Natal ini mestinya adalah membebaskan bangsa dari dekapan pemimpin culun. Maka, maulid adalah memerdekakan negara dari tipu-tipu sembilan naga. Dan, yang mampu menikmati natal serta maulid subtantif adalah mereka yang berada di jalur kewarasan publik.

Selebihnya adalah mereka yang ilusif dan romantis. Saling fatwa dan berucap selamat tetapi nasib orang miskin masuk jurang krisis.

Dengan kewarasan publik, kita akan tahu problem publik. Kita tahu bagaimana menemukan solusinya. Lalu, apa problem publik terbesar dan solusinya?

Aku tahu. Bahwa problemnya adalah soal warisan kejahatan. Yaitu warisan terburuk yang kita punyai.

Warisan gigantik penjajahan adalah mental dan nalar kolonial. Inti nalar kolonial ada lima yaitu fasis, feodalis, fundamentalis, liberalis dan birokratis.

Dengan lima nalar itu, Indonesia menjadi: 1)Pemasok bahan baku, 2)Pemasok babu, 3)Pengimpor barang jadi, 4)Pengimpor ahli, 5)Produsen broker. 

Memahami hal itu, para pendiri republik berusaha merubahnya dengan sekuat tenaga. Yaitu dengan menggelorakan revolusi nalar.

Apakah itu? Yaitu gerakan berbasis gagasan dari mental konstitusional. Bernalar membuat kita mampu menempatkan dunia sebagai metoda dan bahan sehingga memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginannya.

Dengan gerakan ini maka lahirlah nalar indonesia: memberontak, hibrida, interdependen, multikultural dan adaptif. Jika diperas, nalar Indonesia itu adalah nalar pancasila. 

Revolusi nalar dengan demikian adalah jihad merealisasikan pancasila di manapun dan kapanpun serta oleh siapa saja dan dengan segala daya upaya.

Inilah gerakan besar sehingga melahirkan mental, rasa dan tindakan dahsyat demi tergapainya mimpi berbangsa-bernegara.

Dalam kehidupan sehari-hari, praktek revolusi nalar adalah menjadi manusia cerdas, jenius dan berintegritas. Ia harus bekerja keras, bekerja cerdas dan mentradisikan gotong royong.

Revolusi ini harus menjadi gerakan untuk menggembleng manusia Indonesia agar menjadi manusia baru, yang berhati putih, berkemauan baja, bersemangat elang rajawali, berjiwa api yang menyala-nyala.

Kini, setelah bangsa kita merdeka, sesungguhnya perjuangan itu belum dan tak akan pernah berakhir. Kita semua masih harus melakukan revolusi, namun dalam arti yang berbeda.

Bukan hanya mengangkat senjata, menikam mati penjajah, tapi membangun jiwa bangsa: jiwa semua penduduknya.

Membangun jiwa yang merdeka, mengubah cara pandang, pikiran, sikap, dan perilaku agar berorientasi pada kemajuan dan hal-hal yang modern, sehingga Indonesia menjadi bangsa yang besar dan mampu berkompetisi dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Kenapa membangun jiwa bangsa yang merdeka itu penting? Karena membangun suatu negara, tak hanya sekadar pembangunan fisik yang sifatnya material, namun sesungguhnya membangun jiwa bangsa.

Ya, dengan kata lain, modal utama membangun suatu negara, adalah membangun jiwa bangsa dengan nalar merdeka dan berdaulat.

Nalar yang crank; menyempal dari arus utama; mampu memaknai segala peristiwa dengan subtansinya adalah kurikulumnya.

Karenanya, ketika kini natal dan maulid menjadi rerasan dan festival tanpa perlawanan, ia mereaktualisasikan.

Saat natal dan maulud jatuh menjadi kegiatan harian tanpa dentuman, ia merehermenitika. Sebab ia tahu, itu dua peristiwa big bang. Yang membentuk karakter-karakter dan mental pilihan dan unggulan.

Dus, mari kita maknai ulang. Bahwa natal dan muludan adalah "kelahiran kesadaran trias revolusi: mental-nalar-konstitusional yang diarahkan ke elite."

Tanpa itu, natal dan maulid atau muludan hanya sekedar seremoni makan nasi bungkusnya NU dan Muhammadiyah: beratus tahun tak berdentum!

Hanya debat teks dan perulangan jahiliyah antar kiyai kuno dan ustadz televisi. Memuakkan dan menjijikkan. 

Ayok kita natalan. Ayok kita muludan, ayok kita revolusi. Kita tikam mati sembilan naga dan kompradornya yang jadi penghuni istana-dpr-kehakiman-kepolisian yang korupsi dan dungu tiap hari.

***

Jika tuan terlalu sibuk dengan ontanisme, utangisme dan infrastrukturisme maka tuan pasti abai terhadap keselamatan warga negara (human security approach). Rupanya prioritas pembangunan tuan bukanlah keamanan kehidupan manusia, alam raya dan masa depannya.

Masih ada waktu. Mumpung berkuasa. Waraslah. Tobatlah. Jika tidak, kita sebenarnya mengidap penyakit defisit kapasitas minus integritas. Dan, itu paling akut di elite Indonesia.

Kini. Aku masih belum tahu sejak kapan waktu dibagi-bagi. Apa pula fungsinya. Seperti sekarang: ujung tahun. Dimulai dengan senyummu; masakanmu; cinta kasihmu; gerimis pagi; kolam renang yang tumpah. Hujan dan petir yang menggelegar.

Menurutmu, apa yang akan terjadi jika waktu tak dibagi-bagi? Adakah agama dan negara masih berfungsi?

Kasih. Kawan. Handai tolan. Aku ingat pernah menulis soal waktu. Judulnya: Tentang Waktu~

Tak ada kepurbaan dan keentahan masa depan tanpa mengabsenkan waktu. Ia menunjukkan drama terakurat untuk memberitahu siapa yang paling kita cintai; apa yang paling berharga; apa yang dituju; siapa terbenci; di mana kita dikhianati.

Waktu juga yang menunjukkan pada kita (yang waras) soal dunia itu apa. Soal hidup yang hanya senda gurau dan sandiwara. Soal asmara yang kering mengering lalu jatuh menghilang. Soal hasrat dan kesenangan yang pada akhirnya bukan subtansi. Soal takdir yang menipu. Soal ilusi, delusi dan realitas yang selalu berganti. Soal tuhan hantu dan hutan.

Waktu itu abadi. Berdiam memotret semua kejadian. Demi waktu, kukirim cintaku buatmu kekasihku. Walau kutahu, takdir terbaik adalah tidak mengenalmu.

Dan, akhirnya engkau harus tahu bahwa Indonesia itu anti minorokrasi (minoritas penindas). Indonesia itu anti mayorokrasi (mayoritas penindas). Selanjutnya, Indonesia itu hibridasi (konsensus). Indonesia itu pancasila (mizan).

Tesis pertama adalah makar. Tesis kedua adalah mahar. Bedanya hanya satu huruf: k#h. Siapa melakukan tesis pertama, mereka makar. Siapa melakukan tesis kedua, mereka mahar.

Karena itu. Ada yang menampar kita untuk membuat sadar. Ada yang membelai kita untuk membuat lalai. Ada yang mencinta kita untuk membuat bencana.

Lalu, engkau mau membuat apa? Adakah yang lebih romantis dari menggendongmu di pematang sawah. Lalu, kita mancing ikan di empang pinggir sungai. Hasilnya dibakar dan dinikmati sambil bercerita tentang arkeologi candi-candi Nusantara.

Adakah waktu yang lebih indah dari menatap wajahmu yang rupawan, sambil masak sambal terasi dan cerita soal-soal postkolonial?

Kini. Mari mudik. Menceritakan satu-satu. Tentang kurikulum postkolonial. Di kampus tercinta. Universitas Nusantara. Dari hulu Nusantara Centre. Kini. Dan seterusnya. Biar sepi memagut. Biar sunyi senyap. Seruput kopi pahit. Dan, lukamu kubalut. Mesra. Sampai tak ada angkara. Hari ke hari kau nanti tahu. Ujung kita menjadi sejoli purnama. Bahwa hidup adalah revolusi sia-sia. Sebab, apa artinya bahagia tanpamu.

Kau seperti indonesia. Yang jika diceritakan, butuh trilyunan lembar kertas. Hingga seluruh langit dijadikannya buku, tak akan memfiniskan kisahmu. Apalagi jika tintanya dari air mata para janda. Tak akan seperlimanya. Tak ada yang sanggup mengkanfaskannya kecuali engkau yang memagutku sepanjang waktu. Sayangnya kok engkau tuli, bisu dan buta. Mungkin sudah dikebiri seperti para kasim yang tinggal di istana.

***


 

Arabisme, utangisme dan infrastrukturisme kini sedang berlaga di final liga Indonesia. 3 isme tanpa jeda dan kewarasan akal budi. 3 isme tanpa hati, tanpa nurani.

Lalu, waktu memberi kabar bahwa yang tersisa dari Islam kini tinggal arabisme bin ontanisme. Cirinya tiga: 

  1. Memastikan orang lain di neraka. 
  2. Merasa cukup membaca satu buku (alquran) bisa menjawab semua hal-ikhwal. 
  3. Berkeluh kesah soal-soal asesoris (sampul) bukan subtansi: jilbab, cungkringisme dan jenggotisme.

Ini menjengkelkan karena temuan Philip K Hitti (1886-1978) adalah sebaliknya: "islam adalah perdaban gigantik yang punya tiga warisan: lahir, jihad dan syahid."

Sesungguhnya daya tarik dari Arab adalah kemunculan agama Islam. Ya. Islam sebagai suatu agama, bukan hanya merubah pandangan ekopolsusbudhankam bangsa Arab, namun pengaruhnya begitu meluas ke berbagai aspek kehidupan. Arab, khususnya yang biasa disebut Jazirah Arab sebelum datangnya Islam adalah daerah yang sangat jauh dari unsur-unsur peradaban lain.

Hal ini terjadi karena bangsa Arab dianggap tidak potensial dari segi ekonomi, dan aksesnya sangatlah sulit plus berbahaya. Semua berubah secara drastis manakala Islam berkembang pesat, sehingga menjadi pondasi yang kuat dalam membangun peradaban baru.

Bahkan pada masa dinasti Umayah, Islam menjadi kekuatan dahsyat di dunia yang menimbulkan Pax Islamica dengan penaklukan hingga Spanyol. Kejayaan ini terus bertahan hingga terjadinya perang Salib. Lalu kejayaan Islam lambat laun terus menurun, hancur dan bersisa abunya. 

Kini islam tinggal romantisme dan mitos. Padanya yang dulu punya Tuhan, moral dan jihad, kini tinggal tangis, keluh dan abunya. 

Tak ada lagi teladan. Yang ada hanya kemarahan. Tak ada lagi pengetahuan. Yang ada hanya kejahiliyahan. Tak ada lagi inovasi apalagi penaklukan. Yang ada ribut sendiri dan mati sebelum mati. Maka, belajar islam modern adalah belajar teks (tulisan kehebatan masa lalu). Sedang membaca islam purba adalah mendengarkan kisah dan mitos yang melegenda. Teks dan mitos tentang jalan keselamatan: ummat unggulan, ummat teladan.

Sungguhpun begitu, sejarah peradaban islam menyimpan dan mengandung kekuatan yang dapat menimbulkan dinamisme plus melahirkan nilai-nilai baru bagi perkembangan kehidupan ummatnya.

