Agar tak seperti kuburan, mari berdendang. "Di sini kau dan aku/terbiasa bersama/menjalani kasih sayang bahagia kudenganmu. Pernahkah kau menguntai/hari paling indah/kuukir nama kita berdua/di sini surga kita. Bila kita mencintai yang lain/mungkinkah hati ini akan tegar/sebisa mungkin tak akan pernah/
sayangku akan hilang. 

If u love somebody
could we be this strong. I will fight to win
our love will conquer all wouldn't risk my love
even just one night our love will stay in my heart/my heart.

Pernahkah kau menguntai. Hari paling indah. Kuukir nama kita berdua. Di sini surga kita. Bila kita mencintai yang lain. Mungkin kah hati ini akan tegar. Sebisa mungkin tak akan pernah sayangku akan hilang."

Agama sejatimu takkan pernah sanggup untuk menyakitimu. Tetapi, kesejatian itu mirip iman: yazid wa yangkus. Negara sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu. Tetapi, kelupaan itu momen kritis bersendi akal: sihah wa marid.

Membincang agama, adalah membicarakan teka-teki yang tak sempurna. Mirip melukis Indonesia. Begitu luas tetapi paria. Begitu kaya tetapi menderita. Nah, soal agama, mungkin kita bisa merujuk ke buku "Sejarah Tuhan" ataupun "The Great Transformation" karya Karen Amstrong.

Wanita ini menyuguhkan hasil riset penting bagaimana agama-agama adalah sesuatu yang berubah, berinteraksi dan berproses sedemikian rupa dari satu kepercayaan ke model kepercayaan yang lain. Maka konsepsi “dialog agama-agama” menemukan pintu masuknya. Keramahan dan toleransi mempunyai basis argumennya. Gotong-royong memiliki landasan filosofisnya.

Nah, soal Indonesia, mungkin kita bisa merujuk pada buku, "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Bung Karno. Juga buku, "Negara Paripurna" karya Yudi Latif. Pada dua buku itu, tesisnya serupa walau tak sama: Indonesia bukan barang jadi. Ia tapal antara. Jembatan emas. Jika berhenti, mati. Jika berlari, lihat belakang, kanan kiri dan tatap fokus ke depan. Tetapi harus selalu diingat: tanah-air-udara ini milik generasi penerus yang kita pinjam. Jangan kita wariskan dalam keadaan bangkrut dan minus martabat. Maka konsepsi revolusi menemukan pijakannya. Pemberontakan mendapat yurisprudensinya.

Sudah lama, agama dan Indonesia berada bersama kita, dari kita, oleh kita semua tapi minus untuk kita. Keduanya beredar dan menjadi udara yang kita hirup. Karenanya, tak ada agama dan indonesia tanpa teks, bahasa dan sejarah. 

Tak ada teks tanpa tafsir. Tak ada tafsir tanpa sengketa. Tak ada sengketa tanpa darah dan air mata. Tak ada darah tanpa kebodohan. 

Tak ada sejarah tanpa manusia. Tak ada manusia tanpa cita-cita. Tak ada cita-cita tanpa revolusi. Tak ada revolusi tanpa kolonisasi (penjajahan).

Tak ada bahasa tanpa identitas. Tak ada identitas tanpa perjuangan. Tak ada perjuangan tanpa penjajahan. Tak ada penjajahan tanpa ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Dus, kata kunci memahami agama dan Indonesia cukup tiga: kebodohan, penjajahan, iptek. Ketiganya terhubung dengan liberte, fraternite dan egalite.

INGAT: KEBODOHAN MENDATANGKAN PENJAJAHAN. DAN PENJAJAHAN MENTERNAK PENDERITAAN. CARA MENIKAMNYA DENGAN IPTEK.

Kini, agama dan Indonesia bertemu muka. Kawin-mawin. Membentuk lingkaran nyata di dunia. Tapi, tak terlalu peduli dengan nasib manusia: utamanya yang miskin, bodoh dan tuna daksa. Terutama manusia Indonesia: utamanya orang bodoh dan kalah.

Maka kusaksikan betapa kasihan kalian warga negara Indonesia: bangga membela agama dan Indonesia, padahal itu bukan agama dan Indonesia yang sesungguhnya. Melainkan agama dan Indonesia ciptaan penjajah dan begundal kolonial saja. Yang diangankan dan dipraktekkan demi perut gendut dan rakus mereka saja.

Tuan-tuan yang bijak. Tanpa kerja dan pikiran raksasa (gotong-royong untuk revolusi dan revolusi untuk gotong-royong) kini dan nanti, agama dan Indonesia adalah wajah buruk plus syorga yang tak dirindukan (inferno): tak lebih, tak kurang.

***


INDONESIA#Kita tidur dengan bantal yang sama, tapi dengan mimpi yang berbeda. Maka, tak ada yang lebih pedih daripada kehilangan mimpi-mimpi kalian. Kita tidur di kasur yang sama, tapi dengan cita-cita yang berbeda. Maka, tak ada yang lebih perih saat kasihku tak mungkin beralih.

Kita hidup di negeri yang sama, tapi dengan program yang berbeda. Maka, menyatu dalam waktu yang berjalan. Tetapi aku kini sendirian. Menatap negeri ini hanya bayangan. Lalu, aku bertanya.

Adakah pilihan lain selain revolusi? Tidak ada. Yang masuk akal kini cuma revolusi pancasila. Apa itu? Adalah gerakan nasional yang dikerjakan secara bergotong-royong oleh para patriot Pancasilais segala kalangan, guna merealisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia; dalam waktu segera dan sesingkat-singkatnya.

Siapa musuhnya? Semua begundal kolonial internasional dan lokal yang mengkhianati kita semua. Para pengkhianat yang mengkhianati dan mengganti nilai-nilai Pancasila. Maka, pertanyaan berikutnya, apa nilai utamanya.

Jika diperas, kata Bung Karno, "yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua.

Prinsip Gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara."

Kini kita berjihad demi Pancasila demi Indonesia. Bagaimana ia bekerja? Filsafat Pancasila membantu setiap generasi bangsa-negara ini untuk menghadapi problemnya di masa kini dan masa depan. Studi Postkolonial menawarkan setrilyun pemecahan persoalan kolonialisme dan berbagai variannya (kapitalisme, liberalisme, komunisme dan neoliberalisme). 

Filsafat pancasila dan studi postkolonial adalah dua metoda penjaga dan pewibawa Indonesia. Tentu peletak dasarnya Tuan Soekarno. Bapak bangsa yang kini dikhianati anak biologis dan anak pungutnya!

Kedua ilmu ini melarang berfikir dari segi keterbatasan. Sebaliknya mendorong berfikir dari segi kemungkinan. Metascient. Maha luas terbentang di semesta.

Karena itu, sekali lagi yah. Jika mengamalkan pancasila, adalah menyejahterakan indonesia maka tiba waktunya untuk bertarung. Menumpas angkara. Melawan musuh lama. Menggilas musuh masa kini. Mengantisipasi musuh masa depan. Merekalah setan-setan si ular penipu. Para penghasut dalam hati, pikiran dan perbuatan. 

Jika mengamalkan pancasila, adalah tipu-tipu belaka maka itulah mereka: alumni dan penghuni istana kini. Sejak mereka berkuasa, buku tak dibaca, pengetahuan tak dibeli, hikmah tak ditradisi. Semua musnah dalam dua kata: pencitraan dan blusukan.

***


Aku sudah melakukan dan berdoa sebisanya. Tak berhasil. Malah makin tak ada terang. Kini yang kubisa apa? Menulis puisi. Itulah nasibku tuan-tuan yth. Itu juga karena pemerintahan kita kini diisi tukang kibul dan pelacur serta didukung kaum munafikun.

Dari daerah di mana uang disembah dan pikiran dinistakan. Dari negeri di mana partai terkorup memenangkan pemilu. Aku menulis puisi cinta dan keruwetan-keruwetan hidup:
*
Siapakah yang kau bayangkan menemanimu saat ajal/yang setia menjagamu saat sakit/yang membuahimu dengan cinta/apakah ia yang jauh/yang nalarmu berharap-harap penuh seluruh/ataukah aku/lelaki tua yang setia/walau bau tanah tapi bersedia mencuci bajumu/mengantarmu ke pasar dan kampus/memenuhimu dengan cinta tak bertepi/melobi tuhan agar hujankan berkah/dan mengajakmu menjadi ibu negara/atau menulis buku/sebab alamatku ada di perpus-perpus penjuru negeri/

Jika ada tuhan yang disebut namanya membuatku gila ketuhanan dan rindu kematian, itulah tuhanku yang membisu dari doa-doaku setiap waktu. Engkaukah tuhanku yang menuli dari ratapku? Engkaukah tuhanku yang membuta dari segenap cintaku?

Tuhanku kini persis indonesiaku: bisu tuli buta dengan nasibku.

Dan, aku terbunuh cemburu bila ada orang yang sering kau sebut mencintaimu dengan cara dan postur yang diimpikanmu; juga yang engkau cintai tapi tak sempat menggendongmu karena beberapa alasan yang tak perlu.

Kalian membaca puisi di tebing-tebing kerinduan dan sawah-sawah yang tak lagi diairi bulir air saat kemarau menahun dengan judul serupa tapi tak sama. Tragis. Karena aku jadi tumbalNya.

***


Teman. Mari agak seriyus. Dalam dunia akademik, sesungguhnya ada beberapa sokongan dalam usaha melawan matra neoliberalis yang makin gigantik. Salah satunya dari Hyman P. Minsky. Ekonom strukturalis yang sudah lama memperingatkan "krisis buatan para pemuja pasar" dalam rangka mengakumulasi kapitalnya. Kini kita bisa menggunakan teori FIH temuannya untuk melihat volatilitas mata uang dan harga-harga barang di sekitar rezim devisa bebas dan pengiman fundamentalisme pasar syaitan.

The Financial Instability Hypothesis (FIH) has both empirical and theoretical aspects that challenge the classic precepts of Smith and Walras, who implied that the economy can be best understood by assuming that it is constantly an equilibrium-seeking and sustaining system. The theoretical argument of the FIH emerges from the characterization of the economy as a capitalist economy with extensive capital assets and a sophisticated financial system. 

In spite of the complexity of financial relations, the key determinant of system behavior remains the level of profits: the FIH incorporates a view in which aggregate demand determines profits. Hence, aggregate profits equal aggregate investment plus the government deficit. The FIH, therefore, considers the impact of debt on system behavior and also includes the manner in which debt is validated. 

Minsky identifies hedge, speculative, and Ponzi finance as distinct income-debt relations for economic units. He asserts that if hedge financing dominates, then the economy may well be an equilibrium-seeking and containing system: conversely, the greater the weight of speculative and Ponzi finance, the greater the likelihood that the economy is a "deviation-amplifying" system.

Thus, the FIH suggests that over periods of prolonged prosperity, capitalist economies tend to move from a financial structure dominated by hedge finance (stable) to a structure that increasingly emphasizes speculative and Ponzi finance (unstable). The FIH is a model of a capitalist economy that does not rely on exogenous shocks to generate business cycles of varying severity: business cycles of history are compounded out of (i) the internal dynamics of capitalist economies, and (ii) the system of interventions and regulations that are designed to keep the economy operating within reasonable bounds.

