Kawan-kawan yang baik. Sudah lama dalam bernegara, kita mengalami kekalahan dalam perang kecerdasan. Tak banyak yang tahu. Hanya orang-orang tertentu yang mengerti dan menyadarinya. Bahwa mempertahankan kekayaan negeri penjajah adalah merubah model penjajahan. Salah satunya, para penjajah itu menciptakan krisis berulang. Saya sudah tulis protokol krisis negara buat warisan. Ini penting agar saya mati tak menjadi arwah penasaran. Sebab sudah kuwariskan pengetahuan terdalam guna mengatasi pertempuran kejeniusan.

 


Kemranjen~
Pada akhirnya bukan masa depan. Pada hilirnya hanya tempe mendoan. Kita tak saling berpura-pura. Sesal setelah tua. Kenapa saat itu kita saling curi pandang dan membuat prestasi yang tak ada hubungannya dengan Indonesia? Demi waktu tak terukur angka. Seiring laraku kehilanganmu. Merintih sendiri. Ditelan deru desa. Kini kau telah pergi tak kembali. Namun desamu hadirkan senyummu abadi. Ijinkanlah aku untuk selalu pulang lagi. Setelah tawaf dan sai. Bila hati mulai gemuruh berdoa sepi tanpa terobati. Sambil sebal pada nasib yang dikangkangi.

Banyumas~
Melihat mereka yang hidup demi gaji semata. Atas nama tuhan. Atas nama masa depan. Tak ada kemuliaan karena tidak memuliakan inovasi dan industri. Tak ada jalan dan festival yang layak dirayakan. Tuhan, aku tak ingin hidup seribu tahun seperti penyair itu. Sekali mati. Sebab takut bercinta, revolusi saja. Bukan lek mad. Bukan lek karno. Mereka bedua bapak para revolusi nyambi bercinta. Jemarimu begitu lentik. Senyummu melirik. Kan kusebut namamu dalam tiap jengkal perlawananku. Bermilyar kawan datang dan pergi. Engkau tetap di hati. Sambil membenci begundal yang terus menang. Di republik ini.

Gontor~
Nalarnya tunduk pada hapalan. Dan, sesungguhnya itulah sebodoh-bodoh masa depan. Karnaval masa yang purba. Perayaan kesia-siaan. Hidup segan mati bosan. Tolong ambilkan bulan, saat kalian suka kopi susu. Tak ketemu. Inilah ontologi minus epistemologi. Sejarah tanpa kreasi. Hanya angka-angka dan kode buntut. Walau tak ada kemenangan, gita cita tetap diperdendangkan. Pesantren-pesantren kita yang purba, adalah peradaban gigantik dan tua di muka bumi yang menyebut dirinya dengan syorga: santri yang ditaburi ustad-ustad membentuk kejahiliyahan semesta. Ialah ibu dari mula pendidikan besar nusantara. Tetapi kini diambang kepunahan. Tenggelam oleh amok dan kejahiliyah baru yang tak ditemukan obatnya.

Jogjakarta~
Antara mesir dan jogjakarta. Aku jatuh cinta. Soal sekolah yang tumpah. Merana bertepuk sebelah. Mirip kisah cinta tiga malam yang kuingat selamanya. Kini seakan mimpi yang buruk. Sepi dalam kesunyian. Bodoh dalam kebodohan. Kualami setiap hari. Kisah yang sudah tiada lagi. Tertelan sejarah perlawanan 98. Ya. Tinggal memori membawa kebusukan kembali. Adakah waktu tersisa. Menjaga kita tetap sekapal perlawanan.

Kini. Problem itu bergelombang datang. Kemiskinan membuat wajah seseorang lebih tua dari yang sebenarnya. Kebodohan membuat nasib manusia lebih jahat dari yang sewajarnya. Kerinduan membuat kita lebih pucat dari keseharian jadwal biasa.

Mengingatmu adalah mengingat sajak Chairil Anwar berjudul Senja Di Pelabuhan Kecil (1946). "Ini kali tidak ada yang mencari cinta di antara gudang, rumah tua, pada cerita tiang serta temali. Kapal, perahu tiada berlaut menghembus diri dalam mempercaya mau berpaut. Gerimis mempercepat kelam. Ada juga kelepak elang menyinggung muram, desir hari lari berenang menemu bujuk pangkal makanan.

Tidak bergerak dan kini tanah dan air tidur hilang ombak. Tiada lagi. Aku sendiri. Berjalan menyisir semenanjung, masih pengap harap sekali tiba di ujung dan sekalian selamat jalan dari pantai keempat, sedu penghabisan bisa terdekap."

Kini adakah debu saung yang ingin kalian ceritakan? Atau hanya ada jalan buntu. Aku dan kita masih menunggu.

Purwokerto~
Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia. Yah. Kini mereka sedang bahagia saat aku terluka; terjatuh dan sulit bangkit lagi; tenggelam dan tergopoh menelan air setelan-telannya; mabuk agama.

Tentu. Saat terindah adalah saat menjilatimu. Begitu laparnya, akupun terbuai. Sebenarnya aku berharap memiliki dirimu selamanya. Segenap hatiku luluh lantak. Mengiringi dukaku yang kehilangan dirimu. Jatuh di lereng Merapi. Malam itu. Saat purnama hampir sempurna.

Semarang~
Peradaban dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah bentuknya. Lalu, mati. Ditendang harga diri. Beginilah keadaan diriku. Semangat membara. Tetapi, ini aku yang bukan aku. Hanya aku yang menyejarah lumrah. Dengan hitam legam kulit punggung dan nasibku.

Masih mungkinkah pintu hatimu kunikmati. Dengan hati yang pernah kuremukkan. Dengan niat yang pernah kuabsenkan. Sungguh aku tak mampu untuk menikmati kepedihan hatiku. Terlebih merelakan kematianmu. Ingin kuyakini cinta tak berakhir. Namun takdir menuliskan hidupmu harus berakhir. Maka, segenap hatiku luluh lantak. Mengiringi dukaku kehilangan dirimu. Aku tak sanggup merelakan kepergianmu. Selamanya.

Jakarta~
Sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi. Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama. Tetapi, melalui revolusi nalar, selama masih ada lautan yang bisa dilayari; selama masih ada kewarasan agensi; selama masih ada tanah yang bisa ditanami; selama masih ada nilai-nilai yang bisa disemai, selama itu pula masih ada cinta dan harapan. Sebuah harapan dan cita-cita untuk menjadi bangsa berdaulat total: merdeka, mandiri, modern dan martabatif.

Kita harus meretas jalan kedaulatan. Hal yang lama dilupakan para begundal lokal hasil proxy penjajah internasional. Tapi dengan siapa saat sekutu tak ada, adalah pertanyaan abadi yang tidak tak terpecahkan hingga kini.

Depok~
Tumbuh. Dalam. Bercabang. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya. Kadang, kepadamu yang mungkin mencintaiku perlu ditulis. Ada yang tak termanai kutengarai. Ada yang tak sanggup kupahami. Ada yang tak terucap dalam hari-hari. Dan semua adalah tentangmu, kekasihku. Selamat berusaha menjaga hati. Selamat berusaha menjadi istri. Selamat berusaha menjadi ibu. Tetaplah semangat menjadi kekasih, istri dan ibu yang terbaik bagi kami dan keluarga kita.

Carolina~
S3. Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan. Begitulah keadaannya semilyar tahun lalu. Pilu. Keriting berlumur debu. Penuh luka najis dan bau got. Berlari dan berdiri gemetar depan kampus. Gentar. Seingatku, tidak ada hal lain yang terjadi. Hanya menunggu pergantian takdir berlaku saat semua lepas berlalu. Yang lama hampir mati; yang baru tak kunjung menjelma.

Makkah-Madinah~
Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. Jejak kakimu bersimpuh di kota tua dan purba dengan gigil dan jijik tak berkesudahan. Aku muak padamu; denganmu; bersamamu: tuhan, hantu dan hutan.

Indonesia~
Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi.

Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama vegundal, kini mereka ingin dipanggil yang mulia.

Cileduk~
Jika kami bersyukur atas cinta dengan pesta kecil dan membagi cindera mata berupa buku, adakah kalian sudi datang? Merdeka, setengahnya saja. Nasib tua yang tak tidak terbayangkan. Dikejar prestasi, menumpuk kampus dan menternak mata ajar nusantara.

Pasti aku tidak sempurna. Tetapi hatiku memilikimu sepanjang umurku. Mungkin aku tak bisa memiliki. Dirimu seumur hidupku. Sebab dirimu tak mencintai puisi dan buku.

Di Hati Kekasih~
Hadis paling lucu saat belajar islamic studies sejak dari Gontor sampai Mamarika adalah yang berbunyi, "doa kaum tertindas dan kaum miskin itu terkabulkan." [Abu Hurairah berkata, rasulullah saw. bersabda, "Ada tiga doa mustajab (dikabulkan) yang tidak ada keraguan di dalamnya, yaitu: doa orang yang teraniaya, doa musafir dan doa buruk orang tua kepada anaknya (HR Abu Daud dan al-Tirmizi)].