Pertanyaannya, sejauh mana kita bisa memanfaatkan teks dan mitos itu bagi tugas-tugas kemanusisan? Ini menjadi penting karena peradaban islam membawa cacat bawaan kesempurnaan: bibliolateri. Yaitu paham bahwa alquran sudah menjawab seluruh persoalan. Padahal, para ilmuwan membaca ribuan buku masih merasa belum bisa menundukan alam raya. Singkatnya, Islam mengembangkan sejenis penyakit "kutukan kesempurnaan." Hasilnya nir-inovasi dan tuna-industri.

Tesis di atas kini menjadi bukti terbalik. Jika di abad pertengahan dunia berhutang pada islam karena karakteristiknya yang mengajak kritis dan rakus membaca, kini terbalik: islam berhutang pada modernisme: nalar dan multikultural. 

Maka kini, tugas kaum muslim adalah beyond arabisme, beyond ontanisme. Tentu ini kerja raksasa untuk menelaah hubungan teks dan peradaban muslim serta solusi terbaik bagi tumbuh dan berkembangnya islam yang menzaman.

Tanpa kerja raksasa itu, islam tinggal arabisme bin ontanisme: sesuatu yang dulu ditikam mati oleh Muhammad karena fasis-feodalis-fundamentalis-rasis dan jahilis. Persis artis-artis di televisi yang digelari ustad pencari rating dan selebritis.

***

 

Perampokan itu menular. Berulang dan berkali-kali. Kalian ingat perampokan bank Bali, bank Indover, bank Century dan Jiwasraya? Itulah perulangannya. Modusnya sama. Pelakunya mirip. Korbannya serupa.

Perampok itu penyakit menular atau penyakit infeksius (infectious disease). Ini jenis penyakit yang dapat berpindah dari satu individu ke individu lain. Penyakit yang menulari dan membentuk komunitas "penyakitan" yang tak mudah mengobatinya.

Penyakit menular disebabkan oleh agen parasit bermental kolonial berkarakter begundal. Tentu, keberadaan penyakit yang di dalam atau di permukaan tubuh dapat mengakibatkan infeksi. Perpindahan agen infeksi atau parasit tersebut dari individu yang sakit ke individu yang sehat dapat menyebabkan menularnya penyakit.

Pada yang sakit dan duduk di kursi kekuasaan, kita bisa titipkan suara dan puisi Wiji Thukul yang berjudul "Nyanyian Akar Rumput" (1997).

"Jalan raya dilebarkan/kami terusir/mendirikan kampung/digusur/kami pindah-pindah/menempel di tembok-tembok/dicabut/terbuang/kami rumput/butuh tanah/dengar/Ayo gabung ke kami/Biar jadi mimpi buruk presiden."

Seperti presiden Joko Widodo, kami memang orang miskin. Tak percaya? Lihat muka dan tubuhnya. Juga tutur katanya. Di mata penguasa, kemiskinan itu kesalahan. Lupa mereka lauk yang dimakannya itu kerja kami. Mereka yang lupa juga karena penyakit menular. Dan, sumber penularan utama itu dari istana. Elite ekopol kalian adalah puncak-puncak dari pilihan penularan itu: perampok, penipu dan lugu.

Dalam keluguan itu, kadang-kadang kita mendengar walau samar celotehnya soal transformasi ekonomi-politik Indonesia yang lima: 

  1. Optimalisasi pemanfaatan infrastruktur
  2. Pemerataan ekonomi
  3. Usaha mengurangi ketergantungan terhadap modal asing
  4. Penciptaan dan peningkatan kualitas SDM
  5. Efisiensi pasar tenaga kerja dan konfigurasi investasi untuk mendukung program yang sudah ada.

Kelima pilar yang dibangun tersebut mestinya saling berkaitan untuk membentuk fondasi pembangunan yang berkelanjutan. Sayangnya kok hanya celoteh. Faktanya persis tahun sebelumnya: samar dan tak nyata. Hasilnya, masih dicoba untuk diraba-raba. Yang jelas, daya bayar warganegara tak ada.

Presiden juga punya cita-cita dan program infrastruktur yang bertujuan meningkatkan konektivitas, merangsang daya saing antardaerah dan implementasi mewujudkan pemerataan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia.


 

Dilihat dari tujuan kesatu dan kedua hasilnya relatif lumayan. Tetapi tujuan yang ketiga yaitu pemerataan ekonomi dapat disimpulkan tidak tercapai. Sebab, kontribusi pembangunan infrastruktur belum bisa membawa pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 5% selama lima tahun terakhir. 

Memang dampak ekonomi infrastruktur tidak langsung serta merta dirasakan karena karakteristiknya yang bersifat long term alias jangka panjang.

Yang perlu dievaluasi adalah bagaimana memastikan bahwa infrastruktur yang dibangun tidak KKN dan pembagian risiko dapat terdistribusi secara adil plus dapat dirasakan manfaatnya secara langsung oleh publik. Bukan melayani korporasi yang semakin mudah merampok milik warganegara.

Dus, proyeksinya adalah kita harus siap-siap menghadapi perampokan-perampokan baru yang bertujuan melanggengkan oliģarki.

Tentu saja, resesi dan krisis ekopol akan datang. Sebab, pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia akan melambat. Hal ini dikarenakan perang dagang AS versus Cina yang berlangsung lama.

Tiap negara yang berhubungan dengan keduanya terpaksa memperlambat pertumbuhannya untuk mengatasi kelebihan kapasitas dan leverage yang berlebihan. Saat bersamaan pasar negara kita yang sudah rapuh akan terus merasakan aksi dari proteksionisme dan pengetatan kondisi moneter di AS. Dan, kita juga belum punya protokol krisis yang jenius.

Maka, bersama elite yang rakus, kita akan merasakan pekatnya ekonomi dan berdebar menunggu perubahan struktur politik baru. Akankah arsitektur ekopol kita tahan ataukah berubah? Mari kita cermati bersama.

***

 


Ke Purwokerto. Meringis dan menangis. Mengutuki takdir. Ya. Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia.

Ke Semarang. Baca buku dan riset. Sesak napas. Maka, peradaban, peraduan dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah arsitekturnya. Lalu, mati. Ditendang harga diri.

Ke Jakarta. Makin terang kini. Tetapi tetap sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi.

Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama; di setiap sekulah dan zaman; di altar-altar kebiadaban yang tak semenjana.

Di kota ini, ribuan skandal diproduksi berulang kali. Setelah skandal PLN, muncul skandal Garuda, muncul skandal Jiwasraya lalu disusul skandal BPJS dan seterusnya.

Di kota ini. Mental kolonial yang jadi pejabat berwatak penjahat banjir di semua lembaga negara. Rakyat menjerit. Hanya menjerit. Akibatnya, skandal tidak akan pernah berhenti. Inilah potret saat negara dikuasai mafia dan pemburu rente, pasti korupsi-kolusi-nepotis cara hidupnya.

Kapan rakyat marah dan membakar mereka? Mengarak bugil di istana dan melempar sambal pedas ke kelaminnya? Tuhan, aku menunggu kuasaMu!

Ke Depok. Berkeluarga. Bahagia. Mati dan tumbuh. Dalam. Bercabang. Anak pinak. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya.

Ke Carolina. Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan.

Ke Makkah. Ketemu hal lucu. Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. 

Di Indonesia. Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi.

Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil paduka yang mulia.

***


 

Di antara gunung Selamet dan sungai Serayu, takdirku lahir tanpa kupinta. Adakah ini sesaji alam raya untuk menjadi manusia yang menyelamatkan sesama? Hanya enigma air Serayu yang tahu jawabannya.

Kemranjen~

Pada akhirnya bukan masa depan. Pada hilirnya hanya tempe mendoan. Kita tak saling berpura-pura. Sesal setelah tua. Kenapa saat itu kita saling curi pandang dan membuat prestasi yang tak ada hubungannya dengan Indonesia? Demi waktu tak terukur angka. Seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri. Ditelan deru desa. Kini kau telah pergi tak kembali. Namun desamu hadirkan senyummu abadi. Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi. Bila hati mulai sepi tanpa terobati. Sambil sebal pada nasib yang dikangkangi. Engkau kini di mana setelah "salafi" merajalela. Engkau kini sedang apa saat "jokowi" makin tak waras mengurus warganegara.

Banyumas~

Melihat mereka yang hidup demi gaji semata. Atas nama tuhan. Atas nama masa depan. Tak ada kemuliaan karena tidak memuliakan inovasi dan industri. Jika itu terjadi, sungguh tak ada jalan dan festival yang layak dirayakan. Tuhan, aku tak ingin hidup seribu tahun seperti penyair itu. Sekali mati. Sebab takut bercinta, revolusi saja. Bukan lek mad. Bukan lek karno. Mereka bedua bapak para revolusi nyambi bercinta. Jemarimu begitu lentik. Senyummu melirik. Kan kusebut namamu dalam tiap jengkal perlawananku. Bermilyar kawan datang dan pergi. Engkau tetap di hati. Sambil membenci begundal yang terus menang. Di republik ini.

Gontor~

Nalarnya tunduk pada hapalan. Dan, sesungguhnya itulah sebodoh-bodoh masa depan. Karnaval masa yang purba. Perayaan kesia-siaan. Hidup segan mati bosan. Tolong ambilkan bulan, saat kalian suka kopi susu. Tak ketemu. Inilah ontologi minus epistemologi. Sejarah tanpa kreasi. Hanya angka-angka dan kode buntut. Walau tak ada kemenangan, gita cita tetap diperdendangkan. Pesantren-pesantren kita yang purba, adalah peradaban gigantik dan tua di muka bumi yang menyebut dirinya dengan syorga: santri yang ditaburi ustad-ustad membentuk kejahiliyahan semesta. Ialah ibu dari mula pendidikan besar nusantara. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya. Tetapi tetap: merasa menang dan masuk syorga. Entah menang apa dan syorga seperti apa.

Jogjakarta~

Antara mesir dan jogjakarta. Aku jatuh cinta. Soal sekolah yang tumpah. Merana bertepuk sebelah. Mirip kisah cinta tiga malam yang kuingat selamanya. Kini seakan mimpi yang buruk. Sepi dalam kesunyian. Bodoh dalam kebodohan. Kualami setiap hari. Kisah yang sudah tiada lagi. Tertelan sejarah perlawanan 98. Ya. Tinggal memori membawa kebusukan kembali. Adakah waktu tersisa. Menjaga kita tetap sekapal perlawanan.

Kediri~

Kota tahu. Kota santri. Dari kerajaan purba yang tak lagi kita temukan reniknya. Aku menetes. Mengayuh becak. Lari dari deru debu kota dan desa. Menanak nasi dan mengurapi kitab-kitab purbakala yang membuat ummat paria. Saat kubelajar, bab taharah. Saat kutidur, bab wudu. Diulang semilyar kali. Lalu saling tikam. Masuk dan selamat sendiri. Di sini ketemu perawan muda. Tak tahu namanya tapi menikmati semalam romansa. Di antara rintik hujan dan rokok-rokok peradaban.

Purwokerto~

Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia. Yah. Kini mereka sedang bahagia saat aku terluka; terjatuh dan sulit bangkit lagi; tenggelam dan tergopoh menelan air setelan-telannya; mabuks. Maka, setiap pulang ke kotamu adalah pulang pada keperihan, menjejer luka-luka. Tapi di sini juga kutemukan perkawanan sejati.

