Dentuman Raksasa "PRIBADI NUSANTARA" - Yudhie Haryono


Kawan. Kita harus mengerti. Beberapa presiden kita gagal saat berkuasa bukan karena kurangnya kemampuan, jaringan, pengetahuan ataupun keberanian, namun hanya karena mereka tidak pernah mengatur energinya fokus pada tujuan bernegara yang ada di konstitusi.

So. Wahai presiden. Kalian tahu, kami mulai muak. Diterjang naiknya harga dan mahalnya kebutuhan. Dihempas konflik dan penjajahan yang tak berujung. Akhirnya, kami hanya mampu bercumbu dengan bayang-bayang.

Para pahlawan, bantulah kami temukan harga diri dan kedaulatan baru. Hingga negeri ini hangat menyambut pagi, menghancurkan sepi, mematikan begundal kumpeni di semua sisi.

Ini kesadaran agung. Dari pengetahuan subtansi. Bahwa warisan terburuk penjajahan adalah mental dan nalar kolonial. Inti nalar kolonial ada lima yaitu fasis, feodalis, fundamentalis, liberalis dan birokratis. Dengan lima nalar itu, Indonesia menjadi:

  1. Pemasok bahan baku
  2. Pemasok babu
  3. Pengimpor barang jadi
  4. Pengimpor ahli
  5. Produsen broker. 

Memahami hal itu, para pendiri republik berusaha merubahnya dengan sekuat tenaga. Yaitu dengan menggelorakan revolusi nalar. Apakah itu? Yaitu gerakan berbasis gagasan dari mental konstitusional. Bernalar membuat kita mampu menempatkan dunia sebagai metoda dan bahan sehingga memberikan perlakuan terhadapnya secara efektif sesuai dengan tujuan, rencana dan keinginannya. Dengan gerakan ini maka lahirlah nalar indonesia: memberontak, hibrida, interdependen, multikultural dan adaptif. Jika diperas, nalar indonesia itu adalah nalar pancasila.

Revolusi nalar dengan demikian adalah jihad merealisasikan pancasila di manapun dan kapanpun serta oleh siapa saja dan dengan segala daya upaya. Inilah gerakan besar sehingga melahirkan mental, rasa dan tindakan dahsyat demi tergapainya mimpi bernegara.

Ya. Indonesia itu seperti perjalanan, perdebatan dan tindakan dari Sabang dan Manokwari. Mencari tapi tak menemukan kemandirian warganegara yang tenggelam oleh amok kolonial lokal. Tanpa teman dan pasukan.

Kini, kutulis sebaris kata. Sejumput rindu dan selarik kalimat mesra. Walau sederhana. Secukupnya. Seadanya. Sebab aku bukan siapa-siapa. Tulisan tertuju bagimu nona. Perempuan yang mengusik jiwa.

Kolonial purba  dan modern itu terus menghancurkan semak belukar Indonesia karena kebodohan dan kemunafikan. Mahluk putih. Senyummu bunga. Musim hujan. Banjir dan kering silih berganti. Wajah cerah ceria. Matamu surya. Hidungmu bulan. Pipimu air. Gigimu angin. Jiwa yang memancar ramah. Tapi selalu gelisah.

Kawan. Ingin selami samudra hatimu. Dalami pikiranmu. Pahami nalarmu. Sucikan cintamu. Guna kutemukan mutiara tiada tara. Lalu terlena rebah di dasarnya. Di jiwa dan cita-citamu. Selalu. Ingin masuki puri di hatimu.

Ya. Hatimu yang penuh tanda dan simbol. Hangatkan ruangnya dengan cinta. Dalam keheningan. Dalam irama kita berdansa dan terbuai. Kita beradu argumen. Berciuman. Kidung mesra. Syair magis. Milik kita. Kekal dan memberontak.

Antara Sabang dan Manokwari. Kini mataku bengkak. Merah dan berair. Sebab sedih tiada tara. Menangis sambil kususun serangkai nada. Walaupun biasa dan tak menggairahkan. Terlantun bagimu, nona yang menyentuh jiwa. Raga dan batin yang menggigil. Di antara takdir dan hasrat.

Engkau memang malaikat pencabut nyawa. Yang datang tak bekabar. Pergi tak pilih-pilih. Semaumu saja.

***

0 comments:

Post a Comment