh akal sehat. Sebab, tugas mereka adalah memajukan kecerdasan umat.

Syariati adalah metoda; salah satu jalan. Agar merdeka, menemukan jati diri. Kita tahu, yang masih mencari adalah yang miskin dan dahaga. Yang memberi adalah yang kaya dan berlimpah. Sedang yang tak mencari dan yang kaya tidak harus memiliki apa-apa. Tinggal memberontak membentuk nilai-nilai.

Umur pendek. Karya luas. Prestasi menonjol. Semua bisa kita lacak di beberapa bukunya. Ada sembilan yang menonjol dan sudah diterjemahkan dalam 15 bahasa. Kesembilan karya itu adalah: Ideologi Kaum Intelektual (1980); Membangun Masa Depan Islam (1988); Kritik Islam Atas Marxisme Dan Sesat Pikir Barat Lainnya (1991); Humanisme Antara Islam Dan Mazhab Barat (1996); Islam Mazhab Pemikiran Dan Aksi (1992); Tugas Cendekiawan Muslim (1991); Haji (1978); Agama Versus Agama (1994); Islam Agama Protes (1981).

Di mana kyai revolusioner seperti Syariati kini dapat kita temukan? Kok sepertinya kita sulit mereplikasi. Itulah mengapa kita sulit jadi negara merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

***