MENUJU NUSANTARA STUDIES - Yudhie Haryono (MWA UTIRA)


Residunya makin terasa. Pahit dan membuat muntah tak sudah-sudah. Kini, semuanya datang bagai air bah: bercampur lumpur dan sampah. Apa sampah tercanggih dari postkolonial? Seni dan tradisi menipu.

Di negara postkolonial, semua bisa berfatwa bahwa, "aku lahir untuk ditipu, sekolah untuk menipu dan memimpin dengan tipu-tipu." Padahal, di negara di mana pemimpin menipu sekali, warganya meniru menipu seratus kali. Pepatah mengatakan, "guru kencing berdiri, murid kencing berlari."

Dus, di negara di mana warganya hobi menipu, mereka memilih penipu untuk ditipu. Warga, elite, tamu dll membentuk tradisi menipu secara sirkular sampai kita tak tahu ujung pangkalnya.

Pasca kemerdekaan, problem besar kita memang kehadiran a state of distrust. Selanjutnya berkembanglah distrust society. Semua, tidak dapat dipercaya, tidak saling percaya, tidak ingin saling percaya. Rusak kepercayaan sesama: kapan saja dan di mana saja.

Ya. Urusan tipu-menipu menjadi salah satu bencana kemanusiaan kita bersama. Tentu ini berat sekali. Sebab, kita hidup di atas intaian tiga bencana sekaligus. Yaitu bencana kemanusiaan, bencana penjajahan dan bencana alam.

Mengingat distrust adalah membaca Francis Fukuyama (1995). Ia menyadarkan kita bahwa basis ekonomi yang kuat dan tahan lama dari suatu bangsa tidak bisa hanya menyadarkan pada kekayaan alamnya dan modal uang pemerintah atau pajak semata.

Ia juga harus berpijak dari social capital atau modal sosial yang dimilikinya. Tetapi, di samping aset SDM yang berkualitas, elemen pokok dari modal sosial adalah kuatnya sifat dan sikap untuk saling percaya dan bisa diberi amanat secara baik dalam bentuk relasi vertikal maupun horizontal.

Dus, trust atau sikap amanah merupakan salah satu modal utama yang penting untuk menciptakan kehidupan politik dan ekonomi yang kokoh dan tahan lama bagi sebuah negara maupun peradaban.

Saat semua menipu, tentu menjadi tak mudah menangkap masa depan. Apalagi memenangkan kehidupan. Menjadi tak ringan merealisasikan konstitusi. Sebab, di antara para penipu, selalu ada feodalisme dan fasisme plus fundamentalisme yang berurat berakar.

Kini, mari bertobat. Berubah dari generasi penipu menjadi generasi pancasila. Generasi yang berani menggenggam bumi sebelum bumi menggenggam kita. Generasi yang praktik memeluk bumi sebelum bumi memeluk kita.

Generasi yang memperjuangkan hidup kita di bumi sebelum bumi memperjuangkan hidup kita (mati). Karena itu menjadi lebih baik hari ini dan besok adalah membuat karya mulia dengan menyelamatkan kehidupan bumi dan kita bersama-sama.

Mari kita hidup dan bersemboyan, "aku sering dikhianati tetapi aku bukan pengkhianat; aku sering dibohongi tetapi aku bukan pembohong." Inilah upaya membuat warisan cerdas bin jenius buat anak cucu kita: generasi Pancasila.

***

0 comments:

Post a Comment