KEHARUSAN DESA BERDAULAT - Yudhie Haryono


Apa ide kita dalam mendaulatkan desa? Trias Ekonomika Desa. Inilah judul tesis dan ideku saat memaksa Mendagri, Kepala Bapenas dan Presiden untuk merealisasikan revolusi mental dan nawa cita dari desa.

Pinggiran itu desa. Dan, desa itu pinggiran. Di situlah selama ini problem utama kemiskinan dan buta huruf kita. Tinggal dan menetap di desa-desa: buruk tekhnologi, defisit industri, alpa inovasi.

Karenanya, tiap desa harus punya Bank Desa (sebagai pusat modal), KUD (sebagai pusat produksi dan tenaga kerja) dan BUMDes (sebagai pusat pasar).

Inilah konsep trias ekonomika desa. Dan, merekalah subjeknya. Rakyatlah pelaksananya. Desalah teritorialnya.

Sebagai modal awal, APBN harus menyertakan 1 milyar per lembaga ekonomi tersebut atau 3 milyar per desa per tahun.

Jika ini dilakukan maka akan terjadi pemerataan ekonomi, penghapusan kemiskinan, penghabisan pengangguran, penyetopan urbanisasi dan penghapusan TKI/W ke luar negeri serta kemandirian ekonomi plus naiknya indeks kesehatan rakyat dari semua sisi: pangan, pakaian, papan, pekerjaan, kesehatan dan jaminan asuransi kehidupan.

Inilah pentingnya ide dan gagasan yang diikhtiarkan merealisasikan janji proklamasi dan UUD45: Melindungi, Menyejahterakan, Mencerdaskan, Menertibkan.

Program ini akan menghasilkan epistemik borjuasi lokal dan pribumi. Sayangnya kok tidak maksimal. Timbullah radikalisme. Injeksinya agama. Persetubuhan radikalisme dan fundamentalisme kini terlihat makin menjamur.

Selebihnya, mari luaskan bacaan. "Mengapa gerakan islam (parpol dan ormas) selalu kalah di Indonesia?" tanya Prof Vedi R. Hadiz dlm kuliah umum di FISIP UI beberapa hari lalu.

Ia menjawab sendiri pertanyaan itu dengan berkata, "karena islam di Indonesia tidak memiliki borjuasi nasional." Satu kekalahan politik yang berdampak pada ketiadaan populisme islam yang pada gilirannya melahirkan kelompok frustasi yang dimakan oleh kapitalisme asing dengan menjadikan mereka martir terorisme di bumi nusantara ini.

Mengapa borjuasi dan konglomerasi muslim absen? Mengapa absennya mereka menjadi sebab kekalahan politik? Mengapa kekalahan politik mereka melahirkan terorisme? Ketikan ini ingin berbagi hipotesa soal kehancuran borjuasi pribumi, deindustrialisasi nasional dan menjamurnya radikalisme-terorisme muslim sebagai batu pertama kemenangan neoliberalisme di Indonesia.

Bagaimana kisahnya? Mari buka banyak buku. Kapitalisme di Indonesia memiliki akar kolonial yang sangat panjang. Ia mewujud seturut dengan faktor kesejarahan yang melingkupinya.

Secara umum, bentuk-bentuk revolusi kapitalisme dikondisikan oleh: karakter pra-kolonial masyarakatnya, pengaruh kolonialisme terhadap masyarakat dan ekonomi, pembentukan dan perpecahan kelas-kelas di bawah pemerintahan kolonial, karakter konflik politik pasca kemerdekaan, posisinya dalam ekonomi internasional dan corak pemanfaatan sumber daya alamnya.

Masuknya kapitalisme di Indonesia mengambil pola yang beragam: melalui penaklukan atas penguasa lokal, aliansi politik dan pengaturan finansial, pemaksaan terhadap penguasa lokal atas ketersediaan hasil bumi melalui monopoli, akses terhadap tanah, tenaga kerja dan hasil bumi berdasar kebutuhan kolonialis.

Tetapi, di masa pasca kemerdekaan, terutama sejak Ordeba, kapitalisme masuk karena "diundang oleh begundal lokal" untuk memperkuat cengkraman politiknya. Dus, ada mutualisme di dalamnya.

Kegiatan ini jadi perampokan yang direstui. Pencurian legal karena dilindungi UU. Hubungan resiprokal tanpa kritis via jalur sutra (silk road) berjejaring aseng dan via jalur orientalis (orientalism road) berjejaring asing.

Sungguh. Masuknya kapital yang dibawa oleh aseng-asing ternyata hanya imajinasi re-kapitalisasi Indonesia. Sebab ia hadir hanya untuk memastikan tumbuhnya deindustrialisasi. Memastikan kita menjadi pemasok mata rantai globalisasi saja: tak kurang, tak lebih.

Karenanya, industri lokal pribumi yang kuat (kopra, rokok, garam, herbal, rempah, garmen, perahu, kecantikan dll) dihancurkan dan dibeli. Sebagai gantinya tumbuh industri perbudakan (TKI&TKW) dan industri korupsi yang luarbiyasa besar.

Berubahlah kita dari bangsa produsen ke mamalia konsumen. Bahkan kini, konsumsi jadi penopang pertumbuhan ekonomi. Tak ada satupun industri nasional hidup dan tumbuh. Bahkan wiraswastapun dijauhi. Jadi kelas paria yang dijijikkan. Seluruh mata kuliah bisnis, wirausaha dan produsen diharamkan hadir.

Singkatnya, dalam konteks kesadaran borjuasi nasional, kita berhadapan dengan tiga problem: 1)Berubahnya mental pengusaha menjadi budak; 2)Berkuasanya kurikulum perbudakan di semua jenjang pendidikan: formal, informal dan nonformal. 3)Berlangsungnya kultur konsumerisme di semua lapisan warga.

Karenanya, saat politik kita dikhianatkan dari konstitusi dengan menyembah uang, semua politisi muslim dan pribumi KO. Kalaulah mereka sempat menang, mereka tak berkuasa. Kalaulah mereka berkuasa, mereka tak memiliki. Kalaulah mereka memiliki, mereka tak menentukan harganya.

Apa hilir dari kekalahan beruntun? Pelarian dan mimpi yang dipendekkan. Syariahisme, fundamentalisme, terorisme menjadi pilihan.

Satu pilihan yang kemudian digoreng oleh kapitalis buat bisnis. Sebab, bagi kapitalisme, semua harus dibisniskan demi kepastian seribu tahun kemenangan di masa depan.

Tanpa kesadaran borjuasi, tanpa kesadaran penguasaan SDA dan industrinya, tanpa kuasa negara (3 hal terpenting dalam berbangsa dan bernegara), sesungguhnya kita bunuh diri dan mengkhianati konstitusi (pasal 33 UUD45).

Bagi para pengkhianat, tak ada nasib kecuali dilaknat. Kalau tidak sekarang, ya besok di akherat. Inilah yang sedang berulang. Sejak begundal Soeharto sampai Joko.

Sedang kalian yang belum siuman, ayok bangun, baris berpasukan dan berontak. Kita buat kemerdekaan kelima! Merdeka, mandiri, modern, mendunia dan martabatif.

***

0 comments:

Post a Comment