Cerbung #12 "KITAB KESEDIHAN-KEPILUAN" - Yudhie Haryono


#Untuknya yang ujiannya tak kunjung habis#

Kasih. Bacalah setelah aku dikuburkan. Sebab saat itu, dunia akan terang. Engkau kini paham. Seorang penulis adalah orang yang resah dengan hasil tulisan dan lebih resah dengan apa yang belum dituliskan.

Aku camkan dan pahami itu. Sampai kini takdirku melelahkan dan kesepian. Terlebih setelah dimarahi, dicaci dan difitnah jutaan manusia yang kucintai. Manusia indonesia yang tak mengerti. Juga engkau yang terus ikutan. Walau sepagi buta dunia bagai heart beats fast.

Ya. Jantung berdebar kencang. Menerima takdir yang tidak tak terpikirkan. Ngopi-ngopi bersama Tuhan. Tanpa hantu dan hutan.

Tuhan mengirim surat rindu padaku. Saat aku merindukanmu. Satu kilo rindu sekaliber uranium yang gigil. Tidak tak terjangkau. Maka, merindukanmu adalah memintal air mata. Mengangenimu adalah menjahit angan bahagia. Mencintaimu adalah melafalkan doa. Menulis namamu adalah melukis es kutub utara-selatan: mereka dingin tanpa harus proklamasi.

Engkau melebihi puisi. Lebih dahsyat dari birahi. Dalam sedalam-dalamnya. Sebab di situ Tuhan bermain dadu. Di matamu tak kutemukan cinta sejati. Di hatimu tak kutemukan kebahagiaan hakiki. Penuh maha duka, maha derita.

Colors and prom-misses. Kutemukan warna-warni dan janji-janji yang tak pernah terjadi. Bekerja di antara dogma dan ketololan-ketololan. Lalu bekerut dan bertanya, "how to be brave?" Bagaimana agar berani di saat semua takut dan pengecut. Saat seseorang menuduhku sebagai ilmuwan yang lupa diri dan tak tahu terimakasih: seperti kacang lupa pada kulitnya.

Aku. Ya aku yang belum tahu mana kacang mana kulit. Makin bodoh aku setelah tua bangka. Makin tak berguna. Juga untuk hidupmu. Tanganku tak mampu membuang sialmu.

Kasih. Ini mirip tanyaku dulu pada hatiku. How can I love when I'm afraid to fall? Bagaimana bisa aku cinta saat aku takut jatuh? Ya. Jatuh cinta denganmu itu mukjizat kecil. Sebab mukjizat besar tak pernah hadir.  Keterkejutan yang dahsyat tapi terpikirkan.

Seperti indonesia. Negeri tanpa dentuman. Sekali hadir hanya untuk menjadi kufur. Penghuninya tak pintar bersyukur.

Masih ingatkah bahwa aku pernah mengetik tulisan buat murid-muridku, "orang sudah tua dan tak berkuasa sepertiku tidak mampu membangun masa depan Indonesia untuk kaum muda. Yang kini mampu aku lakukan hanya berusaha membangun kaum muda untuk masa depan Indonesia." Dan, engkau mengiyakan dengan ciuman mautmu.

But, watching you stand alone. Kini melihatmu sendirian seperti yatim yang pilu. Tak hendak hidup; tak berseri ceria menyambut mati. Involusi. Limbo. Gedubrak ke sana ke mari. Tanpa id dan logos yang adekuat. Tapi matamu dan bibirmu meledekku. Mengatakan diriku lelaki yang perlu diujicoba. Seperti sepeda ontel saja. Yang baru didapat dari dik Jokowi. Maka, "all of my doubt suddenly goes away somehow." Segala bimbangku mendadak hilang. Terbang. Menuju langit yang tak perlu proklamasi agar dunia tahu dirinya tinggi. One step closer. Selangkah lebih dekat. Ya. Dekat dengan sang mula. Asal muasal segalanya.

I have died every day waiting for you. Kasih. Mungkin kini engkau tahu. Dulu. Tiap hari aku telah mati karena menantimu. Mati berkali-kali. Terutama saat anak-anakku tidak bersamaku. Mereka jauh. Direngkuh kejam kehidupan yang tak tahu malu. Tetapi, engkau bilang, "darling don't be afraid." Kasih jangan takut. Aku kini bersamamu. Pijatan dan dorongan hidup bergema bagai takbir di hari raya: deras dan keras. Maka, kini engkau mengerti. I have loved you for a thousand years. Aku telah mencintaimu ribuan tahun. Sebab, seribu tahun lalu dunia gelap gulita. Ketika terang, engkaulah senyumnya. Bukan bulan apalagi mentari. Tapi senyum manismu; semanis-manisnya.

Dentang. Kulintang. Seruling kesunyian. Aku ketuk. Aku ketik. I'll love you for a thousand more. Aku kan mencintaimu ribuan tahun lagi. Dari kemungkinan-kemungkinan yang mungkin tak mungkin. Dari cerita-cerita yang tak jadi novel. Dari sabda-sabda yang tak jadi kitab suci. Dari moral kebijakan yang tak jadi agama. Engkau dan anak-anak kita akan merealisasikan pancasila.

***

0 comments:

Post a Comment