Semarang~

Peradaban dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah bentuknya. Lalu, mati. Ditendang harga diri. Beginilah keadaan diriku. Semangat membara. Tetapi, ini aku yang bukan aku. Hanya aku yang menyejarah lumrah. Dengan hitam legam kulit punggung dan nasibku. Masih mungkinkah pintu hatimu kunikmati. Dengan hati yang pernah kuremukkan. Dengan niat yang pernah kuabsenkan. Dua tiga perempuan tua menjadi nenek-nenek pulang dan menasib di desa masing-masing. Nggelosot melihat Indonesia makin nelangsa.

Jakarta~

Sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Dehumanisasi. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi. Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama. Tetapi, melalui revolusi nalar, selama masih ada lautan yang bisa dilayari; selama masih ada kewarasan agensi; selama masih ada tanah yang bisa ditanami; selama masih ada nilai-nilai yang bisa disemai, selama itu pula masih ada cinta dan harapan. Sebuah harapan dan cita-cita untuk menjadi bangsa berdaulat total: merdeka, mandiri, modern dan martabatif. Kita harus meretas jalan kedaulatan. Hal yang lama dilupakan para begundal lokal hasil proxy penjajah internasional.

Depok~

Tumbuh. Dalam. Bercabang. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya. Kadang, kepadamu yang mungkin mencintaiku perlu ditulis. Ada yang tak termanai kutengarai. Ada yang tak sanggup kupahami. Ada yang tak terucap dalam hari-hari. Dan semua adalah tentangmu, kekasihku. Selamat berusaha menjaga hati. Selamat berusaha menjadi istri. Selamat berusaha menjadi ibu. Tetaplah semangat menjadi kekasih, istri dan ibu yang terbaik bagi kami dan keluarga kita. Tapi, tuhan dan alam raya berkehendak lain. Air mata ini habis tiada tara.

Carolina~

Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan. Begitulah keadaannya semilyar tahun lalu. Pilu. Keriting berlumur debu. Penuh luka najis dan bau got. Berlari dan berdiri gemetar depan kampus. Gentar. Seingatku, tidak ada hal lain yang terjadi. Hanya menunggu pergantian takdir berlaku saat semua lepas berlalu. Yang lama hampir mati; yang baru tak kunjung menjelma.

Makkah-Madinah~

Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. Jejak kakiku dan kakimu bersimpuh di kota tua dan purba dengan gigil dan jijik tak berkesudahan. Aku muak padamu; denganmu; bersamamu: tuhan, hantu dan hutan.

Indonesia~

Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi. Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil yang mulia.

Cileduk~

Jika kami bersyukur atas cinta dengan pesta kecil dan membagi cindera mata berupa buku, adakah kalian sudi datang? Dari sini untuk yang kesekian kali hidup dimulai kembali. Menanak nasi, merebus air, merumuskan kampus dan mengajari diri sendiri.

Di Hati Kasih~

Hadis paling lucu saat belajar islamic studies sejak dari gontor sampai mamarika adalah yang berbunyi, "doa kaum tertindas dan kaum miskin itu terkabulkan." Abu Hurairah berkata, rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya (HR Abu Daud dan al-Tirmizi).

Lah piye? Kalau makbul berarti gak ada orang tertindas dan gak ada orang miskin lagi dunk. Sebab orang tertindas berdoa agar merdeka dan orang miskin berdoa agar kaya. Nyatanya kaum tertindas dan kaum miskin tetap banyak terutama di ngindonesia.

Jadi jika ada fatwa bahwa setiap doa dikabulkan Tuhan (di dunia), jelas itu ilusi kaum jahiliyah purba.

***

 

HOS TJOKROAMINOTO DAN AKAR-AKAR INDONESIA

104 tahun yang lalu, tokoh ini dengan sangat berapi-api bicara soal subtansi bernegara. Begini kalimatnya, "Tuan-tuan jangan takut, bahwa kita dalam rapat ini harus berani mengucapkan perkataan zelfbestuur atau pemerintahan sendiri. Supaya kita lekas dapat pemerintahan sendiri (zelfbestuur).

Bila kita memperoleh zelfbestuur yang sesungguhnya, artinya bila tanah air kita, kelak menjadi suatu negara dengan pemerintahan sendiri, maka seluruh lapisan masyarakat semuanya bersama-sama memelihara kepentingan bersama, dengan tidak pandang bulu, bahasa, bangsa maupun agama (17 Juni 1916, di Gedung Pertemuan Concordia-sekarang Gedung Merdeka)."

Mengajak merdeka, mengajar merdeka, memimpin merdeka, meraih kemerdekaan negara dan merealisasikan kemerdekaan pikiran plus tindakan merupakan lima ciri utama HOS Tjokroaminoto.

Maka, Tjokroaminoto merupakan guru bangsa. Guru bagi tokoh-tokoh yang kelak sangat berpengaruh di pra maupun pasca-kolonial, seperti Sukarno, Semaoen, Musso, hingga Maridjan Kartosoewirjo. Maka, tidak berlebihan jika Tjokroaminoto boleh disebut sebagai bapaknya bapak bangsa Indonesia.

Tentu saja, ia lahir untuk melawan. Hidupnya hanya tiga hal: lahir, jihad dan syahid. Walau bisa jadi ningrat, Tjokroaminoto tak ingin menghabiskan jalan hidupnya dengan menikmati fasilitas yang ia dapatkan sebagai keturunan bangsawan. Ia memilih sebaliknya: bersama kaum miskin dan terjajah.

Dari mana ia mendapat amunisi perlawanan itu? Dari agama via kitab sucinya dan dari literasi dunia. Adalah kenyataan bahwa para bapak bangsa Indonesia merupakan pembaca serius karya-karya Karl Marx (1818-1883). Begitu juga dengan tokoh-tokoh seperti HOS Tjokroaminoto (1882-1934), Bung Karno (1901-1970), Bung Hatta (1902-1980), dan Sutan Syahrir (1909-1966) yang membaca dengan sangat teliti sampai menemukan antitesanya.

Dari literasi terhadap Marx, Tjokroaminoto menulis karya penting yang berjudul "Islam dan Sosialisme." Di buku ini, nampak Tjokroaminoto sangat wasis menganalisis, menyetujui serta mengkritisi pemikiran Marx sambil membandingkan ide-ide sosialisme dengan kehidupan Nabi dan para sahabat.

Tentu saja, sebagai orang muslim taat, Tjokroaminoto membaca prinsip materialisme dalam ajaran Marx sebagai penentangan terhadap Tuhan dan agama.

Untuk meyakinkan diri dan pengikutnya, Tjokroaminoto sampai mengutip langsung dari buku Marx, “Agama ialah kebingungan otak yang dibuat-buat oleh manusia untuk meringankan beban hidup yang sukar ini, agama itu candunya rakyat.”

Dus, bagi Tjokroaminoto ajaran Marx ini bukan saja memungkiri adanya Allah, tetapi juga menegasikan peran utama agama sebagai basis perlawanan pada ketidakadilan.

Dengan antitesa itu, Tjokroaminoto sampai pada kesimpulan bahwa, “Bagi kita orang Islam, tak ada sosialisme atau rupa-rupa ‘isme’ lainnya, yang lebih baik, lebih indah dan lebih mulus, selain dari sosialisme yang berdasar dengan Islam.”

Dengan sosialisme islam yang mengindonesia, republik ini akan tegak berdiri. Dus, akar-akar utama dalam negara Indonesia adalah sosialisme, islam dan perlawanan pada kolonialisme yang berupa warna.

Bagi tokoh bangsa sekaliber Tjokroaminoto, hidup kita adalah bagaimana menikmati dan belajar memecahkan masalah di sela-sela pengkhianatan teman-teman. Hidup kita adalah bagaimana belajar dan senyum terus untuk menari di saat hujan badai menjadi-jadi. Menaklukan keterbatasan-keterbatasan. Tentu saja, tafsir lanjutan dari tesisnya menjadi hidup kita adalah bagaimana terus melawan di tengah elit pemerintah dan negara yang khianat pada konstitusi dan Pancasila.

Singkatnya, kita boleh bertanya, "mengapa kehidupan berbangsa dan bernegara kita terasa semakin runyam?" Karena bangsa dan negara ini dirancang dan diperjuangkan oleh kaum idealis dan negarawan yang mempunyai wawasan filsafat yang bersifat mendasar dan berjangka panjang; tetapi direformasi oleh para politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam." Di sini, mengenang Tjokroaminoto menjadi sangat penting.

***

 


Kegiatan ini bernama Nusantara Writers and Readers Festival (NWRF). Ini adalah sebuah festival literasi tahunan yang diadakan di kota hujan romansa Bogor, Indonesia. Festival ini digagas oleh lembaga Nusantara Centre, yang fokus bekerja dalam ranah budaya, pendidikan dan sastra. Kurikulum nusantara studies dan universitas nusantara adalah beberapa produknya.

Kertas kerja ini bertujuan untuk mempromosikan gagasan nusantara dan pembentukan pusat seni, pendidikan, sastra dan budaya nusantara, mengumpulkan penulis-penulis muda dan pameran karya mereka di panggung internasional, serta menyediakan beasiswa riset budaya, pendidikan, sastra dan budaya.

Kegiatan utama dari NWRF adalah diskusi dan pemutaran film, pentas seni budaya, temu penils dan peluncuran buku serta pelatihan dan lokakarya riset kebudayaan.

Menghadirkan NWRF adalah mencoba memahami Nusantara sebagai jejak purba peradaban yang hampir punah. Ketika menjadi Indonesia, rerumputan kering dan mati. Pohon-pohonnya layu. Moralitas dan akhlaknya ambruk. Sepeninggal para pendirinya, rumah-rumah ibadah ramai tapi sangat sepi dari nilai. Persisnya, senyap tak berpenghuni gagasan. Pohon mangga berbuah, tapi generasi kita tak sudi menyantapnya. Mereka lebih bahagia bersama komoditas asing-asengnya. Ceria jadi milenial tak bernalar revolusi, apalagi inovasi.

Kolam ikan kering. Kolam renang berdebu. Perpusnya mati. Mereka berkata lirih, "buat apa membaca buku kembali? Tokh pejabat kita goblok-goblok sekali." Gitar dan piano terbujur kaku. Lalu mereka berujar, "buat apa bernyanyi kembali jika sedih juga akhirnya."

Padahal semilyar bulan lalu dunia tak ada. Ketika terbentuk, kitalah rupanya. Kita yang pernah mimpi revolusi. Kita paham betapa beratnya meruntuhkan firaun suharto dan kurikulum neoliberalisme.

Kita tentu sangat mencintai ilmu. Lama sudah kita menunggu benih pengetahuan bersemi; tekhnologi beranak pinak. Tetapi kini hampir mati habis nafas semua penghuni. Tak ada lagi seutas harapan tulus cinta kehidupan. Sesuci bidadari.

Tak pernah lupa kita impikan. Bercanda sastra. Kita sadar betapa beratnya meruntuhkan penjajahan. Setelah hampir mati ditelan romusa. Lama sudah kita menunggu terbukanya hati. Tersandranya nalar. Seutas harapan tulus cinta kemerdekaan.

Takkan kita temui. Problema seperti Indonesia. Takkan kita dapatkan. Rasa cinta pada negeri. Takkan kita pedulikan. Rasa penasaran pada penjajahan. Kita bayangkan bila kalian datang kembali. Kita peluk bahagiakan sejarah. Kita serahkan seluruh hidup kembali menghentakkan. Menjadi penjaga hati nusantara. Penjaga cita dan cinta yang suci. 

Kawan. Sering kali kita temukan. Mahkota bertabur intan permata. Meski kita telah terbiasa. Tambatkan hati. Pada takdirNya. Kini kita hanya mayat sepi penikmat kesunyian tak bertepi. Teman kedunguan. Tak berseri.

