IMAN & ILMU - Nadim Al-Lande



Ketika kita belum mampu mengenal diri kita sendiri. Selama itu pula kita tidak akan pernah mampu sampai, pada puncak kenikamtan-kenikamatan yang abadi. Kata-kata ini seperti tidak asing. Inilah kata-kata yang sering diucapkan oleh sebagian para Filosof dunia salah satunya Socrates.
Dengan demikian, ungkapan; “barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhanya” menjadi perdebatan yang panjang. Salah satunya pertanyaan di muka adalah apakah sebagian dari struktur individu manusia adalah sebagian dari entiti tuhan? Ataukah jangan-jangan manusia adalah satu realita dari zat tunggal di alam semesta? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini berangkat atas keterbingungkan yang dilontarkan ungapan diatas.  Jalaludin Rumi mengatakan, ungkapan itu berbicara tentang jiwa, tapi hal itu bukanlah sesuatu hal yang mudah. Jika kita menafsirkan ungkapan itu dengan jiwa, maka pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk pada jiwa tersebut karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. sebagai contoh, jika kamu memegang sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak sesuatu yang baik, kecil ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu adalah milik benda itu sendiri. kata- kata saja tidak bisa mengungkapakan pemahaman spiritual ini; kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal terhadap pendengarnya.
Sedangkan bagi Nietzsche dengan konsepsi yang terkenal bahkan viral di jagat eropa adalah bahwa “God Is dead”. Artinya “Tuhan Sudah Mati”. Kata-kata ini merupakan kata-kata metafora. Tuhan sudah lama mati dan manusia adalah pembunuhnya. ungkapan yang paling radikal ini mempunyai makna bahwa “sifat ke akuan, egoisme, merasa paling benar, hawa nafsu, banyak keinginan, dan yang bersifat merasa lebih. Menurutnya hal hasil manusia sengaja mematikan Tuhan dan menyembah berhala-berhala dalam diri mereka masing-masing. kesamaan dengan bahasa yang berlainan ini, mungkin kurang lebih sama dengan yang dimaksud oleh Jalaludin Rumi. Bahkan Rumi menyebutnya dengan sebutan “manusia adalah binatang yang berbicara”. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewananya di dunia yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan-harapan. Kedua, memberikan hidangan pada sifat kemanusian berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kemampuan melihat Tuhan. Kecenderungan yang kedua inilah yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat kehewanan dalam diri manusia membuat pergi dari Tuhan, sementara sifat kemanusiaan dalam diri manusia menjauh dari dunia.
Maka itu kenalilah dirimu? Siapa aku? Siapa dirimu? Apa tujuanmu? Dan Siapa Tuhanku? Jawablah dihatimu dan temukan!
Pada intinya ketika kemauan dan harapan untuk menjadi seperti ini seperti itu. Sejatinya masih bisa disebut belum memahami makna dari kehidupan yang sejati, maka Tuhan tidak akan pernah kita temukan, dan solat hanya jadi gerakan olahraga bukan sebagai maknaan spiritual untuk menuju kerinduan sang ilahiah. Hal yang sampai saat ini belum saya pahami adalah “praktik” dari sebuah konsepsi yang disebut “Quantum Ihklas”. hakikat ikhlas secara ontologis itu sendiri seperti apa? Secara teori mungkin kita akan menemukan, namun secara praktik sulit untuk diterapkan. Dan ini harus kita pecahkan secara bersama. Kuat dugaan saya di dalam praktek ke-Ikhlasan adalah salah satu jalan untuk menuju kerhidoan Allah. (walahualam bi sowab).
Itulah mengapa seorang filsuf mengatakan bahwa pikiran tidak membutuhkan alat (tubuh). Seperti dikutip dari buku FIhi Ma Fihi, Jalaludin Rumi (142) kata-kata yang memecahkan teka teki didalam alam pikiran saya:
kamu adalah esensi, sementara dua dunia itu adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,dan esensi yang kamu carik dari aksiden sama sekali tak berharga. Tangisilah orang yang mencarik Ilmu dalam hati. Dan tertawalah pada orang yang mencarik akal dalam jiwa.”
Rhido Allah tidak mempunyai tentuan, namun “ke-ikhlasan menjadi tolak ukur untuk mencapai sesuatu yang kita rindukan. Disini pula didalam konteks yang berbeda akan teringat dengan kata-kata “rhido Allah terelatk pada Ibunda,ibunda, ibunda dan ayahnda”. Di dalam konteks yang beralianan ini tentu berbeda dengan konsepsi “praktik Quantum Ikhlas”, yang kita bahas diatas. Mungkin suatu waktu bila diberikan umur panjang dan mempunyai refrensi atas ijin Tuhan akan kita bahas. Menurut pandnagan cak nur;
Usaha kita untuk mengenal diri kita sendiri merupakan jawaban dari Tuhan itu sendiri melalui Quraan, sebagai alat untuk menuju ke-ilahiyah itu sendiri. Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab suci maupun di alam ini. (Nurcolis Majid : 5).
Sebagaimana ungkapan Cak Nur, Quraan adalah pekakas (alat) untuk manusia mengenal dirinya dan semesta. Tentu sebagai objek yang diinterpretasikan oleh subjek memunculkan ragam tafsiran yang berbeda ini dibuktikan dengan banyaknya aliran ditubuh Agama Islam itu sendiri. fenomena ini juga memicu perdebatan antar aliran yang panjang dari masa ke massa, antara kelompok yang mengatakan kamilah jalan kebenaran diluar dari aliran ini adalah bidaah/kafir dengan lawanya (aliran) sebaliknya. Tentu fenomena ini terjadi tidak hanya dikubu Islam itu sendiri bisa kita temukan juga diera gereja katolik yang melahirkan protestan dan juga agama lainya. Tentu pertentangan ini muncul dari yang irasional vs rasionalitas. 
Melihat pertentangan kelompok ini sangat tragis dan ironis pula dalam pandangan humanisme. Hal itu, menimbulkan ke-paradoks dari pengertian Agama itu sendiri. Pembantaian dan pembunuhan yang sangat keji atas nama “perintah tuhan” yang apologistik dari massa ke massa antar sesama sebagai manusia. Hal hasil, “moral agama” ini menjadi banyak pertanyaan bagi pandangan humanisme seperti yang diungkapkan, salah satunya oleh musisi ternama dunia Jhon Lenon lewat lirik lagunya  yang berjudul “Imagine”.
Kedekadensi akibat pertentangan oposisibiner antara yang baik/buruk,benar/salah, dan lainya juga. Sangatlah disukai oleh para bandit kepitalis dan politikus. Bagi mereka dengan cara-cara membenturkan kedua pertentangan ini bisa sangat membantu dalam bisnis mereka tanpa disadari. Seperti di Timur Tengah; minyak, penjualan alusista, serta utang baik paska kehancuran maupun sebelumnya. Maka itu bisnis Agama sangat menguntungkan, apalagi pemahaman global kita sangat sempit dalam artian keterbukaan (open mind) terhadap ragam ilmu pengetahuan. Untuk itu pentingnya memposisikan keseimbangan antara “iman dan ilmu pengetahuan (akal)” dengan metode yang sangat kritis dan tidak anti terhadap ilmu pengetahuan apa pun, guna membangkitkan realitas kesadaran dan kemajuan dimassa depan.
Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. “. ( QS. Al-Mujadalah ayat 11)
***

0 comments:

Post a Comment