Siapakah ekonom Hyman? Sesungguhnya, Hyman Philip Minsky adalah profesor ekonomi di Universitas Washington, beraliran neo-Keynesian (strukturalis) yang percaya perlunya peran negara dalam ekonomi.

Ia memberikan analisis yang cukup menarik tentang penyebab krisis. Menurutnya, ekonomi kapitalisme, memiliki tendensi untuk mengalami krisis. Akibatnya krisis menjadi suatu hal yang lumrah dan akan senantiasa berulang di dalam sistem ekonomi kapitalisme. Teorinya menganggap bahwa penyebab utama krisis ialah akumulasi hutang, ponzi (kebohongan) dan kesengajaan kaum kaya yang greedy saat mengakumulasi kapitalnya. Sebab itu, krisis diciptakan demi keuntungan-keuntungan cepat yang bisa didapatkan saat orang lain belum menyadarinya. Proses spekulasi ini kemudian dilindungi negara. Sebab negara juga dikuasai para konglomerat yang predatoris. 

Dalam konteks Indonesia, krisis adalah jalan dan metoda perampokan. Berulang diciptakan via negara demi konglomerasi begundal lokal dan elit kolonial internasional. Krisis 65, 74, 98 2008 dan kini 2020 via tax amnesty dll adalah perulangan valid akan perampokan dalam fase-fase telanjang di depan hidung warganegara. Begitulah faktanya.

Sedih. Sebab kuasa konglomerasi oligarki berasal dari stratifikasi kapital. Makin ekstrem kesenjangan stratifikasi itu maka semakin ekstrim oligarkinya. Media dan ilmuwan di Indonesia kini berfungsi sebagai alat oligarki dan elit politik untuk merampok. Korban terburuk dan terkasih dari oligarki adalah para agamawan. Mereka merestui kejahatan oligarki dengan firman.

Jangan berharap oligarki akan berhenti sendiri. Mereka harus dibatasi rakyat banyak melalui revolusi.

***


Globalisasi negatif. Itu istilahku untuk situasi yang terjadi di Indonesia kini. Kita gagal merespon dengan cerdas hingga jadi korban. Dan, korban itulah kita kini sehingga miskin.

Tetapi, apa itu miskin? Kemiskinan struktural adalah kenestapaan yang dialami (warga) negara postkolonial akibat dari super struktur yang menjajah, mendominasi dan merampok SDA dan SDMnya. Struktur yang dominan plus timpang menyebabkan hilangnya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya kreasi warga dalam pelaksanaan pembangunan sehingga terpinggirkan dan tak ikut berpartisipasi dalam pelaksanaan pembangunan demi kesejahteraannya.

Asing yang menjajah dan "struktur negara" yang menjarah serta tak mampu adil menjadi potret terbaik dari arsitektur kita saat ini. Bukan hanya tak adil, mereka bersetubuh memusnahkan hak dan semua milik warga yang tak melawan. 

Sedang kemiskinan kultural merupakan kenestapaan yang dialami oleh manusia postkolonial yang mewarisi mental kolonial dengan menghidupkan tata nilai kemalasan bekerja, etos yang lemah, mudah menyerah pada nasib dan eskatologis (berdoa, sujud, ziarah).

Ini loh problem besar umat bernegara dan beragama, yang disempurnakan oleh kemiskinan struktural. Ngerti kon ndes? Itu loh ndes yang sedang terjadi. Ngerti ora kon iki marang kahanan subtansi?

Tingkat kemiskinan ini makin akut karena pertambahan penduduk sebanding dengan tingkat pertumbuhan korupsi. Ketiganya jadi lingkaran syaitan yang tidak tak terpecahkan.

So, apa yg harus dilakukan Presiden Indonesia jika kita miskin sehingga APBN kosong?
  1. Nasionalisasi asset strategis.
  2. Rekapitalisasi BUMN.
  3. Buat perpu lalu lintas investasi.
  4. Intensifikasi pajak.
  5. Penghematan.
Sayangnya belum ada presiden yang lakukan program tersebut. Sebaliknya presiden-presiden yang ada melakukan rekomendasi neoliberalis:
  1. Tambah utang.
  2. Jual murah BUMN.
  3. Perbanyak janji-janji palsu.
  4. Ciptakan kerusuhan-kerusuhan pengalih isu.
  5. Serahkan pasar sebagai solusi.
Republik kok susah dapat pemimpin yang punya gagasan cerdas dan crank yah? Takdir bingitz.

***


Jumat. Kekasih. Ini dinding ratap. Aku tahu curhat ini tak berarti. Mirip ketikan paru guru yang pingin gaji ke-14. Maka, aku masih di sini. Menenun kebekuan berbalut sepi yang teramat dalam. Rindu yang tak mau pergi dari jiwa-jiwa yang tegar mencari. Segenggam berlian setrilyun istana di tiap kota. Kecuali ia mendengar celotehmu yang tegar, yang mempercayai waktu. Bahwa aku begitu mencintaimu: seperti petugas perpus pada buku-buku.

Aku sudah punya buku dan tokonya. Cuma tak laku sehingga rumah kecilpun tak terbeli. Apalagi apartemen di menteng. Engkau masih sabar hidup menderita?

Hidupku bagaikan secangkir kopi robusta di pagi hari: pahit, asam dan manis datang bersamaan. Sayangnya aku tak kuasa menikmatinya. Pikiran dan jiwaku lumpuh. Yang ada hanya kekasihku dan "tragisnya usaha" tanpa ujung. Yang hutang tak kunjung bayar, yang beli tak kunjung mentransfer, yang pesan barang tak kunjung datang, kebon tak berbuah, para kontraktor di kontrakan pada menunda pembayaran, undangan ceramah dan sekolah hanya dibayar 2M: makasih mas.

YANG ADA HANYA PEMILU DAN OJEK#
Menunggu mati sambil menghabiskan tabungan. Bagaimana hidupmu kekasih? Masih betah ngerumpi agama, jenazah, kuburan dan memuja kodok? Nangudzubillah. Cukuplah aku dan mukidi jadi korbannya.

Kasih. Kau tahu? Selama rezim tak mau merealisasikan janji dan harapan konstitusi, selama itupula warga negara mencari alternatif. Terlebih, rezim kita kini berfilsafat: aku rakus maka aku ada. Aku ada karena menjajah saja. Aku menjajah maka aku kaya.

Kini kekuasaan di sekitar kita sedang anarkis karena tidak faham filosofi bernegara. Kemampuannya hanya pedagang kayu tanpa tahu akibatnya. Negara plonga-plongo, republik rentenir. Sempurna sudah.

Kekasih. Jumat ini. Rasanya lama tak ketemu kawan-kawan dan dosen di kampus. Setelah ngobrol dan bertemu, kami punya hipotesa yang sama: demokrasi ultraliberal yang kita jalani hanya menyuburkan pencuri. Para pencuri itu tumbuh di mana saja dan kapan saja. Lihatlah, hampir tiap hari KPK tangkap koruptor. Tak habis-habis.

Demokrasi kita bukan lagi demokrasi pancasila karena telah berubah wujud menjadi demokrasinya para oligark, jaringan cukong, sindikat preman jalanan dan para politisi busuk.

Demokrasi kita juga baru sebatas ajarkan caci-maki. Di mana dan kapan saja. Kupaham saat sudah lama tak ke kampus tercinta Universitas Indonesia yang tak punya mata kuliah "keindonesiaan." Sebelum diskusi, mampir Starbuck di perpus samping masjid. Eh... kok berubah jadi kaffe Javaroma. Baru tahu kalau jaringan Starbuck bisa "bangkrut" atau kenapa yah? Penasaran pisan. Kau tahu kekasih?

Pemimpin bermental miskin menjawab problema hari ini dengan rumus masa lalu. Akhirnya stagnan dan mengaborsi masa depan. Jika punya pemimpin seperti itu, kita cukup layak untuk memakinya.

Selain itu, demokrasi kita juga melahirkan rentenir. Tak percaya? Kini, tiga tahun kita telah menipu diri sendiri, karena pemerintahan yang paling biadab sekalipun menyumpahi tiap-tiap bentuk korupsi-kolusi dan nepotisme (KKN); kita menyumpahi pemerintah yang menyuburkan utang-piutang; kita sumpahi pemerintah yang membangun badannya sambil lupa menyehatkan jiwanya.

Jumat. Meratap. Kekasih. Demokrasi kita juga hanya hasilkan perut kembung pejabat. Semuanya dikangkangi. Maka, biarlah dik Kowi membabi buta. Semua disuruh jadi cawapresnya. Di udara, laut dan darat ia menang. Semua partai bisa ia kuasai. Banyak ulama ia sumpel mulutnya. Banyak aktifis ia rantai tangannya.

Tetapi, selama ada lembah intelektual, pojok ngopi independen dan rakyat kampung pelosok yang guyon, selama itu mimpi perbaikan negeri masih bisa diketik kembali. Biarlah demokrasi kita kini hanya hasilkan pejabat kembung perut; hasilkan elite segelintir yang kaya raya dan pesta pora. Biarkan saja. Kita wariskan semuanya saja.

***

Kisah ini berakhir di pertemuan pertama. Pada perpustakaan yang bergemuruh dalam ucapan selamat bertemu lagi. Bertemu dengan buku dan jurnal-jurnal. Mengejar guru besar.

Padahal, aku sudah lama menghindarimu. Bahkan menyebut nama saja tak mampu. Apalagi mengetiknya. Sialnya kau ada di sini. Di antara gosip dan cerca para pecinta negara. Di antara si kufur dan pasukan dungu. Saat menanti pagi. Menceritakan hal yang tak pasti.

Tentu mengagetkan bagiku. Sungguh tak mudah bagiku. Gelisah. Kibas. Berdegup keras. Tak berkata-kata. Senyumpun tidak tak terpikirkan. Rasanya tak ingin bernafas lagi. Pikirku aku menjumpai izrail kini. Saat tepat tegak berdiri di depanmu kini.

Di ujung umur. Di akhir malam menuju pagi yang gigil. Di sisa uang dompet tak seberapa. Di bening sore menuju malam pekat. Hanya ada sedikit petunjuk. Ya. Setitik harap. Saat engkau sedang paling menggairahkan untuk dihirup.

Lalu kita saling diam terpukau. Dan, mataku merasa malu; mulutku kaku; hatiku berhenti berdetak. Semakin dalam jiwa ini malu dan memalukan. Terutama pada keadaan. Juga pada guru-guru. Kadang juga takut yang tak bertaut. Tatkala harus berpapasan di tengah teman dan kawan, penggemar dan pencaci.

Di sore hari menuju petang. Di malam hari menuju pagi. Di sisa pagi menuju siang. Sering terlena. Bengong. Sedikit banyak kulminasi rasa cemas. Bercampur gegap dan rindu. Cinta yang tak bisa diketik. Tak dirumus matematika. Melampaui gurun dan kitab suci.

Di buku-buku terbaru kini ditulis bahwa, ciri negara pancasila adalah, elite berpenampilan jelata tetapi bermental kolonial; berbahasa marhen tetapi bergaya borjuis; surplus agama tetapi defisit ketuhanan; minus spiritualitas; tumbuh berjumbuh manusia tetapi minus kemanusiaan (yang adil dan beradab); menaikkan gaji dirinya dan menurunkan daya beli rakyatnya.