Lah piye? Kalau makbul berarti gak ada orang tertindas dan gak ada orang miskin lagi dunk. Sebab orang tertindas berdoa agar merdeka dan orang miskin berdoa agar kaya.

Nyatanya kaum tertindas dan kaum miskin tetap banyak terutama di ngindonesia.

Jadi, jika ada fatwa bahwa setiap doa dikabulkan tuhan (di dunia), jelas itu ilusi kaum jahiliyah purba.

***

 

Krisis makin dalam dan perih di rasa. Negara ini belum terlihat menemukan resep mengatasinya. Berbagai cara sudah dicoba. Agensi juga silih diganti. Tetapi yang terasakan justru makin menjadi-jadi. Mungkinkah karena itu "cara lama dan pemain lama"? Publik bisa menilainya. Kita bisa berduskusi cara hadapinya.

10 konglomerasi kuasai 75,3% total kekayaan kaum miskin. Kini, kita adalah negara ke-3 tertimpang di dunia setelah Rusia dan Thailand. Luar biasa.

Di komunitas Kampus Nusantara, kami mencoba cara baru dan agensi baru dengan sejuta simulasi. Sebab mengatasi krisis multidimensi adalah menggunakan meta-ilmu dan meta-nalar yang meraksasa. Tanpa itu kita akan berhenti dan jalan di tempat.




Ia bernama Arupaliasentosa. Tak ada yang sempurna. Walau wajahnya bintang lima. Mungkin karena ia sedang cantik-cantiknya. Mengalahkan bejana pualam milik raja.

Bibirnya melafalkan asma. Hatinya bersalawat badar. Jilbabnya bercadar. Lalu, mataku merasa malu jika mengingatnya. Sebab mengingatnya adalah mengetik pengkhianatan terbesar manusia di jagat raya.

Ini soal hati. Antara kota Jogja dan desa Kecila. Semakin dalam ia pergi, kali ini sejauh altar Venus dan Neptunus. Khianati janji syorga yang tidak tak termanai. Melupakan lafal dan sumpah serapah. Mendelet angka dan tulisan. Melepeh ikrar.

Maka, kadang juga ia berseri ceria. Senyum-senyum sendiri. Mengkhianati kekasih hatinya. Juga tatkala harus berpapasan malaikat di tengah pelariannya. Hey, kalian lugu dan lucu sebab berhasil kutipu, katanya gembira.

Tangannya memegang tasbih. Senin kamis ia menghapal kitab suci. Tapi kedok hidup menjadi watak utama. Pada akhirnya yang subtansi selalu terbuka di akhir sesi. Dan, hidup tak segera berakhir.

Dalam sepimu. Kini. Kueja nama itu dengan segenap nalarku, cintaku dan jihadku. Saat rintik hujan, ketika banjir menerjang, kala purnama dan terik matahari, bahkan di waktu patah hati.

Kusebut namamu. Kudzikirkan nama itu penuh rindu redam, berjam-jam. Secara pelan menghidupkan sambil mematikan bermilyar asa yang sempat ada. Nyiurnya mungkin kini tak melambai. Sungainya mungkin kini kering kerontang. Cintamu mungkin kini tanpa pantai. Apa yang sedang engkau rasakan dan hadirkan di terik siang?

Kurindukan senyum-guyon itu, sangat.



Aku terhenyak mendengar pernyataan seseorang yang katanya tokoh Agama (tak ingin ku sebutkan namanya dalam tulisan ini) berkata dalam narasinya yang meluap-luap: "jika bukan karena orang Arab, dia (nama seseorang yang juga tak ingin ku sebutkan di sini) mungkin masih menyembah pohon!".


"Alamak, jadi moyang ku di Nusantara sebelum kedatangan orang Arab (dengan agamanya itu) adalah para penyembah pohon?" pikir ku. “Benarkah demikian?”

Lalu aku mencoba membuka lembaran buku-buku sejarah yang ada ditumpukan lemari buku milik ku. Ku baca baik-baik semua hal yang tercatat dalam timeline Nusantara sebelum tahun-tahun dimana penganut agama dari Arab mendominasi Nusantara pada akhir tahun 1500M.

Lalu aku catat beberapa kenyataan tentang Nusantaraku ...

Ternyata, dari beberapa sumber sejarah, kepercayaan Hindu masuk ke Indonesia untuk pertama kalinya sekitar abad ke-15 SM. Dan sejak tahun 200 SM, Kerajaan Hindu Dwipa Jawa diperkirakan eksis di Jawa dan Sumatra. Aku bisa saja menuliskan daftar kerajaan-kerajaan besar bercorak Hindu yang pernah eksis di Nusantara, namun karena pertimbangan efisiensi waktu (agar para pembaca tak perlu berlama-lama membaca tulisan ini) maka ku putuskan tak menulisakannya disini. Dan dari banyaknya sumber literasi yang ku baca, kenyataannya umat Hindu tidak pernah menyembah pohon. Tak ada satupun literasi tentang umat Hindu, juga umat Budha, yang menuliskan tentang ritual umat Hindu Budha yang menyembah pohon.

Kembali pada kajian tentang masyarakat Nusantara, baik Pulau Jawa dan Sumatra sejak jauh-jauh hari sebelum Masehi telah sangat dipengaruhi budaya yang besar dari sub benua India selama milenium pertama dan kedua Masehi. Baik agama Hindu dan juga Buddha berbagi latar belakang sejarah yang sama dan keanggotaannya kala itu bahkan tumpang tindih di saat yang sama (seseorang dapat bersamaan memeluk agama Buddha dan juga Hindu), secara luas disebarkan di Asia Tenggara Maritim.

 

Agama Hindu dan bahasa Sanskerta sebagai bahasa penyebarnya, menjadi sangat bergengsi di Jawa. Banyak candi Hindu yang dibangun, termasuk Prambanan di dekat Kota Yogyakarta, yang telah ditetapkan sebagai Situs Warisan Dunia; dan kerajaan Hindu berkembang sangat hebat nan masyur, yang paling signifikan adalah Kerajaan Majapahit.

 

Pada abad ke-6 dan abad ke-7 banyak kerajaan maritim muncul di Sumatra dan Jawa yang menguasai perairan di Selat Malaka dan berkembang seiring meningkatnya perdagangan laut antara Tiongkok dan Hindustan dan selewatnya. Selama saat ini, cendekiawan-cendekiawan dari Hindustan dan Tiongkok mengunjungi kerajaan-kerajaan tersebut untuk menerjemahkan teks-teks sastra dan agama. Bayangkan Nusantara telah menjadi pusat kajian sastra dan agama, para cendekiawan masa itu datang dari India dan Tiongkok ke Nusantara.

 

Di antara kerajaan-kerajaan Hindu Jawa, yang paling dianggap penting adalah Majapahit, yang merupakan kerajaan terbesar dan kerajaan Hindu terakhir yang signifikan dalam sejarah Indonesia. Majapahit berpusat di Jawa Timur, memerintah sebagian besar dari apa yang sekarang merupakan Indonesia modern dari sana. 

 

Tentang kebesaran Majapahit ini, seorang Pastur dari Eropa bernama ODORICO yang berkesempatan mampir dalam perjalanan misinya di tanah Jawa, menuliskan tentang WILWATIKTA yang dikunjungi dan dilihatnya sendiri pada tahun 1322, saat Raja Jayanegara bertahta; “Maharaja di pulau ini (Jawa) mempunyai banyak istana yang mengagumkan. Karena saking besarnya, anak tangga atau undak-undaknya pun besar, luas dan tinggi. Bahkan anak tangganya diselang seling dengan emas dan perak. Bahkan jalanan atau trotoar disusun menggunakan satu ubin emas dan satu ubin perak yang berselang-seling. Demikian pula dengan dinding istananya, berlapis emas. Di bagian luarnya banyak ukiran-ukiran ksatria-ksatria dari emas. Banyak dari kepala patung ksatria tersebut dikelilingi lingkaran-lingkaran emas seperti orang-orang suci (Santo). Sangat menakjubkan karena seluruh lingkaran-lingkaran tersebut ditaburi permata. Selain itu, langit-langit istana dibuat dari emas murni. Singkatnya tempat ini lebih kaya dan lebih mewah dari tempat manapun di dunia saat ini".

Dari pernyataan Pastur tersebut dapat dibayangkan betapa mewah istana dan juga jalanan yang ada disana ketika itu.

Kehebatan Majapahit ditorehkan pula dalam Kakawin Jawa Kuno Negarakretagama, yang ditulis pada tahun 1365 oleh Mpu Prapanca. Jika kita mau membaca dan mempelajari isinya, ini adalah catatan tentang negara besar yang pernah ada di Nusantara, dan negara besar yang ditulis didalamnya itu adalah MAJAPAHIT.