Kawan pejuang. Pada indonesia kita berjanji. Padanya kita berbakti. Dalam kesenyapan tak bertepi. Kesedihan tak terperi. Yang para malaikatpun tak kan sanggup memanggulnya. Yang jeniuslah yang akan menemukan solusinya. Mereka yang bersetia kerja raksasa: merealisasikan pancasila. 

***

 


Untuk ia yang menggentarkan jika kueja namanya. Bahagia tanpa bertemu. Suka cita tanpa pesta. Yang tahu bahasa cina pasti memahaminya. Engkau yang kemarin ikut membahas: 

  1. Diskursus Atlantik
  2. Diskursus Nusantara
  3. Diskursus Indonesia
  4. Diskursus Pancasila
  5. Diskursus Konstitusi
  6. Diskursus Geneologi Pendiri Republik
  7. Diskursus Rempah, Herbal, Emas dan Nuklir
  8. Diskursus Ekopol Mutakhir
  9. Diskursus Kolonialisme dan Neoliberalisme
  10. Diskursus Orientalisme dan Oksidentalisme
  11. Diskursus Arsitektur Indonesia Modern.

Untukmu yang belum mengerti bahwa jihad akbar adalah memerdekakan bangsa dan kaumnya secara terus menerus dari kolonial internasional dan anarki lokal.

Atlantis;

Punah sudah. Kami mencarimu seperti pencarian siang kepada malam. Ada. Dirasa. Tapi tidak bertemu. Saat banjir tiba, engkau bagai perahu. Saat kemarau datang, engkau embun yang tertegun. Belajar tentangmu jadi tindakan subversif. Kini, apa yang sedang kau diskursuskan?

Nusantara;

Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala pernama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati. Kusebut nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya kini tak melambai. Sungainya kering kerontang. Cintanya kini tanpa pantai. Apa yang sedang kau hadirkan?

Indonesia;

Apa yang akan kau lakukan kini. Saat semua senyum tinggal keputusasaan. Setelah sayap-sayapku terpatahkan olehmu. Setelah jiwa-ragaku terkhianati olehmu. Setelah air mataku tergerus habis tak bersisa kecuali darah kesunyian. Saat arti sebuah perasaan yang terdalam dan harga diri sebuah pengorbanan tanpa batas menjadi sia-sia belaka. Dicampakkan sendirian. Apa yang sedang kau rasakan?

Kekasihku;

Aku tau kau kurang-ajar. Sebab lakumu batu. Niatmu tipu-tipu. Mentalmu kuntilanak hantu. Persis nusantara dan indonesia terhadapku. Kini aku versus nusantara. Kini aku melawan indonesia. Dan, hanya bisa tersenyum masam. Sambil menghela nafas dalam-dalam. Sebelum semua tenggelam. Oleh pekat malam dan sejarah kelam. Apa yang sedang kau takdirkan?

Untuk nama yang penuh pesona. Diimpikan sepanjang masa. Kini, semua mati. Menangis tapi tak ada air mata. Sesunggukan tapi tak ada suara. Sedih tapi tak ada guna.

Tentu, aku bahagia mengenal tuan putri. Bunga revolusi yang mencinta Indonesia. Teman berbincang yang sangat baik untuk mentertawakan takdir.

Bermilyar hari memberitahu kita bahwa republik ini bunuh diri. Telah lama kita duduk tertegun. Kagum dan ngungun. Kok bisa begitu banyak agama hidup di sini, tapi penjahat panen tiap detik. Peristiwa anomali. Membuat kita merenungi dan menghayati semua peradaban yang chaos.

Di penghujung senja yang merah menguning. Di penghabisan air wudu di waktu subuh. Yang ada adalah hanya bayang mayat-mayat. Tebarkan keranda. Juga penyakit tak tersembuhkan. Tapi, itu hanya membuat hatiku gelisah resah tak menentu. Buntu.

Semua pasti sirna kecuali ilmu dan amal, katamu suatu kali saat kita lempar tai ke istana. Tapi nujummu itu kini tak faktual. Sebab yang abadi kini hanya keculasan dan pengkhianatan.

Sayank. Sudah seratus tahun saya tak percaya pada usaha cerdas, kejeniusan, hantu, hutan, harapan-harapan, cita-cita, mimpi-mimpi, ilusi-ilusi dan perjumpaan-perjumpaan jaringan. Aku juga sudah tak percaya pada nasib baik dan mukjizat. Makanya kucukupkan diriku jadi tukang ketik.

Aku bisa apa sebab noktah ini kini cuma bergurau ceria menunggu kepunahan.

***


KATA INI TAK PAS BENAR. Tapi mau bagaimana lagi. Terjadi deindonesianisasi dalam arti "asingisasi" yang identik dengan proses pencabutan pemikiran dan tindakan lokal-nasional.

Dan, hampir semua kita mengalaminya. Karenanya, bila tidak melakukan perlawanan secara sungguh-sungguh maka dapat dipastikan kita sudah ditelan mentah-mentah oleh proses itu. Defisit. Lalu, habis. 

Sederhana mengukurnya, bisa dengan perlahan menghitung ulang pengetahuan tentang tokoh-tokoh dunia. Siapa yang lebih kita kenal dan kagumi secara sadar maupun tidak, tokoh-tokoh itu. Siapa yang lebih punya pengaruh kepada diri kita dari mereka.

Apakah kita lebih lancar menghapal Adam Smith, Thomas Aquinas, Archimedes, Thomas Alfa Edison, Winstone Churchill, Montesquieu, Einstein, Hegel, Sigmon Fraud (Barat), Al Kindi, Al Biruni, Ar Razi, Al Farabi, Al Kwarizmi, Ibnu Khaldun, Ibnu Rusyd, Al Kattani, Ibnu Tufail, Ibnu Al Haitsam, Al Zahrawi, Al Ghazaly, Al Fatih, Salahuddin Al Ayubi, Al Makassari, Al Minangkabawi, Al Fansuri, Al Banjari, Al Bantani, Ar Raniri, Al Falembani (Islam), dibanding tokoh Nusantara macam Ratu Syima, Arok, Gajah Mada, Ronggowarsito, Pattimura, Diponegoro, Cut Nyak Din, Hamengkubuwono, Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Syahrir, Soedirman dll?

Harus diakui, generasi kita tidak begitu mengenal dengan baik nama-nama dan pikiran tokoh-tokoh Nusantara.

Sepanjang hidup kita di bangku sekolah sudah dicekoki dengan sosok-sosok asing. Kalaupun ada nama-nama tokoh Nusantara, maka itu hanya sekilas saja, tidak dengan konsep, teori dan banyak hal tentang mereka.

Sumber informasi tentang tokoh dan ilmuwan Nusantara itu disembunyikan dan hilang sejak lama. Padahal kita tahu, merekalah sebab kita di Indonesia: menjadi seperti sekarang. Dus, ilmu dan mental mereka tak kalah dari tokoh-tokoh asing.

Kiranya. Naif dan malang sekali nasib kita yang mengaku warganegara Indonesia ini, tetapi tak berterimakasih pada para pembuatnya: pahlawan putra bangsa.

Lihatlah hari ini, apa yang terjadi pada generasi muda, apakah ada perbaikan? Hasilnya mereka lebih kenal tokoh yang mana? Sudahkah mereka lebih mengenal pikiran, gaya hidup dan teori-teori jenius dari ilmuwan kita?

Saya kira belum ada yang berubah, bahkan semakin parah. Anak-anak lebih hafal dan lebih kenal artis film, artis sinetron, tokoh kartun dan hal-hal yang menjauhkan mereka dari Indonesia. 

Kita sudah terasingkan di negeri sendiri: dari para tokohnya; dari pikiran, ucapan, tulisan dan tindakan mereka. Hampir sempurna. Tidak heran begitu banyak yang gigih berpendirian dan menjadi sosok yang liberalis, sekularis, humanis, feminis, arabis, ontanis dan cungkringis!

Kawan-kawan yang bijak. Kini kita harus jujur betapa sulit mengandalkan elite. Betapa tidak berdayanya ummat. Betapa lemahnya angkatan perang (TNI/POLRI). Betapa lumpuhnya negara. Kampus-kampus sekarat. Pesantren-pesantren mati. Sumber-sumber kepemimpinan kita binasa. Semua tak berdaya.

Alih-alih mereka menjadi dewa penolong atau ratu adil yang ditunggu, mereka kini sudah bersekutu dengan para penjajah yang dulu diusir para pahlawan. Lahirlah oligarki, kleptokrasi, kartel yang predatorik. Kini terhampar luas di depan kita kepalsuan yang luar biyasa: negara palsu, ijasah palsu, uang palsu, makanan palsu, vaksin palsu, janji palsu, dll.

Apa yang harus kita kerjakan? Tinggalkan ritual. Campakkan kemarahan. Tradisikan persatuan. Organisasikan diri dalam gotong-royong. Rebut kekuasaan. Dengan cara apapun dan di manapun. Tetapi manfaatkan kekuasaan itu nanti untuk melakukan kerja raksasa. Agar dahsyat, inilah 10 program utamanya: 

  1. Rekayasa pangan organik; 
  2. Rekayasa genetika; 
  3. Rekayasa atom; 
  4. Rekayasa herbal; 
  5. Rekayasa stemm cell;
  6. Rekayasa energi terbarukan; 
  7. Rekayasa komputer kuantum; 
  8. Rekayasa koloni planet dan tata surya; 
  9. Rekayasa singularitas dan keabadian; 
  10. Rekayasa tekhnologi laut dan udara.

Kesepuluh kuasa atas tekhnologi itu harus kita kerjakan karena perang kecerdasan di masa depan itu akan membuat kita kalah. Dan, jika kalah maka kita hanya akan memastikan stabilitas penjajahan 1000 tahun ke depan.

KESADARAN PROGRAM KUASA PERTAMA ADALAH REKAYASA PANGAN ORGANIK SEBAGAI SENJATA PERANG.

Kita harus sadar bahwa perang pangan itu sudah dan akan terus terjadi. Perang pangan adalah aksi suatu negara atau aliansi negara yang berupaya mendominasi kebutuhan pangan di suatu negara. Di sini ada negara yang mengatur dan ada negara yang diatur kondisi dan situasi pangannya.

Negara yang memiliki strategi kebijakan pangan yang jitu dipastikan memenangi pertarungan dan memiliki pengaruh terhadap negara-negara lainnya. Artinya, negara yang menguasai pangan akan menguasai dunia.

Ingat. Di komunitas Asean saja, kurang lebih ada 570 juta jiwa setiap harinya membutuhkan pangan. Dan, dari 10 negara-negara itu, Indonesia adalah negara berjumlah perut terbanyak (42,43%) untuk dipenuhi kebutuhan pangannya. Disusul Filipina (15,41%), Vietnam (14,65%), dan Thailand (11,48%). Bukankah ini potensi yang sangat besar dari sisi bisnis dan ancaman perang?

Perang pangan dimulai dengan perampasan tanah (massive land grabbing) dan hak paten bibit lalu diakhiri dengan praktek impor-ekspor. Yaitu model pengambilalihan kepemilikan tanah di negara miskin oleh perusahaan multinasional. The Economist dalam laporannya tahun 2009 mencatat bahwa total sekitar 37-49 juta hektar yang telah dirampok sejak tahun 2006.

Jumlah itu akan terus bertambah di tahun berikutnya karena pangan bersambung dengan energi dan kepastian hidup di masa depan. Demikian pula hak paten adalah cara memastikan negara miskin sebagai budak yang tak punya hak milik. Mereka hanya jadi alat produksi; mesin penghasil. Lalu, kreasi kebijakan ekspor bahan mentah dan impor barang jadi, memastikan arsitektur penjahahan dan perang pangan. Negara miskin jadi konsumen; penikmat yang wagu plus paria.