Sedang di jurnal-jurnal terbaru diketik dengan rapi kesimpulan bahwa, salah satu tanda datangnya hari kiyamat adalah berubahnya sikap mertua yang semeleh jadi serakah; bijak jadi bajak. Kebetulan aku sedang mengalami. Setres dan bingung, tapi takdir tak bisa dipilih.

Mendapati suara tegurmu rasa sakitnya menusuki jantung; meledakkan serpihan rasa; memporak-poranda hutan belantara; menghentikan hujan badai; melawan cinta yang ada di hati. Seperti menunggu perempuan yang sedang dipeluk pacarnya dan kita berharap berhenti karena di hati menaksirnya. Untuk ia yang didekap pasangannya sampai pagi dan kita tak dapat senyumnya.

Kisah ini kisah hari purnama dalam keberkahan jiwa. Saat mendung dan duduk di bawah pohon jambu. Menyongsong kelembaban zaman. Memancarkan realita masa depan. Selama duapuluh tahun, lima pikiran solusi berbangsa tertuliskan. Dari riset pustaka, lapangan, temu tokoh dan pelacakan artefak yang memutihkan rambut kepala.

Mulailah ketikan itu dari buku "Republik Yang Menunggu." Ini buku babon yang mengulas para penjajah baru. Jernih dan lugas menyingkap aktor, agensi dan proxy begundal. Selanjutnya buku "Mental Kolonial." Ini buku serius yang menjelaskan warisan mental yang tertradisi di negara pasca kemerdekaan; karakter agensi begundal yang meneruskan penjajahan.

Lalu ketikan buku "Membumikan Revolusi Mental." Ini buku dahsyat soal cara memerangi para begundal dan cara mengubah sejarah negeri koloni suatu bangsa. Selanjutnya ide dalam buku "Kitab Kedaulatan." Merupakan buku yang merangkum metoda anti tesa dari neoliberalisme. Buku yang menjelaskan apa yang sebaiknya dan apa yang seharusnya kita lakukan.

Terakhir adalah buku "Demi Pancasila Demi Indonesia." Tentu ini merupakan kongklusi dari seluruh diskursus yang terjadi selama duapuluh tahun kita bergelut memenangkan warga negara guna memakmurkan pancasila dan mengadilkan Indonesia. Lima yang menyejarah. Warisan bagi zaman genting.

Dan, upaya-upaya tahu diri tak selamanya berhasil. Menghindar juga bukan pilihan. Mengucap salam juga tak mungkin. Mati. Pabila ia muncul terus begini. Tanpa tanda. Datang tak dirasa auranya. Tanpa simbol. Sehingga tak sengaja. Tanpa pernah kita bisa bersama. Lalu kudengar lirih kata pergilah, menghilang sajalah lagi. Ke dalam buku yang berdebu. Di tumpukan almari perpus tua dan wangi dupa.

***

Apa lagi yang bisa kuteteskan? Saat kutahu kedua orangtuanya telah lama tiada. Punah tertelan bencana. Juga, ibu angkatnya telah lama mati ditelan penyakit yang tak tersembuhkan. Ujian hidup datang bagai gelombang lautan. Tak sempat berhenti, siang maupun malam.

Duka selalu menghadirkan waktu sakit dan kekurangan untuk dirinya. Nestapa selalu datang bak mobil angkot permisi di terminal. Kegetiran begitu rindu mendekap tangisnya setegas datangnya KRL di tiap stasiun. Namun, kesehatan dan takdir selalu membuang-buang waktu dan kesempatan hidup yang mempat.

Engkau seperti dikutuk alam raya dan dinikahi kesialan-kesialan plus ujian kesakitan yang tak terselesaikan. Maha duka. Maha sengsara. Maha miskin. Maha gelap. Tergelap dari kisah mahabarata. Hernawan Mahabrata bukan namamu. Juga bukan Falicia Maharani, apalagi Dzikrina Aqsha Mahardika, Mahadewi, Ieda Maharani, Umay Maharani, Ivana Maharani Benz, Prima Maharani Putri, Rhany Maharani, Tengku M A Mahara. Jelas bukan semuanya.

Sesampainya di hari raya kukabarkan semua deritanya. Kukeluhkan duka laranya. Kulaporkan semua sakitnya. Kupuisikan tangisnya. Kepada tuhan, kepada hantu, kepada hutan dan kepada gendurwo. Tetapi semua diam, membisu dan membuta. Doa-doa seperti sia-sia. Keluh kesah tak berguna. Negara absen seperti biasanya.

Kini rumah sakit menjadi kaffe langganannya. Merintih dan terjepit doa: antara sisa hidup yang tak lagi punya makna. Tinggal aku sendiri terpaku menatap manusia mudik beriringan dan mabuk di rumah-rumah ibadah.

Ilalang berkibar. Hujan mulai menyapa. Kemacetan di semua ruas jalan. Tukang parkir panen. Daya juang pemudik menipis. Kabar bahagia makin mahal dan langka.

Kisah perjalanan beberapa manusia terasa sangat menyedihkan. Menusuk dan membingungkan kita yang di sekitarnya. Terlebih bagi mereka yang tak berkawan: tanpa banyak teman.

Banyak cerita yang mengerikan. Membuat teriris dan jumpalitan. Memang, mestinya kita saksikan agar belajar beneran. Ya. Belajar dari peradaban anyir yang tandus duka di tanah kering bebatuan. Kisah kalah. Sekalah-kalahnya.

***

Jika tekhnologi koloni planet lain makin berkembang dan berhasil, apa dampak terbesar yang akan terlihat? Pasti kalian tidak tak sampai memikirkannya.

Jika manusia-manusia jenius telah nyaman di planet lain; jika terbentuk pemukiman manusia cerdas di planet lain; jika itu terjadi, bagaimana agama kalian yang lucu-lucu itu bertahan?

Masihkah kampanye dan dakwah arah kiblat mirip Muhamadiyah? Masihkah debat qunut mirip Nahdlatul Ulama? Masihkah ribut soal celana dan jenggot model salafi, HTI, peka-es dan kabib-kabib yang dungu itu? Masihkah jedotin jidat hingga hitam dan ribut jam berapa sahur, kapan idul fitri dimulai, kapan mulai puasa, berapa jam lama puasa dan hal-hal pariferal lainnya mirip para fundamentalis?

Subhanallah. Apa kira-kira yang ada di pikiran para jahil yang mengaku ustad? Apa kira-kira fatwa dari selebritis pembual di tv-tv dan radio? Apa yang akan dilakukan para arabis yang jualan haji-umrah dan gamis? Apa yang akan dibualkan para ontanis soal sunnah dan jilidan kertas itu? Yang jelas, ormas dan partai "islam" akan makin sepi.

Dus, kini rasanya kita perlu lompatan besar dan dramatik dalam memaknai agama (islam). Kalau masih seperti para jahilis di atas, kita akan hidup dalam the end of religions. Yang akan terjadi adalah masyarakat post fundamentalis. Atau sekuleris? Kita akan jadi saksi dari episode yang dahsyat ini.

Apa pasal? Beberapa usaha serius manusia telah menempatkan planet Mars dan Bulan bakal menjadi destinasi bulan madu. Manusia-manusia jenius ini sangat yakin bahwa hanya masalah waktu untuk akhirnya bisa menerapkan penjelajahan antariksa yang akhirnya akan menjadi opsi liburan reguler; bahkan tempat tinggal abadi.

Sejarah penaklukan ruang angkasa dan planet lain sedang terjadi. Kaum muslim tertinggal sangat jauh. Kita masih ribut menggunakan hisab atau rukyat dalam memastikan awal puasa. Teks-teks islam dan para pengkajinya masih mimpi basah dan di area purba. Tentu sambil klaim dan onani masuk syorga.

Karena itu, yang perlu diperhatikan bagi kita adalah harus membuka kembali cakrawala. Meluaskan kecerdasan semesta. Mendentumkan kejeniusan zaman. Dan, bagi yang menjelajah luar angkasa dalam kurun waktu yang lama adalah lingkungan fisik dan efek psikologis mereka agar tahu bahwa dunia bukan sekedar syorga neraka, arabis kafiris dan agamis sekuleris.

Doktrin dan kurikulum agama harus berubah total. Dari doktrin jahiliyah (abu jahal) dan kurikulum fundamentalis (abu lahab) menjadi doktrin bintang dan kepemimpinan. Jika kita dalam berislam tak menjadi leitstar (bintang komandan) maka tak usahlah mengaku muslim. Sebab, menjadi muslim indonesia bukan hanya harus mampu menjadi figur sentral moralis dan idealis tapi juga leitstar statis dan leitstar dinamis. Pada yang kedua, ada kewajiban dirinya menikam mati para agensi dan struktur yang menguasai sektor-sektor ekonomi-politik bergaya oligopolistik-monopolistik dng cara kartelis, oligarkis, kleptakrotis bahkan predatoris.

Pada yang pertama, ada kewajiban dirinya berkata, "jika kita diam hancur, atau bangkit bertempur." Dengan itu, kalian yang mengaku muslim sudah harus punya laku profetik, nasionalistik dan patriotistik dalam keseharian: kepemimpinan. Kesederhanaan dan kerja keras adalah laku profetik. Kecerdasan dan crank adl laku nasionalistik. Kejeniusan dan tekhnologi adalah laku patriotistik. Jika itu kalian lakukan sepetak dan tak holistik maka jiwa-jiwa kalian sesungguhnya bermental pecundang saja: fundamentalis yang fasis. Tak berguna buat nusa dan bangsa. Apalagi buat masa depan kemanusiaan.

Singkatnya, ketiga laku itu harus dikerjakan bersama untuk merealisasikan Indonesia sebagai kenangan dan harapan. Kenangan akan bumi atlantik yang mendunia dan harapan akan nusantara gemah ripah loh jinawi yang menerangi alam raya. Semaikan generasi emas, bibit tekhnologi raksasa dan tetapkan mental bersahaja.

Inilah wajah kaum muslim post fundamentalis. Aku yakin dan optimis. Akulah yang akan memimpin jika kalian tak ada yang siap maju mengkreasi peradaban.

***

Yang purba punah. Yang tua tak berprestasi. Yang kini, produsen utang dan korupsi. Jadi, kepada siapa kita berharap? Kepada mereka yang crank, menyempal, merealisasikan janji proklamasi dan mentradisikan konstitusi.

Generasi emas. Inilah generasi yang kita impikan. Mereka hadir dari masa depan karena kemampuannya memastikan kemandirian energi. Swasembada energi. Generasi atom. Generasi nuklir.

Tidak bisa dipungkiri lagi jika komunitas dan generasi nuklir akan membuat suatu negara semakin kuat. Baik di bidang pertahanan, militer, pangan maupun obat-obatan. Saat ini negara-negara besar seperti Amerika, China, Jerman, Inggris, India, Israel, Korut, Jepang, Prancis dan Rusia menjadi negara kuat karena memiliki senjata nuklir yang hebat. Mereka adalah negara-negara yang memiliki senjata nuklir sangat dahsyat bagi pengembangan dan kemajuan pembangunan warganya.

