Kuntilanak. Aku menemukanmu saat sore menelan seluruh jiwa ragaku. Saat kuminta bill pada penjaga syorga, tertera angka yang tidak tak terbayar oleh kantongku.

Kunti. Memilih melihatmu, ziarah ke Tajmahal atau menjadi dubes, adalah memilih yang tak begitu sulit. Sebab, aku langsung memilih mengulum pikiran dan ide-idemu tentang nusantara, atlantik dan studi psiko-hermeneutik.

Karena rindu yang meluber, kukirim kamu semua novel karya Dan Brown: Digital Fortress, Angels and Demons, Deception Point, The Da Vinci Code, The Lost Symbol dan Inferno. Tetapi, jangankan menyukainya, berterimakasihpun tidak.

Aku menemukanmu saat pagi menjejak mataku. Saat kesunyian meluruhkan air mataku. Saat jenuh sudah kubersujud meminta mati yang tak sudah-sudah. Saat kupinta tataplah mataku ini dan akan kau dapati seulas harap kehidupan yang tak mati.

Kan kubagi seberkas keraguan sekaligus kehangatan. Ini tentangmu yang harus kuakui kharisma di dirimu. Pesonamu bak langit yang memeluk bintang gemintang. Soal-soal yang lengah dan banyak yang mendambakan cintamu: senyummu dan tubuhmu.

Aku menemukanmu saat aku cemburu pada yang telah mati. Pada pahlawan-pahlawan baru. Ya. Terlalu kucemburu bahkan. Rasa yang menjejer ini tak dapat kusimpan sendiri. Harus dikisahkan. Walau pada batu nisan. Sebab novel-novel tak sudi memuatnya.

Aku menemukanmu saat tuhan, hantu dan hutan tak sudi disembah. Saat mereka murka seperti sampah. Saat kegelapan datang tak sudah-sudah.

Lalu, aku ke perpus. Menceritakan satu-satu. Tentang kurikulum postkolonial. Di kampus tercinta. Universitas Nusantara. Dari hulu Nusantara Centre. Kini. Dan seterusnya. Biar sepi memagut. Biar sunyi senyap. Seruput kopi pahit. Dan, lukamu kubalut. Mesra. Sampai tak ada angkara. Hari ke hari kau nanti tahu. Ujung kita menjadi sejoli purnama. Bahwa hidup adalah revolusi sia-sia. Sebab, apa artinya bahagia tanpamu.

Kau seperti indonesia. Yang jika diceritakan, butuh trilyunan lembar kertas. Hingga seluruh langit dijadikannya buku, tak akan menfiniskan kisahmu. Apalagi jika tintanya dari air mata para janda. Tak akan seperlimanya. Tak ada yang sanggup mengkanfaskannya kecuali engkau yang memagutku sepanjang waktu. Sayangnya kok engkau tuli, bisu dan buta. Mungkin sudah dikebiri seperti para kasim yang tinggal di istana.(*)