ZIARAH KOTA KE KOTA - Yudhie Haryono


Ke Purwokerto. Meringis dan menangis. Mengutuki takdir. Takdir terindah adalah tidak mengenalmu. Yang kedua, mengenalmu tapi tidak jatuh cinta. Yang terburuk adalah mengenalmu, jatuh cinta dan ditolaknya. Berbahagialah mereka yang tak melihatmu di alam dunia.

Ke Semarang. Baca buku dan riset. Sesak napas. Maka, Peradaban, peraduan dan api tak bertemu. Sebab milyaran tahun yang lalu, dunia mati. Gelap pekat tiada tara. Api memancarkan sinarnya. Peradaban mulai bergerak sumir. Dan, ketika terbentuk, bertemu dan bercinta, engkaulah arsitekturnya. Lalu, mati. Ditendang harga diri.

Ke Jakarta. Makin terang kini. Tetapi tetap sumber dari segala sumber kejahatan. Tak pernah sadar. Makanannya teror dan kebodohan. Orang melupa dan menjejer luka-luka untuk merasa adiktif. Mendendam, miopik, melupa, inlander dan instan jadi hasil koki di meja-meja birokrasi.

Kita adalah produsen kebatilan dan konsumen mitos di segala agama; di setiap sekulah dan zaman; di altar-altar kebiadaban yang tak semenjana.

Ke Depok. Berkeluarga. Bahagia. Mati dan tumbuh. Dalam. Bercabang. Anak pinak. Menggetarkan. Enigmatis. Merangkum segala hal ikhwal perlawanan. Menternak revolusi. Menikam mati kaum tua berbaju baru. Menggantung kaum muda bermental tua. Mati sebelum mati. Hidup panjang tak berguna: sebab semua jadi begundal: ulamanya apalagi politisinya.

Ke Carolina. Tak ditemukan apa yang dicari. Menemukan apa yang tak dibutuhkan. Anarki di sepanjang waktu. Poligami buku dan perpustakaan plus musium-musium penuh waktu. Sebab kegagalan adalah seluruh hal-ikhwal yang diakui dan keberhasilan adalah kegagalan yang digagalkan.

Ke Makkah. Ketemu hal lucu. Mitos mistis yang makin tiris. Yang dipuja tak mengerti. Yang mengerti tak dipuja. Anakronistik. Kini di situ dikurikulumkan apa yang dulu Muhammad haramkan. 

Di Indonesia. Aku kini ingin membaca puisi di sisimu, wewegombel. Agar warasmu tegas. Sikapmu trengginas. Bukan lonte bejilbab luas. Berkerumun seperti nyamuk. Bergelimang darah hasil merampok. Tapi, menjual kelamin demi hari esok masih lebih mulia dari jual ayat demi gengsi.

Hey kalian. 2+2=4. Tapi 2X2=4. Adakah yang mau menjelaskannya? Sesama sundal, kini mereka tinggal di istana negara. Sesama begundal, kini mereka ingin dipanggil paduka yang mulia.

***

0 comments:

Post a Comment