KENESTAPAAN DAN ROMANSA - Yudhie Haryono


Aku membeli dan membaca semua novel karya Kahlil Gibran sejak SMA (saat di Gontor). Nilai puitiknya setara dengan kitab-kitab suci agama.

Sungguh. Menyayat dan mengudara; dejavu dan enigmatik; meliuk dan menggetarkan. Ayahku sempat melarangku membaca dan mengoleksinya. Sebab aku jadi majnun dan jabariyah. Beberapa dirampas dan dibakar dari almari bukuku. Aku tak bersedih dan membelinya kembali.

Mengapa? Sebab kalimat-kalimatnya telah menyihirku. Seperti wahyu yang menggerakkan jiwaku. Aku memberontak, melawan semua nilai-nulai feodalisme dan fundamentalisme; menghancurkan fasisme dalam jiwaku.

Darinya. Aku bertekad memanusiakan manusia. Maka dia jadi nabi sastra dan malaikat cinta dalam hidupku.

Kini, aku berbagi sepenggal kalimat yang dulu kukirim buat pacarku. Via surat yang kutemukan kopinya dalam diary: "setetes airmata menyatukanku dengan mereka yang patah hati; seulas senyum menjadi sebuah tanda kebahagiaanku dalam keberadaan alam ini. Aku merasa lebih baik jika aku mati dalam hasrat dan kerinduan. Ketimbang jika aku hidup menjemukan dan putus asa seperti hari ini (Kahlil Gibran/37)."

"Jangan biarkan rasa takut bersarang, agar kau tak hanya menjadikan cinta tempat mencari senang. Karena akan lebih baik bagimu untuk segera menutupi kebingungan dan berlalu dari lantai pelabuhan cinta. Menuju dunia tanpa musim di mana engkau akan puas tertawa. Gelak yang bukan tawamu. Dan, engkau akan menangis, air mata yang bukan tangismu.

Cinta tidak memberi apapun kecuali dirinya sendiri dan tidak meminta apapun selain cinta itu sendiri. Ia tidak memiliki dan tidak dimiliki. Karena cinta hanya untuk cinta dan hati para pecinta (Kahlil Gibran/75)."

Setelah membacanya. Kini, mari kita nyanyi lagu "Dealova@Once."

Aku ingin menjadi mimpi indah dalam tidurmu/aku ingin menjadi sesuatu yang mungkin bisa kau rindu/karena langkah merapuh tanpa dirimu/karena hati telah letih/

Aku ingin menjadi sesuatu yang selalu bisa kau sentuh/aku ingin kau tahu bahwa aku selalu memujamu/tanpamu sepinya waktu merantai hati/bayangmu seakan-akan/

Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu/kau seperti udara yang kuhela kau selalu ada/hanya dirimu yang bisa membuatku tenang/tanpa dirimu aku merasa hilang dan sepi/

Kau seperti nyanyian dalam hatiku yang memanggil rinduku padamu/kau seperti udara yang kuhela/kau selalu ada/selalu ada/selalu ada/

Entah ada di mana/sebab hatimu untuknya/sedang hatinya bukan untukmu/Hatimu bukan untukku/Padahal hatiku bukan untuknya/Tetapi hatiku untukmu.

Ke hatimu. Jalan penuh liku. Terjal dan sepi. Tragis. Tak ada puisi. Penuh pengemis. Mirip berkicot di atas meja istana. Berak semena-mena.

***

0 comments:

Post a Comment