NEGARA PROGRESIF ADALAH NEGARA PANCASILA - Yudhie Haryono


Saya akan mulai dengan sebuh kisah dahsyat. "Saat itu, Muhammad dikelilingi oleh kawan-kawannya. Mereka bertanya, 'apa tujuan Muhammad mengajak mendirikan negara (din wa daulah)?' Muhammad menjawab, 'untuk mendapat kebahagiaan-keselamatan (farhan wa salam).'

Lalu, kawan-kawannya bertanya, 'bagaimana cara mendapatkan kebahagiaan?' Muhammad menjawab, 'dengan kemerdekaan (khuriyah wa istiqlal).' Lalu, kawan-kawannya bertanya lagi, 'bagaimana ciri orang merdeka?' Muhammad menjawab, 'mampu mengatur diri sendiri (mandiri--syariah wa hukumiyah).'

Kemudian, kawan-kawannya bertanya, 'dengan apa menjaga kemandirian?' Muhammad menjawab, 'dengan teks (nash wa kitab).' Lalu, kawan-kawannya bertanya, 'apa itu cukup?' Muhammad menjawab, 'tidak. Sebab teks adalh benda mati. Karena itu, teks harus tunduk pada moral (uswah hasanah wa makarimal ahlak).'

Singkatnya, sesempurna apapun sebuah teks, jika penafsirnya amoral, hancurlah hasilnya. Sesempurna apapun moral penafsir, jika teksnya amoral, tak akan sempurna hasilnya.

Dus, teks dan moral adalah pasangan akut pada dua wajah koin yang saling menyempurnakan. Tugas manusia dengan demikian adalah menyempurnakan teks dan moral sepanjang masa secara bersama lalu menjaganya sebagai warisan masa depan.

Ingat, ketika moral mati, ketika mental hilang, ketika nalar tumpul, digantikan dengan tekhnik, negara dan agama kehilangan segalanya.

Sebagai gantinya, orang lalu berbondong-bondong memeluk fundamentalisme: agama tanpa moral, tanpa etik, tak punya akhlak; negara tanpa visi, alpa misi dan defisit agensi.

Di sini kita tahu keniscayaan negara. Ingat, tanpa negara Indonesia yang merdeka, kita sulit ngopi bersama sebab pasti jadi budak romusha.

Kita tak mungkin punya presiden Jokowi sebab doi pasti jadi budak penyeduh kopi. Tetapi negara yang bagaimana; negara seperti apa? Tentu jawabannya adalah negara pancasila.

Sebuah negara progresif yang cepat, maju, signifikan dan sustainable plus berkelanjutan. Tentu saja menjadi lebih baik karena membela semua warganya. Bukan membela yang lain. Bukan membela si kaya saja.

Negara Pancasila dihadirkan untuk semua; yang tak individual; yang tak berbasis sara (suku, ras, agama); melainkan kebangsaan, kejeniusan dan kemartabatan.

Ia merdeka, mandiri, modern dan martabatif karena menumpas kemiskinan, ketimpangan, kesakitan, kebodohan, kebudakan dan kedustaan yang diimani para oligark, predator, kleptokrat dan begundal kolonial.

Kalian tahu istilah progresif-rock di musik? Adalah bentuk-bentuk perlawanan kepada keseragaman dan kemapanan (oligarki, kartel, kleptokrak, predatorik) yang berlaku feodalis, fundamentalis dan fasis.

Ketika akhirnya mereka “nyempal” dengan mengkolaborasikan beberapa entitas musikal, progresif rock berhasil menempati posisi terhormat sebagai genre tersendiri.

Begitupula negara progresif.

Dalam tesis yang terbaik soal ini, Pak Zaenal Mahirin (2016) punya tulisan, "kini kita sedang MENUNGGU YANG REPUBLIK. Karena jutaan buruh hanya punya doa tanpa merasa punya negara. Jutaan penganggur bahkan sudah lupa atau tidak mengerti kalau di tanah ini ada negara.

Emas, tembaga, gas, SDM bahkan ikan di tanah mereka sendiri dibiarkan dicuri. Negara absen. Negara di mana engkau kini."

Negara progresif dengan demikian ditandai oleh agensi dan undang-undang revolusioner yang merealisasikan lima dasar statis (bertuhan, berkemanusiaan, bergotong-royong, berdemokrasi, berkeadilan) yang dikerjakan dengan empat dasar dinamis (melindungi, menyejahterakan, mencerdaskan, membariskan) di semua tempat dan waktu.

Tanpa progresif, negara kita tak ada. Hadirnya justru memperpanjang paria warga.

Masih adakah negara progresif itu di keseharian kita? Sepertinya makin alpa. Semua kini seperti bisnis saja yang bersuka atas telenovela.

***

0 comments:

Post a Comment