Ketika
kita belum mampu mengenal diri kita sendiri. Selama itu pula kita tidak akan
pernah mampu sampai, pada puncak kenikamtan-kenikamatan yang abadi. Kata-kata
ini seperti tidak asing. Inilah kata-kata yang sering diucapkan oleh sebagian para Filosof dunia salah satunya Socrates.
Dengan
demikian, ungkapan; “barang siapa yang mengenal dirinya akan mengenal tuhanya” menjadi perdebatan yang panjang. Salah satunya pertanyaan di muka adalah apakah
sebagian dari struktur individu manusia adalah sebagian dari entiti tuhan?
Ataukah jangan-jangan manusia adalah satu realita dari zat tunggal di alam
semesta? Tentu pertanyaan-pertanyaan ini berangkat atas keterbingungkan yang
dilontarkan ungapan diatas. Jalaludin
Rumi mengatakan, ungkapan itu berbicara tentang jiwa, tapi hal itu bukanlah
sesuatu hal yang mudah. Jika kita menafsirkan ungkapan itu dengan jiwa, maka
pendengar akan memahaminya dengan deskripsinya yang menunjuk pada jiwa tersebut
karena ia tak tahu tentang jiwa itu sendiri. sebagai contoh, jika kamu memegang
sebuah cermin kecil di tanganmu dan kemudian tampak sesuatu yang baik, kecil
ataupun besar, di cermin itu, maka sifat-sifat itu adalah milik benda itu
sendiri. kata- kata saja tidak bisa mengungkapakan pemahaman spiritual ini;
kata-kata hanya dapat memberikan dorongan internal terhadap pendengarnya.
Sedangkan
bagi Nietzsche dengan konsepsi yang terkenal bahkan viral di jagat eropa adalah
bahwa “God Is dead”. Artinya “Tuhan Sudah Mati”. Kata-kata ini merupakan kata-kata
metafora. Tuhan sudah lama mati dan manusia adalah pembunuhnya. ungkapan yang
paling radikal ini mempunyai makna bahwa “sifat ke akuan, egoisme, merasa
paling benar, hawa nafsu, banyak keinginan, dan yang bersifat merasa lebih.
Menurutnya hal hasil manusia sengaja mematikan Tuhan dan menyembah
berhala-berhala dalam diri mereka masing-masing. kesamaan dengan bahasa yang
berlainan ini, mungkin kurang lebih sama dengan yang dimaksud oleh Jalaludin
Rumi. Bahkan Rumi menyebutnya dengan sebutan “manusia adalah binatang yang
berbicara”. Dari sini dapat dipahami bahwa dalam diri manusia terdapat dua
kecenderungan. Pertama, memberikan hidangan pada sifat kehewananya di dunia
yang materil ini, yaitu nafsu dan harapan-harapan. Kedua, memberikan hidangan
pada sifat kemanusian berupa ilmu, kebijaksanaan, dan kemampuan melihat Tuhan.
Kecenderungan yang kedua inilah yang dimaksud dengan inti yang hakiki. Sifat
kehewanan dalam diri manusia membuat pergi dari Tuhan, sementara sifat
kemanusiaan dalam diri manusia menjauh dari dunia.
Maka
itu kenalilah dirimu? Siapa aku? Siapa dirimu? Apa tujuanmu? Dan Siapa Tuhanku?
Jawablah dihatimu dan temukan!
Pada
intinya ketika kemauan dan harapan untuk menjadi seperti ini seperti itu.
Sejatinya masih bisa disebut belum memahami makna dari kehidupan yang sejati,
maka Tuhan tidak akan pernah kita temukan, dan solat hanya jadi gerakan
olahraga bukan sebagai maknaan spiritual untuk menuju kerinduan sang ilahiah.
Hal yang sampai saat ini belum saya pahami adalah “praktik” dari sebuah
konsepsi yang disebut “Quantum Ihklas”. hakikat ikhlas secara ontologis itu
sendiri seperti apa? Secara teori mungkin kita akan menemukan, namun secara
praktik sulit untuk diterapkan. Dan ini harus kita pecahkan secara bersama.
Kuat dugaan saya di dalam praktek ke-Ikhlasan adalah salah satu jalan untuk
menuju kerhidoan Allah. (walahualam bi sowab).
Itulah
mengapa seorang filsuf mengatakan bahwa pikiran tidak membutuhkan alat (tubuh).
