Logika dalam penalaran deduktif sekilas memang
terlihat superior. Silogisme dari premis-premis implikatif tentunya akan selalu
tampil meyakinkan ketika menjadi dasar sebuah argumen. Syaratnya, premis-premis
tersebut harus bernilai kebenaran. Contoh sederhananya: setiap benda tunduk
pada hukum gravitasi; apel adalah benda; apel tunduk pada hukum gravitasi. Namun,
mungkinkah penalaran deduktif dengan sendirinya menghasilkan sesuatu yang
bernilai kebenaran? Jawabannya tidak. Ia hanya menjadi proses pengolahan atas berbagai
proposisi yang sudah diketahui sebelumnya.
Landasan penalaran deduktif dilahirkan dari proposisi-proposisi
yang dihasilkan melalui penalaran induktif maupun penalaran abduktif yang
setelah cukup mapan selanjutnya dapat digunakan sebagai premis. Meskipun
begitu, ketiganya memang tetap harus digunakan secara kooperatif untuk saling menguatkan.
Penalaran induktif, melalui observasi fenomena-fenomena
tertentu secara empiris, menghasilkan kesimpulan yang sekurang-kurangnya dapat
diyakini sebagai sebuah fakta atau aksioma, self-evident. Misalnya, epistemologi
primordial manusia yaitu pancaindera, secara empiris melihat semua benda selalu
dalam potensi terjatuh ke arah bumi, yang kemudian secara umum dikenal sebagai gravitasi
dan dinilai sebagai kebenaran.
Bagaimana dengan penalaran abduktif? Konsep penalaran
abduktif, melanjutkan epagoge Aristoteles, dikenalkan oleh filsuf asal
AS, Charles Sanders Peirce, dalam bukunya Illustrations of the Logic of
Science. Menurut Peirce, penalaran abduktif melakukan proses pembentukan penjelasan
dari sebuah hipotesis (explanatory hypotheses), bukan sekedar hipotesis deskriptif.
Dia juga mengatakan penalaran abduktif adalah satu-satunya operasi logika yang
mampu menghasilkan ide baru manapun.
Tentu saja, tidak seperti penalaran deduktif yang membentuk
sebuah rangkaian premis mayor-minor yang tidak terputus, penalaran abduktif
seperti memiliki jurang pemisah antara fenomena yang diobservasi dan penjelasan
hipotesis yang diambil. Karena sebuah fenomena dapat menghasilkan banyak
hipotesis dengan beragam penjelasan, lantas bagaimana salah satu penjelasan hipotesis
yang dipilih tiba-tiba bisa disebut logis? Bila harus digambarkan dalam satu
kata, penalaran abduktif adalah ‘imajinasi’.
Bila kata kuncinya ‘imajinasi’, bagaimana ia dapat
dijustifikasi menjadi sesuatu yang dapat dinalar dan disebut logis? Imajinasi
yang tidak dapat didemonstrasikan, tidak dapat difalsifikasi, dan tidak dapat
diukur tidak punya perbedaan dengan khayalan. Karena itu, imajinasi hanya menjadi
penalaran yang dahsyat ketika secara bersamaan ia dapat didemonstrasikan, berani
memberikan tantangan untuk difalsifikasi oleh fakta tertentu, dan mampu
menghasilkan sesuatu yang terukur.
Dalam beberapa contoh terpisah, misalnya, untuk
menalar apakah artificial intelligence dengan level yang mampu melewati Turing
Test memiliki kesadaran, John Searle menggunakan imajinasinya dan
menghasilkan argumen Chinese Room sebagai jawaban ‘tidak’. Karena dapat didemonstrasikan,
meskipun hampir tidak dapat dipastikan kebenarannya mengingat kesadaran adalah
sesuatu yang an sich, sekurang-kurangnya argumen tersebut menjadi logis
dalam konteks dapat dipahami melalui demonstrasi. Untuk menalar evolusi, yang oleh
Karl Popper pada awalnya hanya dinilai sebagai upaya penelitian metafisik—meskipun
akhirnya ia mengakui evolusi sebagai sains sehingga dapat difalsifikasi—J.B.S.
Haldane mengajukan tes falsifikasi berikut: fosil kelinci era prakambrium. Meskipun
berbagai fakta telah menguatkan evolusi, bila fosil itu ditemukan, evolusi akan
menjadi tidak berbeda dengan khayalan.
Lalu bagaimana cara imajinasi diukur? Dengan angka. Tentu
saja imajinasi yang dimaksud dapat diukur adalah ‘imajinasi terkontrol’ yang juga
dapat difalsifikasi dan didemonstrasikan. Pembuktian dengan angka adalah bagian
dari pembuktian matematis, karenanya pembuktiannya paling mendekati sempurna. Mengapa?