Kebesaran Majapahit itu kemudian mulai runtuh pada tahun 1478 oleh konflik internal; perebutan tahta, perang saudara dan ketiadaan penerus yang mumpuni. Konflik internal tersebut ditambah oleh mulai menguatnya pengaruh Islam di Nusantara.

Sisa-sisa kerajaan Majapahit bergeser ke Bali pada abad ke-16 setelah Majaphit benar-benar dihancurkan oleh negara-negara Islam di wilayah pesisir Jawa.

Akhir dari semua yang ku baca, kesimpulan bermuara pada kesadaran bahwa moyangku adalah history maker. Mereka telah menuliskan sejarahnya pada artefak-artefak besar yang tak lekang oleh waktu dan tak lapuk oleh hujan. Candi-candi Megah yang ada di Nusantara adalah warisan moyang ku yang hebat, maju dan keren.. bangunan-bangunan itu telah menjadi situs warisan dunia.. Sejarah tentang Nusantara yang pernah besar dan megah. Nusantara, sebelum hadirnya orang Arab atau dibawah dominasi pengaruh Islam, penduduknya BUKAN PENYEMBAH POHON !

 


Kawan, Hidup kita adalah bagaimana menikmati dan belajar memecahkan masalah di sela-sela pengkhianatan.

Kasih, Hidup kita adalah bagaimana belajar dan senyum terus untuk menari di saat hujan badai menjadi-jadi.

Teman, Hidup kita adalah bagaimana terus melawan di tengah elit pemerintah dan negara yang khianat pada konstitusi.

Tuan Saafroedin Bahar bertanya, "mengapa kehidupan kita berbangsa dan bernegara terasa semakin runyam? Karena bangsa dan negara ini dirancang dan diperjuangkan oleh kaum idealis dan negarawan yang mempunyai wawasan filsafat yang bersifat mendasar dan berjangka panjang; tetapi direformasi oleh para politisi yang berwawasan pendek; dan dioperasikan oleh birokrat yang tidak berwawasan mendalam."


Kita lahir di wilayah pertanian. Tapi tak satu mata ajarpun soal tani kita dapatkan. Kita hidup di antara gunung dan lautan. Tapi tak satu kurikulumpun soal maritim kita bahas dan kunyah-kunyah.

Tiap hari kita kedatangan tamu bernama bencana alam. Tapi tak satupun pengetahuan bagaimana melewatinya kita baca. Semua pelajaran kita tak ketemu argumennya sehingga tak akan menolong menjadi warganegara yang tangguh dan unggul.

Pendidikan kita membuat pandangan hidup yang lucu walau berasal dari buku. Bacaan yang tidak dari kehidupan. Ilmu yang tidak terlatih dalam metode. Sebab hanya penuh hafalan, ulangan dan kesimpulan.

Produk pendidikan kita kini hanya dua: begundal sekuler dan begundal agamis. Fundamentalis sekuler sibuk ngemis uang ke "yang lain" sedangkang fundamentalis agamis (ontanis) bersimpuh ngemis uang ke Tuhan.

Keduanya kurang piknik karena begitu miskin sehingga kerjanya saling memfitnah. Lihat saja, kini keduanya sibuk soal "ucapan selamat natal, kopar-kapir, radikal-radikul, intoleran, cungkring dan hitam jidat."

Ternyata, kita semua hanya terlatih sebagai pemakai. Kita kini kurang latihan bebas berkarya. Tak banyak terobosan kita coba ujikan. Pendidikan kita telah memisahkan nasib dan takdir dari kehidupan sesungguhnya. Pendidikan jadi lahan pembodohan dan bisnis ecek-ecek tanpa dentuman.

Budayawan besar WS Rendra (1989) bertanya, "Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalanya." Tentu ini gugatan serius di tengah banyak produk sekolah kita gagal bekerja apalagi mencipta pekerjaan.

Disfungsi bahkan malpraktek ini perlu segera dicari solusinya. Oleh kita semua. Atas beberapa masalah tersebut, kita memandang perlu mengusulkan rasionalisasi kurikulum dengan mengajukan konsep Trimatra (Etika, Logika, Kebangsaan) pada Pendidikan Dasar dan Menengah. Sehingga kurikulum inti di Indonesia adalah etika-logika-kebangsaan. Sedang mata ajar yang lain hanya instrumental dan penguat kurikulum inti.


Di tangan elite kita yang superkaya (oligarkis) dan nyolongan (predatoris), "akal telah dibunuh, perasaan telah dimatikan, gotong royong telah dipunahkan dan empati telah dimusiumkan." Sebaliknya, di kampus nusantara tradisi kritis, mental perlawanan, praktik koperasi dan jiwa memanusiakan manusia diagungkan serta diluhurkan. Kampus ini menghidupkan dan memenangkan nilai-nilai pancasila.

 


Percayakan Pendidikan Agama dan Kepercayaan kepada Pimpinan Agama dan Kepercayaan itu sendiri. Dan pendidikannya dilakukan di area mereka sendiri. Sangat tidak baik kalau di sekolah diadakan pemisahan kelas berdasarkan perbedaan Premordial seperti suku ras dan agama. Pemisahan kelas pelajar atau mahasiswa seperti ini adalah upaya  pemecah belahan bangsa sejak di bangku sekolah. Saya pikir ini salah satu kebijakan fatal yang dibuat pemerintahan Orde Baru yang masih diteruskan hingga sekarang. Oleh karena itu kebijakan ini harus segera dihentikan. Saya tawarkan kebijakan baru yang lebih manusiawi dan bermoral Pancasila. Pertama. Agama dan Kepercayaan mendidik siswa yang menganut Agama atau Kepercayaan dan memberi penilaian. Dan nilainya diserahkan ke Sekolahnya. Kedua. Sebagai gantinya di sekolah diajarkan Pendidikan Budi Pekerti Nusantara. Diajarkan mulai dari TK hingga Perguruan Tinggi. S1 S2 S3. Materi pelajarannya antara lain cerita cerita rakyat dari seluruh Nusantara. Yang bisa mengarahkan pelajar dan mahasiswa menjadi Manusia Indonesia yang berbudi luhur. Berpikir kreatif. Pekerja keras. Hidup sederhana. Suka gotongroyong. Kepribadian demokrasi. Kemanusiaan universal. Patriot bangsa. Nasionalis. Cinta tanah air. Dstnya. Sesuai dengan Sumpah Pemuda. Naskah Proklamasi. Pembukaan UUD 1945. Selamat Berjuang. MERDEKA.


Jakarta tidak akan jadi seperti New York. Karena Ilmu Teknologi dan Seni di Indonesia sangat rendah. Sangat berbeda dengan Amerika Serikat. Saya perkirakan 5 tahun setelah Ibu Kota Negara pindah. Yaitu tahun 2029 penduduk Jakarta tinggal 5 juta orang. Tahun 2045 penduduk Pulau Jawa tinggal 100 juta orang. Indonesia masih bangsa terbelakang. Kalau di analogikan dengan Kereta Api. Indonesia hanya punya 1 lokomotif. Yaitu politik. Kemana kekuasaan politik pergi kesana ekonomi sosial dan budaya pergi. Dan itu artinya. Segala sesuatu di Indonesia ditentukan oleh kekuadaan politik. Yang lain cuma sekedar numpang hidup.


Membangun kampus itu mencipta peradaban. Dari pembangunan jiwanya, lalu ke pikiran, ucapan, tulisan, literasi dan tradisi. Pada kampus, jiwa-jiwa lurus dan semesta diproduk untuk menjaga sesama yang anti eksploitasi



Memajukan Ilmu, Teknologi,  Seni dan Industri.
                      
Kemampuan Ilmu dan Teknologi kita rendah; dan lebih buruk lagi, kemauan kita untuk menguasai Ilmu dan Teknologi juga sangat lemah; dan oleh karena itu kita sangat tergantung kepada hasil industri  negara lain. Kita harus kerja keras dan kreatif, menyerap teknologi dari berbagai negara maju, dan kemudian menerapkan dan mengembangkannya di Indonesia. Revolusi Ilmiah dan Revolusi Industri akan kita jalankan untuk memajukan ilmu, teknologi, seni dan industri. Ilmu, teknologi, seni dan industri, harus dimajukan bersama; dan oleh karena itu harus digerakkan bersama-sama. Kemajuan Ilmu, Teknologi dan Seni harus memajukan Industri; dan sebaliknya kemajuan Industri harus segera memajukan Ilmu, Teknologi dan Seni. Artinya, keuntungan yang didapat karena kemajuan Industri, sebagian harus segera digunakan untuk penelitian dan pengembangan Ilmu, Teknologi dan Seni. Rangkaian kegiatan ini, kalau berlangsung berkali-kali, berkembang menjadi spiral menaik curiosity-inquiry-discovery. Ilmu, teknologi, seni, industri, sosial, ekonomi dan politik dalam negara-bangsa Republik Indonesia semakin maju dan berkembang. Pengembangan Ilmu, teknologi, seni dan industri meningkatkan taraf hidup masyarakat; sebaliknya, peningkatan taraf hidup masyarakat meningkatkan kemampuan Ilmu, Teknologi, Seni dan Industri.
 
