Dentuman Raksasa "UNIVERSITAS NUSANTARA" - Yudhie Haryono


Cukup dalam. Apanya? Kesadaran akan apa yang segera kita wariskan buat anak-cucu. Tentu bukan hanya nama baik. Yang lebih dalam dan lebih panjang adalah pusat studi dan sekolahan terbaik.

Ya. Sekolah dan universitas terbaik merupakan kulminasi dari amal jariyah, ilmu yang bermanfaat serta doa anak-anak salih.

Sebab sungguh, kita tidak melihat dunia sebagai senda gurau belaka. Sebaliknya, kita telah meyakini, bahwa dunia pendidikan menjadi surga dan tulang punggung terbaik untuk dikurikulumkan di masa sesudah kita tiada.

Kehidupan itu, adalah kekalnya amal, ilmu, iman dan kurikulum yang tertradisi guna membimbing mata, hati dan pikiran untuk terpaut pada peradaban yang membebaskan, mendaulatkan dan memartabatkan.

Dus, kampus ini akan menjalankan kejuangan sebagai jalan umum dan terbiasa mengesampingkan pedihnya dunia agar sampai pada cita-cita mulia: memanusiakan manusia.

Akankah kita bersedia bergotong-royong ke arah sana? Batu uji ini adalah tapal batas pertama untuk membedakan kita dari mereka yang lupa dan alpa. Mari menusantara. Mari mengantlantik. Mari mewariskan hal-hal jenius dan gigantik.

Sungguh. Kita sadar. Takdir zaman ini adalah tragedi profanisasi atau desakralisasi. Banyak tokoh besar Indonesia mengalami, pinjam istilah Ben Anderson dalam, “Exit Soeharto: Obituary For a Mediocre Tyrant” on New Left Review edisi 50 (Maret-April 2008), “historical erasure” alias penghapusan sejarah.

Banyak sosok-sosok dalam zaman interupsi  mengalami “penghapusan” dalam narasi sejarah akibat penulisan sejarah rezim disrupsi. Legenda ditiadakan; jasa dilupakan; warisan pengetahuan dialpakan; citra subtansi pahlawan diselewengkan.

Di Universitas Nusantara dilakukan sebaliknya. Sebab kejuangan hari ini ada karena tokoh dan jasa mereka. Nama dan pikiran; tindakan dan warisan akan dipelajari dan dikembangkan. Agar kita tak buta sejarah; tak rabun konstitusi; tak khianat pada asal-usul; sehingga gagah memecah masa depan.

Kami ingin ilmu mereka, dedikasi mereka dan jasa mereka berkembang senapas dengan peradaban baru yang makin civilian di mana para pewarisnya menjadi tulang punggung kemanusiaan.

Kami akan buat BUKU INDUK PERADABAN INDONESIA dan guru-guru pendiri republik menjadi sumber utama penulisannya. Semoga alam restu. Semoga tuan sudi: berbagi dan bersenda.

Terlebih, yang menulis dan yang mati adalah yang abadi. Tubuh dan jiwa boleh termakan cacing dan dihilangkan rezim apapun. Tapi, pikiran dan warisan tulisan akan jadi hantu yang berseru. Memburu kita menuntaskan cita-cita. Jasa, pikiran dan ilmu kita akan tumbuh peluh dalam muda tubuh. Tak menyerah walau kalah. Tak jumawa walau juara.

***

0 comments:

Post a Comment