Karena kepastian adalah tingkatan tertinggi dari pengetahuan, dengan kepastian denyut
nadi pencarian kebenaran terhenti, dan matematika menghasilkan (hampir)
kepastian itu. Dua ditambah dua adalah empat, habis perkara. Dua dikali dua
adalah empat, selesai. Kalau saja eksistensi Tuhan dapat dibuktikan secara
matematis, maka eksistensi-Nya pun tidak akan diperdebatkan, menghemat waktu
Thomas Aquinas dan David Hume dalam perdebatan lintas abad, serta menyelamatkan
banyak nyawa manusia.
Namun, ‘ukuran’ sebenarnya tidak (selalu) identik
dengan kepastian. Kasus Pi bisa digunakan untuk menjelaskannya. Pi (22/7–estimasi
bentuk pecahan) adalah selebriti dalam matematika, ia termasuk dalam kelompok yang
memiliki sebutan keren yaitu ‘bilangan transenden’, semacam hall of fame-nya
matematika. Karena Pi adalah bilangan irasional, ia menyisakan deretan angka tak
terhingga dalam ruang setelah koma desimalnya—3,1415926535897932384626433 … dan
selamanya. Bila Pi bukan bilangan rasional namun digunakan untuk mengukur luas lingkaran
maupun bola, apakah hasil ukurannya menghasilkan kepastian dengan merepresentasikan
luas lingkaran atau bola tersebut seutuhnya? No. Tapi yang pasti, karena
“ketidakakuratannya” amat sangat kecil sehingga dapat diabaikan, ukuran-ukuran
matematis—baik geometri maupun yang lainnya—selalu terbukti bekerja dalam sains
terapan dan dalam memprediksi cara alam semesta bekerja. Dengan level yang mengagumkan
sehingga layak disebut memiliki “kepastian”.
Integrasi logika, imajinasi, dan angka dalam konteks
di atas akan menjadi kesatuan yang konkret melalui bantuan seseorang. Albert
Einstein: teoretikus fisika, rockstar dunia sains, sinonim kata ‘jenius’.
Kata ‘teoretikus’ sendiri memiliki implikasi serius dari penelitian yang
dilakukan melalui thought experiment—eksperimen dalam pemikiran. Sepanjang
kariernya, Einstein hampir tidak pernah menginjakkan kakinya dalam laboratorium
untuk memahami semesta. Yes, Einstein tidak membutuhkan laboratorium
dengan berbagai peralatan canggih, “laboratorium” Einstein adalah alam pikirannya.
Einstein tentunya menyadari deduksi dan induksi tidak akan pernah mampu menghasilkan
terobosan “gila” seperti abduksi. Karenanya, untuk mendapatkan akselerasi
pemahaman yang komprehensif terhadap alam semesta Einstein menggunakan imajinasinya
dan menciptakan interplay antara logika (deduksi-induksi) dan angka di
dalamnya.
Hasilnya, pada tahun 1916 Einstein mempublikasikan format
definitif dari teori gravitasinya yang disebut General Theory of Relativity (GTR).
Melalui GTR, Einstein menggambarkan garis besar dari bagaimana segala sesuatu
dalam alam semesta bergerak di bawah pengaruh gravitasi, lengkap dengan detail
matematis yang intinya tertuang dalam Einstein Field Equation. Setiap
beberapa tahun, para ilmuwan merancang eksperimen dengan presisi yang meningkat
khusus untuk menguji teori ini dan hanya mendapatkan teori ini semakin akurat. Einstein
juga mengajukan tiga tes falsifikasi yang disebut ‘tes klasik’ bagi GTR, salah
satunya: bahwa seharusnya lintasan cahaya setelah melewati bagian pinggir matahari
akan berbelok ke arah dalam. Bila itu tidak terjadi, maka seluruh ide GTR runtuh.
Hal ini terkonfirmasi pada tahun 1919 melalui pengamatan gerhana matahari total,
dan Einsten menjadi orang pertama yang mampu memberikan ukuran paling akurat
dari tikungan lintasan tersebut, 1,75 arcseconds. Kalau tidak
terbayangkan, cobalah untuk mengingat tendangan bebas David Beckham yang
melengkung melewati sisi kanan pagar betis, bolanya adalah cahaya, pagar
betisnya adalah matahari. GTR adalah ide paling brilian dalam dunia sains.
Menurut Einstein, waktu bukanlah konstanta yang bergerak
stabil dari detik ke detik. Namun, waktu adalah sebuah kesatuan yang tidak
terpisahkan dengan ruang sehingga disebut ruang-waktu (spacetime).
Karenanya, waktu di satu tempat dengan tempat lainnya menjadi relatif. Misalnya
dalam GPS, menurut GTR jarum detik pada satelit GPS bergerak lebih cepat
daripada jarum detik di bumi, sehingga secara berkala perbedaan tersebut harus
dikoreksi. Tanpa GTR, Google Maps tidak akan mampu mengantarkan penggunanya sampai
tujuan.
Kesatuan ruang-waktu bisa diibaratkan seperti
bentangan kain trampolin. Energi (misalnya cahaya) dan materi (sesuatu yang
memiliki massa) seperti planet atau matahari, memiliki pengaruh pada
ruang-waktu seperti pengaruh bola boling yang diletakkan di atas kain trampolin.