Karena itu, salah satu cara menggenggam masa depan adalah menguasai hal-ikhwal pangan. Menguasai tekhnologi pangan. Dan, pangan organiklah jawabannya. Pangan organik adalah pangan alami. Ia terbukti mengurangi polusi (udara, air dan tanah), menghemat air, mengurangi erosi, meningkatkan kesuburan tanah, dan hemat energi. Ia anti peptisida dan kimia sehingga lebih baik bagi ekosistem (petani dan konsumen) yang berada di sekitarnya.

Tanpa kuasa pangan yang meraksasa, kita adalah mutan koloni lama yang dipermak dalam kedunguan baru. Bulan dan tahun ini mestinya jadi pondasi kesadaran kita bersama: hidup mulia atau miskin masuk neraka.

***

 

Jika ukuran kecerdasan dilihat dari jawaban atas pertanyaan yang diajukan dan ukuran orang bijak dilihat dari pertanyaan yang diajukan maka kita tak punya presiden cerdas dan bijak. Sebab jawaban-jawaban dan pertanyaan-pertanyaan presiden dalam semua problem negara hanya jawaban dan pertanyaan orang lugu plus bego. Tak punya pengetahuan masa lalu, tak menguasai problem hari ini, tak mengerti tantangan masa depan. Sungguh takdir yang membosankan bin memilukan.

Aksara dan Bintang yang baik. Kalian subjek semesta. Anak-anak ayah yang luar biasa. Mari belajar memahami bahwa tak semua keinginan bisa terpenuhi. Itu adalah obat terbaik untuk mencegah kecewa dan sakit hati karena kita tahu diri. Tahu bahwa hidup cuma sementara. Sombong dan kikir bukan human zaman now.

Kalian tahu? Dunia makin lucu dan aneh. Indonesia makin tidak tak terpahami. Gaduh tapi miskin ide dan gagasan. Lugu tapi punya kekuasaan. Berkuasa tapi meniru dalam utang dan gadai. Ada tetapi tak menggenapi: pergi tak mengurangi. Banyak manusia gagal paham.

Marah. Nangis. Sedu-sedan. Soal nasib republik yang memburuk. Seiring laraku. Setara sakitku kehilangan kalian. Mengadu. Teriak guling-guling, memukul tembok. Mengguyur kepala dengan seratus bodrex. Merintih sendiri. Sebab tak ada siapa-siapa.

Tuhan ditelan oleh deru kotamu. Hantu mencret. Hutan terbakar. Sungai tercemar merkuri. Karena tahu kini kalian sulit kembali. Dicengkeram VOC baru. Para begundal bersorban minus iman, defisit taqwa. Berjilbab tapi murtad.

Untuk VOC baru, begini hipotesisnya. Tak ada kemiskinan dalam kecantikan. Tak ada kecantikan dalam kemiskinan. Jika wajahmu buruk rupa dan ingin cantik, jangan miskin. Sebab orang miskin dilarang cantik. Sebaliknya, orang cantik dilarang miskin. Sebab kalau miskin akan memburuk. Jadi, kalau buruk rupa bukan jilbab solusinya. Apalagi jilbab mahal merek Crocodile.

Desa kalian sepi hadirkan bayang. Kota kalian gelap hadirkan wajah abadi. Sisa umurku ijinkanlah ayahmu untuk selalu pulang lagi. Bercengkrama dan berdoa bersama. Terutama saat hati mulai sepi tanpa terobati. Diterjang pengkhianat kawan sendiri. Ditipu pejabat murid sendiri. Disiksa tuhan tiada henti.

Kini, setiap kuterantuk pintumu, air mata banjir. Sebab, kalian diamkan rindu dengan jantung berdegap. Lalu, kudengar gemericik kehampaan mengaliri perasaan kalian; seperti tanda kematian; tak ada hentinya.

Kangen ini dari tuhan. Tapi tak tahu di stasiun apa bisa diletakkan. Sebab, semua elite kini mirip silit. Sedang, maju sendiri tak laku-laku.

Nanti, aku mau menikmati musik live di batavia kaffe malam ini sendirian. Apa kegiatan kalian? Ayok kita makar dan persiapan revolusi plus kudeta hati. Aku tunggu yah/GBU.

***

TANPA disadari, kita kini memproduksi para psikopat di ajang politik dan ekonomi. Ini rangkaian tak terelakan dari persetubuhan haram fundamentalisme pasar dan fasisme agama plus feodalisme ekonometrika.

Jejak langkah neoliberalisme yang tak dihapus pak presiden dan rumah rahim neofundamentalisme yang tak didelet pak presiden plus bumi neotribalisme yang tak diaborsi pak presiden berakibat chaos yang tak berkesudahan. Tak percaya? Cek semua media di sekitar kita: cetak, web, elektronik dll.

Makna psikopat secara umum adalah sakit jiwa. Psikopat berasal dari kata psyche yang berarti jiwa dan pathos yang berarti penyakit. Pengidapnya juga sering disebut sebagai sosiopat, karena perilakunya yang antisosial dan merugikan orang-orang sekitarnya.

Psikopat tak sama dengan gila (skizofrenia/psikosis) karena seorang psikopat sadar penuh atas perbuatannya. Gejalanya sendiri sering disebut dengan psikopati. Sedang pengidapnya disebut orang gila tanpa gangguan mental.

Menurut penelitian kami, pasca diberlakukannya demokrasi liberal, sekitar 10% dari total penduduk indonesia mengidap psikopati sosial. Pengidap ini sulit dideteksi karena 95% lebih bebas berkeliaran daripada mendekam di rumah sakit jiwa. Terlebih pengidapnya sukar disembuhkan.

Kalian mau tahu ciri psikopat? Ia selalu membuat kamuflase yang rumit, memutar balik fakta, menebar fitnah dan kebohongan untuk mendapatkan kepuasan dan keuntungan dirinya sendiri, menyalahkan orang lain tanpa data dan berbahagia di atas derita sesama.

Para pengidap psikopat (ekopol) hanya merasakan senang dan bahagia atas kemenangannya sesaat tetapi akan merasakan sampah kalau kalah walau tak menyerah. Mereka tak mungkin bicara mengatasi problema warga negara. Sebab, mereka jadi elite yang silite.

Di tangan elite psikopat, pemerintahnya tidak mampu mengontrol dan menguasai seluruh SDAnya; pemerintahnya sangat lemah dan tidak efektif; tidak mampu menyediakan pelayanan publik yang memadai; gotong-nyolong; korupsi dan kriminalitas yang meluas; banjir TKI/W; konflik antar lembaga negara; dan penurunan kesejahteraan ekonomi yang tajam.

***

AKSARA bertanya apa itu kerinduan kepada bunda yang sudah tiada? Dari pulau Swarnadwipa kuketik jawaban singkat. Rindu itu bagai danau Ranau. Berpupuh keindahan alam yang tersembunyi di pegunungan Bukit Barisan, di Sumatera jauh di sini. 3 jam lebih perjalanan.

Bunda (Evie) adalah air danau yang bersih dan berlimpah. Tempat kita berwudu; tempat mengadu. Kau tahu Aksara? Dengan latar belakang gunung Seminung yang cantik, danau Ranu menciptakan pemandangan alam nan elok sekali, asri sepanjang hari.

Dalam catatan geografi, danau ini danau terbesar kedua di Sumatera, setelah danau Toba. Dengan luas 125 kilometer persegi, perairan danau ini membentang menyatukan dua provinsi. Sepertiga bagian masuk wilayah Lampung Barat. Dua pertiga bagian masuk wilayah Ogan Komering Ulu Selatan.

Luas bukan? Danau Ranau dikelilingi oleh sawah-sawah dan kebun kopi yang subur. Untuk bermain di tepi danau, kita bisa masuk melewati kompleks Villa Pusri. Di sini, kita bisa duduk-duduk di dermaga sambil memandangi gunung Seminung yang indah. Gunung ini akan mengingatkanmu dengan Bintang, Nayu dan Syailendta, dua adikmu yang jelita dan satu adikmu yang gagah perkasa.

Tiap tahun, danau Ranau menjadi saksi kisah dan legenda masyarakat sekitarnya soal legenda Si Pahit Lidah dan Si Mata Empat. Mereka berdua adalah dua jawara yang amat disegani oleh lawan-lawannya. Membaca kisah ini mengingatkanku pada Astika Wahyuaji, mamah baru kalian yang baik hati.

Dalam sejarahnya, gunung Seminung  merupakan gunung berapi yang sudah lama mati. Dengan bentuk kerucut dan ketinggian 1.880 meter, gunung ini mempercantik keindahan danau Ranau. Lerengnya yang subur dimanfaatkan penduduk Lampung dan Komering untuk menanam kopi, lada, sayuran, dan palawija. Inilah mula rempah yang melahirkan jalur rempah Sumatra.

Kini, ayahmu sudah tua. Sebentar lagi mati. Mohon maaf jika tak sempat menggendong kalian di sini. Satu angan yang tertunda karena badai krisis melanda.

Dari sini kuketik surat cinta buat kalian. Semesta menjaga kalian yang seperti nyanyian dalam hatiku. Seperti panas bumi. Yang memanggil terus rinduku pada kalian.

Ya. Kalian seperti udara yang kuhela dalam-dalam. Kalian selalu ada dan tersenyum samar.

Seribu tahun lalu dan sejuta tahun datang, hanya diri kalian yang bisa membuatku tenang. Siyap mati menjelang. Tanpa kalian, aku gedebok bosok. Aku hilang dan sepi plus merintih. Sedih tak sudah-sudah.

***

Kutulis surat ini karena kami menghormati kalian dan tidak tahu lagi harus mengadu ke mana.

Ekonomi di sekitarku ambruk. Begitupula ekonomiku. Kami kerja keras, tapi itu tak cukup. Beberapa kawan dosen gagal bayar kartu kridit sebab pemasukan di luar gaji, nol. Beberapa kawan main golf menghentikan hobi karena bisnisnya lesu. Beberapa kawan main badminton juga berhenti karena gaji kerja tak cukup lagi untuk salurkan keriuhan. Jauh sebelum mereka, beberapa penulis berubah jadi gojek karena honor tulisan tak lagi datang. Di samping itu, buku-buku makin tak laku. Media membayar gratis para nara sumber.

Yang paling parah, ada janda tua dari perwira tinggi di angkatan udara zaman Bung Karno dimatikan PLN rumahnya karena tak bayar listrik sudah setahun.

Rerata teman-temanku sudah lima tahun makan tabungan (mantab) sebagai cara bertahan hidup yang makin mahal. Daya bayar mereka mati. Daya beli hanya turun drastis. Daya tahan (hidup) masih lumayan walau sangat sengsara.

Kalian tahu mengapa kami makin mati daya bayarnya? Sebab semua naik. Apa ada yang tak naik harga sejak Pak Jokowi berkuasa? Apa ada negara setelah pelantikan beliau sebagai presiden? Rasanya kami hanya melihat penjual dan pengutang saja di depan mata. Berdasi dan blusukan ke sana ke mari, tapi tak berdampak ekonomi sama sekali.

Jadi, kalau ada yang bilang ekonomi kita baik-baik saja, pasti dia orang gila. Ia pasti tambah gila jika hidup untuk tahun-tahun berikutnya. Tetapi calon-calon penggantinya juga sama saja. Lalu, apa yang kami akan lakukan?