Seperti dikutip dari buku FIhi Ma Fihi, Jalaludin Rumi (142) kata-kata yang
memecahkan teka teki didalam alam pikiran saya:
“kamu adalah esensi, sementara dua dunia itu
adalah aksiden (tampilan luar) bagimu,dan esensi yang kamu carik dari aksiden
sama sekali tak berharga. Tangisilah orang yang mencarik Ilmu dalam hati. Dan
tertawalah pada orang yang mencarik akal dalam jiwa.”
Rhido
Allah tidak mempunyai tentuan, namun “ke-ikhlasan menjadi tolak ukur untuk
mencapai sesuatu yang kita rindukan. Disini pula didalam konteks yang berbeda
akan teringat dengan kata-kata “rhido Allah terelatk pada Ibunda,ibunda, ibunda
dan ayahnda”. Di dalam konteks yang beralianan ini tentu berbeda dengan
konsepsi “praktik Quantum Ikhlas”, yang kita bahas diatas. Mungkin suatu waktu
bila diberikan umur panjang dan mempunyai refrensi atas ijin Tuhan akan kita
bahas. Menurut pandnagan cak nur;
Usaha kita untuk mengenal diri kita
sendiri merupakan jawaban dari Tuhan itu sendiri melalui Quraan, sebagai alat
untuk menuju ke-ilahiyah itu sendiri. Proses pencarian kebenaran dapat ditempuh
dengan berbagai jalan, baik filosofis, intuitif, ilmiah, historis, dan
lain-lain dengan memperhatikan ayat-ayat Tuhan yang terdapat di dalam Kitab
suci maupun di alam ini. (Nurcolis Majid : 5).
Sebagaimana ungkapan Cak Nur, Quraan adalah pekakas (alat) untuk manusia mengenal
dirinya dan semesta. Tentu sebagai objek yang diinterpretasikan oleh subjek
memunculkan ragam tafsiran yang berbeda ini dibuktikan dengan banyaknya aliran
ditubuh Agama Islam itu sendiri. fenomena ini juga memicu perdebatan antar
aliran yang panjang dari masa ke massa, antara kelompok yang mengatakan kamilah
jalan kebenaran diluar dari aliran ini adalah bidaah/kafir dengan lawanya
(aliran) sebaliknya. Tentu fenomena ini terjadi tidak hanya dikubu Islam itu
sendiri bisa kita temukan juga diera gereja katolik yang melahirkan protestan dan
juga agama lainya. Tentu pertentangan ini muncul dari yang irasional vs
rasionalitas.
Melihat
pertentangan kelompok ini sangat tragis dan ironis pula dalam pandangan
humanisme. Hal itu, menimbulkan ke-paradoks dari pengertian Agama itu sendiri.
Pembantaian dan pembunuhan yang sangat keji atas nama “perintah tuhan” yang
apologistik dari massa ke massa antar sesama sebagai manusia. Hal hasil, “moral
agama” ini menjadi banyak pertanyaan bagi pandangan humanisme seperti yang
diungkapkan, salah satunya oleh musisi ternama dunia Jhon Lenon lewat lirik
lagunya yang berjudul “Imagine”.
Kedekadensi
akibat pertentangan oposisibiner antara yang baik/buruk,benar/salah, dan lainya
juga. Sangatlah disukai oleh para bandit kepitalis dan politikus. Bagi mereka
dengan cara-cara membenturkan kedua pertentangan ini bisa sangat membantu dalam
bisnis mereka tanpa disadari. Seperti di Timur Tengah; minyak, penjualan
alusista, serta utang baik paska kehancuran maupun sebelumnya. Maka itu bisnis
Agama sangat menguntungkan, apalagi pemahaman global kita sangat sempit dalam
artian keterbukaan (open mind) terhadap ragam ilmu pengetahuan. Untuk itu
pentingnya memposisikan keseimbangan antara “iman dan ilmu pengetahuan (akal)”
dengan metode yang sangat kritis dan tidak anti terhadap ilmu pengetahuan apa
pun, guna membangkitkan realitas kesadaran dan kemajuan dimassa depan.
“Allah akan meninggikan orang-orang yang
beriman di antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa
derajat. “. ( QS. Al-Mujadalah ayat 11)
***
0 comments:
Post a Comment