Kain itu tentunya akan melengkung mengikuti bentuk bola boling. Itulah gravitasi
menurut GTR, kurva dari ruang-waktu yang terbentuk oleh pengaruh dari energi
dan materi. Tes falsifikasi lintasan cahaya yang dibahas sebelumnya mengikuti lintasan
kurva dari ruang-waktu tersebut. John Archibald Wheeler merangkum fenomena ini
dengan sangat efisien: “Materi [dan energi] mengatur bagaimana ruang-waktu
harus berkurva, ruang-waktu mengatur bagaimana materi [dan energi] harus
bergerak.”.
Imajinasi Einstein yang melahirkan GTR memang memenuhi
keterukuran matematis serta tes falsikasi, tapi yang paling menakjubkan adalah
demonstrasinya yang terjadi pada tahun 2016. Di tahun itu, LIGO (Laser
Interferometer Gravitational-Wave Observatory)—dua laboratorium besar di
Washington dan Louisiana, Amerika Serikat, yang dibangun khusus untuk
mengonfirmasi nubuat Einstein—mendeteksi gelombang gravitasi yang sudah
diprediksi melalui GTR pada tahun 1916.
Gelombang gravitasi? Ya. Untuk sementara, bayangkanlah
ruang-waktu sebagai permukaan danau dengan air yang sangat tenang. Bila sebuah
batu dijatuhkan dari atas permukaannya, maka pada permukaan air tersebut akan muncul
riak atau gelombang-gelombang berbentuk lingkaran yang merambat dan menjauhi
titik di mana batu tersebut dijatuhkan. Einstein memprediksikan bahwa seperti
batu yang dijatuhkan itu, dua blackhole yang bertabrakan lalu bergabung menjadi
satu akan menghasilkan efek serupa, dalam bentuk lingkaran gelombang gravitasi yang
bergerak merambat dan menjauh dengan kecepatan cahaya (299.792.458 meter per detik)
dari titik di mana dua blackhole tersebut bertabrakan. Serius, manusia
aneh macam apa yang berimajinasi seperti ini?
Tapi, persis ‘gelombang gravitasi’ itulah yang terdeteksi
oleh LIGO. Gelombang gravitasi itu muncul dari tabrakan antara dua blackhole
yang terjadi 1,3 miliar tahun yang lalu. Saat itu terjadi, bumi baru dihuni
oleh organisme dengan sel tunggal yang sederhana. Sementara gelombang gravitasi
itu merambat dan menyebar ke seluruh penjuru alam semesta, bumi ber-evolusi, menghasilkan
berbagai makhluk hidup seperti tumbuhan, dinosaurus, dan mamalia dengan salah
satu cabangnya yang disebut primata. Salah satu cabang dari primata ini
kemudian mengalami mutasi genetik yang menghasilkan kemampuan berbahasa. Cabang
itu—homo sapiens—mengalami revolusi kognitif yang mempercepat kemunculan
revolusi agrikultur dan mengalami revolusi
saintifik yang mempercepat kemunculan revolusi industri. Kemudian pada tahun
1916, salah satu dari homo sapiens bernama Albert Einstein menciptakan General
Theory of Relativity dari kepalanya, dan memprediksikan keberadaan dari
gelombang gravitasi. Hampir seratus tahun kemudian, laboratorium dengan teknologi
yang mampu mendeteksi gelombang itu beroperasi untuk mengonfirmasi nubuat Einstein
yang saat itu sudah wafat, dikremasi, ditebar abu jasadnya di sekitar halaman Institute
for Advanced Study di Princeton, dan diawetkan otaknya sehingga sekarang dapat
dikunjungi di Mütter Museum di Pennsylvania. Tepat satu abad setelah tahun 1916,
gelombang gravitasi yang sudah melakukan perjalanan melelahkan dengan kecepatan
cahaya selama 1,3 miliar tahun itu tiba, membasuh bumi, terdeteksi, menjadi bukti
prediksi profetik Einstein.
Einstein memang bukan manusia sembarangan.
Bila diformulasikan, maka persamaan pengetahuan dalam konteks
natural sciences dapat disederhanakan sebagai berikut: Pengetahuan =
Logika x Imajinasi x Angka. Untuk menghasilkan pengetahuan baru, setiap imajinasi
yang paling mungkin dinalar oleh logika harus dapat diterjemahkan ke dalam angka
melalui proses matematis. Operasi perkalian dipilih karena bila seseorang
mengajukan lima imajinasi dan memiliki nilai benar dalam logika (sehingga
dikalikan satu) maka dia berpotensi menghasilkan lima pengetahuan baru, namun bila
tidak mampu dibuktikan dengan angka secara matematis maka ia dikalikan nol
sehingga hasilnya menjadi nihil. Imajinasi dapat membantu manusia memahami realita.
Sebelum pengetahuan berkembang pesat, imajinasi menjadi kerangka bagi manusia
untuk menemukan pengetahuan dan memahami realita. Seperti yang pernah dikatakan
Einstein: “Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan. Pengetahuan itu terbatas.
Imajinasi mengelilingi semesta.”.
***