Membangun Puluhan Kota Industri.
Dalam upaya pengembangan ilmu, teknologi, seni dan industri, kita perlu membangun puluhan kota industri dan kota seni di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di atas lahan tidak subur, yang penduduknya masih sedikit, misalnya di atas lahan gambut di Kalimantan dan Sumatera. Pembangunan kota industri dan kota seni disesuaikan dengan sumberdaya yang tersedia, misalnya dimulai dengan memproduksi pembangkit listrik tenaga gambut untuk digunakan di lahan gambut; dan masyarakat dibuatkan alat pembuat briket dengan bahan baku gambut, dan kemudian briket gambut tersebut dibeli oleh perusahaan pembangkit listrik tenaga gambut. Pemerintah Pusat hendaknya  memusatkan perhatiannya di kota-kota ini, dalam upaya meningkatkan kemampuan ilmu, teknologi, seni dan industri. Puluhan kota baru ini, kota-kota teknologi, seni dan industri, tersebar di berbagai wilayah, terutama di wilayah yang tidak subur dan belum maju. Kota-kota industri ini akan kita jadikan tempat untuk mengubah masyarakat, agar lebih cepat menjadi produsen dengan mengembangkan teknologi dengan pola pikir dan perilaku rasional berorientasi prestasi. Kehadiran kota-kota industri menempati posisi strategis, dalam upaya memajukan ilmu, teknologi, dan industri; memajukan pola pikir dan perilaku masyarakat; memperluas lapangan kerja yang akan menampung banyak tenaga kerja terdidik. Di kota-kota industri ini, kita bergotongroyong mengembangkan teknologi untuk meningkatkan kemampuan industri; disini kita dapat mengurangi ketertinggalan kita dari negara-negara maju, hingga dalam waktu yang tidak terlalu lama, kita dapat mengimbangi mereka di bidang ilmu, teknologi, dan industri. Kota-kota industri ini dijadikan pusat pendidikan, pelatihan dan pengembangan ilmu dan teknologi, yang akan menjadi salah satu lokomotif penggerak kemajuan Indonesia.  

Membangun Puluhan Kota Seni dan Film.
Indonesia juga perlu membangun kota-kota seni dan perfilman, untuk mendukung perkembangan seni di tengah-tengah masyarakat; tempat para seniman dan warga perfilman belajar, kerja dan berproduksi; tempat dimana seniman profesional bisa berkembang dan hidup layak; tempat dimana sebagian penganggur yang berminat jadi seniman bisa mendapat pekerjaan; dan seterusnya. Kehidupan yang seserasi dan selaras membutuhkan kemajuan ilmu dan teknologi serta seni secara seimbang; dan untuk itu ilmu, teknologi, seni dan industri perlu dikembangkan bersama-sama; dan perkembangan ini mendukung kehidupan kemasyarakatan dan kenegaraan yang serasi dan selaras. Kota industri dan kota seni akan berperan dalam proses pemerataan distribusi pnduduk Indonesia, sekaligus untuk mengurangi kepadataan penduduk di pulau Jawa, dan dengan demikian pulau Jawa dapat memproduksi banyak beras, yang sebagian besar digunakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di luar Jawa. Perkembangan dunia seni juga akan membuka banyak lapangan kerja, dan dengan demikian akan mengurangi pengangguran.  Kota-kota seni ini akan menjadi halaman depan Indonesia dalam interaksi antar bangsa dan antar peradaban di bidang seni; dan kita punya kesempatan luas untuk memperkenalkan kesenian Indonesia kepada bangsa-bangsa lain; kemajuan seni akan menjadi daya tarik menghadirkan jutaan wisatawan mancanegara ke Indonesia; dan kemajuan ini juga akan menyediakan banyak kesempatan kerja bagi para seniman, dan juga para pengrajin yang memproduksi peralatan seni.

Kesenian dari seluruh Indonesia mendapat kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang di kota-kota seni ini; dan kesenian kita yang beranekaragam akan menjadi salah satu modal utama untuk kemajuan dan kesejahteraan masyarakat. Di kota-kota seni didirikan berbagai sekolah seni, mulai dari sekolah menengah hingga perguruan tinggi; calon pelajar dan mahasiswa seni datang dari seluruh penjuru Nusantara; mereka belajar di sini dan kemudian sebagian kembali ke daerahnya masing-masing untuk membangun kesenian di sana. Di sini ditampilkan berbagai pertunjukan seni; menumbuh-kembangkan rasa keindahan seni di kalangan masyarakat luas; mengurangi rasa kebencian dan permusuhan yang sekarang banyak menghinggapi warga masyarakat. Kehidupan bersama ini perlu di buat indah dan menyenangkan, serasi dan selaras. Kehadiran kota-kota seni ini menempati posisi strategis, dalam upaya memajukan kesenian dari seluruh Nusantara; memajukan apresiasi terhadap kesenian kita sendiri; memperluas lapangan kerja untuk mempekerjakan banyak seniman; memperkuat posisi kesenian Indonesia di pasar global; dan meningkatkan kebanggaan nasional Indonesia. Nasionalisme dan patriotisme di bidang seni perlu diperkuat, seperti di awal kemerdekaan Indonesia. Satu atau dua dari antara kota seni ini, juga sekaligus dijadikan lokasi pembuatan film yang disewakan kepada perusaan film dalam negeri ataupun mancanegara; di sini disiapkan segala sesuatu yang dibutuhkan dalam proses pembuatan film; dan karena pembuatan film  membutuhkan lahan luas, kota seni khusus ini bisa dibangun di atas lahan luas, misalnya seluas 500 km2.
                     
Menjalankan UUD 1945.
Kota-kota industri dan seni ini langsung dikelola oleh Pemerintah Pusat, hingga dapat bergerak cepat tanpa hambatan dari pihak manapun; dan dengan demikian  dapat dengan cepat memanfaatkan dan mengembangkan ilmu, teknologi, seni dan industri untuk kemajuan bangsa dan kesejahteraan seluruh rakyat Indonesia. Dasar hukum pendirian kota-kota ini adalah UUD 1945, khususnya:

Pasal 27 Ayat (2) yang menyatakan: Tiap-tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.

Pasal 28C Ayat (1) yang menyatakan: Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.

Pasal 31 Ayat (5) yang menyatakan: Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban  serta kesejahteraan umat manusia.  

Pasal 33 Ayat (3), yang menyatakan: Bumi dan air dan kekayaaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan digunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat;



Universitas Nusantara sebagai produk Nusantara Centre pastilah memproduksi warganegara unggul yang ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan abadi agar semesta bagaikan syorga.

Dus, membangun universitas nusantara adalah menyiapkan manusia berkeadilan sosial bagi seluruh warga semesta.

Mengapa? Sebab, sejarah pasca kemerdekaan kita adalah sejarah pertempuran antara "kebudayaan-pendidikan melawan penipuan-kejahiliyahan" yang tiada akhir. Maka, menguatkan universitas adalah mensolidkan pasukan pemenangan di masa kini dan mendatang


CERPEN (Cerita Pendek) SABTU

Aku baru saja dikabari oleh kawanku. Ia bersama beberapa temannya membuat seminar tentang Indonesia Bersih Sampah. Tujuannya, mendidik anak-anak, khususnya para pelajar di Indonesia untuk "sadar sampah". Artinya, dimanapun anak-anak itu berada, mereka nantinya dapat menjadi orang yang peduli pada sampah. Tak boleh ada sampah yang dibiarkan membusuk dan mencemari lingkungan. 

Acara ini tentu saja sesuatu yang bagus dan sangat-sangat bermanfaat; jauh lebih bagus dari program balap mobil listrik di Jakarta yang digagas oleh Gubernur Ibukota, program yang telah juga mendapat utangan dari Bank Provinsi dengan nilai besar itu. Hanya saja, aku mendengar dari kawan ku ini, bahwa untuk acara yang bisa meghadirkan dan melibatkan siswa sekolah sampai 800 orang lebih itu, yang dampaknya sangat positif bagi generasi muda.. tak mendapat dukungan finansial dari institusi yang seharusnya mendorong dan mengupayakan acara-acara seperti ini bisa terjadi sebagai kegiatan Corporate Social Responsiblity (CSR) tentu saja, ya sebagai Respon Sosial para pemimpin ataupun pengusaha yang telah mendapat banyak keuntungan dari rakyat. 