Negara kita punya potensi nuklir dan atom yang luar biyasa besar. Sejak lama kita memiliki dua lokasi eksplorasi uranium (bahan dasar nuklir) yaitu tambang Remaja-Hitam dan tambang Rirang-Tanah Merah. Keduanya terletak di Kalimantan Barat. Kita juga sudah memiliki pusat-pusat studi nuklir yang makin maju dan dikordinasi oleh lembaga atom (Batan) dengan unsur pengawas tenaga nuklir (Bapetan) yang serius.

Tetapi semua masih rencana dan rencana. Ini semua karena generasi hari ini sibuk menyesatkan diri. Hidup dalam kubang nista: pengemis utang, pelanggar HAM dan pesakitan KPK.

Lebih kacau lagi, generasi hari ini adalah mereka yang mengaku "islam." Yang marah kalau arab dinista, yang jengkel kalau simbol diremehkan, yang setress kalau ontanisme dikritik. Yang tidak punya logika dalam beragama: menyembah batu dan kertas.

Mereka lupa bahwa, jika islam adalah pohon (sajaroh), maka quran adalah ranting, dan puasa (ibadah ritual lainnya) hanya daunnya. Barangsiapa merasa sudah tau bahkan berislam hanya dengan membaca quran dan ibadah ritual adalah laksana tahu ranting dan daun dari keseluruhan pohon. Sungguh kecil sekali pengetahuannya.

Hal ini karena dalam keseluruhan pohon itu ada akar (pra-sejarah), batang (sejarah) dan kematian plus regenerasi pohon (pasca-sejarah). Pohon (sajaroh) itu tumbuh dan berkembang. Tidak sekali jadi. Tida langsung sempurna. Ia bertambah dan berkurang menyesuaikan zaman. Masing-masing zaman itu penting, tapi tidak ada yang paling penting sebab semua menjadi resiprokal kritis membentuk seluruh kesatuan pohon tersebut. Dan, pohon-pohon anakan berikutnya.

Kalian yang suka yakin bahwa membaca; menghapal; melombakan lafal Alquran, memelihara jenggot dan berjilbab adalah "islam," sesungguhnya sedang mengkerdilkannya: jahat dan jahiliyah. Kalian yang suka pede bahwa cungkring dan hitam kening adalah "islam," sesungguhnya sedang mengarabkannya: klanis dan romantis. Bahkan kalian yang berujar balik ke Alquran dan sunnah maupun balik ke kitab kuning, sesungguhnya sedang bunuh diri: mati sebelum mati; di neraka sebelum waktunya.

Stop. Mari sadar. Sebab, sungguh "islam" jauh lebih luas dan dahsyat dari pengetahuan kalian yang picik dan sempit. Bahkan ketika seluruh tanaman dijadikan pena serta seluruh air lautan dijadikan tinta, keduanya tak sanggup menghabiskan sejarah islam: ilahiyah-insaniyah-alamiyah (thea-antro-eco centris).

Kini, mumpung masih ada waktu, mari membaca dan meluaskan bacaan. Bukan ikut-ikutan menyesatkan manusia dengan paham pinggiran dan tafsir kejumudan laksana habib-habib sorbanis dan dai-dai selebritis. Dus, jadilah umat atomis. Jadilah kaum nukliris.

Satu umat dan kaum yang punya tekhnologi dahsyat, meraksasa dan gigantik karena akan memanusiakan manusia dan mewibawakan negara dan warganya dalam percaturan dunia.

Ingatlah bahwa, "umat kerdil bertengkar fikih. Umat umum bertengkar syariah. Tetapi, umat cerdas menemukan solusi dari problem manusia pada umumnya."

Inilah umat yang sesungguhnya dikreasikan Lekmad ribuan tahun lalu demi tegaknya aturan (al-din), negara (al-daulah), peradaban (tamaddun) dan kota (madinah). Tanpa itu, kita harus malu mengaku islam.

***

01 Juli. Awal bulan yang manis. Menunggumu menunggu gerimis. Maka, juru tulis mengetik. Soal jenis cinta yang dikejar oleh manusia dengan taruhan nyawa hanyalah seperti hutan-hutan yang tak berbuah: tak bertuan. Hanya berhantu.

Juli. Cinta harus diresapi seperti air hujan yang memasuki bumi. Dinikmati bagai air sungai memasuki lautan. Cukup mudah dituliskan tapi sangat sulit dikerjakan.

Dan, hanya cinta yang utuh melingkupi, sehat akal-budi seperti derita jiwa yang memuncak, akan menghidupkan dan mengangkat hati pada pemahaman. Pada kesadaran.

Juli. Sebab dalam banyak kasus, mencintai itu menderita. Indah dikenang dan gemetar dirasa. Mereka yang memasuki bumi akan tahu bahwa jalannya sesak dan berbatu. Tetapi, mereka yang berilmu akan tahu bahwa dekapan bumi itu menghangatkan dan penuh kelembutan.

Juli. Seperti dekapan sang rahman pada sang rakhim. Romeo pada juliet. Qais pada Laila.

Tetapi. Cinta suci yang disalahgunakan, ia adalah bibit penderitaan dan sumber malapetaka serta mendung hitam kegelapan. Sepanjang sisa umur peradaban.

Maka, ia harus diletakkan dengan tepat. Agar menjadi energi. Menjadi daya terang. Menjadi modal besar peradaban. Bukankah lompatan peradaban besar selalu berlandaskan cinta kasih? Walaupun banyak juga yang dihancurkan karena cinta yang gelap.

Ingatlah perang baratayuda? Perang karena cinta kursi, seperma, tuhan dan segala tetek bengek kehidupan.

Bila manusia hendak membimbing barisan cinta menuju kuburan kehidupan yang tak dapat dipercaya, kemudian dari sana cinta akan tersungkur jatuh. Pecah binasa. Tak terpulihkan. Maka cukup baginya berkhianat. Tak perlu jadi perampok besar. Tak usah jadi kafir. Sebab cinta adalah seekor burung cantik yang meminta untuk ditangkap tapi menolak disakiti. Menolak diperbudak. Menolak dikebiri.

Untuk yang sudah lupa. "Cintaku adalah hatiku untukmu. Tapi hatimu untuknya. Dan, hatinya bukan untukmu. Apalagi untukku?"

Kasih. Kawan. Teman. Apa ketikanmu soal cinta di bulan Juli? Kirimlah buatku.

***

Tepat tiga ramadan yang lalu. Kuingat betul kami memutuskan itikaf di Istiqlal. Hari terakhir bulan Ramadan. Mentertawakan lailatul qadar. Bercanda soal-soal hadis palsu dan fikih yang lucu-lucu. Bicara soal nasib yang makin kacau.

Maka, yang kami saksikan sebagai simbol-simbol kesejahteraan sesungguhnya adalah tanda-tanda kesenjangan, ketergantungan, kemiskinan dan kejahiliyahan. Kita menipu diri sendiri. Kita membohongi bangsa ini. Kita jahat pada teman sendiri. 15 ribu orang (elite) kongkow dan berak di atas mulut 275 juta jiwa: itulah kenyataannya. Bukankah rasio gini kita sekarang 0.46? Dan rasio keadilan kita sekarang 0.36?

Wahai kalian yang waras, inilah PR kita semua. Neraka di depan mata (stagnan, mengenaskan dan putus asa). Selebihnya di sana, sorga yang menunggu. Janji Tuhan yang harus direalisasikan: makmur dan adil bersama. Dengan menjadi manusia nusantara, pasukan atalata, insan atlantis yang mensistemkan konstitusilah caranya. Agar kesejahteraan tak jadi simbol belaka. Agar kedaulatan dan kemandirian tak ada di atas buku-buku teori saja. 

Setelah semalam penuh berzikir. Menangis. Memanggil-manggil nama Tuhan, maka paginya kita pulang. Ke rumah Depok. Aku bukakan pintu mobil. Aku gandeng tanganmu. Kucium keningmu. Senyum kita karena lailatur qadar tak hadir. Tuhan juga tak terlihat. Tapi kami tahu, doi tak puasa.

Di mobil itu. Kita menyanyi. Lagu KLA Projek, berjudul "Tentang Kita." Lagu yg melambungkan nama band di awal tahun 90an. Begini syairnya. "Hari-hari yang berdebu. Bersama dirimu yakin kuhadapi. Sambil merajut berdua. Anyaman benang angan yang kau tawarkan. Sekian lama tuk mengerti. Dirimu jadi misteri yang kian terselami. Sekian jauh menilai. Karena cinta tergali milikmu sejati. Sejuta asa yang sempat. Kutitipkan di dalam sinar matamu. Pribadi nan sederhana. Menjanjikan keteduhan kasih nan murni. Ternyata telah menjadi. Kebahagiaan hati yang tiada terperi. Mari genggam jemari
Memadu dua hati saling memiliki. Kembali, kembalilah kini, segala asa berseri. Benahi, benahilah kini, kepekaan nurani. Kembali, kembalilah kini, segala asa berseri. Berjanji, berjanjilah kini, tetap setia sampai selama-lamanya."

Lalu, kita berhenti di Kalibata. Ziarah. Pada kakekmu yang pahlawan. Setelahnya. Memborong buah durian. Ehhhh, penjualnya ramah sekali. Sepuluh biji hanya minta dibayar seratus ribu. "Buat qadaran," kata penjualnya. Sebab, "kalian pasangan syorga. Berpuasa dan pulang dari masjid," candanya sekali lagi.

Kami berdua bengong. Kok penjual durian tahu klu kita dari masjid? Entahlah. Padahal kita tak cerita. Hanya senyum dan gandengan mesra.

Say something, I'm giving up on you/I'll be the one, if you want me to/Anywhere, I would've followed you/say something, I'm giving up on you

And I am feeling so small/It was over my head/I know nothing at all/And I will stumble and fall/Say something, I'm giving up on you/I'm sorry that I couldn't get to you/Anywhere, I would've followed you/say something, I'm giving up on you.

And I will swallow my pride/You're the one that I love/And I'm saying goodbye.

Say something, I'm giving up on you/and I'm sorry that I couldn't get to you/And anywhere, I would have followed you/oh-oh-oh-oh say something, I'm giving up on you/Say something, I'm giving up on you/say something.

Setelah nyanyi, kukisahkan bab tentang Agama kepadamu. Bahwa setahuku ada banyak definisi tentangnya. Izinkan kusampaikan hipotesaku saja. Ia adalah seperangkat metoda memahami masa lalu, masa kini dan masa depan secara seimbang. Bukan tujuan dan akhir dari segala. Sebab itu banyak orang beragama tersesat dan banyak orang tak beragama justru selamat. Siapakah orang beragama yang tersesat? Yaitu orang-orang yang menjawab problem hari ini hanya dengan kaidah masa lalu. Akhirnya masa lalu membunuh masa kini dan mengaborsi masa depan. Bagi mereka, agama adalah tujuan.

Term kembali ke kitab (alquran dan sunnah) maupun term kembali ke masa sahabat (salafi) adalah metoda  membunuh hari ini dan mengaborsi masa depan. Mereka lupa bahwa masa lalu adalah akar (pra sejarah), masa kini adalah batang (sejarah) dan masa depan adalah regenerasi (pasca sejarah). Tanpa masa kini dan masa depan, agama adalah hantu-hantu keluh-kesah dan ilusi jahiliyah. Itulah penjelasan mengapa ummat islam (dan agama lain di indonesia) hari ini dan ke depan kalah: jadi budak ummat lain dan jongos negara tetangga.