Binun tiada tara. Loyo kaki. Sesak napas tiada henti.

Terlihat beratus-ratus tanda bahwa ekonomi negeri akan memburuk, sangat buruk. Dan, kami masih bingung lalu berdoa saja. Ya. Hanya bisa berdoa dalam cemas dan getas.

***

Tibalah pada suatu masa genting. Antara kota Lamongan dan Semarang. Tertulis di rural kota, "jalan Muhammad menuju sorga ada empat: teks, iman, ilmu dan amal. Sedang jalan Budha menuju sorga ada delapan: pandangan, niat, bicara, perilaku, penghidupan, usaha, ingatan, pikiran yang benar.

Jalan Kristus menuju sorga ada lima: tuhan yang menubuh, tubuh yang menuhan, gratia, sallus, propheta. Sedangkan jalan Nusantara menuju sorga ada empat: merdeka, mandiri, modern, martabatif."

Kau pasti tahu, mencari dan macari perempuan itu enigma. Tak semudah menggoreng mendoan. Tak tahunya itu di halaman. Seperlemparan batu bata saat kita main petak umpet. Jauh tak terengkuh; dekat tak melekat.

Setelah mempersuntingnya, harapku kalian tak menjadi Indonesia: dikutuk limpahan sumber daya alam (resource curse). Begitulah yang terjadi. Kekayaan alam yang kita miliki bukannya menjadi berkah (blessing) bangsa ini tapi justeru menjadi kutukan yang tiada pernah berhenti, sampai negeri ini berubah menjadi kawasan hidup para drakula.

So, rizal adikku. Tidak mungkin kita bisa percaya pada mereka yang berideologi neoliberal menjadi bagian dari komunitas kemanusiaan karena mereka anti kemanusiaan.

Mereka hidup dengan ontologi homo homini lupus, dari epistemologi survival of the fittes, dari aksiolologi oligarki-kartel-kleptokrasi-predatoris yang bahagia di atas penderitaan sesama dan berduka di saat sesama bahagia.

Tapi, pasukan neoliberalis selalu berjejaring kuat laksana kuda sembrani. Mengelilingi kekuasaan dan menyetubuhi keserakahan sambil mengkader agensi-agensi tercerdas yang kebingungan karena ketiadaan simbol moral di zamannya.

Neoliberalisme hidup dalam kecongkakan dan rasis sehingga menolak pemerataan sambil memupuk pertumbuhan. Menciptakan krisis ekonomi-finansial sambil membiyayai budak-budak amoral jadi pilihan publik.

Lahirlah ironi-ironi. Berjamurlah drama gnosida bangsa dan merajalela perampokan yang dilindungi serdadu plus kejahatan yang dikurikulumkan sebagai agama baru. Mafia migas, mafia alutista, mafia kontrak karya, mafia jual-beli budak, mafia narkoba, mafia perjudian dan prostitusi, mafia pajak, mafia undang-undang anti konstitusi adalah produk-produk ekopol terbaik dari madzab neoliberal di Indonesia.

Akibatnya, puisi bangsa ini cuma tiga:

  1. Struktur ekopol masih sangat begundal;
  2. Struktur tata negara anti konstitusional;
  3. Struktur mental masih kolonial.

Rizal, kau tahu tafsir puisi itu? Menurut Gus Dur, dulu ada kapal berisi penumpang berbagai bangsa karam. Ada tiga orang yang selamat, masing-masing dari Prancis, Amerika dan Indonesia.

Mereka terapung-apung di tengah laut dengan hanya mengandalkan sekeping papan. Tiba-tiba muncul jin yang baik hati. Dia bersimpati pada nasib ketiga bangsa manusia itu, dan menawarkan jasa. “Kalian boleh minta apa saja, akan kupenuhi,” kata sang Jin. 

Yang pertama ditanya adalah orang Prancis…. “Saya ini petugas lembaga sosial di Paris,” katanya. “Banyak orang yang memerlukan tenaga saya. Jadi tolonglah dikembalikan ke negeri saya.” Dalam sekejap, orang itu lenyap, kembali ke negerinya. 

“Kamu, orang Amerika, apa permintaanmu?” “Saya ini pejabat pemerintah. Banyak tugas saya yang terlantar karena kecelakaan ini. Tolonglah saya dikembalikan ke Washington.”

”Oke,” kata Jin, sambil menjentikkan jarinya orang Amerika lenyap seketika, kembali ke negerinya. 

“Nah sekarang tinggal kamu orang Indonesia. Sebut saja apa maumu.” ”Duh, pak Jin, sepi banget di sini,” keluh orang Indonesia. “Tolonglah kedua teman saya tadi dikembalikan ke sini.” 

Zutt, orang Prancis dan pria Amerika itu muncul lagi. Apakah ketiganya menikah lalu sarapan puisi seperti kalian? Aku tak tahu.

***

Kata ibuku, "kebenaran akan memberimu kekuatan melebihi apapun. Idealisme akan memberimu vitamin perlawanan melebihi kekuasaan." Ini yang membuatku bertahan. Meniti idealisme.

Terus, dan sering ibuku berfirman, "salatmu itu memperjuangkan keadilan orang-orang tertindas. Zakatmu itu membela kaum miskin dari jahatnya para perampok. Masjidmu itu berdiri bersama kaum cacat di seluruh Indonesia."

Jadi bukan salat lima waktu, bukan zakat fitrah 2.5 kg, bukan masjid mentereng di sekitar perumahan kumuh.

Maka, kata ibuku, "hanya syaithan yang membuat kita serakah. Hanya malaikat yang membuat kita beribadah. Manusia berisi keduanya. Jika hanya salah satu, ia memilih mengabsenkan akalnya. Semoga kalian anak-anakku tak menjadi syaithan yang berkecambah di Indonesia." Itulah seni menyemangati dari ketikan ibuku buat semua anak-anaknya.

Tentu, sejak masa anak-anak dan saat mengenang masa remaja, nasihat itu diazankan. Berulang dan berulang. Tanpa refleksi itu, kita tak mengenal tua. Apalagi bijaksana. Sebab, kita adalah setan-setan berwajah jenaka. Jarang menjadi malaikat tak berdosa.

Betapa revolusioner ide-ide agama dan nasehat ibuku! Mungkin karena ibuku tahu bahwa di Indonesia, orang-orang tolol, nggedubrus agama. Orang cerdas, bicara ekonomi. Orang jenius, bicara revolusi.

Mungkin juga karena literasinya mengatakan bahwa, semua agama samawi (Yahudi, Kristen, Islam)  itu berawal dari gerakan protes terhadap kondisi masyarakat dan pemerintahannya yang gak bener.  Itulah sebabnya para Nabi senantiasa dimusuhi para penguasa saat itu. Karena itu mestinya intelektual itu warosatul anbiya, pewaris para Nabi, maka mestinya juga progresif. Itu harapan ibuku melihat anak-anaknya yang sarjana.

Sayangnya, lingkungan kami (anak-anaknya) buruk rupa. Lingkungan yang asosial walau ada pancasila. Kini puncak posisi lingkungan kita menghidupi zaman edan, kalabendu dan penyembah keburukan semesta. Buktinya berceceran di mana-mana.

Kita tahu. Tingginya angka anti konstitusi (tentu juga rabun sejarah) berkorelasi positif terhadap tingginya ketersesatan jalan ekonomi-politik nasional. Tingginya ketersesatan jalan ekonomi-politik ini berkorelasi positif terhadap tingginya pengangguran di Indonesia.

Tingginya angka pengangguran ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka kemiskinan. Dan, tingginya angka kemiskinan berkorelasi positif terhadap tingginya kekayaan elite oligarki. Serta, tingginya kekayaan elite oligark ini berkorelasi positif terhadap tingginya angka korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN).

Dan, kita belum tahu ujungnya. Juga belum tahu bagaimana mengakhirinya. Padahal, waktu tak berhenti. Sebab, jika berhenti akan memenggal kita: mati.

***

Pagi ini, kutak pesan kopi. Senin. Saat tepat puasa. Dari segalanya kecuali revolusi. Ya. Revolusi. Sebab jokowi makin hari makin sedeng: mencintai keblingeran dan mengimani kesemrawutan. Semua hanya kepalsuan: meniru ide karno hanya untuk menipu warga negara. Dan, dari solo segala kepalsuan ini dimulai.

Tapi mau bagaimana lagi? Beberapa gelintir elite terlalu mencintai kedudukannya sampai tidak tahu fungsinya untuk memanusiakan manusia. Kedudukan dan jabatan tanpa keluhuran adalah potret elite hari ini dan kemarin, tentunya. Hari ini lugu, kemarin dungu.

Pagi ini. Kusampaikan buatmu senyum terindah dalam sisa hidupku. Sambil merekonstruksi kembali gairah 98. Sambil kujalin kembali sisa pasukan waras. Sambil merindukan nalar cerdas. Soal-soal kejeniusan bernegara, kuceritakan si Hugo: sastrawan besar yang tak sempat engkau geluti. Sebab, membaca karyanya seperti menjumpai kasihmu: menggetarkan dan menghanyutkan.

Kawanku, Andi Firmansyah (2014) mengetik dengan baik soal Hugo. Kubagi buatmu sebagai cerpen pengantar kerja; teman untuk memahami langkah-langkahku; tambahan pengetahuan soal sastra dan jalan hidup.

Nama kerennya Victor Hugo (1802-1885). Ia dilahirkan di Besancon, Prancis, 26 Februari 1802, meninggal 22 Mei 1885. Nama lengkapnya Victor Marie Comte Hugo, putra seorang jendral yang cukup terkemuka di zaman Napoleon.

Ayahnya pernah menjadi gubernur di Spanyol dan Italia. Sejak usia lima belas tahun ia telah menulis puisi dan tahun 1817 mendapat pujian dalam sayembara yang diadakan Akademia Prancis dan tahun 1819 memperoleh hadiah sastra dari Academia des Jeux Floraux de Toulouse. Hugo menduduki tempat terhormat dalam sastra Prancis karena karyanya mendominasi hampir seluruh abad 19.

Ia merupakan pemuka aliran roamantik, baik dalam puisi maupun dlm prosa. Tahun 1822 terbit kumpulan puisinya Odes et Ballades yang berhasil menarik simpati publik. Tahun 1823 terbit novel pertamanya Han d’Islande meruakan buku hadiah perkawinannya dengan Adele Foucher (1822).

Di rumah pasangan inilah tempat pertemuan kaum romantikus Prancis. Drama yang pertama berupa epos Cromwel (1827) dan dramanya yang kesohor adalah Hernani (1830), Les Roi s”Amuse (1832), Marie Tudor (1833) dan Ruy Blus (1838).

Selama tujuh belas tahun sejak penerbitan pertama, ia telah menerbitkan sejumlah kumpulan esai, tiga novel dan lima kumpulan puisi. Masing-masing kumpulan puisinya adalah Les Orientalis (1828), Feuilles d’ Automne (1831), Les Voix Interiues (1828), dan Les Rayons et Les Ombers (1840).

Sementara dua romannya yang sangat terkenal dan tentunya sangat memikat hati adalah Notre Dome de Paris (1831) dan Les Mirables (1862). Melewati masa panjang dalam sejarah Prancis, Victor Hugo mengalami dan mengikuti kegiatan pemerintahan hingga saat rezim yang berkuasa jatuh dan ia ikut terusir.

Pengalaman itu memperkaya wawasannya dalam kegiatan sastra. Sehingga masa pengasingannya ke luar negeri merupakan bagian dari kegiatannya belajar dan menulis hingga kembalinya ke Prancis setelah runtuhnya Kekaisaran Kedua (1870) dan berdirinya Republik Ketiga, di mana ia ikut ambil bagian dalam lembaga legislatif.