Bahkan, yang lebih miris adalah, dari instansi negara yang terkait dengan program seperti ini, pun berkata "kami tak ada uang".. "jadi kemana uang rakyat itu?" jangan tanya jawaban jujurnya, karena bahkan rumput yang bergoyang pun (tempat bertanya musisi kondang semacam Ebiet G Ade) tak akan tahu jawabnya

Aku meyimak dengan khidmat kisah teman ku itu. Dan, karena aku bukan politisi apalagi staff menteri, tentu aku hanya bisa menuliskan kisah ini sebagai curahan perasaan bingung ku pada mereka yang menyebut diri "pemimpin" juga "pengusaha"... untuk apa mereka duduk disinggasana? apa manfaatnya mereka itu menjadi tuan jika punya mata tapi tak melihat, punya telinga tapi tak mau mendengar.. ?

Akhirnya ku putuskan menjadikan kisah dari temanku itu sebagai lagu, supaya jika nanti aku duduk di singgasana itu, aku tahu bagaimana caranya memperlakukan tahta.. duduk namun tetap sedia menunduk.. untuk kesejahteraan dan kemakmuran rakyatlah seharusnya para pemimpin kerja sibuk.

 

Sampah ada disekitar kita

berserak, bertebaran tak punya makna

dari kertas bekas sampai beling kaca

semua terlihat jelas didepan mata


Sampah dibuang dan dibiarkan membusuk

di sungai menjadi limbah tak terkeruk

diltanah lapang menggunung tak lapuk

dan setiap makluk didekatnya jadi mabuk

 

Hujan datang, kali pun banjir 

airnya meluap dari hulu ke hilir

kota dan desa terendam air tak mengalir

jika sudah begini pemimpin pandir saling sindir

 

Indonesia mustinya dipimpin oleh ksatria

yang kerja dan mengabdi tulus pada bangsa dan negara

bukan memimpin yang duduk dalam singgasana jumawa

yang tak pernah peduli pada rakyat yang menderita


Sampah itu adalah kamu yang kerap berpikir busuk

sampah itu adalah kamu yang kerap berlaku terkutuk

 

Badui, 13 November 2021

 

 



Yang tetap itu perubahan. Dan, dalam perubahan itu yang inti adalah prosesnya. Tidak ada yang abadi dan menetap. Semua soal waktu. Bisa saja hari ini kita kalah, suatu saat menang; sangat mungkin hari ini kita miskin, besoknya kaya. Pasti semua bergiliran dan berpasangan. Karenanya jangan terlalu putus asa dan tidak perlu terlalu sedih. Begitu kita telah bekerja keras, maka pasrahkanlah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berserahdiri kepada-Nya. Terus bekerja dan berdoa. Sampai ajal tiba. Di kampus nusantara kita akan ditradisikan untuk menyemesta agar melampaui ekonometrika dan pengaruh-pengaruh negatif lainnya.


Pilpres liberal banyak memakan korban. Ribuan terkapar mati mubazir.
Rebutan sepiring nasi. Sementara segelintir tuan rakus tertawa girang. Sebab uang dan kursinya berlipat garang. Lalu, kekuasaan menjadi tuhan, pengkhianatan menjadi panglima setan dan kesetiaan menjadi murahan. Manusia berbondong-bondong bersumpah dan beriman pada keuangan yang maha esa.

Di universitas nusantara, praktik demokrasi liberal dikutuk dan ditinggalkan. Dimasukan ke musium. Tak dijalankan. Sebab kita punya politik pancasila yang perikeadilan sosial bagi seluruh penghuninya. Sistem majlis yang keterwakilan (golongan dan daerah) dan keterpilihan (parpol). Berkoperasi. Resiprokal kritis alam semesta, Tuhan, manusia

 




Seharian ini kampungku hujan deras. Bulir hujan terasa lebih besar. Gemuruh mendekap atap. Berdentang getarkan genderang kuping. Tetapi, sujud subuh terasa lebih khidmat. Andai saja ini sujud terakhirku, aku bahagia.

Ya. Aku sudah tak berdaya. Tak ingin lagi menikmati hidup pemberian Tuhan yang semaunya. Kini, aku terus hanya bisa berdoa dan mendzikirkan namanya. Orang-orang baik dan kekasih hati yang tak tahu diri. Tak sudi berbagi. Padahal, betapa indah jika manusia saling fokus bekerja, berdoa dan gotong royong merealisasikan Indonesia Raya.

Tuan-puan yth. Tugas negara dan ilmuwan postkolonial itu sangat menantang: mengembalikan peran Universitas sebagai pemandu dan penuntun peradaban manusia, bukannya sebagai pembebek (pengekor) apa saja yang telah dilakukan oleh dunia fundamentalisme-terorisme pasar neoliberal.

Di negara postkolonial, fungsi utama Universitas adalah berternak kejeniusan yang melahirkan perilaku, nilai dan norma sesuai konstitusi guna mewujudkan totalitas manusia yang melawan sehingga merdeka, mandiri, modern dan martabatif: menjadi agensi kemerdekaan, kebersatuan, keberdaulatan, kesejahteraan, keadilan dan kesederajatan atau kemerataan bersendi kegoyong-royongan. Itulah roadmap Universitas Nusantara.

Jika tuan-puan gagal dalam peran itu, gagal pula negara ini menunaikan janji proklamasi, gagal total sebagai manusia pancasila. Hidup kita seperti melata: jejaknya tak tercium sejarah, adanya tiada.

Tuan-puan yth. Maka, mari naikkan level permainan. Syukur-syukur mampu sekelas Barca di sepakbola or Chicago Bull di basket. Pikirkan dan tuliskan cara mengelola negara dengan jenius dan sampaikan ke pihak-pihak terkait. Realisasikan cita-cita besar negara pancasila. Cari segala cara yang halal, pas dan gol.

Semoga kita tak menari-nari di musik yang ditabuh orang lain: para begundal kolonial dan proxynya. Dari niat, angan, ucapan, tulisan, tindakan dan realisasi nusantara kita baktikan. Aamiin.(*)

 

Setiap hari ada ribuan keajaiban terjadi di dunia ini. Mukjizat tak pernah habis. Hal tak mungkin menjadi mungkin selalu ada. Peristiwa spektakuler sering hadir. Siapa tahu kali ini terjadi untuk kita, demi berdirinya kampus nusantara. Jangan buang harapan, jangan kurangi doa, jangan berhenti bekerja. Sebab ketiganya itu inti hidup di dunia. Semoga. Salam sehat



Tak ada pilihan lain kecuali kita harus mengerjakan lebih dari apa yang dipikirkan orang lain dan percayalah, pada suatu saat akan dibayar lebih banyak dari apa yang sudah kita kerjakan. Di kampus nusantara, kita akan bekerja dan berdoa melampaui pikiran dan perkiraan orang lain. Itulah metoda menemukan dan mengembangkan potensi-potensi yang masih tersembunyi di kolong jagad raya dan semesta.


 

Sejarah membawa kabar dari masa lalu. Cita-cita menggiring pikiran dan tenaga ke masa depan. Gotong-royong meralaskan kinerja hari ini. Dari nalar sadar waktu ini, manusia Indonesia terjebak di masa kini dan masa lalu. Gerak ke depan sering terhambat karena perbedaan dan alpa iptek plus penjajahan baru. Maka, memenangkan perang kecerdasan itu penting. Dan, kita bisa memulainya dari kampus nusantara. Kampus yang kita bangun bersama.


Kita tahu, dalam diri pahlawan selalu ada keyakinan dan optimisme bahwa walau kita di masa tergelap akan datang zaman terang: akan ada mentari di esok hari. Mereka meneladani kita dengan terus bekerja dan berdoa. Optimis dan berpikir positif, seburuk apapun kondisi kita.



Perang modern, di tingkat global adalah saling menghancurkan modal utama: agensi dan ideologi. Karena keduanya merupakan pusat strategis dan sumber energi yang menentukan kemenangan.

Maka, menyiapkan agensi bermental pemenang menjadi sangat vital. Dengan basis konstitusi dan meta science, kita diniscayakan untuk meletakkan semua potensi menjadi memastikan ketertiban dunia. Agensi patriotik yang memanggul keniscayaan atlantik merupakan potret utama yang roadmapnya harus disegerakan.

Adakah pendidikan kita sudah ke sana? Mencetak manusia unggul bermental Pancasila untuk memastikan peradaban Indonesia Raya. Ataukah sekedar mencipta budak pasar dan budaknya bangsa-bangsa? Kalian semua subjeknya!

Kata mereka yang sudah berumur, "dalam perjuangan meraih cita-cita selalu ada strategi dan ada taktik. Strategi yang bagus bisa gagal karena kesalahan dalam taktik. Demikian pula sebaliknya."

Hal yang sama pernah dilakukan oleh para pendiri bangsa. Bagi mereka, hidup terlalu singkat kalau hanya jadi orang biasa. Tetapi, menjadi luarbiyasa itu juga tak mudah. Perlu setia, konsisten dan restu alam raya.

Dari sejarah mereka, kita bisa lebih cermat dalam menilai mana strategi dan mana taktik yang digunakan untuk memperjuangkan kemerdekaan rakyat semesta.