Tanpa usaha menempatkan agama sebagai alat untuk memahami 3 masa, jangan harap diri kita dan bangsa ini punya drajat dan martabat. Ramadan ini saat tepat bertobat. Atas agama yang telah membuat melarat. Yang mewariskan sorga seakan-akan di sebuah tempat: di bawah telapak kaki ibu yang sekarat.

Kembali masuk mobil. Kita bernyanyi kembali. Kini lagu-lagu band Dewa. Sampai di rumah semua berkah. Kecuali ramadan kini. Sepi sekali. Tanpamu. Tanpa durian. Tanpa lailatul qadar. Semoga ramadan ini takdirmu makin bahagia di sana. Tuhan. Mohon jaga kami dengan kasihmu. Kukurim 30 juz dan doa-doa sepanjang waktu. Sesisa usia.

***

Perang. Kini dan dulu, kisah perang adalah kisah sejarah yang sesungguhnya. Tidak sembarang perang. Tetapi perang kecerdasan. Begitu juga ode ini. Kuketik di antara dentang revolusi/yg mulai tak ditanggapi/tapi tak bisa ditarik kembali/kutemukan pecundang dan pemenang/yg hidup segan/mati tak sempat/takdir kita umpat/

Aku iba kalian terluka/aku simpati kau berlari/aku empati kau terkapar mati/karena itu/cintaku kini adalah doa/untuk indonesia/untuk kalian yang menyiksa diri/

Sore yang sunyi. Nyanyian ini tersaji. Di radio tempat kita mengaji. Berjudul "aku sayang" yang dibawakan dengan sendu oleh Claudia Nusantara:

Dan senja datang mengusik rinduku/berteman angin dan derunya ombak/seakan berbisik tentang cerita cinta/menyibak tirai kerinduan/

Andaikan saja kau ada di sini/Berbagi rasa kisah kasih kita/Andaikan kau tahu apa yang kurasakan/di dalam hati kecil ini/

Kuingin engkau pun mengerti/Betapa kumencintaimu/Dan takut kehilangan dirimu kasih/Seandainya engkaupun tahu/Getar-getar yang kurasakan/Betapa aku menyayangi dirimu/

Andaikan saja kau ada di sini/Berbagi rasa kisah kasih kita/Andaikan kau tahu apa yang kurasakan/di dalam hati kecil ini/

Kuingin kau pun mengerti/Betapa kumencintaimu/Dan takut kehilangan dirimu kasih/Seandainya engkaupun tahu/Getar-getar yang kurasakan/

Kasih, "kalau kebahagiaan itu diperjual belikan, pasti aku kan membelinya ke mana dan di manapun kebahagiaan itu ditawarkan. Kalau keimanan itu diobral murah seperti sampah, pasti aku kan mengoleksinya berapapun jumlahnya buat ditaruh di perpustakaan rumah."

"Kalau cinta-kasih itu mudah didapatkan, pasti aku kan menimbunnya sekarung zaman agar kebahagiaanku tak terenggut waktu."

Tapi kebahagiaan, keimanan dan cinta-kasih adalah soal keajaiban: di sembarang waktu dan tempat tak mudah didapat. Mereka seumur peradabab sekaligus selangka kebaikan di rumah Indonesia. Sebab itu, betapa aku menyayangi negara ini.

Kasih. Taukah engkau bahwa, "Islam (tepatnya arabisme) telah membunuhmu sebelum kematian yang sesungguhnya datang padamu? Barat (tepatnya kolonialisme) telah memerangkapmu sebelum kebodohan yang sesungguhnya datang padamu? Indonesia (tepatnya elite pemerintahan) telah memiskinkanmu sebelum perbudakan yang sesungguhnya datang padamu?

Kini, islam, barat dan indonesia berkolaborasi menyesatkanmu tanpa mampu menemukan "martabat" kemanusiaanmu sepanjang waktu.

Maka, mari berdendang. Lagu berjudul "arti kehidupan" yang dulu dinyanyikan Doel Sumbang. "Jangan berkata tidak/bila kau jatuh cinta/terus terang sajalah/buat apa berdusta/Cinta itu anugrah/maka berbahagialah/sebab kita sengsara/bila tak punya cinta/Rintangan pasti datang menghadang/cobaan pasti datang menghujam/namun yakinlah bahwa cinta kan membuatmu/Mengerti akan arti kehidupan/
 
Marilah sayang mari sirami/cinta yang tumbuh di dalam diri/marilah sayang mari sirami/agar merekah sepanjang hari/"

Kasih, sudah matikah engkau? Tolong kirim kabar jika mau dikuburkan. Agar kecerdasan kita tak mubazir dimakan umur.

***

18.00WIB
Luruh. Di sini. Terkutukku. Bulan Sabit senyum di awan. Cantik. Tak tertolak hujan. Ia kusambit dengan ontel sepeda. Lambat dan hikmat. Dari surau yang merona. Maghrib yang lucu. Sebab bisaku sujud dan ruku. Berontaknya via doa dan ziarah. Sarung-sarung lusuh dan spalding. Ingatanmu ingatanku.

19.00WIB
Hey, apa sudah pulang ke kotamu dan peluk cium bapak-ibumu? Apa sudah kau temukan jiwa-raga masa lalumu? Apa di sana ada setangkup haru dalam rindu yang berkarung-karung? Apa di sana ada telaga biru yang bergunung-gunung? Masihkah seperti waktu dulu? Masihkah ngangeni seperti saat SMA? Di mana saat kau pacaran, tiap sudutnya menyapa mesra. Tiap harinya bersahabat berjabat erat. Tiap malamnya membahana segemuruh debur ombak.

20.00WIB
Sungguh penuh selaksa makna. Sebaskom ketupat dan opor. Akan romantika dan harap-harap cemas. Hingga siapa saja bisa terhanyut nostalgia. Antara kenyataan dan siksa. Terutama saat kau sering luangkan waktu. Kayuh sepeda. Petik gitar. Telan biji-biji dalam minum sekoteng. Bersama ia yang mampu nikmati kemping serdadu. Seluruh suasana. Pagi dan putih. Malam dan gulita.

21.00WIB
Melukis elegi jingga. Batin tanpa takut dosa. Ya. Suasananya sangat mistis dan giris. Terutama di persimpangan itu. Saat kau cium tangannya. Saat kau katakan cinta. Ingatkah kau pada langkah teman yang terhenti? Karena gigil lapar pada ramai kaki lima? Para muadzin malam yang menjajakan sajian khas berselera. Nasi urap gulai tikus mirip di blok M Jakarta. Saat orang-orang duduk bersila, beraksi, menyanyi, mengamen dan membentuk ibadah malam kudus. Malam penuh panjat doa. Seiring laraku kehilanganmu. Juga karya kangenmu yang bahil. Kehilangan semua tujuan hidupku. Menangis. Miskin. Papa. Paria. Putus asa. Merintih sendiri. Tak berkawan. Tak berhenti. Ditelan deru kampungmu. Juga rindumu yang entah. Diterjang kejamnya ibu tiri dan ibu kota. Hingga kau lenyap tidak kembali. Entah di mana. Dirimu berada. Hampa kurasa. Sampai-sampai kotamu tolak hadirkan senyummu abadi. Yang tak bisa kubawa dalam tiap ketikan puisi.

22.00WIB
Kini lumpuh ingatanku tentang seluruh hal ikhwal kehidupan yang seharusnya kudapatkan semilyar tahun lalu. Ke mana saja kamu, "tanyanya suatu kali padaku." Dari pertanyaan itu kutahu engkau perempuan tak bervagina dan tak berpayudara.

23.00WIB
Kok aku masih hidup? Sesalku terus-terusan tak berhingga. Kini aku tidur dan berharap tak bangun kembali. Kecuali kau duduk di sampingku, senyum dan baca puisi.

***

Menunggu mati. Kuketik ode. Kekasihku. Di manapun kini kau berada. Mungkin jauh. Mungkin dekat. Dengarlah kesedihanku. Berbagi kehidupan adalah berbagi kematian. Mencintai kematian adalah citra keabadian. Lalu, apa yang kau persepsikan soal mati? Hal yang dijauhi sekaligus tak mungkin dihindari.

Bagi sebagian kita, hidup adalah pesta di bumi, yang ujungnya mati di bawah nisan. Bagi sebagian lain, hidup adalah festival di jagad raya, yang hilirnya syorga. Lalu, apa bagimu?

Mungkin, bagimu yang paling jauh adalah masa lalu. Sedang yang paling dekat adalah kematian. Begitu dekatnya, kamu tak tahu saat ia bertamu. Terlebih saat kamu sedang menghitung dan menyesali masa lalu. Sebab itulah tiap orang menghindari hampir semua jalan yang dekat dengan kematian. Mengutuk bunuh diri dan berlomba muda tak sudi tua. Mereka berharap hidup dalam keabadian, muda dan selalu tak sudi bercanda dengan maut.

Begitu gigantiknya maut, para khatib sering menggigau, "lakoni hidup dengan niat dan laku baik, agar bisa merasakan manisnya dua kali. Saat melakukan dan saat mengenangnya."

Memang sulit untuk terus bergembira dalam kehidupan bersama. Keluarga, misalnya. Tapi, hidup sendirian ternyata lebih sulit lagi. Sebab aku sudah mengalami. Maka, apa yang tidak kita lakukan pada hari ini, padahal ada kesempatan, akan menjadi penyesalan tiada guna di masa depan.

Sesal karena kita sering melewatkan kebahagiaan di depan mata terlewatkan. Akankah kita bisa tak melewatkannya kembali, sebongkah kebahagiaan yang bisa dibawa mati? Hanya tuhan, hantu dan hutan yang tahu.

Ya. Mati memang enigmatik. Alquran mengisahkannya dalam banyak tempat. Misalnya QS. Al-Baqarah: 28, Al-Munafiqun: 11, Al-Jumuah: 8, An-Nisa: 78, Ali-Imran: 154-185, Al-Anam: 93, An-Nahl: 28-32, Al-Mukmin: 11, Al-Zumar: 42, Al-Mulk: 1-2, Lukman: 34 dll. Begitu enigmatiknya, kusingkat sikapku agar engkau tahu.

Kasih, ketika masa lalu terlalu berat untuk kau lupakan. Saat masa depanmu terlalu menakutkan untuk kau gapai. Kuingin kau ingat satu hal: lihatlah cintaku untukmu. Aku yang tepat di sampingmu. Aku yang ada di sana menemanimu, menuntunmu, melindungimu sampai mentari bosan bersinar. Cintaku tak akan pernah bisa menemukan tangan yang sempurna untukmu, tapi ia selalu menemukan takdir yang bersedia memegang tanganmu, tak peduli apapun kondisimu.

Suara-suara mercon membuatku tuli. Tetapi, kebisuanmu membuatku mati. Terlebih, tak seayatpun menjelaskan nasibmu kini. Maka, malam ini kupamit menyusul kematian Ustad Darori.

***

Kini, semua tempat adalah pasar dan semua peristiwa adalah kerakusan. Pasar dan kerakusan kini menjadi potret terbaru dari dunia yang sedang kita huni. Tak ada kata yang lebih pas menjelaskan kondisi kekitaan kini.

