Cerpen Libur "YANG BUKAN SYORGA JUGA NERAKA" - Yudhie Haryono


Ratusan galon air mata natal tumpah tak sudah-sudah. Saat kegelapan kisah purnama tak sudi berlalu. Pada indonesia. Juga padamu. Yang tahu bahwa cintaku tak pernah berlalu. Tak pernah jengah; tak lelah walau kau usir aku dari sawah hidupmu.

Malam natal ini cintaku tetap diam. Cintamu makin tak ada. Kristus bagimu hanya omong kosong yang sembilu. Pedih perih sekolam buih. Maka terus sendirian aku tanpa cintamu, tapa rindumu. Padahal kau tahu tak pernah ada cinta yang lain. Tak sempat hadir hati yang lain. Yang mekar walau semalam purnama. Kerana cinta dan hatiku terbuka hanya untukmu.

Duhai cinta, kamu yang bisu. Kamu yang enggan menawar rasa. Kamu yang buta. Yang tak berbandrol jiwa. Gelombang marahmu terlalu berlebih-lebihan. Sepertinya tukang dan hobi. Atau bisamu saja. Sampai berderit-derit bunyi jantungku; perih bibir dan asma napasku bila kukenang pikiranmu.

Kamu yang tuli. Biar jauh jarak pandang kita, sejauh kutub utara dari selatan. Namun hati dan jiwaku tetep. Ya tetap. Selalu merasa di sisimu; di antara bisu tuli dan butamu.

Menunggu balasan rindu darimu seperti menunggu matiku: rindu dan gemetar ingin lekas dan getas. Menunggu baca puisi denganmu seperti menunggu Jibril mengantar wahyu: menantang dan terbang.

Menunggu belanja dengan dollarmu seperti membaca doa Maryam, "Semoga kesejahteraan dilimpahkan kepadaku, pada hari kelahiranku, pada hari aku dimatikan dan pada hari aku dibangkitkan kembali."

Kini engkau memilih menjadi sufi daripada pergi. Engkau memilih menyepi daripada ngapusi. Engkau memilih salafi daripada gila tak tahu diri. Engkau memilih sunyi daripada berkelahi.

Kemarin engkau manusia luarbiyasa. Merubah dendam menjadi waktu ibadah. Menundukkan nafsu menjadi doa. Membuang rindu diganti menangkap syorga.

Besok engkau yang tak punya kasih, kagum dan horni. Engkaulah si Rabiah-al Adawiyah. Manusia suci yang hanya ingin mabuk di syorga dan orgasme bercinta dengan tuhannya.

Maka, sujudku kehilangan sajadah. Saat kutahu, dunia itu jendela dan pintu. Jalan lapang menuju keentahan setelah engkau tiada datang. Juga metoda ke seribu gurun, ke semilyar gunung. Tapi tetap engkau tak kutemukan. Engkau lenyap persis lenyapnya moral bernegara. Dicabut malaikat maut saat bisu dan dingin meninju. Ditidurkan di rumah-rumah hantu.

Lalu, aku yang kehilangan, merasa lungkrah larah. Menjerit tanpa tujuan. Sedang engkau tak jua kehilangan. Tak terbesit kerinduan. Tak ada pelukan. Kini dan kemarin juga esok, kau menari dan menggosok gigil gigi yang takkan berhenti di mana pun jua. Bersama kaum rakus dan gila di nusantara.

Fakta. Samudra mencipta keluasan. Hujan mencipta pelangi. Sendiri mencipta puisi. Kehilangan mencipta putus asa. Perjalanan mencipta roman. Lalu, apa warisanku? Tanyaku bertalu-talu. Itulah aku yang tak mampu. Untuk sekedar menjawab dan membuat skema.

Kini aku berdiri pucat. Menunggu mati. Pilu tak paham pada kejam si dungu. Terkutuk untuk mengembarai musim kemarau. Seperti gagak rimang tak berkeris. Bagaikan asap hitam kelu. Yang mencari langit biru dan lebih dingin selalu. Membatu. Membiru. Asu.

***

0 comments:

Post a Comment