Semoga alam restu. Semoga kapalku dan pasukanku paham akan hal itu. Dan, kita bisa vini vidi vici. Datang, bertanding, menang. Lahir, jihad, syahid.

72 tahun lebih umur negara kita. Cukup dewasa jika itu umur manusia. Sayangnya, belum banyak hal subtansial yang kita kerjakan.

Tak banyak terobosan kinerja dalam soal kedaulatan mata uang. Makin hari, rupiah kita tak berarti. Akibatnya bisnis yang ada kaitannya dengan impor, lumpuh. Lebih jauh industri melamban dan mati. Deindustrialisasi menjadi potretnya.

Kalau tokh tumbuh industri manufaktur di IT, terutama produksi hape, subjeknya bukan warga negara Indonesia.

Industri hape kini jadi ladang pengeruk keuntungan sangat besar (nomor dua setelah migas). Di Indonesia tercatat ada 700 juta unit hape dengan berbagai merk, mulai Nokia, SonyEricsson, Samsung, Blackberry, dll.

Statistik memperlihatkan, grafik peningkatan pengguna gadget selalu menunjukkan trend positif dari waktu ke waktu. Sayangnya, pelaku lokal stagnan, pelaku asing (china) meningkat dahsyat.

Pemerintah dan kita semua jadi penonton dungu. Negara konsumen. Dunia usaha dan pendidikan tak bersinergi menangkap peluang ini. Semua sibuk korupsi dan blusukan.

Dalam banyak hal, kita makin tertinggal. Elite kebanyakan lupa sejarah Indonesia, rabun cita-cita proklamasi dan amnesia konstitusi.

Semua juga menjadi ciri khas ekonom neolib (appetitus divitiarum infinitus). Ekonominya buat diri sendiri dan selingkuhannya saja. Tak ada urusannya dengan republik. Tak ada sambungannya dengan negara. Tak ada dampaknya buat warga nista paria.

Problem besarnya, kini mereka makin kuat di istana. Dan, kita belum tahu lewat mana menghentikannya.(*)

 


Kawan. Sejarah uang orang kaya di dunia adalah uang gelap hasil penjajahan dengan menjarah emas, perak dan berlian negara jajahan. Merkantilisme tradisional seperti VOC menjadikan Netherland sebagai negara kecil kaya raya di Eropa. Raja dan Ratu Netherland hidup mewah di tengah penderitaan rakyat tanah jajahan di Hindia Belanda.

Begitu juga dengan Great Britain, France, Prusia, Portugis semuanya hidup dalam kemewahan di atas penderitaan tanah jajahan. Uang mereka beranak-pinak sampai saat ini dan itu menjaga hegemoni mereka, lalu dijadikan uang pinjaman korporasi melalui jalur uang global via IMF, WB dll.

Negara miskin pinjam uang yang didapat dari merampas sumber daya mereka yang sudah berubah bentuk menjadi uang di pasar finansial yang dioperasionalkan oleh hedge fund global. Pinjam uang milik sendiri, dalam bahasa kaum milenial.

Merkantilisme ini tetap berjalan mencari mangsa baru. Lahirlah Jepang, Korea Selatan dan sekarang Tiongkok yang tidak masuk dalam orbit merkantilisme barat di bawah pengaruh Yahudi. Tiongkok or China ini pemain lama berbaju baru, lewat Obor dll yang efektif memperdaya negeri-negeri dungu seperti kita.

Di kita, mereka berkolaborasi dengan proxy dan dikopi metodanya. Lahirlah road map bisnis konglomerasi hitam di kita menjadi: bisnis perbankan, lalu ke bisnis tambang/sawit (ekstraktif), lanjut bisnis aset tanah/property (apartemen, hotel) masuk lagi ke rumah sakit (jualan tempat inap harian+jasa kesehatan+alat kesehatan), lanjut ke maskapai penerbangan (jualan kursi dan monopoli).

Mereka mengoperasionalkan semua jenis bisnis; yang terang, setengah terang, gelap bahkan yang gelap gulita. Mereka keruk tanpa bicara moral uang itu halal atau haram. Yang ada adalah jumlah yang terus bertambah. Karena merkantilisme hanya berbicara untung dan untung. Mereka produksi via pengaruh, bedil dan kekuasaan. Apapun jalan harus ditempuh. Halalkan. Tak ada yang haram. Termasuk suap semua elite agamawan agar befatwa sesuai perintah mereka.

Semua itu karena para pemilik merkantilisme tidak ingin dapat saingan baru di tingkat lokal dan internasional yang mengganggu pengaruh dan posisi mereka selama ini. Coba lihat begundal-begundal baru dari ilmuwan, agamawan, raja lokal dan tokoh yang kini bangga jadi "anjing penjaga modal" daripada menjaga rakyat dan moral.

INI CERITAKU UNTUKMU. MANA CERITAMU UNTUKKU?

 


Buku Gitanyali. Kami sedang membacanya bersama. Saat petir tiba-tiba datang tanpa diundang. Mungkin alam raya cemburu, pada kami yang diam saat setan-setan korupsi dari istana. Di atas pantat pacarku yang montok, kututup buku itu. Buku terjenius karya salah satu penulis yang kami kagumi, Rabindranath Tagore.

Doi, tentu saja salah satu penulis paling penting di abad ke-20 dalam kesusastraan India dan dunia. Karyanya yang berjudul "Gitanjali" dianggap sebagai salah satu prestasi terbesar, dan telah menjadi buku terlaris abadi sejak pertama kali diterbitkan pada tahun 1913.

Membacanya, kami berdua berharap dapat tuah penulisnya: hening, spiritualis dan semesta. Penulis berhasil melewati "pasangan partikel" takdir alam raya. Satu prestasi yang tak mudah didapatkan para salik, kecuali mereka yang dapat keistimewaan dari alam raya dan kerja cerdas tanpa kenal waktu.

Membaca pikiran-pikiran Tagore mengingatkanku pada sastrawan terjenius yang pernah hidup di tanah Jawa, Ronggowarsito. Perumus postulat "Zaman Gila," dengan tanda dan petanda, "Akeh janji ora ditepati" (banyak janji tidak ditepati), "akeh wong wani nglanggar sumpah dhewe" (banyak orang berani melanggar sumpah sendiri), "manungsa padha seneng nyalah" (manusia saling lempar kesalahan), "akeh manungsa mung ngutamakke dhuwit" (banyak orang hanya mementingkan uang), "ora ngendahake hukum Hyang Widhi (tidak peduli hukum Tuhan)."

Lalu, kami ke Ambarawa. Sebuah kota yang legenda. Tempat tentara kita dulu menjadi tentara sebenarnya: menumpas penjajah. Tentu bukan seperti tentara hari ini, yang sibuk golf dan korupsi.

Dulu, di Ambarawa, sebuah rawa yang amba (lebar) pernah dirumuskan soal negara integral. Ya. Dulu sekali, para dalang bicara negara integralistik dengan bersabda, "Ana ingsun marga sira. Ana sira marga ingsun. Manunggaling sira lan ingsun supoyo manunggaling sira lan gusti."

Kini dirubah, "ana ingsun sira dipun tuku, ana sira ingsun tuku. Kabeh saiki dol tinuku." Dan, para tentara itu (terutama polisi) menikmati betul: membela yang bayar. Tak peduli korban makin banyak berjatuhan.

Dari kota mistis legendaris Ambarawa, kita diberitahu via iklan bahwa, presiden yang baik ternyata yang mengajak bangkrut bersama, miskin bersama, mati bersama dan menjadi pengkhianat bersama terhadap para pendiri negara Indonesia. Presiden yang mengajarkan pada kita seni menipu dan satire kecurangan yang akhirnya, kenihilan dan kehancuran sebagai hasil kenegaraan!

Bukan presiden yang melindungi, mencerdaskan, mengadilkan, menyejahterakan dan mengatur dunia berdasarkan Pancasila. Dan, sekali lagi: tentara diam saja bahkan tertawa bahagia menyaksikan presiden seperti petakilan di istana.

Padahal dari buku-buku sejarah, terkisahkan bahwa di dusun Ambarawa, pernah dirumuskan teori negara pancasila yang menempatkan nasib warganegara di atas segalanya: 1)Warganegara terlindungi; 2)Warganegara tercerdaskan; 3)Warganegara teradilkan; 4)Warganegara tersejahterakan; 5)Warganegara termartabatkan di dunia. Sayang sudah 6 presiden berlalu, teori ini tinggal teori, tanpa bukti.

Benar kata Bung Hatta, "kita kedatangan zaman global dan peradaban besar tapi surplus presiden berjiwa kerdil." Dan, sekali lagi: kekerdilan itu yang utama berasal dari tentara, yang melupakan Ambarawa.