Pasar dan kerakusan adalah produk. Dari sudut pikiran yang memuja individualisme. Yang berumah pada kapitalisme. Yang menghilirkan komodifikasi; masyarakat konsumerisme, negara predatorian. Yang berdarah instabilitas. Menyembah uang. Maka betul hipotesa ini: “Instability is a normal result of modern financial capitalism” (Hyman P Minsky, 1986).

Dunia kita pasti tahu bahwa kini, banyak elite pemerintahan kita tidak pernah risau soal gagal or berhasil dalam mengelola negara. Sebab niat mereka berkuasa itu "golek sego lan upo." Tidak jauh berbeda dari orang pada umumnya. Kwalitas mereka belum negarawan model pendiri republik. Tapi, itulah kini keadaannya!

Padahal kita sadar sesadar-sadarnya bahwa tanpa perubahan arsitektur ekonomi yang cerdas dan konstitusional, kita semua sedang membangun "rumah siap dibakar" dan menciptakan neraka di dunia (inferno).

Kawan, agar tak jadi inferno, kuberi tahu banyak hal penting. Bahwa tugas negara merdeka (postkolonial) sejatinya ada tujuh:
  1. Transformasi mental. Dari mental kolonial menjadi mental konstitusional;
  2. Transformasi ekonomi. Dari ekonomi penjajah menjadi ekonomi nasional;
  3. Transformasi sosial. Dari keadaan feodal, fasis dan fundamentalis menjadi keadaan demokratis, humanis dan sosialis;
  4. Transformasi politik. Dari politik belah bambu adu domba menjadi politik persatuan dan konsensus;
  5. Transformasi kurikulum. Dari kurikulum predatoris, oligarkis dan kartelis menjadi kurikulum adil, makmur, sejahtera dan merata;
  6. Transformasi hukum. Dari hukum elite yang membela pembayar menjadi hukum berkeadilan dan imparsial;
  7. Transformasi agensi. Dari agensi ambtenaar yang malas dan jahiliyah menjadi agensi jenius, inovatif dan menyempal (crank).
Memang. Memahami hal di atas, pada akhirnya kita harus tahu bahwa, "hidup adalah kesusahan yang harus diatasi; rahasia yang harus digali; tragedi yang harus dialami; kegembiraan yang harus dibagikan; cinta yang harus dinikmati; tugas yang harus dilaksanakan; kasih yang harus ditunaikan; kesedihan yang layak dipecahkan."

Keren. Ini laku gigantik. Sebab kita mendapati kenyataan soal academic poverty. Penyakit jejadian yang menghasilkan ilusi negara makmur via utang dan infrastruktur.

Kini kita memang sedang defisit negarawan (pemikir negara) dan bangsawan (pecinta bangsa). Sebaliknya, kita sedang surplus begundal yang bermental kolonial.

Apa solusinya? Mengevaluasi pendidikan. Memperkuat karakter konstitusional. Memenangkan pancasila. Memilih elite yang berkehendak konstitusional. Jika tak sempat memahami hal-hal penting itu, sejatinya kita perlu malu pada para pendiri Indonesia (yang) Raya.

Selebihnya, berindonesia itu tidaklah merasa paling suci dan benar sendiri. Sebab pancasila itu bukanlah jubah yang engkau kenakan atau gelar yang engkau terima untuk dipamerkan ke orang lain. Melainkan gotong royong memastikan keadilan dan kemakmuran bersama.

***

Semua kini mencuri. Semua sudah mengutil. Semua praktek mencopet. Semua telah merampok. Ya semua. Bahkan sejak sebelum bekuasa. Mencari kekuasaan hanya untuk memperkuat tradisi mencuri. Inilah negara kleptokrasi. Republik Maling. Bangsa Para Pencuri. Negara Pancasila. Bangsa berketuhanan yang maha esa.

Kleptokrasi berasal dari bahasa Yunani yaitu klepto (maling/pencuri) dan kratein (pemerintahan). Arti luasnya pemerintahan para maling/pencuri. Negeri kleptokrasi artinya negeri yang diperintah oleh para maling atau pencuri yang bekerja sejak dari hati, pikiran dan perbuatannya untuk mengambil yang bukan haknya. Mereka bangga sekali terhadap perbuatannya seakan-akan tindakannya sama sekali tidak salah. Bertampang senyum di depan kamera dan membagi sedikit ke rumah ibadah dan yatim piatu plus partainya.

Kita tahu bahwa terminologi "kleptokrasi" menjadi sangat populer setelah digunakan oleh Stanislav dalam Kleptocracy or Corruption as a System of Government (1968) yang merujuk pada pemerintahan yang sarat praktek korupsi-korupsi-kolusi dan penggunaan kekuasaan-kekerasan yang bertujuan mencari keuntungan secara tidak halal. Akibatnya model pemerintahan dan budayanya berada di bawah kuasa para kleptomania, yaitu pengidap penyakit mencuri (KKN).

Dulu (1998), penyakit inilah yang kami libas karena merusak dan merupakan tradisi firaun Suharto saat menegakkan Ordeba. Rezim firaun Suharto adalah gotong-nyolong. Kisah begundal-kriminal-kolonial di puncak kuasa atas kedunguan istana!

Dalam psikologi, kleptomania adalah penyakit jiwa yang mendorong seseorang mencuri sesuatu, meskipun ia telah memiliki sesuatu yang dicurinya. Karena itu, pengidap penyakit kleptomania dikatakan berwatak greedy (serakah): dan itu musuh semua agama.

Negara kleptokrasi adalah negara yang menurut Friederich Nietzsche bagai monster destruktif dari yang paling jahat karena beroperasi dengan mencuri harta kekayaan sesama dengan bermacam alasan, sehingga elite korup ibarat kera yang saling mencakar untuk mendapatkan lawan jenis (wanita), harta dan tahta (3 kenikmatan tiada tara).

Kasus asap, aseng, freeport, OTT KPK, dll yg jadi telenovela bersambung menjadi bukti otentik bahwa kita semua telah menjadi kleptomania kapan saja dan di manapun berada. Inilah agama kita kini. Gotong-nyolong. Agamamu adalah mencuri. Tidak mencuri maka kamu tidak beragama. Tradisimu adalah korupsi. Tidak korupsi maka kamu tidak punya tradisi.

Korupsi dan kleptokrasi bertambah sempurna karena disokong oleh budaya politik oligarki dan sistem pemerintahan plutokrasi. Oligarki adalah kekuasaan di tangan segelintir orang, politisi dan pengusaha.

Sedangkan plutokrasi adalah pemerintahan yang diatur dan dikendalikan oleh sekelompok orang kaya yang mengambil keuntungan materi dari dana yang dikucurkan negara.

Politik oligarki adalah suatu konfigurasi politik yang didominasi kelompok elite yang mengerjakan politik melalui transaksi-transaksi yang saling menguntungkan di antara elite sendiri saja. Di dalam konfigurasi politik yang oligarkis, keputusan-keputusan penting kenegaraan ditetapkan oleh para elite negara secara kolutif dan koruptif, sehingga keberadaan mereka ibarat di negeri kleptokrasi.

Kini, kisah kawanku Joko Widodo adalah cerita gotong-nyolong. Kisah begundal-kriminal-kolonial di puncak kuasa atas kedunguan istana yang mengulang-ulang saja. Tidak ada yang baru walau ia mengklaim anak ideologis Soekarno. Tidak ada dentuman walau ia didukung partai perjuangan. Tidak ada trobosan walau ia alumni kampus bertradisi pahlawan. Tidak ada gagasan walau pada awalnya memproklamirkan revolusi mental dan nawa cita.

Dus, kini mubazir. Remuk seremuk-remuknya. Jahil sejahil jahilnya. Dikendalikan konglomerat hitam dan dikadali pembisik culas dan dikangkangi pemikir begundal kolonial neoliberal.

Apa solusinya? Revolisi putih: Trias-revolusi: Revolusi total.

***

DI NEGARAMU, yang paling bahagia adalah yang tak tahu; yang paling beruntung adalah yang lugu. Sebab tak ada yang memburunya, tak ada jalan yang harus ditempuhnya, tak ada tempat ke mana ia harus pergi, tak ada utang yang harus dibayarnya. Mirip jokoei di ngendonesiya.

Karena itu, aku bisa mengerti betapa sakitnya hatimu. Aku tahu betapa menderitanya dirimu. Sebab, engkau bercahaya tanpa api dan sinar mentari; bertahta tanpa kursi.

Melihat lahiriahmu yang "baik" sesungguhnya aku tidak paham, apa sebab sakitmu diberikan Tuhan: apakah karma dari tindakanmu di masa lalu (kakek-nenek dan ortu), ataukah investasi bagi generasi setelahmu (anak-cucumu). Sebab yang engkau rasakan adalah sakit psikis (jiwa) dan berakibat raga (badan); bukan sebaliknya.

Kini, rasanya seluruh kejeniusanku tumpul jika mencari solusi dari problemmu. Ujung pangkalnya di mana? Hulu hilirnya apa? Aku sungguh-sungguh tak tahu.

Sekedar mengingat detik-detik peradabanmu, aku hanya rindu. Fajar sebelum hari raya, setelah tahajud dan jamaah subuh di masjid, engkau masih mengirim puisi. "Yang terparah dalam dunia kita adalah keadaan tidak ada keputusan. Tidak ada kejelasan. Yang anehnya itu berasal dari kita semua. Karenanya, kuselalu berdoa. Sebab doa adalah bahasa rindu dan cinta yang paling cepat sampai ke hati tanpa perlu didengar dan dibaca."

Aku membacanya sambil bertakbir. Lalu aku sadar, setelahnya engkau hilang sampai kini tak ada kabarnya sama sekali. Duh gusti kang murbeing jagad: di manakah kini ia yang sudi bagi kaum miskin?

Masih ingatkah engkau pada ketikanmu setahun lalu. Sebuah ode yang sangat menggigilkan jiwaku, kau kirim tengah malam saat bulan purnama. "Jangan engkau lepaskan genggam tanganku. Mohon jangan. Bila aku sudah tiada dapat berdiri teguh. Sudah lumpuh karena rindu. Hadirlah selalu saat suka dukaku. Aku perlu kamu di setiap waktuku. Aku selalu perlu kamu wahai pangeranku. Hai pemilik rahasia hatiku. Pencuri jiwaku. Perampok masa depanku."

Jika ini yang sedang engkau rasakan, tulislah surat cinta buatku. Bacalah kitab Bagawatgita di depanku. Potretlah perkampungan kumuh dan mari kita bagi beasiswa. Agar tak ada lagi nista dan keluh peluh.

Sungguh. Jika ada tragedi yang tak cukup ditulis dengan seluruh pohon di dunia yang dijadikan pena, itulah sejarah tragedimu. Jika ada kerinduan yang tak cukup ditulis dengan seluruh air di alam raya sebagai tinta, itulah kisah rindumu.

Untukmu, sekali lagi rasanya seluruh kejeniusanku tumpul jika mencari solusi dari problemmu. Ujung pangkalnya di mana? Hulu hilirnya apa? Aku sungguh-sungguh tak tahu engkau kini sedang apa.