Dua dekade terakhir kematian orang-orang tercintanya membuat ia tercambuk untuk menulis lebih banyak karya lagi. Ketika meninggal dunia, peti jenazahnya diarak dalam suatu prosesi nasional yang agung dari Arch de Triomphe ke Pantheon.

Kau tahu? Karya-karya Hugo banyak memberi pengaruh kepada sastra dunia, menjadi bahan polemik dan sumber inspirasi. Ia merupakan salah seorang sastrawan agung dan kenamaan abad kesembilan belas dan secara khusus memberi landasan yang kuat dan kokoh dalam aliran romantic. Ia menulis dalam sejumlah genre sastra yg luar biyasa. Bagiku, ia inspirasi yang kadang muncul namanya dalam parfum dan rumah-rumah mode.

Kapan kita berkunjung ke makamnya, kucium pipimu di samping pusaranya nanti. Tentu setelah mengganti rezim lugu ini dengan pasukan muda perealisasi pancasila.

***

Buat teman-teman yang merasa membela islam.

Beberapa kawan jurnalis bertanya padaku soal (wacana) revolusi akhlak yang sedang berlangsung. Kujawab, kemarahan tanpa gagasan seperti kemarahan istri yang lama tak ditiduri. Pendek, tak bernalar dan tentu tak mengakar. Ia akan habis begitu suami menyetubuhinya.

SELESAI

Hari kemarin dan hari-hari esok, kemarahan itu akan bernas dan kuat jika diisi dengan argumen yang dahsyat. Yaitu kesadaran berbangsa dan bernegara yang konstitusional demi tegaknya keadilan dan kesejahteraan (oleh semua, untuk semua, dari semua). Di mana road mapnya cukup panca kerja:

  1. Rekonstitusi,
  2. Nasionalisasi aset strategis,
  3. Rekapitalisasi bumn,
  4. Transformasi shadow economic,
  5. Pro pemerataan.

Kapan-kapan kujabarkan lebih rinci makna dari tiap kerja yang lima. Sabarlah sayang.

Jika gagal mensosialisasikan yang lima dan tentu akan gagal merealisasikan maka pasti kutemukan engkau dalam ceria dan sendu. Ceria dengan karirmu. Sendu dengan kasihmu. Engkau tegar. Engkau perkasa. Tetapi, kasihmu padaku saat kuluka: mati dalam sunyi dan sepi. Luka dengan sejuta kecewa. Perih karena takdir yang tak terpermanai. JalanNya yang hempaskan tubuhku remukkan dada. Tak ada nyawa. Tak ada asa. Tak ada cinta. Tak ada rindu. Tak ada kangen. Tak ada apa-apa. Namum lembut belaimu balutkan luka; lembut senyummu sembuhkan pilu; lembut kasihmu tumbuhkan nyawa.

Engkau gandeng tanganku saat kumuak; saat tak ada iman pada dunia. Saat semuak-muaknya pada takdir yang bisul dan gigil. Muak dengan sesatnya agama dan pertemanan. Sebab mereka membuatku muntah lepaskan amarah; sumpah serapah. Namum hangat senyummu redakan luka; agak reda. Dari memar ke sedikit percaya. Jika saja engkau tahu. Aku adalah rapuh si dungu.

Akankah engkau tetap menyayangiku seperti sayangnya mentari pada makhluk bumi? Bersinar sepanjang semesta mengada. Tak peduli kalian siapa.

Tetapi jika kalian mampu memproduksi agenda itu maka pasti kubertanya: Engkaukah itu? Bidadari yang mengirim lagu. Bunga peradaban yang wangi vaginanya seperti syorga. Yang kini menimpakanku ber ton-ton kekangenan tanpa kenal waktu. Yang dengan berjejuta lembar bayangmu merebut tiap hempasan nafasku. Yang tegas keras mengikat tiap persendian tulangku. Yang kadang lirih bersyahadat rindu di kupingku. Taukah engkau? Dengan merindukanmu, Aku menemukanmu; mendapatkan separuh jiwaku; melengkapi separo nafasku; yang kemarin mati kini terlahir kembali.

Engkaukah itu? Yang tak mengagumiku; yang tak terlalu mengenalku; yang mungkin mencintaiku tanpa tahu;  yang kuharap melengkapi semua asaku; memabukanku; membuatku gila, segila-gilanya. Sebab engkau bermain di atas taman hatiku; selalu berdendang di ujung rinduku.

Engkaukah itu? Yang kadang hilang karena diterjang mesra sang bayu.

Engkaukah itu? Bunga sejarah di kolam renang dan lautan kasih. Pualam yang memeluk penuh aroma terapi dan yang perlahan menaklukanku. Setakluk-takluknya. Sujudku kini selalu menyebut namamu.

Revolusiku. Aku merindukanmu. Aku jatuh hati denganmu.

Tahukah engkau. Kemarin. Ya kemarin. Dunia sepi. Hidup sunyi. Ketika itu engkau bernyanyi sehingga gembira kembali. Maka berkali-kali dan kembali aku merindukanmu. Sangat-sangat rindu. Kini. Ya kini. Aku bercumbu dengan setumpuk rindu yang membelenggu. Sampai nanti aku melamarmu. Dengan sebongkah hati yang kuat untuk mengetik peradaban. Kabarkan pada alam. Agar sunyi dan sepi tak hadir kembali. Maka kukecup putingmu di setiap mataku membuka. Kuucapkan mari bekerjasama dalam suka dan duka. Mari rebut kembali kemerdekaan kelima. Republik berdaulat. Republik ummat.

Maukah kalian mensosialisasikan road map revolusi kita? Semoga.

***

Dunia tak seramah dan semudah dalam buku.

ASTI bertanya padaku soal itu. Kujawab, ia disebut trias revolusi: mental, nalar dan konstitusional. Kulminasi dari menanam, memanen dan menabung. Ini harus dikerjakan bersama secara simultan, berkelanjutan dan tertradisikan.

Sebab, sebagai negara postkolonial yang telah milyaran hari dirampok, kita mewarisi tiga hal: 

  1. Mental kolonial: inlander, instan dan mendendam. 
  2. Nalar kolonial: fasis, feodalis dan fundamentalis. 
  3. Konstitusi kolonial: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris.

Ketiga warisan itu menciptakan 5K: kemiskinan, kepengangguran, kebodohan, kesakitan, ketimpangan. Kerananya kita membutuhkan solusi, jalan, obat dan subjek. Itu hanya dapat dikerjakan oleh manusia pancasila berideologi pancasila. Menciptakan Indonesia Raya, Nusantara dan peradaban Atlantik.

Apa musuhnya? Adalah ide dan praktek fundamentalisme. Di negeri-negeri liberal, musuhnya fundamentalisme agama. Di negeri-negeri postkolonial, musuhnya fundamentalisme pasar.

Di indonesia, dua fundamentalisme itu bersetubuh. Persetubuhan dua fundamentalisme ini melahirkan teror yang membuat perdamaian hilang digantikan kebencian, kejahiliyahan dan peperangan.

Fundamentalisme agama menciptakan identitas baru yang bineris:  "aku" versus "kamu" atau "kita" versus "mereka." Fundamentalisme agama berkeyakinan bahwa agamanya (tuhannya) di atas segalanya: segala-galanya.

Fundamentalisme pasar menciptakan identitas baru yang brutal-dominatif: oligarkis, kartelis, kleptokratis dan predatoris. Fundamentalisme pasar berkeyakinan bahwa pasar di atas segalanya: segala-galanya.

Globalisasi percaya bahwa setiap orang punya hak yang sama dalam lapangan politik dan ekonomi. Pada praktiknya, paham ini menjelma menjadi neoliberalisasi di mana pasar dikuasai oleh segelintir orang dan kelompok yang mendikte mayoritas orang dan negara lain.

Pada gilirannya, kebebasan yang tadinya dipercaya sebagai berkah dan alat untuk memerdekakan orang, menjelma menjadi alat bagi segelintir orang untuk menguasai kue politik dan ekonomi bagi dirinya saja.

Dua fundamentalisme ini melahirkan ketimpangan, ketidakadilan, penjajahan gaya baru, memicu kemarahan, kebencian, memberikan alasan bagi kelahiran teror dan chaos.

Kita marah atas tumbuh dan berkembangnya dua fundamentalisme tersebut, tetapi itu tidak cukup. Kita harus jenius.

Saat Indonesia menghadapi dua jenis fundamentalisme ini, kita harus melakukan pekerjaan jauh lebih besar dari sekadar marah dan pasrah. Kita harus menikam mati tepat di jantungnya, dua jenis fundamentalisme yang sedang menguat sebagai kanker peradaban.

***


Kepadamu Yang Sedang Bekerja

Berani hidup, tak takut mati. Takut hidup, mati saja. Takut mati, hiduplah berarti. Hidup cuma sekali, hiduplah dengan jati diri. Demikianlah nasihat guru-guruku saat remaja.

Kini, kita semua sedang "kembali" menjalani hidup. Setelah semilyar detik mati. Mari kini kita kembali bermimpi tentang apa yang ingin kita impikan: pergi ke tempat-tempat yang kita ingin pergi; menulis tentang apa-apa yang benar dan jujur; mengkritik tentang kehancuran mental dan moral di semua lini.

Dan, jadilah seperti yang kita inginkan karena kita hanya memiliki satu kehidupan dan sedikit kesempatan untuk melakukan hal-hal yang ingin kita kerjakan.

Bermimpi hidup bersama keadilan; pergi bersama kesejahteraan; menjadi diri sendiri bersama kemerdekaan, kemandirian, kemodernan dan kemartabatan (5K); bercinta dengan kekasih idaman; bersenda-gurau dengan keluarga harmonis adalah soal subtansi berindonesia kini.

Tetapi, kawan-kawanku semua, "apapun kualitas makanan dan sekolah kalian, dengan berbagai retorika dan argumentasi teoritik, pada akhirnya yang diperlukan kini, adalah watak intelektualisme yang mujtahid, mujadid, revolusioneris dan asketis. Semua harus menyatu menjadi kesadaran genetik setiap warganegara. Tanpa itu semuanya absurd: tidak ada keadilan sosial, tidak ada kesetaraan sosial, tidak ada kemerdekaan individual dan negara, bahkan kita tidak lebih dari perampok yang kapitalistik dan menjadi sumber ancaman publik plus mengkhianati konstitusi."

Kalian yang bijak bestari. Betapa kalian berdiskusi diakhiri berdoa menutup mata khusuk sekali. Saat terbangun membuka mata, semua SDA dan SDM sudah dicuri. Jadilah kita generasi miskin. Lalu KKN saat berkuasa. Ah kita kok jd begini lugu, naif dan blusukan saja? Kok tak ada dentuman besar dan tak ada pahlawan? Engkau di mana. Kalian sedang apa.

Karenanya, mari menghisab (menghitung) diri sendiri, sebelum diri kita semua dihisab kelak. Menghitung hal-hal yang mungkin sering lupa dan alpa: seperti peringatan orang bijak di masa purba, "ingat masa mudamu sebelum datang masa tuamu. Ingat masa sehatmu sebelum datang masa sakitmu. Ingat masa kayamu sebelum datang masa miskinmu. Ingat masa lapangmu sebelum datang masa sempitmu. Ingat masa hidupmu sebelum datang masa matimu."