 


AKAR PERMASALAHAN DAN LIMA PENYELESAIAN  (SETTLEMENT) MENDESAK

Sofah D. Aristiawan, peneliti junior Nusantara Centre (Tulisan ini merupakan penjabaran dari artikel saya yang sempat memenangkan perlombaan menulis esai nasional)

Pendahuluan

Dalam rilisnya, UNESCO (2020) menyatakan bahwa Covid-19 sangat memengaruhi keberlangsungan dunia pendidikan. Sebanyak 1,4 miliar siswa dan 60 juta guru dari semua tingkatan di 138 negara terdampak. Indonesia, tak terkecuali. Sekolah (dan universitas) terpaksa ditutup, peserta didik dan pendidik harus menyelenggarakan kegiatan pembelajaran jarak jauh.

Dengan pembelajaran online di rumah masing-masing menuntut siswa dan guru menjadikan teknologi sebagai sarana pembelajaran utama. Bukan lagi sekadar sarana pendukung seperti dalam situasi normal. Internet, komputer, atau telepon pintar dengan cepat menggantikan metode pembelajaran tatap muka guru-siswa di ruang kelas. Karena Covid-19, siap atau tak siap, para stakeholder pendidikan dipaksa untuk segera beradaptasi memasuki babak baru bagi dunia pendidikan. Perubahan revolusioner seperti pada masa pandemi ini belum pernah terjadi sebelumnya.

Lutha dan Mackenzi (2020) mengatakan Covid-19 telah membuka lebih luas peran teknologi dalam menunjang pendidikan. Stakeholder pendidikan, misalnya, guru didesak secara tiba-tiba untuk dapat memanfaatkan teknologi yang tersedia dalam pembuatan konten untuk pembelajaran jarak jauh. Guru diberi keleluasaan yang lebih besar untuk mengubah modus interaksi pengajarannya.

Guru bisa membuat rekaman video ajarnya terlebih dahulu, lalu dikirim ke whatsapp group para siswa (baca: metode pembelajaran satu arah), atau guru dan siswa di waktu yang bersamaan dapat melakukan proses belajar mengajar melalui Zoom, Google Meet, Cisco Webex, atau aplikasi sejenis (baca: metode pembelajaran dua arah). Selain siswa tetap bisa bertatap muka secara virtual dengan gurunya, siswa juga dapat sesuka hati mengatur kecepatan video ajar sesuai kapasitas diri dalam menyimak dan menyerap materi pembelajaran.

Inovasi pembelajaran tersebut menjadikan proses belajar siswa menjadi lebih personal. Harapannya, karena siswa tak lagi diawasi guru, ia—dengan didampingi orang tuanya—didesak untuk mampu secara mandiri mengelola proses belajarnya. Kebiasaan belajar baru semacam itu, bagi Andreas Schleicher, ahli pendidikan untuk Badan Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD), dapat mendorong pendidik dan peserta didik berpikir lebih kritis dan berorientasi pada pemecahan masalah. Bahkan Schleicher berharap kebiasaan baru itu akan terus berlanjut setelah masa pandemi usai.

Praktis, digitalisasi pendidikan sedang berlangsung. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem A. Makarim, juga meyakini keniscayaan transformasi digital dalam dunia pendidikan. Bahkan, seperti Schleicher di atas, Nadiem menginginkan pembelajaran jarak jauh untuk dipermanenkan meskipun Covid-19 selesai (Kompas, 3/7/2020). Asumsinya, teknologi informasi dan komunikasi adalah instrumen utama untuk membantu guru dan siswa meningkatkan potensi terbesarnya dalam konsep pembelajaran yang fleksibel dan beragam.

Benar bahwa Covid-19 telah memberikan momentum perubahan yang berharga bagi dunia pendidikan. Tetapi, optimisme semacam itu mesti juga dibarengi sejumlah pertanyaan yang peka melihat realitas: apakah keharusan pembelajaran online atau pendidikan digital di masa pandemi ini akan menjadi kebutuhan utama sekaligus syarat baru bagi pendidikan formal pascapandemi?

Atau jangan-jangan, ia justru memberi tamparan keras buat kita karena dengan terang menelanjangi permasalahan yang telah lama ada dan berakar dalam tubuh masyarakat dan pendidikan kita?

Kesenjangan digital dan ketimpangan sosial-ekonomi Pendidikan digital memang meningkatkan peluang bagi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan. Namun, akses terhadap internet dan komputer merupakan syarat mutlak bagi terciptanya kondisi semacam itu. Coba bayangkan, dalam waktu yang sangat singkat dan tanpa persiapan, pandemi telah mengubah model pembelajaran konvensional di sekolah menjadi pembelajaran online di rumah, dan tiap anak-orang tua harus menjalani model baru tersebut tanpa perlu tahu apakah kondisi ekonominya mampu untuk segera memiliki akses semacam itu atau tidak.

Jelas, bagi anak dari keluarga kelas menengah dan kelas atas, kuota internet, pulsa, dan komputer bukanlah masalah. Tetapi, bagi sebagian besar anak dari keluarga kelas bawah, apalagi di pelosok, teknologi masih menjadi barang mahal yang susah untuk dimiliki segera. Sehingga, kendati telah membuka lebih luas intervensi teknologi dalam dunia pendidikan, Covid-19 juga telah memperluas kesenjangan (Tam & El Azar, 2020). Artinya, perbedaan latar belakang ekonomi dan tingkat kesejahteraan keluarga sangat memengaruhi tajamnya ketimpangan akses terhadap teknologi komunikasi dan informasi bagi tiap-tiap siswa. 

Inovasi untuk Anak Sekolah Indonesia (2020) dalam surveinya pada April lalu menemukan bahwa anak yang tidak bisa mengikuti pembelajaran online adalah anak yang mayoritas orang tuanya bekerja sebagai petani (47 persen) dan berpendidikan SD (47 persen). Sedang anak yang memiliki akses, pada umumnya, orang tuanya berpendidikan minimal SMA (43 persen) dan S1 (34 persen), serta yang bekerja sebagai pegawai pemerintah (39 persen) dan wiraswasta (26 persen). Untuk lebih jelas, lihat grafik 1 & 2 di lampiran.

Temuan tersebut menjadi kian teramini ketika desa sebagai tempat hidup para petani dan anak-anaknya tercatat tingkat kemiskinannya (12,85 persen) dua kali lipat dari kota (6,69 persen). Sehingga persentase penggunaan internet siswa perkotaan lebih tinggi dibanding siswa di perdesaan: 62,51 persen berbanding 40,53 persen. Sementara itu, persentase siswa yang menggunakan komputer di kota (31,37 persen) dua kali lipat dibanding siswa di desa (15,43 persen). Dan untuk penggunaan telepon seluler, siswa di perkotaaan lebih tinggi dibandingkan daerah perdesaan: 76,60 persen berbanding 64,69 persen (BPS, 2019).

Kesenjangan digital antara desa-kota tersebut segendang sepenarian dengan ketimpangan akses terhadap internet di pelbagai wilayah. Kendati lebih dari 171 juta orang telah terhubung dengan internet, 55,7 persen lebih akses internet masih di Pulau Jawa. Kontras dengan di Kalimantan yang hanya 6,6 persen; di Bali dan NTT 5,2 persen; di Sulawesi, Maluku, dan Papua 10,9 persen (APJII, 2018). Tak heran bila mayoritas guru dan siswa yang tinggal di luar Jawa, apalagi di pelosok desa, karena keterbatasan infrastruktur digital, lebih bersusah payah menjalankan proses belajar mengajar di masa pandemi ini.

Namun, bukan berarti guru dan siswa yang tinggal di kota-kota besar di Jawa terbebas dari kendala. Survei yang sama dari APJII (2018) menemukan, ternyata hanya sekitar 14 persen pengguna yang berlangganan internet tetap di rumah, sedang 79,5 persen yang tidak memiliki jaringan internet tetap di rumah, koneksi internetnya terhubung lewat telepon pintar. Artinya, keterbatasan kuota dan jaringan internet yang tak selalu stabil masih rutin mengganggu proses pembelajaran online.

Selain soal kesenjangan digital, yang menarik lainnya adalah temuan KPAI (2020) dalam surveinya bahwa, selama Covid-19, 95,4 persen anak mengikuti proses pembelajaran hanya dengan telepon pintar, 23,9 persen mengandalkan laptop, dan 2,4 persen memakai komputer. Alhasil, tidak hanya soal akses terhadap pembelajaran online, permasalahannya juga tentang sarana dan kualitas teknologi pembelajaran. Kegiatan belajar mengajar dua arah dengan bertatap muka secara virtual akan lebih berkualitas bila menggunakan laptop atau desktop ketimbang lewat telepon pintar karena layarnya yang jauh lebih besar.

Akibat pelbagai keterbatasan itu, pembelajaran online dijalani jadi sebatas kegiatan berbalas pesan whatsapp antara guru dan siswa. Karena pendidikan digital dirasa tidak efektif, siswa jadi memandang metode baru tersebut hanyalah sarana penambahan tugas dari guru (Kompas, 27/4/2020).