***

Terangmu tak segelap banjirmu. Dan, Purnama kini. Saatnya berpuisi. Siapa tahu habis ini mati. Sebab hidup tokh tak menarik lagi. Tak ada yang ngacengi.

Karenanya. Di ujung jalan gelap itu kutabur sesajen buat anak-anak muda pemuja ilmu dan pelaksana pengetahuan. Di ujung jalan itu kutabur beasiswa buat kalian yang melawan kuasa kolonial. Sebab kolonial bukan untuk dibela tapi dimusnahkan dari bumi pertiwi, republik tercinta.

Kasihku beriman pada senyap/Rinduku berkilau pada malam/Cintaku bersandar pada sepi/Nasibku sangat baik/Tapi tak seindah pelangi di matamu/Kini aku tersedak matahari/Tertimpa bumi/Terlindas rembulan/Tapi tak seberapa siksanya dari cintamu yang tak berbudi/

INDONESIAK
Jika ada tragedi yang tak cukup ditulis dengan seluruh pohon di dunia yang dijadikan pena, itulah sejarah tragedimu. Jika ada kerinduan yang tak cukup ditulis dengan seluruh air di alam raya sebagai tinta, itulah kisah rindumu.

Taukah dunia ini bahwa pemerentah kita mati? Nek mati ora obah. Nek obah medeni bocah. Maka, KKN tambah subur. Elite tambah fasis. Orang tua-tua tak memberi teladan. Lembaga negara saling serang dan perang. Birokrasi melayani "asingisasi." Satu-satunya prestasi pemerentah kini adalah: masih dianggap oleh rakyatnya di mana mereka masih mau bayar pajak padahal tahu pajak itu tak ada manfaatnya buat hidup mereka.

Maka. Tak ada yang mampu membuatku menoleh dan mengalihkan arah tatapan mataku dari kematian yang kutunggu-tunggu. Selalu. Rinduku pada mati tak pernah surut walau sedetik. Apalagi cuma kamu. Ya kamu. Indonesiaku.

INDONESIAK
Selemah-lemahnya muslim adalah "tukang doa." Dan, sebodoh-bodohnya orang adalah "tukang ziarah." Kita dan ummat hari ini sedang banjir tukang doa dan tukang ziarah. Dalam doa dan ziarah mereka, yang dijadikan tema hanya "auratisme dan fasisme."

Kini. Mari naikkan kwalitas diri. Dari saleh ritual ke saleh sosial. Tanpa itu, selesai sudah kisah kita di dunia dan jagat raya. Maka. Kalau kebahagiaan itu diperjual belikan, pasti aku kan membelinya ke mana dan di manapun kebahagiaan itu ditawarkan.

Kalau keimanan itu diobral murah seperti sampah, pasti aku kan mengoleksinya berapapun jumlahnya buat ditaruh di perpustakaan rumah.

Kalau cinta-kasih itu mudah didapatkan, pasti aku kan menimbunnya sekarung zaman agar kebahagianku tak terenggut waktu. Tapi kebahagiaan, keimanan dan cinta-kasih adalah soal keajaiban: di sembarang waktu dan tempat tak mudah didapat. Mereka seumur peradaban sekaligus selangka kebaikan di rumah Indonesia.

INDONESIAK
Jika engkau adalah subuh/Aku hanya dzuhurnya/sajadah dan kopiah hanya tanda/aksesoris semata.

Kata para ahli kesehatan dari seluruh penjuru alam gaib, pusing disebabkan 3 hal: 1)internal tubuh yang lemah. 2)serangan dari luar; virus dll. 3)beban pikiran yang berlebihan; putus cinta dll. Tapi ketiganya bisa diobati dengan satu macam obat: yaitu dollar via THR.

Tetapi. Mau dikatakan apa jika semuanya hanya ritual belaka/bukan methoda. Kita tak akan pernah paham makna sesungguhnya bertuhan/yang bukan sekedar menyembah dan pasrah/tangis dan sesal/berdoa dan berziarah.

Jika engkau di sana mentakdirkan diri/aku di sini melawan takdirNya yang gigantik/maka sejarah hatiku adalah kisah memilihmu/menternak luka/memanen sendu.

Jika aku bisa berkehendak dan membunuh waktu/ingin memeluk semua tragedi dan kutukan/sebab di hati ini hanya engkau kesedihan dan kesunyian terindah/yang membutuhkan setrilyun kerinduan untuk paham akan kejahiliyahan.

Tetapi. Jika engkau adalah sepak bola/aku bukan jak mania/Tanyaku: How the Indonesian Works? 1)Tembak mati semua koruptor dan nasionalisasi asetnya ke APBN. 2)Tembak mati semua komprador asing dan sita kekayaannya ke APBN. 3)Tembak mati semua neokolonialis (lokal dan asing) dan rebut kembali harta rampokannya ke APBN. 4)Tembak mati semua elite predatoris, kartelis, oligarkis, kleptokratis dan sita kekayaannya ke APBN. 5)Tembak mati semua birokrasi yang fasis, agamawan teroris plus rakyat apatis dan sita semua harta miliknya ke APBN.

INDONESIAK
Aku membeli album terbaru Andrea Bocelli untuk membunuh rindumu. Kau tau Bocelli kan? Penyanyi bersuara sorga dari dunia surgawi yang bersuara tenor tetapi menggenapkan jiwa-jiwa. Ada 13 lagu sorga buatmu: Maria (From West Side Story), La chanson de Lara (From Dr. Zhivago), Moon River (From Breakfast At Tiffany's), E più ti penso (From Once Upon A Time In America), Be My Love (From The Toast Of New Orleans), The Music Of The Night (From The Phantom Of The Opera).

Ada pula album Por Una Cabeza (From Scent Of A Woman), Sorridi amore vai (From Life Is Beautiful), Mi mancherai (From Il Postino/The Postman), Cheek To Cheek (From Top Hat), Brucia la terra (From The Godfather), No Llores Por Mi Argentina (From Evita), Nelle tue mani (Now We Are Free) (From Gladiator). Agar kau tahu bukan hanya dibba dan beduk di telingamu.

Di kotamu kutunggu ngopi dan menikmati Bocelli. Sebab alangkah lama kita merindu. Menumpuk rempah di tembikar gardu. Terdengar ombak membelah langit. Gema guntur membahana. Membunuh semua kecuali cinta.

INDONESIAK
Jika langit bisa runtuh. Jika bumi bisa dilipat. Jika mimpi bukanlah khayali. Jika revolusi bukanlah harapan jauh. Jika cinta adalah kenyataan. Jika indonesia ternyata kebenaran. Kau kan kuajak menikmati rembulan dan prahu. Sambil minum jamu.

Kata orang gila yang baru sadar, "ekonomi sejahtera bukan hanya milik orang yang berada, karena negara yang kuat tercipta dari kemakmuran merata bagi seluruh rakyatnya."

Kekasih. Kau ada di mana? Saat. Di negara ini, ya di sini. Di negara yang katanya Presidennya Jokowi, "keadilan lebih mudah didapatkan di luar pengadilan." Penjaga dan pelaksana hukum jadi jagal. Pemerintahnya bangga jadi sampah. Di negara sampah, tugas presiden dan penegak hukum seharusnya membersihkan sampah. Tapi yang terjadi sebaliknya: menjadi sampah via kebijakan-kebijakan prosedural berbelit-belit. Produktifitas palsu di semua lini.

Yang dikerjakan hanya mengatasi dengan pulsa. Di negeri sampah, hanya lalat dan ulat yang dapat berkat. Yang lain dapat laknat.

***

Covid ini cuma guyon. Dari durja dunia. Mereka yang kuasa. Dan, kita yang ditipunya. Semua. Ya. Semua tertipu. Mirip penggemar drakor, drama korea yang memabukkan.

Aku menemukanmu saat sore menelan seluruh jiwa ragaku. Saat kuminta bill pada penjaga syorga, tertera angka yang tidak tak terbayar oleh kantongku. Memilih melihatmu, ziarah ke Tajmahal dan menjadi dubes, adalah memilih yang tak begitu sulit. Sebab, aku langsung memilih mengulum pikiran dan ide-idemu tentang nusantara, atlantik dan studi psiko-hermeneutik.

Karena rindu yang meluber, kukirim kamu semua novel karya Dan Brown: Digital Fortress, Angels and Demons, Deception Point, The Da Vinci Code, The Lost Symbol dan Inferno. Tetapi, jangankan menyukainya, berterimakasihpun tidak.

Aku menemukanmu saat pagi menjejak mataku. Saat kesunyian meluruhkan air mataku. Saat jenuh sudah kubersujud meminta mati yang tak sudah-sudah. Saat kupinta tataplah mataku ini dan akan kau dapati seulas harap kehidupan yang tak mati.

Kan kubagi seberkas keraguan sekaligus kehangatan. Ini tentangmu yang harus kuakui kharisma di dirimu. Pesonamu bak langit yang memeluk bintang gemintang. Soal-soal yang lengah dan banyak yang mendambakan cintamu: senyummu dan tubuhmu.

Aku menemukanmu saat aku cemburu pada yang telah mati. Pada pahlawan-pahlawan baru. Ya. Terlalu kucemburu bahkan. Rasa yang menjejer ini tak dapat kusimpan sendiri. Harus dikisahkan. Walau pada batu nisan. Sebab novel-novel tak sudi memuatnya.

Aku menemukanmu saat tuhan, hantu dan hutan tak sudi disembah. Saat mereka murka seperti sampah. Saat kegelapan datang tak sudah-sudah.

Lalu, aku ke perpus. Menceritakan satu-satu. Tentang kurikulum postkolonial. Di kampus tercinta. Universitas Nusantara. Dari hulu Nusantara Centre. Kini. Dan seterusnya. Biar sepi memagut. Biar sunyi senyap. Seruput kopi pahit. Dan, lukamu kubalut. Mesra. Sampai tak ada angkara. Hari ke hari kau nanti tahu. Ujung kita menjadi sejoli purnama. Bahwa hidup adalah revolusi sia-sia. Sebab, apa artinya bahagia tanpamu.

Kau seperti indonesia. Yang jika diceritakan, butuh trilyunan lembar kertas. Hingga seluruh langit dijadikannya buku, tak akan menfiniskan kisahmu. Apalagi jika tintanya dari air mata para janda. Tak akan seperlimanya. Tak ada yang sanggup mengkanfaskannya kecuali engkau yang memagutku sepanjang waktu. Sayangnya kok engkau tuli, bisu dan buta. Mungkin sudah dikebiri seperti para kasim yang tinggal di istana.

***

Ayok marah. Ayok memaki. Sebab bertanya makin tak berarti. Kalian kelola Indonesia seperti perusahaan, kok anggota-anggotanya kebanyakan gak dapat untung?

Kalian kelola Indonesia seperti negara, kok rakyat kebanyakan gak makmur dan sejahtera? Di mana kegoblogan ini bermula dan bagaimana mengakhirinya adalah dua tanya yang makin mengemuka.

Di gerimis pagi, Karmela menyanyi. Gugah soal harga diri dan posisi. Mengingatkanku soal kalian yang bisu. Hidup pada akhirnya adalah nyanyi buta sang penguasa. Bukan soal kesalahpahaman semata.