Mari menyanyi. Lagunya Raisa. Berjudul jatuh hati. Agar tak pengap dan jijik lihat gigi jokowi. "Ada ruang hatiku yang kau temukan/Sempat aku lupakan kini kau sentuh/Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati/Kuterpikat pada tuturmu/Aku tersihir jiwamu/Terkagum pada pandangmu/Caramu melihat dunia/Kuharap kau tahu bahwa kuterinspirasi hatimu/Kutak harus memilikimu/Tapi bolehkah ku selalu di dekatmu/

Ada ruang hatiku kini kau sentuh/Aku bukan jatuh cinta namun aku jatuh hati/Katanya cinta memang banyak bentuknya/Yang kutahu pasti sungguh aku jatuh hati/"

Aku bahagia menyanyikannya. Itulah cinta dan hidup yang seharusnya dijalani. Berbahagia, bercinta dan saling bercerita dengan riang gembira. Terimakasih atas waktu dan cinta yang menyegarkan hidup dan kehidupan.

Dengan berlinang air mata kini kuminta padamu, jadilah pengingatku wahai bidadariku. Alarm saat aku lupa dan tua. Sebab tugas terbaik kekasih adalah saling menjaga, mengkritik dan melindungi.

***

1 Tahun lalu: Nalar hatiku adalah kematian.

10 Tahun lalu: Masa depanku adalah kejumudan. 100 Tahun lalu: Hidupku adalah pembrontakan. 1000 Tahun lalu: Bintangku kesepian dan kesendirian.

Semua yang ada di kita cuma titipan Tuhan. Kita lahir telanjang. Mati sendiri berkain kafan. Apa yang dibanggakan dari titipan? Apa yang ditakuti dari kemiskinan?

Aku pernah miskin. Aku pernah kaya. Biasa saja. Tak ada yang membuatku takut, malu, bangga apalagi jumawa.

Tetapi kekasihku, dosa itu manis. Hukumannya yang pahit. Karena itulah para pejabat kita suka berbuat dosa sambil mengelak dari hukumannya. Tentu saja karena mereka tahu tak ada hakim kebal sogokan; tak ada polisi benci gratifikasi; tak ada pengacara anti suap. Semua lembaga dan agensi hukum kita adalah kakek-neneknya kejahatan purba.

Sambil menangis karena rindu, kubertanya, "adakah sejarah yang lebih getir dari manusia yang ditipu saudaranya dan dipaksa bayar pajak mahal oleh negaranya serta dirampok semua usaha oleh teman-temannya plus dikhianati oleh kekasihnya?"

Mestinya tsunami kemarin menjadi berkah yang menguatkan mental, menabahkan jiwa, menjujurkan sikap, menguletkan tindakan, memastikan rendah hati dan memosisikan diri siap menghadapi takdir yang lebih dahsyat. Bukan sebaliknya.

Membuatmu minder dan menipu diri; takut selain pada Tuhan; hidup dalam kejahiliyahan. Agama apa yang kau peluk sebenarnya? Bencana apa yang meluluhlantakkan iman dan nalarmu sebenarnya? Jangan-jangan kau diperkosa ramai-ramai oleh sundelgrowong, tetangga, pemabuk dan kyai sekaligus?

Di hari sedihku (karena engkau melupakanku), tak ada doa yang kupanjatkan selain memohon pada Tuhan dan semesta agar menguatkanmu, memeluk dan merawatmu dalam setiap kondisi, menjagamu untuk idealis di jalan-Nya, mengangkat derajatmu lebih tinggi di sisi-Nya.

Selamat bekerja, jiwaku; kasihku; cintaku. Selamat bergabung di club dunia yang berusaha bergotong royong menaklukan rintangan dan tantangan kehidupan.

Kini kita lihat adanya hanya perang di medsos (pencitraan); Politik tanpa keputusan; Melanjutkan teater besar di republik akibat (pidato basa-basi); Bersahutan dalam fitnah. Empat perilaku politik itulah yang berulang di republik. Perilaku ananiyah dan menjijikan. Sebab tak ada hasil subtantif yang dihasilkan buat warga negara.

Dalam pendekatan teori kekuasaan politik, aksiologi di atas disebut "berkuasa tanpa kekuasaan dan kekuasaan tanpa pengetahuan." Ini tentu kesalahan kita semua: pemilih pemimpin dungu dan pemimpin lucu yang culun. Keduanya mutualisma dan resiprokal.

Kekuasaan sesungguhnya merupakan kewenangan yang dimiliki seseorang karena suatu hal (politik, ekonomi, moral, warisan dll). Kekuasaan juga kemampuan seseorang untuk memengaruhi tingkah laku orang lain sesuai dengan keinginan dari pelaku; memengaruhi pihak lain untuk berpikir dan berperilaku sesuai dengan kehendak yang memengaruhi.

Tetapi, kekuasaan tanpa putusan yang memihak publik, kaum lemah dan tertindas sesungguhnya bukan kekuasaan dalam arti sesungguhnya. Pseudo-kuasa. Wayang. Petugas. Objek. Budak.

Itulah yang kini tinggal di istana hasil demokrasi liberal yang gigantik dan guyon yang luarbiyasa. Maka, kalau kalian mau bernegoisasi dengan penguasa, cek dulu siapa penguasa sesungguhnya.

Kalian tahu? Di negara ini, Tuhan disembah saat Ia sedang menjauhi (kekeringan sebagai misal) dan diingkari saat Ia sedang mendekati (multikulturalis sebagai misal). Apakah ini karena jalan-Nya sulit dipahami atau karena manusianya bengal?

Padahal. Manusia adalah Tuhan yang menyejarah. Tuhan adalah manusia yang mengabadi. Tuhan dan Manusia adalah sejarah dan keabadian.

Tetapi kini, saat semua kalah, tugas kaum neoliberalis hari ini adalah meyakinkan dan memastikan agar Indonesia fokus di sektor konsumsi. Jadi konsumen belaka. Bukan mandiri di sektor produksi, sektor modal (investasi), sektor transportasi, apalagi sektor finansial.

Tugas kaum konstitusionalis adalah sebaliknya. Tuan Jokowi, anda paham? Pasti tidak.

***

Untuk kejahatan penjarahan, perampokan dan penyopetan oleh elite (ekopol) yang mengakibatkan kerugian BUMN sampai puluhan-ratusan triliun, pasti melibatkan beberapa institusi, agensi dan otoritas yang punya kewenangan yang berbeda dan luwarbiyasa besar.

Hanya bangunan komplotan besar dengan kekuasaan yang besar yang bisa mengoperasionalkan kejahatan besar elite dan berada di ruang-ruang istana.

Karena itu, saat kementerian BUMN menegaskan bahwa pengembalian dana gagal bayar nasabah Jiwasraya bakal dicicil mulai awal Maret 2020, maka sejak awal sudah terbaca bahwa ujung-ujungnya kerugian dari perampokan keuangan BUMN akibat dari perbuatan orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, akan dibebankan ke negara atau jadi kerugian negara. Diambilkan dari uang rakyat dan pajak kita-kita juga di APBN.

Cek saja sejak BLBI, Bank Century, e-KTP, Hambalang, proyek-proyek infrastruktur, Jiwasraya, ASABRI, dll. Modus bailoutnya saja yang sedikit bervariasi tapi ujungnya tetap sama yaitu beban negara: beban APBN.

Modusnya itu ada obligasi rekap, merger, akuisisi, holdings dll. Teknik ini selain untuk menghilangkan jejak juga buying time agar publik lupa.

Inilah negaramu. Siapapun yang menang dan berkuasa, Indonesia masih corruptions friendly country. Mau marhen, mau santri, mau maliter, mau nasionalis, mau komunis, mau liberalis pada intinya sama: berniat dan praktek nyolong. Terbukti berulang kali.

***

Walau sebentar, tapi menjengkelkan. Walau tak lama, tapi menghancurkan. Ada ruang hatiku yang kau temukan. Diberilah engkau kesempatan. Tak tahunya kian binasa dan mengecewakan.

Ada waktu hatiku yang kau pinjam. Sempat aku lupakan kini kau sentuh. Tanpa program. Hanya blusukan. Aku bukan jatuh cinta namun jatuh hati. Tepatnya tertipu. Oleh laku hidupmu yang lugu. Tanpa ide dan gagasan.

Kowi. Kuterpikat pada tuturmu. Kutahu kini kau durja kecurangan. Kutersihir jiwamu. Kutahu kini kau durja nepotis. Kuterkagum pada pandangmu. Kutahu kau durja dinasti. Kuterbengong caramu melihat dunia. Kutahu kau durja rente. Kuharap kau tahu bahwa kuterinspirasi hatimu. Kutahu kau durja kebegundalan. Kutak harus memilikimu. Kutahu engkau durja maling: dari angka pemilu sampai jiwasrayagate.

Tak ada yang abadi. Kau bisa membohongi semua makhluk bumi. Sampai mereka berujar bolehkah kami selalu di dekatmu. Tetapi. Untuk menikam mati dengan belati tepat di silitmu.

Kukira masih sama. Tahun 2015 kuberucap kau mengalami the power of the outcasts. Kekuasaan yang terbuang. Sia-sia. Kuasa untuk memeratakan kemakmuran dan kesentosaan. Maka, di gegap ketiadaan kewarasan, tak ditemukan jalan pulang dan tokoh merdeka plus agen kharismatik. Dalam seluruh diskursus kemandirian via revolusi mental dan nawa cita, kita tak menemukan daya cipta (apalagi dentuman besar) bagi kemartabatan ekonomi-politik. Tak ada nasionalisasi apalagi kemartabatan ekonomi.

Tuna kuasa. Sebab yang berkuasa itu sesungguhnya bukan yang sedang berkuasa. Itu artinya, struktur ekopol kita lebih memuja ketidakadilan hasil warisan rezim lama. Kebudayaannya masih oligarkis, kleptokratis, kartelis dan predatoris. Tak ada kekuasaan yang dapat telanjang terbaca kecuali remeh temeh. Semua sumir dan telenovela. Skrip dan sutradaranya masih "hantu blau."

Yang sangat merepotkan, struktur kekuasaan negara diisi oleh hampir benar, "mereka yang tidak mengerti kekuasaan" sehingga mereka sesungguhnya orang buangan: petugas yang culun dan lugu. Dibuang dari keumuman ke daerah para setan bertahta.

Maka yang dikerjakan kaum terbuang dalam kekuasaan hanyalah guyon dan tertawa. Karena tak biasa, dibuatlah temu lawak nusantara. Di istana. Wasuk raa!

Kini desain ekopolnya nyaris sempurna dalam ketidaksempurnaan. Bergelora dalam kedunguan. Disfungsi dan ejakulasi dini. Bergerak tanpa konsep besar walau tangan dan niat tak mencuri. Di tangan penguasa yang tidak berkuasa, rakyat jelata adalah santapan pertama. Korban mesin tanpa pikiran.

Semua tahu. Negara tanpa keadilan itu omong kosong; ibadah tanpa akhlaq itu pencitraan; pengetahuan tanpa toleransi itu mubadzir; kekuasaan tanpa pemerataan itu firaun dan ucapan tanpa tindakan itu widodo (tipu-menipu).

Kini, sudahlah. Lupakan harapan-harapan pada ratu adil. Jangan hiraukan ratu cakil. Jangan tertawakan petruk jadi raja. Siapkan diri kita pada krisis dan kepedihan di masa depan. Sehingga jikalau ada perbaikan, kita tak kaget. Kalaupun ada pemburukan, kita sudah mafhum belaka. Yang penting, aku masih setia bersama kalian: yang miskin, bodoh, cacat dan terpinggirkan.

***