Pada akhirnya, pemberlakuan pendidikan jarak jauh, dengan sendirinya, malah memperlihatkan kesenjangan digital yang besar, alih-alih momentum untuk transformasi digital besar-besaran dalam dunia pendidikan. Pandemi ini justru menjadi berharga karena ia mempertegas realitas, yaitu: lebarnya ketimpangan sosial-ekonomi yang telah lama mendekam dalam tubuh masyarakat kita.

Lima cara mendesak menyelamatkan pendidikan Bertungkus lumus bukanlah sikap yang mesti diambil. Karena itu, negara wajib mengambil peran lebih jauh (Pasal 31 UUD 1945). Dalam kajian ilmu administrasi publik, sebelum kebijakan diambil perlu melihat relevansinya dengan situasi, urutan, prioritas, dan waktu. Saat pandemi seperti ini tuntutannya bukan mencari kebijakan yang terbaik, melainkan yang paling tepat. Mencari penyelesaian (settlement) yang bersifat sementara, bukan solusi atau jawaban yang sifatnya permanen. Termasuk dalam merespon problem yang telah dipaparkan di atas. Karena pendidikan diyakini sebagai jalan utama menuju hidup yang lebih sejahtera, maka ada lima cara untuk bisa memastikan tidak hilangnya hak anak atas pendidikan di masa krisis Covid-19 ini:

Pertama, di tengah pelambatan ekonomi yang memukul penerimaan pemerintah, kebijakan yang berpotensi mendatangkan pemborosan harus dihentikan. Beban anggaran mesti dialokasikan pada prioritas. Program kartu prakerja dipandang sebagai pemborosan yang tidak memberikan manfaat di masa pandemi ini (Redjalam, 2020). Pemerintah perlu merelokasi segera dana pelatihan online sebesar 5,6 triliun—di mana sasarannya buruh dan pekerja yang terdampak krisis ekonomi akibat Covid-19—menjadi bantuan langsung tunai. Sebab dengan uang tersebut, tiap orang tua bisa menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari, termasuk membeli pulsa atau kuota internet demi keberlangsungan pendidikan anaknya. Program kartu prakerja dapat dieksekusi kembali setelah krisis Covid-19 selesai.

Kedua, adanya Permendikbud No. 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis BOS Reguler memang memberi payung hukum bagi sekolah menggunakan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) untuk membeli pulsa dan/atau paket data internet. Namun, realisasi di lapangan ditemui ragam masalah. Misalnya, masih banyak sekolah yang tidak menyubsidi kuota internet bagi guru dan siswanya. Alasannya logis: untuk membeli buku pelajaran atau membayar honor atau membiayai operasionalisasi dan administrasi sekolah lainnya (Pasal 9). Logis belum tentu tepat. Di tengah keterbatasan dana BOS di masing-masing sekolah, urutannya mestinya menyediakan akses internet tersubsidi terlebih dahulu agar pembelajaran jarak jauh terselenggara sesuai Surat Edaran Kemdikbud No. 4 Tahun 2020 mengenai Pelaksanaan Pendidikan Dalam Masa Darurat Covid-19. Maka, Kemdikbud dan PGRI harus memberikan arahan yang jelas akan pentingnya hal tersebut pada tiap-tiap sekolah.

Ketiga, membangun apa yang disebut RT-RW Net. Kemunculan Covid- 19 sesungguhnya menebalkan rasa solidaritas di antara kita. Masyarakat kembali menemukan makna kegotong-royongan dalam dirinya. Sehingga, menjadi mungkin bila tiap rumah di satu RT untuk seia sekata memberdayakan pemakaian internet secara bersama dalam satu jaringan internet. Seperti dalam Dial-up telepon, Leased Channel (LC), Wireless LAN (W-LAN), kabel modem, atau ethernet (Februariyanti, 2008).

Pembiayaan pembangunan infrastruktur, operasional, dan biaya langganannya jadi jauh lebih murah karena ditanggung bersama. Rancang bangun RT-RW Net ini dapat didorong Karang Taruna yang berkoordinasi dengan Ketua RT/RW, juga perangkat desa/kelurahan setempat. Alhasil, akses terhadap internet menjadi murah, termasuk untuk keperluan pembelajaran online.

Keempat, mendesain pembelajaran jarak jauh khusus bagi guru dan siswa yang karena ketiadaan dan keterbatasannya dalam penguasaan teknologi tidak bisa mengikuti pembelajaran online. Program edukasi seperti “Belajar dari Rumah” hasil kerja sama Kemdikbud dan TVRI patut diapresiasi. Saluran TVRI yang mencakup semua provinsi di Indonesia dinilai mampu membantu kegiatan pembelajaran di pelosok. Tetapi, hal itu belumlah cukup. Lewat kanal TVRI daerah dan RRI perlu juga keterlibatan aktif dari dinas pendidikan daerah setempat dalam pembuatan konten pembelajaran.

Kelima, apabila digitalisasi pendidikan merupakan suatu keniscayaan, maka pengadaan infrastrukturnya pun sama. Sebab syarat mutlak pendidikan digital dapat berjalan efektif dan merata adalah tersedianya koneksi internet yang lancar dan stabil di seluruh wilayah Indonesia.

Namun, Palapa Ring Project tidak bisa ditarik untuk segera tersedia. Maka, sesuai Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19, bagi sekolah yang berada di pelosok dengan zona hijau Covid-19 (enam persen) menjadi perlu pemerintah daerahnya berkolaborasi dengan komunitas literasi lokal dan Taman Bacaan Masyarakat (TBM) untuk terlibat bersama guru dan siswa dalam proses belajar mengajar dengan tetap mengindahkan protokol kesehatan.


Penutup.

Melihat itu semua, digitalisasi pendidikan dalam uji praktiknya jadi tampak jauh panggang dari api di tengah disparitas sosial-ekonomi yang justru kian mencolok akibat Covid-19. Tetapi, tugas luhur konstitusi kita adalah memastikan setiap anak untuk tumbuh dengan bekal pendidikan di tangannya.

Sebab melalui pendidikan, setiap anak menjadi mungkin untuk melakukan mobilitas vertikal dan memperbaiki tingkat kesejahteraannya. Karenanya, kendati dalam krisis pandemi, di samping sektor kesehatan, menyelamatkan pendidikan menjadi prioritas. Setidaknya, mengimplementasikan lima cara penyelesaian yang telah dipaparkan sebelumnya. Seminimalnya, guna menekan angka putus sekolah agar tak bertambah. Berat, tapi itulah pekerjaan mendesak dunia pendidikan kita hari-hari ini.


DAFTAR PUSTAKA

APJII, 2018, Laporan Survei Penetrasi & Profil Perilaku Pengguna Internet Indonesia, Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia, Jakarta.

BPS, 2019, Potret Pendidikan: Statistik Pendidikan Indonesia, Badan Pusat Statistik, Jakarta.

Februariyanti, Herny, 2008, Internet Murah dengan Membangun Jaringan RT-RW Net, Jurnal Teknologi Informasi DINAMIK, XIII(2), 98-114.

INOVASI, 2020, Implementasi Kebijakan “Belajar dari Rumah”, https://theconversation.com/riset-dampak-covid-19-potret-gap-akses-online-belajar-dari-rumah-dari-4-provinsi-136534, 2 Mei 2020, diakses 5 Oktober 2020.

Kemdikbud, 2020, Permendikbud Nomor 19 Tahun 2020 tentang Perubahan Petunjuk Teknis Bantuan Operasional Sekolah Reguler, https://jdih.kemdikbud.go.id/arsip/Salinan%20Permendikbud%20Nomor%2019%20Tahun%202020.pdf, diunduh 5 Oktober 2020.

Kemdikbud, 2020, Panduan Penyelenggaraan Pembelajaran Tahun Ajaran Baru di Masa Pandemi Covid-19, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta.

Luthra, Poornima & Mackenzie, Sandy, 2020, 4 Ways Covid-19 Education Future Generations, https://www.weforum.org/agenda/2020/03/4-ways-covid-19-education-future-generations/, 30 Maret 2020, diakses 1 Oktober 2020.

Redjalam, Piter Abdullah, 2020, Setumpuk Catatan Kartu Prakerja, Media Indonesia, 6.

Tam, Gloria & El-Azar, Diana, 2020, 3 Ways the Coronavirus Pandemic Could Reshape Education, https://www.weforum.org/agenda/2020/03/3-ways-coronavirus-is-reshaping-education-and-what-changes-might-be-here-to-stay/, 13 Maret 2020, diakses 1 Oktober 2020.

UNESCO, 2020, 1.37 Billion Students Now Home as COVID-19 School Closures Expand, Ministres Scale Up Multimedia Approaches to Ensure Learning Continuity, https://en.unesco.org/news/137-billion-students-now-home-covid-19-school-closures-expand-ministers-scale-multimedia, 24 Maret 2020, diakses 1 Oktober 2020.