YANG KAYA MAKIN RAKUS - Yudhie Haryono


#Belum ada sistem di dunia ini yang mampu meratakan kekayaan secara signifikan. Apalagi sistem demokrasi#

Seorang mahasiswa cerdas bertanya, "bagaimana mengatasi problema negara saat sedikit sekali orang kaya, tetapi banyak sekali orang miskin, dan berjejer para penipu?"

Rhoma Irama (Raja Dangdut) sudah lama menyuarakan kerisauan ini via lagunya. "Hijau merimbuni daratannya/Biru lautan di sekelilingnya/Itulah negeri Indonesia/Negeri yang subur serta kaya raya/Seluruh harta kekayaan negara/Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya/Namun hatiku selalu bertanya-tanya/Mengapa kehidupan tidak merata/

Yang kaya makin kaya/Yang miskin makin miskin/Yang kaya makin kaya/Yang miskin makin miskin/

Negara bukan milik golongan/Dan juga bukan milik perorangan/Dari itu jangan seenaknya/Memperkaya diri membabi buta/Seluruh harta kekayaan negara/Hanyalah untuk kemakmuran rakyatnya/Namun hatiku selalu bertanya-tanya/Mengapa kehidupan tidak merata/

Masih banyak orang hidup dalam kemiskinan/Sementara ada yang hidupnya berlebihan/Jangan dibiarkan adanya jurang pemisah/Yang makin menganga antara miskin dan kaya/Bukankah cita-cita bangsa/Mencapai negeri makmur sentosa/Selama korupsi semakin menjadi-jadi/Jangan diharapkan adanya pemerataan/Hapuskan korupsi di segala birokrasi/Demi terciptanya kemakmuran yang merata/Bukankah cita-cita bangsa/Mencapai negeri makmur sentosa."

Kita tahu, dalam sejarah ekopol Indonesia, arsitektur konglomerasi vis a vis kaum papa lahir karena tiga hal. Pertama, bercokolnya oligarki di kekuasaan negara.

Kedua, bercokolnya kurikulum ketimpangan (neoliberal) dalam bernegara. Ketiga, berkembang biaknya ekonomi haram (shadow economic) di seluruh wilayah negara.

Untuk yang pertama dan kedua, kita sudah sering membahasnya. Kini kita fokus yang ketiga dan cari jalan keluarnya.

Mari mulai dengan pertanyaan, "Apa jawaban "islam" terhadap "bisnis haram" (shadow economic) yang mencengkeram negara?" Tidak ada. Apa jawaban "kapitalisme, sosialisme, enviromentalisme, neoliberalisme dan pancasilaisme terhadap bisnis haram yang mencengkeram kekuasaan sebuah bangsa?" Tidak ada.

Semua isme di Indonesia tidak memberikan jawaban yang adekuat. Sebaliknya, isme itu kedodoran dan romantik.

Kini, sadar atau tidak, diakui atau tidak, Indonesia sedang mengalami kuldesak: jalan buntu dari kekuasaan tumpul dan mandul akibat cengkraman pemodal bisnis haram.

Para pemodal yang mengalokasikan harta dari bisnis narkoba, judi, prostitusi, penyelundupan dan penggelapan pajak. Para bisnisman haram yang hidupnya dilindungi para jendral, rokhaniawan dan para akademisi bayaran.

Singkatnya, kini terlalu banyak warganegara kita yang menjadi penipu-penjahat sehingga “alienated” dari problema subtantif negaranya. Inilah sebab Indonesia tandus dari ide-ide besar yang berdentum. Kalaupun ada, masih kurang efektif dan efisien untuk dilaksanakan.

Sudah begitu, kita bangga mewarisi tradisi-tradisi terburuk dari penjajahan, agama pariferal dan ekonomi terbrutal sepanjang sejarah kehidupan. Warisan destruktif, agensi brooker, kekuasaan bandit, dominasi bisnis haram dan ketiadaan ilmuwan asketis adalah potret kita semua hari ini yang dimulai sejak Orba.

Ekonomnya mempermiskin warganegara. Dokternya menternakkan penyakit. Bankkersnya patgulipat. Hakim, jaksa dan polisi menghancurkan hukum. Rokhaniawan menjual murah fatwa dan umatnya.

Elite pemerintah menjadi budak perut asing. Ilmuwannya melumpuhkan pengetahuan. Kaum mudanya limbo.

Konglomerasi hitam merajalela. Kaum miskin membuncah. Para penipu dan brooker tumpah ruah. Kesenjangan dan ketimpangan jadi takdirnya.

Lalu, bagaimana mengatasinya? Ada tiga cara. 

  1. Lahirkan kembali negara progresif, yang bertugas mengadilkan kesejahteraan dengan membuat pajak super progresif. 
  2. Merekonstitusi seluruh perundangan menjadi pancasilais. 
  3. Memilih pemimpin publik jenius yang asketis-crank dan bercita-cita syahid dalam bernegara.

Dengan tiga langkah itu, kesejahteraan (intelektual, kapital dan spiritual) akan merata; keadilan (alokatif dan distributif) akan ditradisikan; kedaulatan (internal dan eksternal) akan jadi kurikulum utama.

Tanpa tiga langkah revolusioner itu, kita tak mendapat warisan (dari tetua) dan gagal mewariskan (buat turunan).

***

0 comments:

Post a Comment