Bila sudah tak mungkin/Hasrat cinta menyatu/Walau rasa itu masih ada/Bahkan telah jadi bagian dalam hidupku/Jangan coba tanyakan/Ketulusan cinta ini/Hanya engkaulah satu harapan/Dan juga satu tujuan dalam hidupku kasih/

Kini. Kalian. Para politisi sudah tidak jujur kepada warganegara. Para ustad (agamawan) sudah tidak jujur kepada diri sendiri. Padahal, jujur dalam politik dan agama itu tiang negara. Maka, kini negara ada tanpa tiang. Ia akan roboh lebih cepat dari sangka semua orang.

Biarlah cintaku melayang jauh (tiada ragu)/Akan kuceritakan pada dunia/Rasa cinta yang ada/kepada indonesia bukan pada elitnya.

Di tanah-tanah lapang, aku membayangkan membangun rumah untuk kekasihku. Agar anak-anak kita bisa tumbuh kembang dengan wajar dan ceria. Asti, kau pasti tahu dan mengerti. Asal jangan bisu tuli dan buta saja.

Jangan coba tanyakan ketulusan cinta ini/Hanya engkaulah satu harapan/Dan juga satu tujuan dalam hidupku/Kasih/Biar badai datang dan mengguncang hatiku/Percayalah kasih tiada kan terhapus cintaku/

Dalam konstitusi, pendidikan dan kesehatan itu hak dasar setiap warganegara. So, harus menjadi tanggungjawab negara. Tapi di republik ini dibuat rente. Elite kita ini meres uang rakyat, lalu dipakai bancakan atau kalau diinvestasikan pun bukan untuk memperbaiki kwalitas pendidikan dan kesehatan warganegara. Tapi dirampok rombongan.

Kalian ini siapa sebenarnya? Perampok kok culun!

Maka mengenang pilu soal cintamu padaku dan pada republik seperti mengenang nasib organisasi Persatuan Perjuangan di mana Tan Malaka dan Soedirman sebagai pelaku utamanya.

Hari itu, Sabtu/13/01/1946. Dengan tangan mengepal, Tan dan Dirman berkata keras, "revolusi Indonesia, mau tak mau harus mengambil tindakan politik, ekonomi dan sosial serentak dengan cara merebut dan membela kemerdekaan 100%. Bukan revolusi berjuasi seperti hari ini yang suka praktek mengemis dan diplomasi."

Memang, kemerdekaan 100% sering datang terlambat dan kita telat menyambutnya. Itulah mengapa, kaum borjuasi (asing-aseng-asong) menyalip di tikungan; menggunting dalam lipatan; membajak masakan siap saji.

Kita paham. Pemenang peradaban itu penguasa tekhnologi. Lah kalian sibuk ngoceh haram halal. Lah kalian nyolong sambil duduk di kursi kekuasaan. Lah kalian ngelonte sambil habisin dana rakyat. Kalian khianat pada Tan dan Soedirman!

Besok, di bulan Januari, 2020 kami akan bertemu dan mencari tahu, apakah kemerdekaan 100% itu lucu, bermutu atau buntu. Sebab, di penjara milenial, kita masih punya kekuatan buat bunuh diri dan sianida buat bunuh para pengkhianat negeri.

Bagaimanakah para Tanis dan jaringannya menikmati kemerdekaan semu ini? Seperti apa wajah kaum "kalah" di republik gado-gado ini? Mau ngapain kini mereka mengenang dan menghidupkan pikiran-pikiran Tan? Itulah tiga pertanyaan yang akan mengemuka di tiap bulan januari.

***

Agar tak seperti kuburan, mari berdendang. "Di sini kau dan aku/terbiasa bersama/menjalani kasih sayang bahagia kudenganmu. Pernahkah kau menguntai/hari paling indah/kuukir nama kita berdua/di sini surga kita. Bila kita mencintai yang lain/mungkinkah hati ini akan tegar/sebisa mungkin tak akan pernah/
sayangku akan hilang. 

If u love somebody
could we be this strong. I will fight to win
our love will conquer all wouldn't risk my love
even just one night our love will stay in my heart/my heart.

Pernahkah kau menguntai. Hari paling indah. Kuukir nama kita berdua. Di sini surga kita. Bila kita mencintai yang lain. Mungkin kah hati ini akan tegar. Sebisa mungkin tak akan pernah sayangku akan hilang."

Agama sejatimu takkan pernah sanggup untuk menyakitimu. Tetapi, kesejatian itu mirip iman: yazid wa yangkus. Negara sejatimu takkan pernah sanggup untuk melupakanmu. Tetapi, kelupaan itu momen kritis bersendi akal: sihah wa marid.

Membincang agama, adalah membicarakan teka-teki yang tak sempurna. Mirip melukis Indonesia. Begitu luas tetapi paria. Begitu kaya tetapi menderita. Nah, soal agama, mungkin kita bisa merujuk ke buku "Sejarah Tuhan" ataupun "The Great Transformation" karya Karen Amstrong.

Wanita ini menyuguhkan hasil riset penting bagaimana agama-agama adalah sesuatu yang berubah, berinteraksi dan berproses sedemikian rupa dari satu kepercayaan ke model kepercayaan yang lain. Maka konsepsi “dialog agama-agama” menemukan pintu masuknya. Keramahan dan toleransi mempunyai basis argumennya. Gotong-royong memiliki landasan filosofisnya.

Nah, soal Indonesia, mungkin kita bisa merujuk pada buku, "Di Bawah Bendera Revolusi" karya Bung Karno. Juga buku, "Negara Paripurna" karya Yudi Latif. Pada dua buku itu, tesisnya serupa walau tak sama: Indonesia bukan barang jadi. Ia tapal antara. Jembatan emas. Jika berhenti, mati. Jika berlari, lihat belakang, kanan kiri dan tatap fokus ke depan. Tetapi harus selalu diingat: tanah-air-udara ini milik generasi penerus yang kita pinjam. Jangan kita wariskan dalam keadaan bangkrut dan minus martabat. Maka konsepsi revolusi menemukan pijakannya. Pemberontakan mendapat yurisprudensinya.

Sudah lama, agama dan Indonesia berada bersama kita, dari kita, oleh kita semua tapi minus untuk kita. Keduanya beredar dan menjadi udara yang kita hirup. Karenanya, tak ada agama dan indonesia tanpa teks, bahasa dan sejarah. 

Tak ada teks tanpa tafsir. Tak ada tafsir tanpa sengketa. Tak ada sengketa tanpa darah dan air mata. Tak ada darah tanpa kebodohan. 

Tak ada sejarah tanpa manusia. Tak ada manusia tanpa cita-cita. Tak ada cita-cita tanpa revolusi. Tak ada revolusi tanpa kolonisasi (penjajahan).

Tak ada bahasa tanpa identitas. Tak ada identitas tanpa perjuangan. Tak ada perjuangan tanpa penjajahan. Tak ada penjajahan tanpa ilmu pengetahuan dan tekhnologi.

Dus, kata kunci memahami agama dan Indonesia cukup tiga: kebodohan, penjajahan, iptek. Ketiganya terhubung dengan liberte, fraternite dan egalite.

INGAT: KEBODOHAN MENDATANGKAN PENJAJAHAN. DAN PENJAJAHAN MENTERNAK PENDERITAAN. CARA MENIKAMNYA DENGAN IPTEK.

Kini, agama dan Indonesia bertemu muka. Kawin-mawin. Membentuk lingkaran nyata di dunia. Tapi, tak terlalu peduli dengan nasib manusia: utamanya yang miskin, bodoh dan tuna daksa. Terutama manusia Indonesia: utamanya orang bodoh dan kalah.

Maka kusaksikan betapa kasihan kalian warga negara Indonesia: bangga membela agama dan Indonesia, padahal itu bukan agama dan Indonesia yang sesungguhnya. Melainkan agama dan Indonesia ciptaan penjajah dan begundal kolonial saja. Yang diangankan dan dipraktekkan demi perut gendut dan rakus mereka saja.

Tuan-tuan yang bijak. Tanpa kerja dan pikiran raksasa (gotong-royong untuk revolusi dan revolusi untuk gotong-royong) kini dan nanti, agama dan Indonesia adalah wajah buruk plus syorga yang tak dirindukan (inferno): tak lebih, tak kurang.

***

INDONESIA#Kita tidur dengan bantal yang sama, tapi dengan mimpi yang berbeda. Maka, tak ada yang lebih pedih daripada kehilangan mimpi-mimpi kalian. Kita tidur di kasur yang sama, tapi dengan cita-cita yang berbeda. Maka, tak ada yang lebih perih saat kasihku tak mungkin beralih.

Kita hidup di negeri yang sama, tapi dengan program yang berbeda. Maka, menyatu dalam waktu yang berjalan. Tetapi aku kini sendirian. Menatap negeri ini hanya bayangan. Lalu, aku bertanya.

Adakah pilihan lain selain revolusi? Tidak ada. Yang masuk akal kini cuma revolusi pancasila. Apa itu? Adalah gerakan nasional yang dikerjakan secara bergotong-royong oleh para patriot Pancasilais segala kalangan, guna merealisasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara di Indonesia; dalam waktu segera dan sesingkat-singkatnya.

Siapa musuhnya? Semua begundal kolonial internasional dan lokal yang mengkhianati kita semua. Para pengkhianat yang mengkhianati dan mengganti nilai-nilai Pancasila. Maka, pertanyaan berikutnya, apa nilai utamanya.

Jika diperas, kata Bung Karno, "yang lima ini menjadi satu, maka dapatlah aku satu perkataan yang tulen, yaitu perkataan gotong-royong. Gotong-royong adalah pembantingan tulang bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-membantu bersama. Amal semua buat semua.

Prinsip Gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara Islam dan yang Kristen, antara yang Indonesia dan yang non-Indonesia. Inilah saudara-saudara, yang kuusulkan kepada saudara-saudara."

Kini kita berjihad demi Pancasila demi Indonesia. Bagaimana ia bekerja? Filsafat Pancasila membantu setiap generasi bangsa-negara ini untuk menghadapi problemnya di masa kini dan masa depan. Studi Postkolonial menawarkan setrilyun pemecahan persoalan kolonialisme dan berbagai variannya (kapitalisme, liberalisme, komunisme dan neoliberalisme). 

Filsafat pancasila dan studi postkolonial adalah dua metoda penjaga dan pewibawa Indonesia. Tentu peletak dasarnya Tuan Soekarno. Bapak bangsa yang kini dikhianati anak biologis dan anak pungutnya!

Kedua ilmu ini melarang berfikir dari segi keterbatasan. Sebaliknya mendorong berfikir dari segi kemungkinan. Metascient. Maha luas terbentang di semesta.

Karena itu, sekali lagi yah. Jika mengamalkan pancasila, adalah menyejahterakan indonesia maka tiba waktunya untuk bertarung. Menumpas angkara. Melawan musuh lama. Menggilas musuh masa kini. Mengantisipasi musuh masa depan. Merekalah setan-setan si ular penipu. Para penghasut dalam hati, pikiran dan perbuatan. 

Jika mengamalkan pancasila, adalah tipu-tipu belaka maka itulah mereka: alumni dan penghuni istana kini. Sejak mereka berkuasa, buku tak dibaca, pengetahuan tak dibeli, hikmah tak ditradisi. Semua musnah dalam dua kata: pencitraan dan blusukan.

***